enjoy reading ...
Aku memukul lengan Lois dengan memasang muka masam dan bibir manyun karena dia mengajakku pergi ke hotel. Apa maksudnya coba? Meski aku ini istrinya, tapi tidak pernah terbesit dalam pikiran akan memenuhi hak Lois sebagai suami. Karena tidak ada cinta diantara kami saat menikah hingga saat ini. Aku menganggapnya hanya sebatas lelaki baik hati yang mau menolongku dan keluarga dari pandangan buruk tetangga kala itu. Bahkan aku telah melabelinya sebagai kakak yang baik. Tidak lebih. “Kok mukul sih, Ly?” protesnya dengan tangan tetap memegang kemudi mobil. “Ngapain ke hotel? Mesum!” “Ck! Kamu itu yang mesum. Emang hotel tuh identik sama begituan? Ya nggak lah.” “Kebanyakan kan emang gitu. Jangan munafik deh, Lois! Aku nggak mau ke hotel!” “Lagian kalau kita begituan kan nggak masalah. Kita ini suami istri lho,” ucapnya terlalu santai. Tanganku reflek kembali memukul lengannya berkali-kali tapi Lois hanya tertawa. Aneh! “Aku nyetir, Ly! Jangan mukul-mukul. Bisa oleng ntar!” “Nyebe
“Apa kamu bilang, Ly? Mantan pacar?” Lois bertanya dengan nada menelisik. Matanya sedikit menyipit tajam ketika menatapku yang berada dihadapannya sedekat ini. Tidak ada raut wajah menyenangkan yang dia tunjukkan. Ditatap seperti ini membuatku tidak nyaman hingga tidak sadar menelan saliva bulat-bulat dengan perasaan was-was. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir ini ketika Lois menganggap aku sudah lancang berani memasuki privasinya. Tempo hari, aku sempat menyinggung soal Rily, mantan pacarnya, dan berakhir dengan emosi Lois. Dan sekarang, aku mengulanginya untuk kedua kali. “Apa Nathasya yang bilang semuanya ke kamu?!” tanyanya makin menuntut dengan lebih mendekatkan wajahnya. “Jawab, Ly. Aku nggak suka ngulang-ngulangi pertanyaan.” “L … Lois, I … itu --- .” “Permisi. Pesanan anda sudah siap.” Syukurlah, pramusaji datang di saat yag tepat. Setidaknya menyelamatkan aku dari amukan Lois karena berani menyinggung masalah mantan pacarnya. Usai pesanan kami terhidang,
"Kenapa aku peduli sama kamu dan autophobia kamu? Kenapa aku nggak balikan sama Rily yang jelas-jelas pengen memperbaiki hubungan kami?" tanya Lois dengan menatapku penuh. Sedang hidangan makan malam kami masih utuh di atas meja. Hanya bir Lois yang sudah berkurang. Tanganku masih mengeratkan tuksedo miliknya yang tersampir di badanku. Dengan rambut kami berkali-kali dibelai lembut angin pantai malam di rooftop kafe kekinian yang berada di kawasan Pluit ini. "Jawabannya adalah ... karena aku nggak tega lihat kamu terpojokkan oleh keadaan. Udah difitnah adik sendiri, dibuang keluarga, dikucilkan tetangga, nggak jadi dinikahi calon suami, dan dipecat dari kantor lama karena videomu udah tersebar di kalangan karyawan. Akhirnya mau nggak mau aku harus nemenin kamu dan nggak etis kalau aku terlalu dekat sama Rily padahal masih punya istri." "Aku emang urakan, Ly. Hidupku ditopang dari hasil menghibur dari satu kafe ke kafe yang lain. Aku udah biasa makan kerasnya hidup di luar dan ja
"Aku rusak beneran, ya?!" ancamku dengan suara meyakinkan. Lois tertawa tanpa beban ketika aku mengancamnya akan merusak mobil Ferrari yang dia sewa. "Rusak aja," jawabnya dengan senyum tenang dan santai. "Heh?!" aku tertegun dengan jawabannya. Tangannya bergerak mengambil garpu lalu membungkusnya dengan tisyu kemudian berdiri dari duduknya sambil mengulurkan tangan kirinya padaku. "Kemana?" "Pulang. Emang kamu mau disini sampai jam berapa? Angin malam laut nggak baik buat kamu yang nggak pernah keluar malam. Beda sama aku." Ya, kadang Lois baru pulang dari menghibur pengunjung kafe dengan grup band nya saat jarum jam mengarah ke angka dua belas malam. Bila Rily meminta perhatiannya, maka bisa saja dia baru pulang pukul satu atau dua dini hari. Dengan tuksedo yang masih tersampir di pundak, kuberikan tangan kananku pada Lois yang berdiri menjulang. "Dingin banget tanganmu, Ly." Saat aku berdiri dengan jemari meremas jemarinya, aku memberanikan diri mendekatkan wajah ke te
“Udah malam. Jangan banyak tanya,” ucap Lois sekenanya dengan memelukku dalam posisi miring. Sontak aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu duduk dan menjauh. Bagaimanapun, aku tidak mau seintim itu dengannya meski kami ini suami istri sah. Aku tidak mencintainya! “Ngapain sih kamu pakai acara peluk-peluk segala, Lois! Modus!” Lois tersenyum tipis lalu kembali berbaring miring dengan memeluk guling. “Ya udah. Aku meluk guling aja karena istriku belum mau dipeluk.” Heh?! Apa maksudnya bilang seperti itu? Apa dia mengharap pelukan dariku? Apa dia nyaman dengan pernikahan kami ini? Tapi, jika dia dia nyaman dengan pernikahan ini lalu bagaimana dengan Rily, mantan kekasihnya yang dekat dengannya? Apa dia mau poligami? *** Hatiku riang tiada terkira saat bangun pagi hari ini. Sangat bahagia. Apalagi jika bukan karena mengingat hancurnya rencana pertunangan Vela dan Ishak semalam. Lois sukses membuka kedok adikku itu dihadapan seluruh keluarga besar kami dan Ishak. Tentang bet
Dengan hati gamang dan dipenuhi ledakan di dada, aku memberanikan diri menggeser tombol hijau di layar ponsel. Lalu tangan kananku mengangkat ponsel dengan gerakan sedikit lambat hingga menyentuhkannya ke telinga kanan. "Halo?" ucapku lirih dengan hati tidak karuan lagi. Bagaimana tidak karuan jika yang sedang menghubungiku adalah lelaki yang pernah dan sampai saat ini masih menjadi raja di hati ini. Meski aku sendiri telah bersuamikan Lois. Lelaki yang tidak pernah kuinginkan dan terpaksa menikah dengannya demi sebuah penyelamatan nama baik. "Halo, Ly." Mendengar suara Ishak, tetiba saja hatiku seakan disiram air keras hingga terasa mengering. Namun detik berikutnya aku justru takut jika ia mengucapkan kata-kata atau kalimat yang menghunus jantung. Kata-kata yang menyiratkan kekesalan karena aku memporak-porandakan acara pertunangannya dengan adikku. Membongkar semua kebusukan adikku dihdapannya dan keluarga besar. "Ya? Ini ... siapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. "Ishak. Ka
“Gimana kabarnya, Ly?” Ishak memulai pertanyaan sambil mengemudi. Aku masih setia duduk di bangku penumpang yang ada di sebelahnya sambil memangku tas kerja. “Baik, Shak,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Takut jika hatiku tidak baik-baik saja karena cinta lama bersemi kembali. Sedang aku sudah ada yang memiliki. “Kenapa kamu pindah kerja?” Haruskah aku menjawab alasan kepindahanku padanya? Alasan yang membuat harga diriku kembali jatuh dan tersungkur. Dan akhirnya bibir ini memilih bungkam daripada mengorek luka lama. Karena tidak ada jawaban dariku, Ishak menoleh sekilas. Terlihat dari ekor mataku. “Ly?” “Ya?” jawabku kembali tanpa menoleh ke arahnya. “Oh … maaf.” Akhirnya, Ishak tahu jika aku enggan menjawab pertanyaannya. “Nggak apa-apa, Shak. Itu cuma kenangan yang perlu dikubur dalam-dalam.” Selanjutnya, tidak ada percakapan apapun diantara kami hingga mobil gagah dan nyamannya tiba di sebuah café and restaurant yang kukenal. ‘Bukankah ini …. ‘ batinku meningkahi d
“Gimana? Kamu mau lagi? Kalau mau biar aku --- “ Tanganku segera menahan tangan Ishak begitu tubuhnya bersiap berdiri dari duduknya. Kedua matanya menatap tangan kiriku yang menahan tangan kanannya. Sekelebat ada perasaan salah karena aku mulai berani memulai kontak fisik dengannya. Seketika aku segera menarik tangan ini darinya dengan perasaan tidak karuan. Aku khawatir dia merasa jijik karena disentuh perempuan kotor sepertiku. Seperti ucapannya dulu. “S … sorry, Shak. Aku … nggak maksud begitu,” ucapku lirih dengan bahasa tubuh penuh salah tingkah. Bukannya marah karena bersentuhan dengan perempuan kotor sepertiku, Ishak justru tersenyum dengan gurat meneduhkan sambil menatap kedua bola mataku lalu ia duduk kembali. Tangannya bergerak pelan menjauhkan menu milikku yang tidak habis karena terlalu pedas dan menaruh botol berisi air mineral tepat dihadapanku. “It’s okay, Ly. Aku nggak masalah kok sama yang barusan.” Fiuh … mengapa wajahku terasa seperti berdekatan dengan bara a