enjoy reading ...
Mobil Ferrari merah yang tetap terlihat kinclong meski diliputi keremangan cahaya lampu di malam ini, tetap saja mengundang perhatian keluarga besarku. Mereka takjub luar biasa melihat mobil ini dan memuji betapa beruntungnya aku dinikahi Lois. Bahkan Papa sampai bingung bagaimana bisa Lois membawa mobil yang seumur hidup Papa saja tidak bisa menyewanya. Tapi Lois, yang dihina sebagai seniman recehan justru bisa membuat semuanya nyata. Lois yang tetap setia berdiri di sebelahku dengan tangan kiri ini berada di lengannya, sedang menatap ke arah kerumuman keluarga Mama dan Papa yang mengitari mobil mewah itu. Senyum tipisnya sarat akan makna dan kesombongan itu menunjukkan betapa manusia zaman sekarang terbiasa menilai sesuatu dari hartanya. "Lois, mobil sewaan itu dipulangin jam berapa?" bisikku dekat telinganya agar tidak ada yang mendengar. Kepala Lois menoleh lalu kepalaku reflek mundur untuk tetap menjaga jarak dengannya. "Minggu depan juga nggak apa-apa." "Ngaco kamu! Tadi
Ishak menghentikan langkah kakinya setelah mendengar ucapan Lois. Dengan kedua tangan masih berada di dalam saku celana, dia menoleh ke kiri. Hingga pandanganku dan dirinya bertemu. Pandangan yang masih saja membuat hatiku berdebar tidak karuan. Hanya saja, kali ini ekspresi wajahnya terlihat datar namun memunculkan aura tidak bersahabat. Lois tetap berdiri di sebelahku sembari menatap Ishak yang usianya lebih tua dari dirinya. Lalu tangan kirinya terangkat menyentuh pinggangku. Aku sedikit terkejut namun biasa menguasai keadaan. Kedua mata Ishak turun ke arah pinggangku dan menatap tangan Lois sesaat. Lalu dia menaikkan pandangan menatap kedua mataku. “Selamat malam, Kak Lilyah.” “Selamat malam juga, Ishak. Aku mewakili ucapan salam dari istriku,” ucap Lois tenang. Kemudian Ishak berlalu dan Lois menurunkan tangan kirinya dari pinggangku. “Jangan pernah bersikap kamu seperti masih mencintainya, Ly,” bisik Lois dan kujawab dengan anggukan kepala. Ishak dan keluarga besarnya dud
"Selamat malam semuanya. Selamat menikmati makan malam yang tersaji." "Kenalkan, saya Lois. Kakak ipar Vela. Suami dari Lilyah. Di sini, saya berdiri untuk menghibur anda semua dengan memutar sebuah film pendek yang sudah disiapkan. Sekaligus hadiah terindah untuk adik ipar saya, Vela, dan calon suaminya, Ishak." Nampak pemilik tenda sedang mencolokkan flashdisk ke sebuah laptop mini yang sudah terhubung dengan proyektor. Sorot lampu LCD ke proyektor menunjukkan jika video yang akan diputar masih belum siap. "Ini salah satu hadiah yang lain untuk adik ipar saya. Selamat menikmati makan malamnya dan film pendek ini." Usai Lois mematikan mikrofon, lelaki yang mengoperasikan video itu memberi kode pada Lois jika video siap untuk diputar. Dari kejauhan, Lois menatapku sekilas dengan senyum tipis penuh makna. Lalu dia berjalan menuju lelaki itu dan membisikkan sesuatu. Tidak berapa lama, lampu yang menerangi backdrop dimatikan satu dan membuat proyektor terlihat sangat terang. Aku,
“Intinya, Vela pengen nyingkirin Kakaknya itu karena dia udah cinta mati sama calon kakak iparnya. Akhirnya dia bikin rencana seolah-olah Kakaknya itu jalang. Biar rencana pernikahannya gagal lalu Vela yang jadi pahlawan kesiangan.” “Oh … jadi Kakaknya itu sebenarnya perempuan baik-baik, ya?” “Kayaknya sih iya, Mas. Nyatanya, gue loh yang merawanin. Masih rapet soalnya. Sampai ketagihan gue,” terdengar gelak tawa keras dari lelaki itu. Percakapan itu membuat hatiku makin hancur berkeping-keping. “Gue nggak kuat dengerin semuanya, Lois,” ucapku lirih. Lois tidak melepaskan pelukannya dan aku sendiri juga tidak berniat melepas pelukannya di saat hati ini merapuh. “Itu kenyataannya, Ly. Jangan takut dan sedih. Ada aku.” Kepalaku mengangguk lalu jemari kiri yang membawa tisyu segera menyeka air mata yang akan tumpah. Aku tidak mau penampilanku kacau karena air mata ini. Rasanya terlalu mahal jika air mataku luruh untuk menangisi perbuatan yang Vela lakukan atau melihat kebahagiaann
Aku memukul lengan Lois dengan memasang muka masam dan bibir manyun karena dia mengajakku pergi ke hotel. Apa maksudnya coba? Meski aku ini istrinya, tapi tidak pernah terbesit dalam pikiran akan memenuhi hak Lois sebagai suami. Karena tidak ada cinta diantara kami saat menikah hingga saat ini. Aku menganggapnya hanya sebatas lelaki baik hati yang mau menolongku dan keluarga dari pandangan buruk tetangga kala itu. Bahkan aku telah melabelinya sebagai kakak yang baik. Tidak lebih. “Kok mukul sih, Ly?” protesnya dengan tangan tetap memegang kemudi mobil. “Ngapain ke hotel? Mesum!” “Ck! Kamu itu yang mesum. Emang hotel tuh identik sama begituan? Ya nggak lah.” “Kebanyakan kan emang gitu. Jangan munafik deh, Lois! Aku nggak mau ke hotel!” “Lagian kalau kita begituan kan nggak masalah. Kita ini suami istri lho,” ucapnya terlalu santai. Tanganku reflek kembali memukul lengannya berkali-kali tapi Lois hanya tertawa. Aneh! “Aku nyetir, Ly! Jangan mukul-mukul. Bisa oleng ntar!” “Nyebe
“Apa kamu bilang, Ly? Mantan pacar?” Lois bertanya dengan nada menelisik. Matanya sedikit menyipit tajam ketika menatapku yang berada dihadapannya sedekat ini. Tidak ada raut wajah menyenangkan yang dia tunjukkan. Ditatap seperti ini membuatku tidak nyaman hingga tidak sadar menelan saliva bulat-bulat dengan perasaan was-was. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir ini ketika Lois menganggap aku sudah lancang berani memasuki privasinya. Tempo hari, aku sempat menyinggung soal Rily, mantan pacarnya, dan berakhir dengan emosi Lois. Dan sekarang, aku mengulanginya untuk kedua kali. “Apa Nathasya yang bilang semuanya ke kamu?!” tanyanya makin menuntut dengan lebih mendekatkan wajahnya. “Jawab, Ly. Aku nggak suka ngulang-ngulangi pertanyaan.” “L … Lois, I … itu --- .” “Permisi. Pesanan anda sudah siap.” Syukurlah, pramusaji datang di saat yag tepat. Setidaknya menyelamatkan aku dari amukan Lois karena berani menyinggung masalah mantan pacarnya. Usai pesanan kami terhidang,
"Kenapa aku peduli sama kamu dan autophobia kamu? Kenapa aku nggak balikan sama Rily yang jelas-jelas pengen memperbaiki hubungan kami?" tanya Lois dengan menatapku penuh. Sedang hidangan makan malam kami masih utuh di atas meja. Hanya bir Lois yang sudah berkurang. Tanganku masih mengeratkan tuksedo miliknya yang tersampir di badanku. Dengan rambut kami berkali-kali dibelai lembut angin pantai malam di rooftop kafe kekinian yang berada di kawasan Pluit ini. "Jawabannya adalah ... karena aku nggak tega lihat kamu terpojokkan oleh keadaan. Udah difitnah adik sendiri, dibuang keluarga, dikucilkan tetangga, nggak jadi dinikahi calon suami, dan dipecat dari kantor lama karena videomu udah tersebar di kalangan karyawan. Akhirnya mau nggak mau aku harus nemenin kamu dan nggak etis kalau aku terlalu dekat sama Rily padahal masih punya istri." "Aku emang urakan, Ly. Hidupku ditopang dari hasil menghibur dari satu kafe ke kafe yang lain. Aku udah biasa makan kerasnya hidup di luar dan ja
"Aku rusak beneran, ya?!" ancamku dengan suara meyakinkan. Lois tertawa tanpa beban ketika aku mengancamnya akan merusak mobil Ferrari yang dia sewa. "Rusak aja," jawabnya dengan senyum tenang dan santai. "Heh?!" aku tertegun dengan jawabannya. Tangannya bergerak mengambil garpu lalu membungkusnya dengan tisyu kemudian berdiri dari duduknya sambil mengulurkan tangan kirinya padaku. "Kemana?" "Pulang. Emang kamu mau disini sampai jam berapa? Angin malam laut nggak baik buat kamu yang nggak pernah keluar malam. Beda sama aku." Ya, kadang Lois baru pulang dari menghibur pengunjung kafe dengan grup band nya saat jarum jam mengarah ke angka dua belas malam. Bila Rily meminta perhatiannya, maka bisa saja dia baru pulang pukul satu atau dua dini hari. Dengan tuksedo yang masih tersampir di pundak, kuberikan tangan kananku pada Lois yang berdiri menjulang. "Dingin banget tanganmu, Ly." Saat aku berdiri dengan jemari meremas jemarinya, aku memberanikan diri mendekatkan wajah ke te