"Apa Mas menyesal menikahiku?"Raga yang baru saja akan merebahkan tubuh di atas tempat tidur, urung melakukannya setelah mendengar pertanyaan dari Anggia. Pria itu menghela napas berat, sebelum akhirnya kembali duduk menghadap istrinya yang juga tengah duduk bersandar di ranjang mereka. "Jangan menanyakan sesuatu yang hanya akan membuatmu sakit hati." Raga memilih tidak menjawab pertanyaan istrinya, sebab ia takut Anggia akan marah dan histeris seperti waktu itu. "Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengar pengakuan jujur dari mulutmu." Anggia bersikeras menuntut jawaban, meski ia tahu pada akhirnya jawaban yang keluar dari mulut Raga akan menyakitkan untuknya. Raga memejamkan mata untuk meredam emosi. Sebenarnya malam ini ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Acara tadi siang, juga omelan Prita yang menuduhnya ingin mempermalukan keluarga Tanujaya, membuat kepalanya hampir pecah. Namun, sepertinya keinginan untuk beristirahat tidak akan terwujud sebab saat ini justru Anggia k
"Nanti malam Papa mau hadir ke acaranya Hadiwijaya. Dia akan memperkenalkan Sadewa sebagai Direktur Utama yang baru."Prita hampir tersedak mendengar ucapan suaminya. Pun dengan Anggia dan Raga yang sama-sama tertegun di tempatnya duduk. Mereka sedang menikmati sarapan bersama untuk pertama kalinya yang dihadiri anggota keluarga baru. "Ma ... Mama denger Papa ngomong, kan?""Eh ... iya, Mas. Aku denger." Prita gelagapan. Mati-matian menyembunyikan hawa panas yang tiba-tiba menjalari hatinya. Sadewa menjadi Direktur Utama? Ah ... pasti Salma dan Ayuna merasa di atas angin. "Papa berangkat dari rumah Salma. Tapi kalau Mama mau ikut, Papa bisa jemput Mama dulu. Bagaimana?" tawar Bram pada sang istri kedua, sebab biasanya Prita selalu antusias jika ia mengajaknya hadir ke acara-acara penting seperti itu. "Lihat nanti saja deh, Mas. Kalau aku mau ikut, nanti aku kabari lagi."Bram mengangguk. Kini fokusnya beralih pada sepasang pengantin baru yang sedari tadi hanya diam, padahal Bra
"Papa tidak suka melihat cara Prabu menatap Mama."Salma yang sedang membersihkan riasan wajah, menghentikan kegiatan. Wanita anggun tersebut menatap Bram yang sedang duduk di pinggir ranjang, memperhatikan dari cermin di depannya. "Sepertinya dia masih ada rasa sama Mama."Salma menghela napas panjang. Tidak ingin menanggapi ucapan suaminya, Salma memilih melanjutkan kegiatan yang sempat terjeda."Mama dengar Papa bicara, kan?" Bram yang merasa Salma tidak menanggapinya, berdiri menghampiri sang istri untuk mengelus bahunya. "Papa cemburu, Ma."Salma tersenyum mendengar kalimat terakhir suaminya. "Kok Mama malah senyum?" Bram mengerutkan dahi. "Memangnya harus bagaimana? Aku hanya merasa lucu sama tingkah kamu, Mas. Kecemburuan kamu tidak beralasan. Wajar kalau dia bersikap ramah karena seharusnya memang seperti itu.""Tapi sama Mama sikap dia berbeda. Papa jelas melihat dia masih ada rasa sama Mama.""Itu bukan urusanku," sergah Salma seraya menepis tangan Bram dari bahunya, kem
Airin NatasyaNama itu pernah terpatri di hati Sadewa dan menempatinya selama beberapa tahun. Gadis berperawakan tinggi tersebut adalah mantan kekasihnya saat kuliah dulu. Gadis yang untuk pertama kalinya mengenalkan Sadewa pada rasa cinta, tetapi juga luka secara bersamaan. Sadewa dengan susah payah menghapus nama itu setelah pengkhianatan yang dilakukan sang gadis. Ia sampai harus berpindah ke negeri orang agar segala hal tentang Airin tidak pernah didengarnya lagi. Sadewa berhasil membuang nama Airin dari hatinya, bahkan telah mengisinya dengan nama lain. Namun, ternyata takdir mempertemukan mereka kembali dengan kondisi Airin yang sangat jauh berbeda. "Papa ketahuan korupsi. Semua harta kami disita dan Papa dipenjara. Aku dan Mama tinggal di kontrakan kecil tidak jauh dari sini."Airin mulai bercerita. Saat ini keduanya duduk di salah satu meja di sudut cafe. Sadewa memutuskan untuk berbincang sebentar dengan Airin karena walau bagaimanapun, mereka pernah punya hubungan baik di
"Pipi Mama kenapa? Kok merah begini?"Bram memperhatikan Pipi istri keduanya yang terlihat memerah. Ia juga merasa aneh sebab Prita tidak menyambut kedatangannya seperti biasa. Satu malam lagi adalah jadwalnya di rumah sang istri kedua. Bram sudah tidak sabar ingin segera beralih jatah sebab merindukan sang istri pertama. Ah ... Bram merasa jatuh cinta lagi pada Salma. Setiap hari bayang wajah sang istri serta kelembutannya menari di pelupuk mata hingga ia kerap kali mengabaikan keberadaan Prita. Semenjak Bram bertemu lagi dengan Prabu yang merupakan mantan kekasih istrinya, dan melihat pria yang pernah menjadi saingannya itu nampak masih menyimpan rasa pada sang istri, Bram tidak bisa tenang. Ia takut Prabu akan merebut Salma darinya, apalagi ia tahu status Prabu yang seorang duda. Rasa takut itu membuat Bram sadar bahwa Salma sangatlah berharga. Dirinya saja yang bodoh sebab telah menyiakan istri hampir sempurna seperti Salma hanya karena tergoda oleh kecantikan Prita. Entah me
"Bagaimana kabar kamu, Sayang? Raga memperlakukan kamu dengan baik, kan?"Prita mengelus punggung sang putri yang nampak lebih kurus. Semenjak pernikahan Anggia dan Raga dua bulan yang lalu, kali ini memang pertama kalinya Prita mengunjungi sang putri di rumahnya. Perubahan Bram akhir-akhir ini membuat Prita harus waspada. Ia mulai menurunkan ego dengan tidak lagi menjelekkan Salma dan berusaha memberi pelayanan sebaik mungkin pada suaminya tersebut, hingga ia lupa pada Anggia yang belum pernah dikunjunginya. "Aku baik-baik saja, Ma. Mas Raga memperlakukan aku dengan baik." Anggia mengilas senyum, menyembunyikan kesedihan agar sang Mama tidak khawatir. Semenjak malam di mana Raga menyentuhnya dan berakhir dirinya yang merasa bodoh dan mengenaskan, Anggia tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri sebagaimana mestinya, meski sikap Raga tetap sama. Dingin dan bicara seperlunya. Pria itu tetap memberinya nafkah lahir maupun batin, tetapi hanya sebatas kewajiban saja. "Tapi kam
"Kamu dari mana, Mas? Kenapa jam segini baru pulang?"Anggia menjegal langkah Raga yang akan memasuki kamar mandi. Sudah beberapa jam ia menunggu suaminya pulang, tetapi Raga baru muncul di jam sembilan malam. Anggia menebak Raga pasti menghabiskan waktu bersama wanita yang tadi ia lihat di Resto. Andai dugaannya benar, Anggia harus mencari tahu wanita itu untuk memberinya peringatan agar tidak dekat-dekat dengan suaminya. "Dari rumah sakit. Memangnya dari mana lagi?" Raga menjawab dengan santai. Tak ia hiraukan raut wajah Anggia yang nampak menahan kekesalan. "Yakin dari rumah sakit?"Raga mengerutkan kening. "Yakinlah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?""Karena aku tahu kamu berbohong!" Gerakan tangan Raga yang membuka kancing kemeja terhenti. "Kamu nuduh aku berbohong? Atas dasar apa?" desisnya mulai terpancing emosi sebab Anggia menuduhnya tanpa alasan. "Jangan mengelak lagi, Mas! Aku melihatmu di Resto dengan seorang wanita. Bisa-bisanya ya kamu makan siang di luar dengan wa
Rasanya seperti mimpi. Pengakuan yang diucapkan Ayuna membuat Sadewa terpaku beberapa saat. Ayuna mencintainya. Akhirnya ... kata cinta ia dengar dari mulut sang istri. "Kamu ... tidak sedang becanda, kan?" Sadewa ingin memastikan tidak salah dengar.Ayuna menggeleng. "Tidak. Aku sedang tidak becanda. Aku memang mencintai Mas Dewa. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh, tapi yang pasti, aku takut kehilanganmu, Mas. Aku cemburu melihat kamu dekat dengan Airin."Sadewa mengeratkan pelukan. Dikecupnya rambut sang istri dengan lembut. "Terima kasih, Sayang. Mas bahagia mendengarnya. Kamu tenang saja. Tidak ada ruang di hati ini untuk wanita lain selain kamu. Hanya kamu yang berhak menempatinya." Sadewa tidak sedang membual. Hati dan cintanya memang telah habis hanya untuk Ayuna. "Benarkah?" Ayuna mengurai pelukan. Kepalanya mendongak, menatap Sadewa, mencari kesungguhan lewat mata suaminya. "Bagaimana dengan Airin?" Sadewa mengerutkan dahi. "Memangnya kenapa dengan Airin?"Ayuna mencebik