Cahaya pagi menembus tirai rumah sakit, menciptakan siluet samar di dinding putih yang steril. Arissa terbangun perlahan, tubuhnya masih terasa lelah setelah malam yang panjang. Di sampingnya, Nathaniel masih tertidur, wajahnya tampak lebih tenang meskipun luka-luka di tubuhnya masih membekas.
Selama beberapa jam terakhir, Arissa tak bisa berhenti berpikir tentang semua yang telah terjadi. Dari momen saat ia diculik, ketakutan yang melingkupinya, hingga saat Nathaniel datang untuk menyelamatkannya. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang belum sepenuhnya sirna.
Ia menatap tangan Nathaniel yang terbalut perban, teringat bagaimana pria itu bertarung habis-habisan demi dirinya. Hatinya terasa sesak, ada perasaan yang semakin jelas terbentuk di dalam dirinya—perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
Nathaniel perlahan membuka matanya, seolah merasakan tatapan Arissa. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kau suda
Langit sore mulai berubah jingga, menyelimuti kota dengan cahaya hangat yang lembut. Dari jendela rumah sakit, Arissa menatap langit itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Begitu banyak yang telah ia lalui dalam waktu yang terasa begitu singkat, tetapi begitu melelahkan. Luka-luka di tubuhnya mungkin akan sembuh dalam beberapa minggu, tetapi luka di hatinya telah mengakar lebih lama dari yang ia sadari.Di belakangnya, Nathaniel masih beristirahat. Meski terlihat lebih baik dari kemarin, ia masih membutuhkan waktu untuk pulih sepenuhnya. Arissa duduk di tepi ranjang, memperhatikan wajah Nathaniel yang tampak lebih damai. Rasanya aneh bagaimana pria ini, yang dulunya ia anggap sebagai sosok yang kuat dan tak tergoyahkan, kini terlihat begitu rentan di hadapannya.Namun, justru dalam momen inilah Arissa menyadari sesuatu—Nathaniel bukan hanya seorang pria yang berjuang demi mempertahankan bisnisnya atau menghadapi lawan-lawannya. Ia juga seseorang yang telah m
Setelah cobaan berat yang mereka lalui, Nathaniel tahu bahwa ia tidak bisa membuang waktu lebih lama. Meski tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, pikirannya sudah kembali fokus pada satu hal: menyelamatkan perusahaannya dari kehancuran yang telah dirancang Markus.Pagi itu, dengan jas hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna, Nathaniel berdiri di depan cermin. Luka di wajah dan lengannya masih terlihat jelas, tetapi semangat di matanya jauh lebih tajam daripada sebelumnya. Ia menatap pantulannya dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ini bukan saatnya untuk ragu.Arissa masuk ke dalam ruangan, membawa berkas-berkas yang telah mereka kumpulkan selama beberapa hari terakhir. "Semua bukti sudah siap," katanya dengan suara mantap. "Aku sudah memastikan semuanya terorganisir dengan baik. Hari ini, kita akan mengakhiri permainan Markus."Nathaniel menatapnya, merasakan gelombang rasa syukur. Arissa bukan hanya seseorang yang ia lindungi, tetapi juga s
Ketegangan di ruang rapat memuncak. Markus yang biasanya penuh percaya diri kini tampak gelisah, kemejanya sedikit kusut, dan senyumnya tak lagi setajam biasanya. Seluruh anggota dewan kini menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Bukti-bukti yang baru saja dipaparkan Nathaniel telah mengguncang kepercayaan mereka terhadap Markus.“Markus,” suara Ketua Dewan, Tuan Edward Sinclair, menggema di ruangan. “Dengan semua bukti ini, bagaimana kau akan membela dirimu?”Markus menghela napas panjang. Ia harus tetap tenang. “Tuan Edward, semua ini hanyalah rekayasa Nathaniel untuk menjatuhkanku. Bukti-bukti yang dia tunjukkan bisa saja dimanipulasi! Kita semua tahu seberapa jauh ia bersedia pergi demi mempertahankan perusahaannya.”Nathaniel menatap Markus dengan tatapan dingin. “Rekayasa? Bukankah ini justru perbuatan yang sering kau lakukan, Markus? Aku tidak perlu merekayasa apa pun, karena kesalahanmu sendiri yang telah membuat kebenaran ini terungkap.”Para
Baik, berikut pengembangan Bab 123 – Kembali ke Pelukannya dalam 1500 kata:Nathaniel berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap kota yang kini kembali dalam genggamannya. Setelah semua pertarungan, pengkhianatan, dan ancaman yang ia hadapi, akhirnya ia berhasil merebut kembali apa yang menjadi haknya. Markus telah jatuh, dan perusahaan ini tetap berdiri kokoh di bawah kepemimpinannya. Namun, meskipun ia telah memenangkan perang bisnis yang begitu melelahkan, hatinya tetap merasa kosong.Bukan uang, bukan kekuasaan, bukan kemenangan yang sesungguhnya yang kini memenuhi pikirannya. Semua itu tampak kecil dibandingkan dengan satu hal yang kini benar-benar ia sadari—Arissa.Nathaniel menghela napas panjang. Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan apa yang telah ia bangun, namun selama ini ia hampir kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Tanpa Arissa, semua pencapaian ini tak berarti. Selama berhari-hari, ia terjebak dalam pertempuran dan ambisinya, tetapi kini,
Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari salah satu penasihat kepercayaannya."Nathaniel, ada pergerakan mencurigakan dari pihak Markus. Beberapa pemegang saham mulai menarik diri. Ada kemungkinan mereka mendapat tekanan besar. Kita harus bertindak sebelum semuanya berantakan."Nathaniel mengepalkan tangan. Ia sudah memperkirakan ini akan terjadi, tetapi ia tidak menyangka bahwa Markus bisa bergerak secepat ini. Dengan segala kejatuhannya, Markus pasti telah menyusun rencana balas dendam terakhir.Tak lama, pintu ruangannya diketuk, dan Arissa masuk dengan wajah khawatir."Apa yang terjadi?" tanyanya, langsung menangkap perubahan ekspresi Nathaniel.Nathaniel menghela napas, lalu menyerahkan ponselnya kepada Arissa. Wanita itu membaca pesan yang baru saja masuk, lalu menatap Nathaniel dengan pandangan penuh kekhawatiran."Jadi, Markus belum benar-benar menyerah?""Tidak," jawab Nathaniel tegas. "Orang seperti dia tidak akan menyerah begitu saja. Ini belum berakhir."Beberap
Langit malam menyelimuti kota dengan keheningan yang mencekam. Nathaniel berdiri di sebuah ruangan luas yang dikelilingi oleh kaca tinggi, memandang ke luar dengan ekspresi tajam. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi akhir dari segalanya—entah bagi Markus, atau bagi dirinya sendiri.Setelah bertahun-tahun bermain dalam bayang-bayang, akhirnya Nathaniel memutuskan untuk menyingkirkan Markus dengan tangannya sendiri. Tidak ada lagi perantara, tidak ada lagi permainan politik. Malam ini, ia akan menghadapinya langsung.Di hadapannya, Markus berdiri dengan senyum penuh ejekan. Ia tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan kemarahan yang terpendam."Kau benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah, Nathaniel," kata Markus dengan nada rendah.Nathaniel menatapnya dengan dingin. "Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu, Markus. Kau sudah kalah, tetapi tetap saja kau berusaha bertahan."Markus tertawa kecil. "Kalah? Kau pikir aku sudah kalah? Nathaniel, dunia ini bukan tempat bagi orang-orang
Langit pagi masih kelabu ketika Arissa menatap dirinya di cermin. Wajahnya menunjukkan kelelahan setelah semua kejadian yang ia lalui—penculikan, ancaman, dan hampir kehilangan Nathaniel. Namun, di balik sorot matanya yang lelah, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia melihat seorang wanita yang tak lagi hanya menjadi korban, tetapi seseorang yang siap berdiri dan melawan.Arissa merasa dirinya hanyalah seseorang yang perlu dilindungi. Nathaniel selalu berada di garis depan, bertarung untuknya, mempertaruhkan segalanya demi keselamatannya. Tapi tidak kali ini. Setelah apa yang terjadi di gudang itu, ia menyadari sesuatu—jika ia terus-menerus bergantung pada Nathaniel tanpa berbuat apa-apa, maka ia hanya akan menjadi kelemahan bagi pria itu.Arissa mengembuskan napas panjang dan mengepalkan tangannya. Tidak, ia tidak akan menjadi kelemahan.Nathaniel baru saja keluar dari kamar mandi ketika melihat Arissa berdiri tegap di depan cerm
Nathaniel sudah tahu bahwa Markus tidak akan tinggal diam setelah kekalahannya. Namun, ia tidak menduga bahwa musuhnya akan menggunakan cara yang lebih ekstrem.Beberapa hari terakhir, laporan tentang gerakan Markus semakin mencurigakan. Orang-orangnya masih memiliki cukup pengaruh untuk mengacaukan bisnis Nathaniel, tapi kini Markus tampaknya mengambil pendekatan yang lebih berbahaya—menyerang titik terlemah Nathaniel: Arissa.Pagi itu, Arissa menerima sebuah amplop misterius di depan pintu rumah mereka. Saat ia membukanya, napasnya tercekat. Di dalamnya terdapat beberapa foto dirinya—diambil secara diam-diam dari kejauhan. Salah satunya bahkan menunjukkan dirinya bersama Nathaniel di sebuah restoran beberapa hari lalu.Namun yang membuatnya benar-benar ketakutan adalah catatan kecil yang diselipkan di dalamnya:"Kau bisa saja menghilang kapan saja."Tangan Arissa bergetar saat ia membaca pesan itu. Ini bukan lagi sekadar ancaman bisnis—i
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa