Pedang Danar terlempar dan tertancap di tanah. Beruntung, Pangeran Arya bergerak dengan gesit, merebut pedang dari tangan Bawang Putih dan menangkis serangan Danar. Napasnya tersengal. Raut khawatir masih tercetak di wajah tampannya. Sementara itu, Bawang Putih terdiam, menatap dalam ke arah sang pangeran. Dua pasang mata pun bertemu. Waktu seolah berhenti. Latar matahari terbenam menambah epik adegan romansa mereka. Suasana semakin bertambah manis dengan bunga kamboja yang berguguran menghujani keduanya. Meskipun sering diidentikkan dengan mistis, sebagian kalangan mengartikan kamboja sebagai bentuk keabadian. Tiba-tiba aku ingin makan popcorn untuk melengkapi tontonan romantis ini. “Maafkan hamba, Pangeran. Hamba tidak bermaksud melukai, Yang Mulia. Hamba pantas mati!” Danar langsung berlutut. Kepalanya tertunduk, seolah siap untuk dipotong. Suasana syahdu sepasang tokoh utama pun seketika ambyar. Pangeran Arya menggaruk-garuk kepala. Sementara Bawang Putih melukis gambar abstra
“Mbakyu Bawang Merah adalah pahlawanku, tidak ada yang boleh macam-macam padanya.” ~Bawang Putih~ --- Buuuk! “Aduh! Sakit!” Danar mendengkus sembari mengelus kepala. Pecahan tembikar mengotori rambutnya. Dia berbalik dengan cepat. Sementara aku terduduk sambil mengelus dada. Bawang Putih benar-benar cari mati. Ya, dia berdiri dengan wajah merah padam. Tangannya memegangi periuk dari tanah liat yang bolong pada bagian bawah. Sementara sepasang mata polos terlihat berapi-api seolah menantang Danar. “Kamu!” Gemeletuk gigi Danar terdengar jelas. Tangannya terkepal kuat, hingga bisa terlihat buku-buku jari yang memutih. Mata elang mendelik tajam. Namun, Bawang Putih tak gentar. Dia malah balas melotot. “Kamu mau apakan Mbakyuku? Hah?” Danar tampak mendengkus-dengkus. Dia tampak berusaha keras meredakan emosi. Bawang Putih malah semakin menantang. Kepalaku mendadak berdenyut. Lama-lama bersama dua orang ini, aku bisa terkena serangan jantung. “Tolong, jangan bertengkar!” sergahku
“Saya belum pernah bertemu, tapi dulu beliau memborong obat-obat kami dengan harga tinggi.” “Ck! Cuma segitu saja.” Danar mengibaskan tangan. “Sudahlah, tidak perlu membahas dia. Pokoknya, aku pesan jamu tadi tiga gentong.” Sabar, Aleeya ... sabar .... “Kira-kira sebulan lagi akan kuambil.” Aku membungkukkan badan sedikit. “Baiklah, Tuan.” “Ini bayarannya.” Danar mengambil kantung kulit dari balik baju dan menyodorkannya padaku. “Ini kebanyakan, Tuan.” “Itu bukan apa-apa. Aku bisa membeli lebih banyak daripada Kangmas Dharma.” Halah, ternyata hanya karena persaingan! Tak apalah, yang penting aku jadi untung. “Baiklah, aku harus pergi, sebulan lagi akan kembali ke sini.” Danar bangkit dari kursi. Dia melangkah ke luar toko masih dengan gaya jemawa. Setelah memastikan si resek sudah benar-benar pergi, aku langsung menendang meja demi melampiaskan amarah yang sedari tadi harus dipendam. *** Aku merapikan alas tempat tidur, juga menata bantal agar nyaman digunakan. Setelah itu
Aroma karbol menelusuk hidung. Hawa dingin terasa menusuk kulit. Aku perlahan membuka mata. Ruangan serba putih dengan berbagai mesin penyangga kehidupan tertangkap pandangan. “Ini ... ruang ICU?” gumamku lirih. Raka tidak menyahut, hanya menepuk bahuku pelan. Dia seperti mengisyaratkan agar mengalihkan pandangan pada sosok tergolek lemah di ranjang ruang ICU. Hati seketika mencelos. Wajah pucat tertutup masker oksigen itu sangat familiar. Ya, itu aku. Suara mesin EKG terasa mencekik, bagaikan alarm kematian yang siap berbunyi kapan saja. Namun, hal paling menyedihkan adalah sosok di samping ranjang pasien. Mata tua tampak lelah dan terluka. Sementara buliran bening terus mengaliri pipi tirus. Aku menghambur ke arah beliau dan mendekap erat. “Ibu .... Aku rindu sekali, Bu.” Namun, kenyataan pahit menghantam. Hangatnya tubuh Ibu tidak terasa. Aku memeluk lebih erat, lagi-lagi tembus pandang, seolah hanya mendekap udara. “Maaf kamu tidak akan bisa menyentuh beliau,” bisik Raka.
Ghaida yang tadinya masih syok, entah bagaimana sudah berada di hadapan Ardhan dan melayangkan tamparan. Dadanya tampak naik turun. Dengkusan napas terdengar keras. Wajah manis itu merah padam. “Ghaida? Kamu tolong beritahu Ibu, aku ingin bertemu Aleeya," pinta Ardhan dengan wajah memelas. Ish! Sejak kapan ibuku menjadi ibunya? “Lancang sekali, ya, Kakak!” Ibu menepuk bahu Ghaida. “Memangnya dia kenalan Aleeya?” “Dia mantan pacar Kak Leeya, Bu! Dia sudah mempermainkan Kak Leeya!” Ghaida mengepalkan tangan dan menatap tajam pada Ardhan. “Setelah berbuat sejahat itu, Kakak masih punya muka untuk datang ke sini?” cerocosnya. Keadaan bertambah buruk. Rosa dan Dokter Syahril entah dari mana tiba-tiba sudah ada di lokasi. Wajah sahabatku itu memerah. Dia pun mendaratkan tamparan kedua di pipi Ardhan. Untunglah si dokter jiwa lebih tenang dan berusaha menyabarkan Rosa. “Oh jadi, kamu mantan berengs*k yang sudah menyakiti Leeya? Dasar adik nggak ada akhlak!” bentak Rosa. Ardhan tamp
Pemuda itu mengerutkan kening. Aku menggigit bibir, lagi-lagi keceplosan. Kemiripan wajah yang hampir seratus persen membuat khilaf. Pembeda tabib kakaknya Danar ini dengan Dokter Syahril hanyalah gurat usia. Dia terlihat lebih muda sepuluh tahunan. Konyolnya lagi, mereka sama-sama bersaudara, Danar dengan Tabib Dharma, juga Ardhan dan Dokter Syahril. Aku bisa gila kalau begini. Jangan-jangan mereka punya saudara perempuan yang mirip Rosa. Pantas saja seperti pernah mendengar namanya. Syahril Dharmawan adalah nama lengkap si psikiater. “Nona, Anda baik-baik saja?” Dokter Syahril eh maksudku Tabib Dharma berjongkok, lalu membantu berdiri. Aku menelan ludah karena mendapat tatapan membunuh dari kerumunan para gadis yang mengidolakan sang tabib. Suara sumbang mereka menuduhku hanya mencari perhatian dengan berpura-pura jatuh. “Terima kasih, Tu–” Belum habis berkata-kata, Danar merangsek maju, melepas paksa tangan kakaknya dari bahuku. Dharma mendelik pada sang adik. Para gadis bert
“Tuan Pengawal kenapa harus ikut? Tuan, kan, tidak tahu apa-apa juga tentang tanaman obat,” omel Bawang Putih ketika Danar ikut serta dalam rombongan kami. Aku kembali menghela napas berat. Pikiran sudah dipenuhi beban akibat lirikan dan bisikan sinis gadis-gadis penggemar dua pemuda tampan ini. Bawang Putih malah selalu saja mencari masalah dengan Danar. “Aku menjaga dari bahaya yang bisa saja datang,” ketus Danar. Dia pun menjelaskan bahwa rencana kembali ke istana ditunda karena mendapat pesan dari Pangeran Arya. Sang pangeran meminta Danar untuk menjaga Bawang Putih. Secara kebetulan, di tengah jalan bertemu Dharma yang memang sedang menuju rumah kami untuk membeli tanaman obat. Mereka pun pergi bersama-sama. “Halah, pertama kali bertemu saja, kamu sudah mau membunuh Mbakyu,” sindir Bawang Putih. Keduanya pun kembali bertengkar. Dharma malah tergelak. Aku langsung menjawil lengannya. Dia menatapku dengan alis naik beberapa senti. “Ada apa?” tanyanya. “Kenapa kamu tertawa, M
Aku mendelik tajam menatap si ikan mas, lalu berbicara melalui telepati, "Hei, Raka apa yang kau rencanakan?" Ikan mas tukang modus itu malah berenang dengan berbagai gaya. Bawang Putih kegirangan melihatnya. Sementara Tabib Dharma dan Danar melongo dibuatnya, mungkin tak menyangka akan ada ikan mas seaneh itu. Aku menatap Raka lebih tajam. "Jawab, Raka! Atau kau mau kujadikan ikan bakar, hah?" ancamku melalui telepati. Suara Raka mendadak menggema dalam pikiran. “Dua saingan berat muncul. Aku akan mengawasimu, Sayang.” “Rakaaa!” “Mbakyu, kenapa? Kenapa marah pada Raka?” Mata Bawang Putih berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Putih. Tadi ada semut yang menggigit tangan Mbakyu, jadi kaget dan berteriak.” Syukurlah, Bawang Putih percaya. Aku melotot lqgi pada Raka di dalam gentong. Ikan mas tukang modus itu membuka tutup mulutnya, membuatku seketika ingin memasak ikan bakar. Beruntung, Bawang Putih segera mengamankan gentong berisi Raka ke samping rumah. Ibu juga keluar dari dapur dan m
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
“Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya
“Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc
Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha