“Tuan Pengawal kenapa harus ikut? Tuan, kan, tidak tahu apa-apa juga tentang tanaman obat,” omel Bawang Putih ketika Danar ikut serta dalam rombongan kami. Aku kembali menghela napas berat. Pikiran sudah dipenuhi beban akibat lirikan dan bisikan sinis gadis-gadis penggemar dua pemuda tampan ini. Bawang Putih malah selalu saja mencari masalah dengan Danar. “Aku menjaga dari bahaya yang bisa saja datang,” ketus Danar. Dia pun menjelaskan bahwa rencana kembali ke istana ditunda karena mendapat pesan dari Pangeran Arya. Sang pangeran meminta Danar untuk menjaga Bawang Putih. Secara kebetulan, di tengah jalan bertemu Dharma yang memang sedang menuju rumah kami untuk membeli tanaman obat. Mereka pun pergi bersama-sama. “Halah, pertama kali bertemu saja, kamu sudah mau membunuh Mbakyu,” sindir Bawang Putih. Keduanya pun kembali bertengkar. Dharma malah tergelak. Aku langsung menjawil lengannya. Dia menatapku dengan alis naik beberapa senti. “Ada apa?” tanyanya. “Kenapa kamu tertawa, M
Aku mendelik tajam menatap si ikan mas, lalu berbicara melalui telepati, "Hei, Raka apa yang kau rencanakan?" Ikan mas tukang modus itu malah berenang dengan berbagai gaya. Bawang Putih kegirangan melihatnya. Sementara Tabib Dharma dan Danar melongo dibuatnya, mungkin tak menyangka akan ada ikan mas seaneh itu. Aku menatap Raka lebih tajam. "Jawab, Raka! Atau kau mau kujadikan ikan bakar, hah?" ancamku melalui telepati. Suara Raka mendadak menggema dalam pikiran. “Dua saingan berat muncul. Aku akan mengawasimu, Sayang.” “Rakaaa!” “Mbakyu, kenapa? Kenapa marah pada Raka?” Mata Bawang Putih berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Putih. Tadi ada semut yang menggigit tangan Mbakyu, jadi kaget dan berteriak.” Syukurlah, Bawang Putih percaya. Aku melotot lqgi pada Raka di dalam gentong. Ikan mas tukang modus itu membuka tutup mulutnya, membuatku seketika ingin memasak ikan bakar. Beruntung, Bawang Putih segera mengamankan gentong berisi Raka ke samping rumah. Ibu juga keluar dari dapur dan m
“Raka, Mbakyu .... Raka tidak bergerak. Lakukan sesuatu Mbakyu huhuhu ....” Aku melepaskan cengkraman Danar dan menghampiri Bawang Putih. Benar ucapannya, ikan mas tampak terapung dengan tubuh terbalik. Raka cengengesan saat dipelototi. “Ya sudah sini gentongnya!” Aku pun mengambil alih gentong dari pelukan Bawang Putih, lalu bergegas ke luar kedai. Tentu saja, Raka juga ikut diseret. Sempat terlihat wajah merah padam Danar. Sementara Dharma memasang raut wajah yang semakin muram. Masa bodoh dengan mereka! Urusan ikan mas ini harus diselesaikan lebih dulu. “Cepat balik ke tubuh ikan mas!” perintahku. “Aku tidak tahan melihat mereka cari perhatian kamu. Aku menyesal, tahu begini, tidak akan aku–” Aku mendelik. “Tidak akan apa?” “Tidak ada apa-apa.” Aku menatap lekat. Raka mengalihkan pandangan, lalu tiba-tiba menghilang. Ikan mas dalam gentong sudah sehat kembali dan berenang-renang dengan riang. Dasar curang! Huh, ya sudahlah! Nanti kuinterogasi lagi. Aku membawa gentong
Tepukan pelan di pipi membuatku membuka mata perlahan. Pandangan sempat buram sebelum terlihat wajah tampan sekaligus cantik tengah tersenyum manis. Aku hampir tak sadarkan diri lagi. “Tunggu, Sayang, jangan pingsan dulu! Aku bisa jelaskan!” Kenapa jadi seperti adegan di drama perselingkuhan? Aku mengerjap berkali-kali. Sosok Raka masih ada di hadapan. Mata menelusuri setiap inci tubuhnya, bukan mesum, tapi hendak memastikan tidak ada bekas gigitan. “Ikan mas itu memang sudah mati, tapi kutukanku sudah terlepas,” jelasnya seolah mengerti pikiranku. Ralat, dia memang bisa membaca pikiran. “Kutukannya lepas?” “Kamu masih ingat waktu kubilang, kutukannya akan lepas jika dicium gadis yang tulus?” Aku mengangguk, berpikir sejenak dan refleks menepuk kening. “Ciuman Bawang Putih!” “Tepat sekali.” Raka pun menjelaskan kronologis kejadiannya. Saat Bawang Putih mencium ikan mas kemarin, kutukannya langsung terlepas. Namun, dia ingin berbuat jail padaku sehingga masih merasuki si ikan
Badai semalam telah berlalu. Aroma rumput basah terasa menyegarkan. Aku mengajak Bawang Putih keluar. Banyak yang harus diperiksa di toko. Simplisia-simplisia di sana mungkin saja menjadi basah. Kami akan menjemurnya untuk mencegah tumbuhnya jamur. “Mbakyu, lihat itu!” Bawang Putih berseru heboh saat membuka pintu. “Ada apa, Putih?” “Ada tanaman yang indah sekali di bekas kuburan Raka.” Aku langsung keluar. Ceritanya mulai berjalan normal lagi. Kuburan ikan mas akan menumbuhkan tanaman emas. Aneh juga, padahal, Raka sudah terlepas dari kutukan. Kami pun mendekati tanaman dan berjongkok mengamati. Benar saja, tanaman jenis perdu ini berdaun emas. Mata menjadi silau dibuatnya. “Ini mungkin hadiah dari Raka untuk kita. Raka ....” Bawang Putih kembali menangis. “Sudah, Bawang Putih. Aku yakin Raka lebih suka melihat temannya tersenyum.” Bawang Putih menyeka kasar air mata di pipi, juga menyedot ingus yang sempat melorot. Senyuman manis tersungging di bibirnya. Aku mengusap rambut
Kami semua menahan napas. Aku sedikit khawatir karena Bawang Putih tampak mengerahkan tenaga. Padahal, seingatku, dia seharusnya bisa mencabutnya dengan mudah. Buuuk! Baru saja dipikirkan, malah kejadian. Bawang Putih terjungkal ke belakang. Jariknya menjadi kotor karena terduduk di tanah. Tanaman emas telah berhasil dicabut. Aku menghampirinya bersama Raka yang masih tembus pandang. Sementara itu, Bawang Putih tampak menatap tak percaya pada tanaman emas di tangannya. Kami semua sempat terjebak hening hingga aku mengulurkan tangan untuk membantu berdiri. Bawang Putih berhasil berdiri meskipun sedikit oleng. Dia membersihkan tanah yang menempel di jarik. Sementara itu, Pangeran Arya mendekat dengan tatapan khawatir. Bawang Putih tersenyum lebar, seolah mengatakan dirinya baik-baik saja, lalu menyerahkan tanaman emas. Obat langka itu pun berpindah tangan. “Terima kasih, Dinda Bawang Putih. Istana akan menghadiahkan seratus kantung uang emas.” Telingaku seketika berdiri. Mata ka
Akhirnya, kuda-kuda yang kami tunggangi memasuki halaman istana. Aku sudah membayangkan tempat duduk empuk. Pinggang sudah terasa hampir patah. Perjalanan berjam-jam tentu sangat mengurus energi bagi seorang gadis remaja, kecuali Bawang Putih. Dia tetap terlihat prima. Kami pun turun dari kuda, lalu memasuki pendopo istana. Pangeran Arya memimpin, diikuti Danar. Sementara Dharma sengaja melambatkan jalannya agar bisa bersisian denganku dan Bawang Putih, membuat Raka terus mendecakkan lidahnya. “Kangmas Arya sudah pulang!” Sosok cantik bertubuh semampai mendekap erat Pangeran Arya. Garis wajah dan gerak-geriknya menunjukkan keanggunan seorang bangsawan. Pakaian pun jauh berbeda dengan kami. Kemben dan jarik yang dikenakan dari bahan berkualitas tinggi. Wajah Bawang Putih seketika berubah muram. Aku dengan sigap merengkuh bahunya. Kenapa tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Bukankah di zaman ini lumrah saja seorang pangeran atau raja beristri banyak? Pangeran Arya terkekeh. “Dinda
Entah sudah berapa kali aku menelan ludah. Wajah cantik di hadapan masih dihiasi senyum. Senyuman menyimpan duri. Lantai yang kududuki terasa panas membara. Sementara Putri Sekar Ayu duduk anggun di ranjang berukiran bunga. “Tidak menyangka ada tabib kampung yang begitu cantik seperti Anda.” Kata “kampung” dalam tutur bahasa halus jauh lebih menohok, seolah tidak menyinggung, tetapi menegaskan perbedaan status sosial. Lirikan sinis sang putri terasa menghunjam. Raka yang berdiri di sebelahku mulai menunjukkan gelagat dongkol. Gurat-gurat kekesalan tersaput samar di wajahnya. Putri Sekar Ayu menyeruput wedang di meja sebelum melanjutkan ucapannya. “Tapi, cantik tidak akan ada gunanya kalau tidak memiliki tatakrama.” Tangan Raka terkepal. Aku memberi isyarat agar bersikap tenang. Tidak lucu, jika dia sampai meluluhlantakkan istana dengan kekuatan ajaibnya. Cerita ini sudah kacau, jangan sampai semakin tidak jelas. “Itu benar, Tuan Putri. Tata krama memanglah sangat penting,” sahutk
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
“Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya
“Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc
Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha