“Hanya wanita lemah yang menangisi suami tidak berguna.” ~Pelakor~ --- Oleh karena tak ingin penasaran berlama-lama, aku segera membukakan pintu. Wanita muda berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Wajah cantiknya tampak sinis. Dia mendelik tajam saat menyadari keberadaanku. “Akhirnya, keluar juga. Kalian tuli, ya! Diketuk dari tadi lama sekali baru dibuka!” bentaknya. Ya ampun, rese sekali orang ini! Jangan-jangan orang gila menyasar ke sini? “Maaf, Anda siapa, ya? Ada keperluan apa dengan keluarga kami?” “Aku istrinya Mas Bambang. Mau mengambil rumah ini!” Bambang siapa lagi, sih? Istri kena gangguan jiwa malah dibiarkan berkeliaran. Kalau sampai mencelakakan orang lain, dia juga nanti yang repot. “Ada apa, Bawang Merah? Kok, ribut-ribut?” Suara Ibu terdengar mendekat. Benar saja, beliau sudah berdiri di sebelahku. Namun, Ibu mendadak terpaku. Sinar matanya tampak memancarkan api kemarahan. “Kamu? Berani kamu ke sini, hah! Di mana Mas Bambang?” bentak Ibu dengan su
“Bukankah laut yang terlalu tenang, bisa mendadak mendatangkan badai?” ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Senyum dipaksakan menghiasi wajah Ibu. Bapak-sekarang, aku memanggil ayah Bawang Putih dengan sebutan bapak-mengadakan syukuran sederhana untuk merayakan pernikahan mereka. Usaha beliau akhirnya membuahkan hasil setelah melamar Ibu dan berkali-kali ditolak. Ah, jadi ingat Dokter Syahril! Bagaimana kabarnya sekarang, ya? Sudahlah, kenapa harus ingat hal itu? Kembali ke usaha Bapak tadi, keberhasilan lamaran tentu saja juga tidak lepas dari omongan julid tetangga sebagai faktor pendukung. Seorang janda tinggal di rumah duda pasti akan menimbulkan komentar negatif. Ibu pun pasrah merelakan kebucinannya pada ayah kandungku sedikit tercoreng. Lagi pula, pernikahan ini hanya formalitas agar Bawang Putih ada yang menjaga selama sang ayah ke luar kota. “Aku senang sekali, Mbakyu!” pekik Bawang Putih sambil memeluk lenganku dengan manja. “Iya, iya.” “Mbakyu, tidak suka?” Sorot mata polo
“Tadi, ada yang memborong semuanya, Mbakyu. Kata teman-temanku, dia tabib kerajaan. Namanya Dharma.” Bawang Putih menceritakan tentang sang tabib dengan antusias. Tidak hanya ramah dan dermawan karena membayar mahal untuk herbal kami, pemuda bernama Dharma itu juga sangat tampan. Para gadis desa ini sampai bergerombol di halaman rumah. Konon katanya, si tabib tampan bersaudara dengan Pengawal Danar Prayuda. Penampilan mereka berbeda dari penduduk kebanyakan karena hasil perkawinan seorang putri bangsawan dengan pedagang Arab. Keduanya memiliki hidung mancung dan ukuran mata lebih besar. Hmm ... rasanya aneh sekali, seperti ada yang salah di sini. Nama Dharma juga terasa tidak asing. Aku seolah pernah mendengarnya selama masih menjadi Aleeya. “Mbakyu? Mbakyu?” “Ah iya, Putih. Ada apa?” “Kita harus bilang ke ibu penjualan besar hari ini. Ibu pasti senang!” “Iya, iya, tapi aku mau membereskan itu dulu,” cetusku sambil menunjuk keranjang penuh meniran di teras. Herbal yang telah
“Keluarga yang bisanya hanya menambah luka, aku tidak perlu yang seperti itu.” ~Bawang Putih~ --- Aroma melati berpadu daun pandan masih membekas. Gurat luka belum terhapus dari sorot mata polos. Meskipun begitu, Bawang Putih terlihat jauh lebih tegar dibandingkan saat kepergian ibunya. Sayangnya, dalam kedukaan, serigala berwujud manusia malah mencari mangsa. Belum kering makam ayahnya, kerabat-kerabat Bawang Putih sudah meributkan masalah harta warisan. Sejak pagi bersitegang, akhirnya mereka mencapai mufakat. Anehnya, tidak ada sedikit pun bagian untuk Bawang Putih. “Ternak sapi akan jadi bagian kami,” tutup paman Bawang Putih yang tertua, mengakhiri penuturan panjangnya tentang pembagian warisan. Pengaturan alur cerita memang sangat kejam. Jika kisah aslinya, Bawang Putih jatuh miskin karena Bawang Merah dan si ibu tiri suka berfoya-foya sepeninggal sang ayah. Namun, saat aku mengubah sifat tokoh antagonis, parasitnya berganti menjadi kerabat-kerabat tidak tahu diri. Mereka
"Itu, Bu ... sebenarnya, aku hanya-" "Hanya apa?" cecar Ibu. "Ibu ... jangan marahi Mbakyu. Mbakyu hanya mengajari Bawang Putih untuk melawan orang-orang jahat yang mau menganggu keluarga kita," bujuk Bawang Putih."Tapi, bukan berarti bicara tidak sopan pada orang tua seperti tadi," protes Ibu.Bawang Putih menggeleng pelan. "Mereka tidak pantas untuk dihormati, Bu. Kalau tadi Putih tidak melawan, pasti akan dinikahkan dengan tukang mabuk mesum itu, 'kan?" sergah Bawang Putih.Ibu tampak terdiam. Wajahnya masih tampak tak setuju dengan ajaranku. Namun, aku yakin beliau juga membenarkan ucapan Bawang Putih tentang cara menyelematkan gadis itu dari jeratan pernikahan dengan seorang lelaki berengsek."Jadi, jangan marahi Mbakyu, ya, Bu," rengek Bawang Putih memecahkan keheningan.Ibu menghela napas. "Baiklah."Aku diam-diam mengembuskan napas lega.*** Tahun berlalu tanpa terasa, hidup kami damai meskipun tidak lagi bergelimang harta. Kerabat Bawang Putih benar-benar merebut aset bis
“Aku adalah putra bidadari dengan ketampanan yang bisa menaklukan hati para gadis dalam 3 detik.” ~Ikan Mas~ --- “Kejutan apa, Nak? Kamu jangan membuat ibu takut.” Bawang Putih tersenyum lebar. Dia merangkul Ibu, lalu menggayut manja. Akibat ajaranku, sifatnya menjadi kontradiksi, polos-polos manja bercampur kuat dan pemberani, menye-menye strong. Halah, istilah apa lagi ini? “Aku tunjukkan di dalam saja, ya, Bu.” Dia melambaikan tangan padaku. “Mbakyu, ayo ikut!” “Kedai herbalnya bagaimana?” Wajah Bawang Putih mendadak muram, seolah ada Awan mendung menggantung di kedua netranya. Ibu seketika mendelik tajam. Aku menelan ludah. “Iya, sebentar, ya.” Akhirnya, aku memutuskan menutup kedai. Ibu sudah masuk ke rumah bersama Bawang Putih, tampak sangat akrab. Kadang, ada sedikit rasa iri, tapi kelegaan jauh lebih mendominasi. Paling tidak, nasib buruk menerima hukuman karena berbuat jahat pada tokoh utama tidak akan terjadi. Beliau juga akan memiliki pegangan jika suatu saat a
"Ayo, Mbakyu! Siapa yang duluan sampai ke sungai boleh meminta satu permohonan ke yang kalah!" seru Bawang Putih. Dia berlari riang ke arah sungai sambil membawa keranjang cucian di kepala. Tenaganya sungguh luar biasa. Keranjang cucian seberat itu tampak bukan masalah seolah-olah hanya seringan bulu. Sementara aku mengekor sambil memegangi perut yang masih melilit. Ya, sejak semalam aku terkena diare. Ikan bakar sambal terasi buatan Ibu membuatku khilaf, lupa kalau perut sensitif pedas. Pagi tadi, aku sudah meminum teh pekat tanpa gula. Kandungan tanin dalam teh dapat membantu meredakan diare. Biasanya, aku mengonsumsi rebusan daun jambu biji, tapi karena lebih ribet sehingga memilih teh saja. Sebenarnya, Ibu memintaku istirahat saja di rumah. Terlebih, tubuh memang sedikit lemas. Namun, rasa penasaran pada ikan ajaib meluap-luap. Lagi pula, tempat paling aman saat diare justru sungai karena dekat dengan jamban. Ck! Jadi ingat pertama kali harus buang air di tempat yang tidak me
“Apakah ketampanan seorang pemuda itu penyakit mematikan hingga jantungku dibuatnya berebar kencang dan tubuh menjadi demam?” ~Bawang Putih~ --- “Mbakyu, buka pintunya! Putih takut! Ada orang aneh!” Jantungku berdebar kencang. Rasa cemas menjalar dengan cepat. Bawang Putih memiliki ilmu bela diri yang cukup mumpuni. Jika dia sampai ketakutan, berarti lawannya benar-benar sulit. Grook Groook Argh, sialan! Perutku tidak mau diajak kompromi. Masih banyak bom atom yang antri ingin keluar. “Sebentar, ya, Putih. Masih mulas ini.” “Mbakyu, tolong bukakan pintunya! Aku mau sembunyi.” “Baiklah, mbakyu bukakan, tapi kamu sambil tutup mata, nanti bintitan.” “Iya, Mbakyu, iya.” Aku membuka pintu perlahan, hingga menyisakan celah sempit. Bawang Putih cepat masuk dengan mata tertutup. Setelah itu, dia berdiri di salah satu sudut jamban, menghadap dinding sambil memegangi dada yang naik turun. “Ada apa sebenarnya, Putih? Kamu seperti ketakutan. Apa ada orang yang mengganggumu?” cecarku