"Itu, Bu ... sebenarnya, aku hanya-" "Hanya apa?" cecar Ibu. "Ibu ... jangan marahi Mbakyu. Mbakyu hanya mengajari Bawang Putih untuk melawan orang-orang jahat yang mau menganggu keluarga kita," bujuk Bawang Putih."Tapi, bukan berarti bicara tidak sopan pada orang tua seperti tadi," protes Ibu.Bawang Putih menggeleng pelan. "Mereka tidak pantas untuk dihormati, Bu. Kalau tadi Putih tidak melawan, pasti akan dinikahkan dengan tukang mabuk mesum itu, 'kan?" sergah Bawang Putih.Ibu tampak terdiam. Wajahnya masih tampak tak setuju dengan ajaranku. Namun, aku yakin beliau juga membenarkan ucapan Bawang Putih tentang cara menyelematkan gadis itu dari jeratan pernikahan dengan seorang lelaki berengsek."Jadi, jangan marahi Mbakyu, ya, Bu," rengek Bawang Putih memecahkan keheningan.Ibu menghela napas. "Baiklah."Aku diam-diam mengembuskan napas lega.*** Tahun berlalu tanpa terasa, hidup kami damai meskipun tidak lagi bergelimang harta. Kerabat Bawang Putih benar-benar merebut aset bis
“Aku adalah putra bidadari dengan ketampanan yang bisa menaklukan hati para gadis dalam 3 detik.” ~Ikan Mas~ --- “Kejutan apa, Nak? Kamu jangan membuat ibu takut.” Bawang Putih tersenyum lebar. Dia merangkul Ibu, lalu menggayut manja. Akibat ajaranku, sifatnya menjadi kontradiksi, polos-polos manja bercampur kuat dan pemberani, menye-menye strong. Halah, istilah apa lagi ini? “Aku tunjukkan di dalam saja, ya, Bu.” Dia melambaikan tangan padaku. “Mbakyu, ayo ikut!” “Kedai herbalnya bagaimana?” Wajah Bawang Putih mendadak muram, seolah ada Awan mendung menggantung di kedua netranya. Ibu seketika mendelik tajam. Aku menelan ludah. “Iya, sebentar, ya.” Akhirnya, aku memutuskan menutup kedai. Ibu sudah masuk ke rumah bersama Bawang Putih, tampak sangat akrab. Kadang, ada sedikit rasa iri, tapi kelegaan jauh lebih mendominasi. Paling tidak, nasib buruk menerima hukuman karena berbuat jahat pada tokoh utama tidak akan terjadi. Beliau juga akan memiliki pegangan jika suatu saat a
"Ayo, Mbakyu! Siapa yang duluan sampai ke sungai boleh meminta satu permohonan ke yang kalah!" seru Bawang Putih. Dia berlari riang ke arah sungai sambil membawa keranjang cucian di kepala. Tenaganya sungguh luar biasa. Keranjang cucian seberat itu tampak bukan masalah seolah-olah hanya seringan bulu. Sementara aku mengekor sambil memegangi perut yang masih melilit. Ya, sejak semalam aku terkena diare. Ikan bakar sambal terasi buatan Ibu membuatku khilaf, lupa kalau perut sensitif pedas. Pagi tadi, aku sudah meminum teh pekat tanpa gula. Kandungan tanin dalam teh dapat membantu meredakan diare. Biasanya, aku mengonsumsi rebusan daun jambu biji, tapi karena lebih ribet sehingga memilih teh saja. Sebenarnya, Ibu memintaku istirahat saja di rumah. Terlebih, tubuh memang sedikit lemas. Namun, rasa penasaran pada ikan ajaib meluap-luap. Lagi pula, tempat paling aman saat diare justru sungai karena dekat dengan jamban. Ck! Jadi ingat pertama kali harus buang air di tempat yang tidak me
“Apakah ketampanan seorang pemuda itu penyakit mematikan hingga jantungku dibuatnya berebar kencang dan tubuh menjadi demam?” ~Bawang Putih~ --- “Mbakyu, buka pintunya! Putih takut! Ada orang aneh!” Jantungku berdebar kencang. Rasa cemas menjalar dengan cepat. Bawang Putih memiliki ilmu bela diri yang cukup mumpuni. Jika dia sampai ketakutan, berarti lawannya benar-benar sulit. Grook Groook Argh, sialan! Perutku tidak mau diajak kompromi. Masih banyak bom atom yang antri ingin keluar. “Sebentar, ya, Putih. Masih mulas ini.” “Mbakyu, tolong bukakan pintunya! Aku mau sembunyi.” “Baiklah, mbakyu bukakan, tapi kamu sambil tutup mata, nanti bintitan.” “Iya, Mbakyu, iya.” Aku membuka pintu perlahan, hingga menyisakan celah sempit. Bawang Putih cepat masuk dengan mata tertutup. Setelah itu, dia berdiri di salah satu sudut jamban, menghadap dinding sambil memegangi dada yang naik turun. “Ada apa sebenarnya, Putih? Kamu seperti ketakutan. Apa ada orang yang mengganggumu?” cecarku
“Ya ampun, kamu kenapa, Nak?” jerit Ibu dengan wajah cemas. “Sepertinya, masuk ang–” Belum selesai bicara, aku kembali muntah. Tubuh Bawang Merah memang sensitif cuaca, salah sedikit, bisa masuk angin. Apalagi, sebelumnya aku memang terkena diare. Ibu dan Bawang Putih memapahku menuju kamar. Kepala yang terasa berputar-putar membuatku beberapa kali memejamkan mata dan hampir kehilangan kesadaran. Beruntung, aku bisa bertahan hingga sampai di kamar.Dengan hati-hati, Ibu membantuku berbaring di dipan. Terdengar derit di ranjang tua itu saat harus menyangga bobot tubuhku.“Sekarang, kamu harus istirahat, Bawang Merah. Awas kalau masih mau bekerja!” ancam Ibu setelah menyelimutiku dengan jarik. "I-iya, Bu," sahutku lemah.Ibu tampak ingin menasehati lagi. Namun, terdengar suara ketukan pintu. Ibu mendecakkan lidah, lalu pergi ke luar kamar. Aku menghela napas lega, berterima kasih kepada tamu yang datang karena telah menyelamatkanku dari omelan.“Putih, Mbakyu boleh minta tolong?” pi
“Sejak lama dirimu menarik hatiku, sejak kulihat gadis kecil dengan sinar mata penuh luka.” ~Raka Wistara~ --- Aku ternganga. Mata mengerjap berkali-kali sebelum menatap dalam wajah tampan sekaligus cantik itu. Raka lagi-lagi tersenyum genit, membuatku mundur beberapa langkah. “Jangan takut, aku membawamu ke sini karena ingin membantu.” “Benarkah?” “Sungguh. Sekarang, kamu duduklah.” Raka membimbing dengan lembut agar aku duduk di kasur berlapis sutra dengan taburan berlian. Sementara dia menarik kursi emas, lalu duduk di atasnya. Sepasang mata berkilau indah itu menatap dalam, membuatku memalingkan muka. Tatapannya begitu menghipnotis, jangan sampai tergoda menjadi istri siluman. “Sekarang, jelaskan padaku siapa kamu sebenarnya? Putra bidadari? Ikan mas? Atau genderuwo?” Raka mengerucutkan bibir dan mengembungkan pipi. Elah, ikan mas genderuwo ini sok imut banget, sih! “Aku putra bidadari, tapi terkena kutukan sehingga pada siang hari terperangkap di tubuh ikan mas. Jika s
Aku tersenyum senang. Serbuk jamu instan dari temu lawak telah siap. Sebenarnya, sudah lama aku ingin mengolah produk ini. Namun, ada-ada saja yang membuat rencana itu tertunda. Faktor paling utama adalah biaya. Jamu instan memerlukan gula pasir yang merupakan barang impor pada zaman ini. Pabrik gula belum didirikan. Cara membuatnya tidak terlalu sulit, tapi memerlukan tenaga ekstra. Pertama, temu lawak diparut dulu, lalu ditambahkan air dan diperas. Sari yang diperoleh dicampurkan dengan gula dan dimasak hingga menjadi menjadi serbuk. Proses pengadukan sedikit berat saat bahan mengental seperti pada pembuatan dodol. Aku menggarapnya sejak dari pagi. Beruntung, tetangga ada hajatan. Jadi, Ibu sudah membantu sejak subuh. Beliau tidak bisa mengawasiku. “Ya ampun, Bawang Merah! Kamu baru sembuh dari sakit! Istirahat, jangan bekerja dulu!” omel Ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang. Baru saja dipikirkan beliau malah muncul. Kadang, aku berpikir Ibu punya ilmu berpindah tempat. “A
“Saat kau sudah mengubah cerita bergenre romantis menjadi aksi, rasanya hendak pingsan saja.” ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Mata pemuda mirip Ardhan versi lebih muda itu memicing. Alisnya bertaut. Ujung pedang yang tadi di leher bagian samping berpindah ke depan, sehingga wajahku harus mendongak, membuat dua pasang netra bertatapan. “Apa tadi yang kamu bilang?” Aku menelan ludah. Bisa-bisanya tadi keceplosan karena terlalu kaget. Katanya, ada 7 orang berwajah mirip di dunia ini. Mungkin Ardhan dan pemuda ini salah satunya. Lagi pula mana mungkin mantan terburuk itu bisa ada di sini. “Maaf, Tuan.” Aku memilih mencari aman. “Ardhan? Siapa Ardhan? Namaku Danar, Danar Prayuda.” Aduuuh! Mampus! Kenapa aku harus berhadapan dengan pengawal paling hebat di kerajaan? Pantas saja suaranya mirip Ardhan ternyata wajahnya juga. “Ardhan teman saya.” Najis banget kalau harus mengakui mantan! “Jadi, kamu ingin mengatakan aku mirip temanmu? Wajahku pasaran begitu?” “Anu ... itu ... hanya miri
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
“Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya
“Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc
Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha