Langit masih gelap ketika Azlan keluar dari toko Ziyad. Jalanan kota mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan dengan cepat, entah karena kedinginan atau karena tak ingin terlibat dalam urusan yang bukan urusan mereka.
Ia menggenggam kertas tugas yang diberikan Ziyad. Menyembuhkan seseorang tanpa diketahui? Itu bukan hal yang sulit baginya, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Siapa orang ini, dan mengapa banyak pihak menginginkan dia tetap hidup? Azlan menyusuri gang-gang sempit menuju distrik selatan. Tempat ini berbeda dari pusat kota yang penuh kemewahan. Di sini, rumah-rumah reyot berdiri berdesakan, jalanan kotor, dan bau anyir bercampur dengan sisa-sisa makanan busuk. Orang-orang yang berlalu-lalang menatapnya dengan penuh curiga, namun Azlan tetap melangkah tanpa terganggu. Tujuannya adalah sebuah rumah kecil di ujung gang buntu. Cahaya redup dari lilin di dalamnya bergetar tertiup angin. Ia berhenti sejenak, mendengarkan suara-suara di dalam. Ada seseorang yang mengeluh kesakitan, suaranya lemah. Azlan mengetuk pintu pelan, lalu menunggu. Tak ada jawaban. Setelah beberapa saat, ia mendorong pintu perlahan, membiarkan engsel tua itu berdecit lirih. Di dalam, seorang pria tua terbaring di atas kasur lusuh. Nafasnya berat, matanya tertutup rapat. Di sampingnya, seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun menunduk, menggenggam tangan pria itu erat-erat. Wajahnya dipenuhi kelelahan dan kecemasan. Azlan melangkah masuk tanpa suara. Gadis itu tersentak dan langsung beranjak, bersiap membela diri. "Siapa kau?" suaranya penuh kewaspadaan. "Aku datang untuk menolong," kata Azlan singkat. Gadis itu menatapnya tajam. Jelas sekali ia tak mempercayai orang asing begitu saja. Azlan menghela napas, lalu berlutut di samping tempat tidur pria tua itu. Ia menyentuh pergelangan tangannya, merasakan denyut nadi yang lemah. "Penyakit paru-paru," gumamnya. "Sudah cukup parah." "Ayahku tak punya uang untuk berobat," kata gadis itu lirih. Azlan tidak menanggapi. Ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan biru yang diberikan Kirana. Ramuan ini sangat kuat, dan hanya butuh sedikit untuk menyembuhkan orang yang sekarat sekalipun. Ia membuka botol itu, menuangkan satu tetes ke dalam air, lalu menyentuh bibir pria tua itu dengan ujung sendok. Dengan susah payah, pria itu menelan cairan tersebut. Beberapa menit berlalu. Gadis itu menatap dengan waspada, sementara Azlan tetap tenang, memperhatikan setiap perubahan. Perlahan, nafas pria tua itu mulai membaik. Wajahnya yang tadi pucat kini mulai mendapatkan kembali warna aslinya. Dan kemudian, mata pria itu terbuka. Gadis itu terkesiap, matanya berkaca-kaca. "Ayah!" serunya. Pria tua itu menatap sekeliling dengan kebingungan. "Aku… masih hidup?" Azlan berdiri. "Kau sudah sembuh. Tapi butuh waktu untuk pulih sepenuhnya." Gadis itu berbalik ke arah Azlan, wajahnya penuh harapan dan terima kasih. Namun sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, suara ketukan keras di pintu membuat mereka terkejut. "Dokter sudah datang!" terdengar suara di luar. Azlan menyipitkan mata. Ini berarti waktunya untuk pergi. Ia melangkah mundur, bergerak menuju pintu belakang. Ketika pintu depan terbuka, seorang dokter muda masuk bersama dua pria berbadan besar. Ia melihat pria tua itu yang kini sudah sadar dan langsung terkejut. "Mustahil!" serunya. "Keadaannya seharusnya memburuk, bukan membaik!" Gadis itu menatap dokter itu bingung. "Apa maksudmu? Ayahku sudah sembuh!" Dokter itu dengan cepat menenangkan dirinya, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja, aku yang menyembuhkannya. Aku membawa ramuan yang tepat. Beruntung aku datang tepat waktu." Azlan yang kini berada di gang belakang hanya bisa tersenyum kecil. Inilah yang dimaksud dengan permainan tarik-ulur. Ia melakukan pekerjaan berat, tetapi pujian jatuh ke tangan orang lain. Ia melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan distrik selatan dengan misi yang berhasil. Keesokan harinya, Azlan kembali ke toko Ziyad. Pria itu sudah menunggunya dengan secangkir teh di tangannya. "Jadi?" tanyanya. "Sudah selesai," jawab Azlan santai. Ziyad tertawa kecil. "Aku sudah dengar. Dokter muda itu sekarang dielu-elukan sebagai penyelamat." Azlan hanya mengangkat bahu. Ziyad menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kau tahu, aku suka caramu bekerja. Kau bisa melakukan sesuatu dengan sempurna, tanpa meninggalkan jejak." "Jadi, sekarang kau akan memberiku informasi?" Ziyad mengangguk. Ia mengambil sebuah map dari laci, lalu mendorongnya ke arah Azlan. "Ada banyak rumor tentang warisan yang kau cari. Beberapa mengatakan itu hanyalah legenda, tapi aku punya sumber yang lebih dapat dipercaya." Azlan membuka map itu. Di dalamnya ada peta, beberapa foto, dan selembar catatan tangan. "Menurut sumberku, warisan itu bukan hanya sekadar harta. Itu lebih dari sekadar emas dan permata. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang membuat banyak pihak ingin menguasainya." Azlan membaca catatan itu dengan seksama. Salah satu kalimat menarik perhatiannya: "Warisan itu tersembunyi di tempat yang tidak pernah kau duga. Orang yang memiliki kuncinya bahkan tidak menyadari apa yang mereka miliki." Azlan mengerutkan kening. "Apa maksudnya?" Ziyad tersenyum misterius. "Itulah yang harus kau cari tahu." Azlan menatap map itu lama, lalu menutupnya perlahan. "Apa langkah selanjutnya?" tanya Ziyad. Azlan berdiri. "Aku akan mencari tahu sendiri." Ziyad mengangkat cangkir tehnya. "Kalau begitu, semoga berhasil, Pewaris yang Tersembunyi." Azlan hanya tersenyum kecil sebelum melangkah keluar. Di luar, angin berhembus lembut, membawa serta awal dari perjalanan baru yang penuh misteri.Azlan melangkah pelan di antara lorong-lorong sempit yang hanya diterangi lampu-lampu redup dari jendela rumah-rumah tua di sekitarnya. Malam itu dingin, tetapi pikirannya jauh lebih dingin.Map berisi informasi dari Ziyad masih tersimpan rapat di dalam jaketnya. Semakin ia membaca catatan itu, semakin ia menyadari bahwa warisan yang ia cari bukan hanya soal harta atau kekuasaan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih berbahaya daripada yang ia duga.Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ia merasakan sesuatu—bukan suara, bukan bayangan, tetapi instingnya mengatakan ada yang mengawasinya. Ia melirik sekilas ke arah bayangan di ujung gang, kemudian berpura-pura tidak peduli.Tanpa memperlambat langkahnya, ia memasuki salah satu kedai teh kecil di sudut kota. Kedai itu sepi, hanya ada seorang pria tua yang duduk di belakang meja, mengamati Azlan dengan tatapan tajam."Aku ingin teh jahe," kata Azlan singkat, lalu duduk di sudut ruangan dengan punggung menghadap dinding.Pria tua
Langkah kaki Azlan bergema di sepanjang lorong sempit yang remang-remang. Setelah pertemuan dengan Khalid, ia tahu bahwa segalanya mulai bergerak ke arah yang lebih berbahaya. Tidak ada lagi waktu untuk ragu.Di dalam kepalanya, ia masih mengingat kata-kata pria itu:"Aku ingin tahu apakah kau layak menjadi bagian dari permainan ini."Dan kini, di hadapannya, sebuah pintu besi besar berdiri tegak. Dua penjaga berbadan kekar menatapnya tanpa ekspresi. Salah satunya mengangguk, lalu mengetuk pintu tiga kali sebelum membukanya.Azlan melangkah masuk.Ruangan itu luas, tetapi kosong. Di tengahnya hanya ada satu kursi dan sebuah meja kecil dengan sebilah belati tergeletak di atasnya.Di seberang ruangan, Khalid duduk santai di kursinya."Silakan duduk," katanya.Azlan tidak langsung menurut. Ia melirik belati di atas meja. "Apa ini semacam ujian?"Khalid tersenyum tipis. "Kau bisa menyebutnya begitu."Azlan akhirnya melangkah maju dan duduk. Matanya tetap mengawasi pria itu dengan waspada.
Langit malam membentang luas, dihiasi gemerlap bintang yang tampak begitu tenang, kontras dengan badai yang bergejolak di dalam hati Azlan. Ia berdiri di atas jembatan tua yang membentang di atas sungai kecil, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya. Perjalanannya baru saja dimulai, namun tantangan yang menunggunya terasa lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Azlan tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang datang. Aroma khas herbal yang samar bercampur dengan wangi mawar memberi tahu bahwa Kirana ada di belakangnya."Kau benar-benar pergi tanpa menoleh ke belakang?" suara Kirana terdengar lembut, namun ada nada getir yang tak bisa disembunyikan.Azlan tetap diam, membiarkan keheningan mengisi jarak di antara mereka sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak punya pilihan. Aku harus mencari tahu siapa diriku sebenarnya."Kirana melangkah maju, berdiri di sampingnya, memandang refleksi mereka di permukaan air yang beriak
Azlan berdiri di depan gerbang besar Kota Merah. Udara di sekitarnya terasa berat, seakan dipenuhi oleh rahasia dan bahaya yang belum terungkap. Dari kejauhan, kota ini tampak seperti tempat biasa—jalan-jalan berbatu, bangunan-bangunan tua dengan lampu-lampu minyak yang menerangi sudut-sudut gelapnya. Namun, di balik semua itu, ia tahu tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kota biasa.Kota Merah adalah pusat dari segala hal yang bergerak dalam bayangan—perdagangan rahasia, kelompok bawah tanah, bahkan orang-orang yang seharusnya sudah lama mati tetapi tetap hidup dengan identitas baru. Di sinilah informasi berharga diperjualbelikan, di sinilah para pemburu bayaran berkumpul, dan di sinilah jawaban yang selama ini dicarinya mungkin tersembunyi.Azlan menarik napas dalam sebelum melangkah masuk. Begitu kakinya menginjak jalanan berbatu kota itu, tatapan orang-orang langsung tertuju padanya. Ia bisa merasakan mata-mata yang mengawasinya, sebagian dengan rasa ingin tahu, se
Azlan berdiri dalam diam, menggenggam gulungan kertas di tangannya. Kata-kata pria di depannya masih terngiang di telinganya—pewaris terakhir.Darahnya berdesir, seolah sesuatu yang terkunci dalam ingatannya selama ini mulai terbuka sedikit demi sedikit. Lambang yang terukir di kertas itu… ia pernah melihatnya. Tidak hanya di medali gurunya, tapi juga di suatu tempat yang lebih dalam, lebih jauh dalam masa kecilnya.Ia menatap pria misterius yang baru saja mengungkapkan kenyataan itu. “Apa maksudmu dengan pewaris terakhir?”Pria itu bersandar ke belakang di kursinya, ekspresi wajahnya tetap tenang. “Kau bukan hanya anak biasa yang dibesarkan oleh gurumu di pegunungan. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang hampir lenyap karena pengkhianatan.”Azlan mengepalkan tangannya. “Siapa yang mengkhianati keluargaku?”Armand, yang berdiri di sampingnya sejak tadi, menatapnya dengan penuh minat. Pria bertopeng yang sebelumnya membukakan pintu untuk mereka bergerak sedikit g
Langit mendung menggantung di atas rumah besar yang kini tampak kosong dan sunyi. Dulu, rumah ini adalah simbol kejayaan, tempat berkumpulnya keluarga besar yang hidup dalam kemewahan. Namun kini, hanya kehampaan yang tersisa.Azlan berdiri di depan pintu utama, menatap gerbang besi yang tak lagi megah seperti dulu. Debu dan karat mulai menggerogoti permukaannya, seolah mencerminkan keadaan keluarganya yang telah hancur. Ia masih kecil, baru delapan tahun, tetapi beban yang menimpanya terasa lebih berat dari yang bisa ditanggung anak seusianya.Di dalam rumah, suara isak tangis terdengar di mana-mana. Orang-orang berpakaian hitam berlalu-lalang, berbicara dalam bisikan-bisikan yang seolah menyayat telinga Azlan. Ayahnya telah meninggal dunia—pria yang selama ini ia hormati dan banggakan, sosok yang selalu ia anggap sebagai pelindungnya.Tak butuh waktu lama, ibunya pun menyusul.Kematian kedua orang tuanya bukanlah satu-satunya pukulan yang ia terima. Perusahaan yang selama ini menjad
Langit senja membentang dengan semburat jingga yang perlahan memudar di balik cakrawala. Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Di halaman luas rumah gurunya, Azlan berdiri tegap, menatap cakrawala dengan mata yang penuh keteguhan. Hari ini adalah hari yang telah lama ia nantikan, hari yang sekaligus ingin ia tunda jika memungkinkan.Di belakangnya, tujuh kakak seniornya berdiri berjajar, menatap punggungnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, ada yang masih mencoba tersenyum, meskipun jelas ada kesedihan yang tertahan di sana. Selama bertahun-tahun, mereka bersama, berbagi suka dan duka dalam pelatihan yang keras dan tanpa ampun. Namun, sekarang, momen perpisahan akhirnya tiba."Jadi, kau benar-benar akan pergi?" suara lembut salah satu seniornya, Kirana, memecah keheningan.Azlan menarik napas panjang sebelum berbalik. Matanya yang tajam menyapu wajah para seniornya satu per satu. Kirana, d
Malam telah larut ketika Azlan tiba di sebuah kota kecil di perbatasan. Langit kelam bertabur bintang, tapi suasana kota tetap hidup dengan deretan kedai yang masih buka dan orang-orang yang berkumpul di pinggir jalan. Ia menyesuaikan kerudung tipis yang menutupi sebagian wajahnya, menyembunyikan identitasnya dari mata yang mungkin mengenalinya.Setelah bertahun-tahun berada di tempat pelatihan, dunia luar terasa asing. Suasana bising pasar malam, bau makanan yang menggoda, dan obrolan orang-orang membentuk dunia yang berbeda dari tempatnya berasal.Azlan melangkah menyusuri jalanan berbatu, matanya menelusuri setiap sudut. Ia membutuhkan tempat untuk menginap, tetapi ia juga ingin mencari tahu informasi tentang dunia luar. Dari semua yang diberikan para seniornya, satu hal yang belum ia miliki adalah pemahaman tentang dunia yang kini harus ia masuki.Saat ia berjalan, suara gaduh menarik perhatiannya. Kerumunan orang berkumpul di depan sebuah rumah besar bercat putih."Kabarnya Tuan
Azlan berdiri dalam diam, menggenggam gulungan kertas di tangannya. Kata-kata pria di depannya masih terngiang di telinganya—pewaris terakhir.Darahnya berdesir, seolah sesuatu yang terkunci dalam ingatannya selama ini mulai terbuka sedikit demi sedikit. Lambang yang terukir di kertas itu… ia pernah melihatnya. Tidak hanya di medali gurunya, tapi juga di suatu tempat yang lebih dalam, lebih jauh dalam masa kecilnya.Ia menatap pria misterius yang baru saja mengungkapkan kenyataan itu. “Apa maksudmu dengan pewaris terakhir?”Pria itu bersandar ke belakang di kursinya, ekspresi wajahnya tetap tenang. “Kau bukan hanya anak biasa yang dibesarkan oleh gurumu di pegunungan. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang hampir lenyap karena pengkhianatan.”Azlan mengepalkan tangannya. “Siapa yang mengkhianati keluargaku?”Armand, yang berdiri di sampingnya sejak tadi, menatapnya dengan penuh minat. Pria bertopeng yang sebelumnya membukakan pintu untuk mereka bergerak sedikit g
Azlan berdiri di depan gerbang besar Kota Merah. Udara di sekitarnya terasa berat, seakan dipenuhi oleh rahasia dan bahaya yang belum terungkap. Dari kejauhan, kota ini tampak seperti tempat biasa—jalan-jalan berbatu, bangunan-bangunan tua dengan lampu-lampu minyak yang menerangi sudut-sudut gelapnya. Namun, di balik semua itu, ia tahu tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kota biasa.Kota Merah adalah pusat dari segala hal yang bergerak dalam bayangan—perdagangan rahasia, kelompok bawah tanah, bahkan orang-orang yang seharusnya sudah lama mati tetapi tetap hidup dengan identitas baru. Di sinilah informasi berharga diperjualbelikan, di sinilah para pemburu bayaran berkumpul, dan di sinilah jawaban yang selama ini dicarinya mungkin tersembunyi.Azlan menarik napas dalam sebelum melangkah masuk. Begitu kakinya menginjak jalanan berbatu kota itu, tatapan orang-orang langsung tertuju padanya. Ia bisa merasakan mata-mata yang mengawasinya, sebagian dengan rasa ingin tahu, se
Langit malam membentang luas, dihiasi gemerlap bintang yang tampak begitu tenang, kontras dengan badai yang bergejolak di dalam hati Azlan. Ia berdiri di atas jembatan tua yang membentang di atas sungai kecil, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya. Perjalanannya baru saja dimulai, namun tantangan yang menunggunya terasa lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Di belakangnya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Azlan tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang datang. Aroma khas herbal yang samar bercampur dengan wangi mawar memberi tahu bahwa Kirana ada di belakangnya."Kau benar-benar pergi tanpa menoleh ke belakang?" suara Kirana terdengar lembut, namun ada nada getir yang tak bisa disembunyikan.Azlan tetap diam, membiarkan keheningan mengisi jarak di antara mereka sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak punya pilihan. Aku harus mencari tahu siapa diriku sebenarnya."Kirana melangkah maju, berdiri di sampingnya, memandang refleksi mereka di permukaan air yang beriak
Langkah kaki Azlan bergema di sepanjang lorong sempit yang remang-remang. Setelah pertemuan dengan Khalid, ia tahu bahwa segalanya mulai bergerak ke arah yang lebih berbahaya. Tidak ada lagi waktu untuk ragu.Di dalam kepalanya, ia masih mengingat kata-kata pria itu:"Aku ingin tahu apakah kau layak menjadi bagian dari permainan ini."Dan kini, di hadapannya, sebuah pintu besi besar berdiri tegak. Dua penjaga berbadan kekar menatapnya tanpa ekspresi. Salah satunya mengangguk, lalu mengetuk pintu tiga kali sebelum membukanya.Azlan melangkah masuk.Ruangan itu luas, tetapi kosong. Di tengahnya hanya ada satu kursi dan sebuah meja kecil dengan sebilah belati tergeletak di atasnya.Di seberang ruangan, Khalid duduk santai di kursinya."Silakan duduk," katanya.Azlan tidak langsung menurut. Ia melirik belati di atas meja. "Apa ini semacam ujian?"Khalid tersenyum tipis. "Kau bisa menyebutnya begitu."Azlan akhirnya melangkah maju dan duduk. Matanya tetap mengawasi pria itu dengan waspada.
Azlan melangkah pelan di antara lorong-lorong sempit yang hanya diterangi lampu-lampu redup dari jendela rumah-rumah tua di sekitarnya. Malam itu dingin, tetapi pikirannya jauh lebih dingin.Map berisi informasi dari Ziyad masih tersimpan rapat di dalam jaketnya. Semakin ia membaca catatan itu, semakin ia menyadari bahwa warisan yang ia cari bukan hanya soal harta atau kekuasaan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih berbahaya daripada yang ia duga.Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ia merasakan sesuatu—bukan suara, bukan bayangan, tetapi instingnya mengatakan ada yang mengawasinya. Ia melirik sekilas ke arah bayangan di ujung gang, kemudian berpura-pura tidak peduli.Tanpa memperlambat langkahnya, ia memasuki salah satu kedai teh kecil di sudut kota. Kedai itu sepi, hanya ada seorang pria tua yang duduk di belakang meja, mengamati Azlan dengan tatapan tajam."Aku ingin teh jahe," kata Azlan singkat, lalu duduk di sudut ruangan dengan punggung menghadap dinding.Pria tua
Langit masih gelap ketika Azlan keluar dari toko Ziyad. Jalanan kota mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan dengan cepat, entah karena kedinginan atau karena tak ingin terlibat dalam urusan yang bukan urusan mereka.Ia menggenggam kertas tugas yang diberikan Ziyad. Menyembuhkan seseorang tanpa diketahui? Itu bukan hal yang sulit baginya, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Siapa orang ini, dan mengapa banyak pihak menginginkan dia tetap hidup?Azlan menyusuri gang-gang sempit menuju distrik selatan. Tempat ini berbeda dari pusat kota yang penuh kemewahan. Di sini, rumah-rumah reyot berdiri berdesakan, jalanan kotor, dan bau anyir bercampur dengan sisa-sisa makanan busuk. Orang-orang yang berlalu-lalang menatapnya dengan penuh curiga, namun Azlan tetap melangkah tanpa terganggu.Tujuannya adalah sebuah rumah kecil di ujung gang buntu. Cahaya redup dari lilin di dalamnya bergetar tertiup angin. Ia berhenti sejenak, mendengarkan suara-suara di dalam. Ada seseorang yang mengeluh
Azlan berjalan menyusuri jalanan kota dengan langkah mantap, meninggalkan rumah besar tempat ia baru saja menyelamatkan nyawa seorang pria kaya yang bahkan tidak mengetahui siapa penyelamatnya. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, atau mungkin hanya perasaannya saja yang semakin berat.Ia telah melakukan sesuatu yang benar, tetapi hasilnya justru menyembunyikan kebenaran. Dokter lain mendapatkan pujian atas kesembuhan yang seharusnya menjadi bukti kemampuannya.Namun, bukankah ini yang memang ia inginkan? Tidak menarik perhatian? Tidak membiarkan orang-orang mengetahui siapa dirinya?Tapi mengapa dadanya terasa sesak?Azlan menghela napas dan mengusir pikiran itu. Ia harus melanjutkan perjalanan.—Keesokan paginya, ia tiba di sebuah penginapan kecil di pinggir kota. Tempat itu sederhana, hanya terdiri dari beberapa kamar dengan jendela menghadap ke jalan utama. Ia membayar dengan uang tunai dan memilih kamar di lantai atas, jauh dari keramaian.Begitu memasuki kamar, ia l
Malam telah larut ketika Azlan tiba di sebuah kota kecil di perbatasan. Langit kelam bertabur bintang, tapi suasana kota tetap hidup dengan deretan kedai yang masih buka dan orang-orang yang berkumpul di pinggir jalan. Ia menyesuaikan kerudung tipis yang menutupi sebagian wajahnya, menyembunyikan identitasnya dari mata yang mungkin mengenalinya.Setelah bertahun-tahun berada di tempat pelatihan, dunia luar terasa asing. Suasana bising pasar malam, bau makanan yang menggoda, dan obrolan orang-orang membentuk dunia yang berbeda dari tempatnya berasal.Azlan melangkah menyusuri jalanan berbatu, matanya menelusuri setiap sudut. Ia membutuhkan tempat untuk menginap, tetapi ia juga ingin mencari tahu informasi tentang dunia luar. Dari semua yang diberikan para seniornya, satu hal yang belum ia miliki adalah pemahaman tentang dunia yang kini harus ia masuki.Saat ia berjalan, suara gaduh menarik perhatiannya. Kerumunan orang berkumpul di depan sebuah rumah besar bercat putih."Kabarnya Tuan
Langit senja membentang dengan semburat jingga yang perlahan memudar di balik cakrawala. Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Di halaman luas rumah gurunya, Azlan berdiri tegap, menatap cakrawala dengan mata yang penuh keteguhan. Hari ini adalah hari yang telah lama ia nantikan, hari yang sekaligus ingin ia tunda jika memungkinkan.Di belakangnya, tujuh kakak seniornya berdiri berjajar, menatap punggungnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, ada yang masih mencoba tersenyum, meskipun jelas ada kesedihan yang tertahan di sana. Selama bertahun-tahun, mereka bersama, berbagi suka dan duka dalam pelatihan yang keras dan tanpa ampun. Namun, sekarang, momen perpisahan akhirnya tiba."Jadi, kau benar-benar akan pergi?" suara lembut salah satu seniornya, Kirana, memecah keheningan.Azlan menarik napas panjang sebelum berbalik. Matanya yang tajam menyapu wajah para seniornya satu per satu. Kirana, d