Evan buru-buru berdiri, meski tubuhnya sedang lemah. Ia masih dapat melangkah karena sebuah harapan telah membuatnya menjadi sedikit lebih bertenaga."Evan, tak usah terburu-buru seperti itu, nanti juga pasti akan kemari jika memang orang yang di luar adalah Alana," seru Andrean.Evan tak menghiraukan ucapan Andrean, ia tetap memaksakan untuk berjalan menuju pintu agar bisa segera menghampiri Alana."Alana, maafkan aku," ucap Evan dengan langkahnya yang gontai.Suara langkah kaki terdengar semakin dekat, jantung Evan berdebar kencang. Ada sebuah kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan, harapannya tentang Alana begitu besar."Alana…," ucap Evan, lirih.Sebelum Evan sampai, seseorang tampak sudah berusaha membuka pintu, terlihat dari gagang yang seolah sedang diputar oleh seseorang diluar kamar."Evan? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya perempuan yang ternyata adalah Natasha."Natasha? Untuk apa kamu kemari? Pergilah dari hadapanku!" teriak Evan yang berbalik, membelakangi Natasha.Namun
Danu mencari keluar kamar, ke dapur bahkan ke taman hingga berulang kali, tetapi tetap saja ia tak menemukan keberadaan atasannya tersebut.Tak ada tanda-tanda Evan keluar rumah, bahkan sandalnya pun masih ada di tempat semula.Dengan diliputi perasaan cemas sekaligus takut, Danu kembali mencari di sekeliling rumah. Ia bahkan sampai mencari ke tempat yang sama hingga berkali-kali.Danu terduduk lemas. "Pak, kenapa kamu tega meninggalkanku? Padahal aku ingin terus menjadi asisten pribadi," ucapnya, lirih.Saat Danu sudah merasa frustasi, tiba-tiba Evan muncul dari dalam rumah, menghampiri bawahannya yang duduk bersimpuh di atas rumput."Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Evan yang sudah berpakaian rapi.Danu menoleh ke belakang mencari asal suara, ia menangis saat tahu jika atasan yang belum lama ia khawatirkan, kini sudah memakai setelan jas rapi, menandakan jika Evan sudah siap pergi ke kantor."Pak, apa saya tidak salah lihat? Akhirnya, Anda sudah kembali," ucap Danu yang berlari
Evan buru-buru mengambil sebuah kertas yang ada di laci meja kerja Alana itu. Ia pun langsung meninggalkan ruangan dengan sangat tergesa-gesa."Pak, ada apa? Mengapa tiba-tiba seperti itu?" tanya Danu sambil mengejar Evan yang langkahnya semakin cepat.Evan hanya diam, ia sama sekali tak menghiraukan pertanyaan bawahannya itu."Pak, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Danu lagi, ia sangat khawatir mengingat Evan keadaannya masih belum stabil.Lagi-lagi Danu diabaikan begitu saja.Sesampainya di depan ruang kerja Evan, barulah ia mau mengeluarkan suara."Aku sedang ingin sendiri, tetaplah di luar!" titah Evan yang sejak tadi sama sekali tak menoleh ke arah Danu, ia terus-menerus membelakangi bawahannya itu karena berusaha menyembunyikan air mata yang sejak tadi sudah membasahi pipi.Evan menutup pintu ruang kerjanya dengan sangat kencang. Ia melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi menutupi matanya yang sembab."Alana, maafkan aku. Hatimu bagaikan malaikat, tetapi malah harus merasaka
"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan tak pantas untuknya?Jika kamu saja sudah menyerah seperti itu, kenapa Alana tidak boleh untukku?""Kamu pikir Alana itu barang?" Cengkraman Evan semakin kencang.Evan lagi-lagi meninju wajah Andrean, ia merasa kesal pada sahabatnya yang menginginkan Alana di saat dirinya sedang terpuruk.Tak tinggal diam, kali ini Andrean membalas serangan Evan, ia meninju sahabatnya itu tepat di pipi sebelah kanan."Ini untuk yang barusan," seru Andrean, "dan ini untuk yang kemarin!" ia lanjut meninju pipi Evan yang sebelah kiri.Dokter muda itu merasa lega bisa membalaskan pukulan yang kemarin ia tahan karena tak tega melihat kondisi Evan sedang tidak berdaya."Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanya Evan sambil mengelap darah di ujung bibirnya."Tentu saja aku menginginkan kebahagiaan Alana, dan sialnya kebahagiaannya adalah dirimu!" Andrean memegangi pipinya yang terasa sakit akibat pukulan Evan.Evan berusaha berpikir jernih, ia tiba-tiba teringat saat dul
Evan berjalan tertatih, langkahnya terasa sangat berat diiringi dengan perasaan pilu sekaligus rindu. Ya, dia sangat merindukan sang istri yang selama ini sangat ia cintai.Di tempat ini, Alana dan Evan pernah duduk berdua menjalin cinta walau dengan cara sederhana."Mengapa harus tempat ini?" Mata Evan sudah berkaca-kaca, sebisa mungkin ia menahan agar tak mengeluarkan air mata."Aku ingin kamu ingat tentang janjimu padaku!" Andrean menarik Evan menuju depan danau.Mereka berdua duduk tepat menghadap danau yang airnya tampak kebiruan."Kamu harus ingat, di depan danau ini kamu pernah menyatakan cintamu pada Alana bukan? Kamu bahkan sering duduk berdua sepulangnya dari kampus," jelas Andrean, yang dadanya sedikit sesak mengingat masa itu."Bagaimana kamu tahu?" Evan menatap heran."Karena aku juga berada disini waktu itu, kalian saja yang tidak sadar.""Lalu, sekarang apa?" Evan masih belum mengerti dengan maksud Andrean membawanya ke taman di pinggir danau itu."Bodoh! Kamu masih bel
"Aku sangat mencintai Alana, tetapi tak ingin memaksakan perasaanku padanya," ungkap Andrean sambil melempar batu ke tengah danau."Lalu?""Aku tahu kamu membohongi Alana mengenai identitasmu. Jadi, kuharap kamu mau berjanji untuk tak menyakitinya kelak, apalagi keadaan keluargamu sangat tak memungkinkan bagi Alana untuk masuk begitu saja."Evan sekilas berpikir jika apa yang dikatakan sahabatnya itu ada benarnya. Namun, egonya mengalah hati nurani. Ia tak peduli dengan nasihat dari Andrean dan merasa yakin jika bisa mengatasi semua itu."Aku takkan menyakitinya! Aku bisa mengatur semua ini dan kemudian membahagiakannya." Evan sangat yakin dan percaya diri."Baiklah, aku percaya padamu, tetapi, jika suatu saat kamu merasa tak bisa lagi menangani masalah identitasmu itu dan berniat menyerah pada Alana, tolong pikirkan kembali dengan matang-matang dan jangan membiarkan Alana begitu saja! Aku sangat mencintainya, aku tetap menginginkan Alana meski ia seorang janda," terang Andrean.Andre
"Ada apa? Mengapa wajahmu terlihat panik seperti itu?" tanya Andrean yang sedang fokus menyetir, tetapi tetap menoleh sesaat memastikan keadaan sahabatnya itu."Entahlah, Danu hanya mengatakan ada keributan kecil di kantor," jawab Evan yang gelisah ingin segera sampai ke kantor."Jangan terlalu dipikirkan, kamu pasti bisa mengatasinya!" Andrean berusaha menenangkan sahabatnya yang saat ini selalu bersikap labil.Evan hanya diam sambil memandangi keramaian jalan. Baru saja ia bisa bernapas lega, sekarang malah ada masalah di kantor.Perjalanan kali ini terasa lama, padahal Evan sangat ingin buru-buru sampai."Kenapa lama sekali?" tanya Evan."Hanya perasaanmu saja."Lagi-lagi Evan diam, entah mengapa ada perasaan mengganjal di hatinya. Apalagi Danu sampai meneleponnya segala. Hanya saja, sayangnya ia lupa menanyakan keributan apa yang sebenarnya terjadi di kantor.Akhirnya, mereka berdua pun sampai di depan gedung Astira Corp. Andrean langsung memarkirkan mobilnya di parkiran VIP, seda
"Brian memang pantas mendekam di penjara. Dia sudah keterlaluan, Alana kami yang malang malah harus mendapat perlakuan tak menyenangkan dari adiknya sendiri." Desy mengusap matanya, ia berpura-pura menangis demi mendapat simpati Evan.Desy terlalu meremehkan Evan tanpa tahu jika menantunya itu jauh lebih pintar daripada dirinya sendiri. Kehidupan orang-orang kalangan atas selalu dipenuhi banyak tipu daya, sehingga, trik kecil yang Desy lakukan sangatlah mudah untuk diatasi."Jadi, apa yang sebenarnya Ayah dan Ibu inginkan," tanya Evan yang sebenarnya sudah bisa menebak isi pikiran kedua mertuanya itu."Kami tak ingin apa-apa, hanya berharap Alana bisa bahagia melihat kedua orang tuanya terjamin di masa tua," sindir Desy.Rudi tak banyak berbicara karena pada dasarnya masih memiliki sedikit perasaan malu. Ia hanya sekedar mengangguk atau tersenyum tanda mengiyakan ucapan istrinya tersebut."Jadi, apa yang Ibu inginkan?" Evan tersenyum tipis."Itu, kalau boleh Ibu ingin rumah baru beser
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern