"Ikuti petunjuk alamat dari temanku saja." Alana masih belum berani mengatakan jika tujuannya adalah hotel.Evan melajukan motornya semakin cepat karena takut Alana terlambat. Namun, jalan ini sedikit tak asing baginya."Di depan belok kanan," seru Alana.Benar saja, Evan sudah menduga jika tujuan mereka adalah Vilton hotel, tempat dimana Evan sering mengadakan rapat dulu."Apa tujuanmu hotel Vilton?" tanya Evan, mengerutkan alis."I-iya.""Mengapa tak mengatakan sejak awal saja? Kamu terus terlihat canggung karena hal ini?" Evan merasa sedikit kecewa pada Alana yang tak terbuka padanya."Aku takut kamu melarangku kemari, acara reuni ini sangat penting bagiku." Alana menunduk, ia merasa bersalah pada Evan karena tak mengatakan yang sejujurnya."Ya sudahlah, lain kali kamu lebih terbuka saja padaku. Aku takkan marah ataupun melarangmu pergi."Alana semakin merasa bersalah sudah berbohong, tetapi ia berusaha menepis pikiran itu dengan berpikir jika semua ini ia lakukan demi bisa membeli
Tiga jam yang lalu.Ponsel Evan berdering, ada panggilan dari Danu yang ternyata sudah menelepon sejak tadi."Ada apa?" tanya Evan, dengan nada sedikit keras. Ia merasa sedikit tak nyaman saat tahu Alana pergi ke hotel."Jangan lupa dengan jadwal acara ulang tahun kakek Anda yang akan dilaksanakan di hotel Vilton pukul delapan nanti," terang Danu."Hotel Vilton? Sepertinya waktu itu bukan disana," ujar Evan, merasa tak enak hati."Benar, lokasi berganti atas permintaan kakek Anda," terang Danu."Kenapa harus disana? Alana sedang mengikuti acara reuni disana! Bagaimana jika kami sampai tak sengaja bertemu?" protes Evan.Suasana hati Evan sedang tidak baik, ia sedikit merasa kecewa pada Alana, sekarang malah harus datang ke hotel tersebut dengan identitas sebagai pewaris Lucio."Ah jika bukan agar mendapat restu Kakek dan membawa Alana masuk keluarga Lucio, aku sangat malas menghadiri acara tak penting seperti itu," gerutu Evan."Jadi, apa akan tetap datang? Kalau Bapak mau, saya bisa m
Alana tak menjawabnya, ia hanya terus menangis dan menangis karena begitu dalam luka yang Evan berikan. Padahal ia tak pernah merasa sesakit ini saat keluarganya terus memberi perlakuan buruk, tetapi, apa yang Evan lakukan kali ini lebih dari menyakitkan."Aku bukan perempuan yang pantas untukmu, wanita di panggung tadi jauh lebih cocok. Kalian sama-sama orang kaya, sedangkan aku, hanya seorang karyawan kontrak saja," jelas Alana, dengan suara gemetar yang diiringi dengan isak tangis."Tidak, dia itu seorang rubah licik. Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba ada disana," sanggah Evan, ia sangat takut kehilangan sang istri."Sudahlah, kejar dia saja. Aku hanya seorang perempuan miskin yang bahkan tak pantas memikirkan pria kaya sepertimu." Alana melepas pelukan Evan dengan penuh emosi.Alana berlari sekencang yang ia bisa, entah mengapa, ada perasaan takut di hatinya saat melihat laki-laki yang selama ini sangat ia cintai. Ia benar-benar tak ingin melihat wajah itu walau hanya sekilas, dad
Belaian lembut tangan seorang perempuan membuat Evan merasa nyaman, ia seakan bisa melupakan kesedihannya semalam."Alana, jangan pernah berniat pergi meninggalkanku," ucap Evan, lirih."Aku takkan mungkin meninggalkanmu, Evanders," bisik seorang perempuan tepat di samping telinga Evan.Evan tersentak, ia langsung membuka mata saat mendengar suara perempuan yang ternyata bukan istrinya."Dimana ini?" tanya Evan dalam keadaan setengah sadar."Sudah, beristirahatlah dulu. Tubuhmu belum benar-benar pulih.""Natasha? Apa yang kamu lakukan disini?" hardik Evan.Pria itu sudah sangat muak melihat wajah Natasha. Ia menganggap jika perempuan licik itu adalah penyebab dari semua masalahnya dengan Alana."Tentu saja aku menemanimu yang sedang sakit, memang apa lagi?" ucap Natasha, wajahnya sama sekali tak menunjukan rasa bersalah.Evan memandangi sekeliling, ia baru sadar jika kini dirinya sedang berada di rumah sakit. Bahkan, di tangannya pun terpasang infus."Apa yang terjadi, dimana Alana?""
Evan mengambil benda kecil itu dan terus memandanginya."Garis dua! Ternyata istriku hamil, aku akan menjadi seorang Ayah," ucap Evan yang tangisnya semakin pecah. Mendengar suara tangis Evan yang semakin kencang, Danu pun buru-buru masuk ke dalam kamar, menghampiri sang atasan."Pak, apa yang terjadi?" tanyanya gelisah.Danu tak pernah melihat Evan menangis sampai seperti ini, yang ia tahu selama ini atasannya itu sangat dingin dan arogan. Namun, siapa sangka jika ternyata ia bisa merasakan luka karena seorang perempuan."Lihatlah, aku akan menjadi seorang Ayah! Akhirnya, kebahagiaanku dan Alana kini menjadi sempurna." Evan mengacungkan alat tes kehamilan yang menunjukan ada dua garis disana.Ada perasaan ragu di diri Danu saat melihat kondisi Evan yang sangat mengkhawatirkan, ia baru saja mendapat kabar dari orang suruhan, jika Alana tak ada di rumah orang tuanya. Danu juga sudah menghubungi Risa, tetapi tak ada hasilnya. Bahkan, Danu meminta beberapa orang untuk menanyai Aldi kar
"Apa yang kamu lakukan disini? Kamu kan yang membawa Alana?" bentak Evan dengan suara yang ia paksakan keluar meski tubuhnya tidak memiliki tenaga."Aku yang seharusnya bertanya? Mengapa kamu tak bisa menjaga Alana? Padahal aku sudah mengalah darimu, tapi apa hasilnya? Kamu malah membuat dia terluka!" timpal Andrean.Evan berusaha sekuat tenaga untuk bisa bangkit dari tempat tidur. Ia mendekati Andrean hingga hanya tersisa satu jengkal saja jarak di antara keduanya.Dengan sisa tenaga yang ada, Evan meninju pipi Andrean. "Kembalikan Alana padaku!" teriaknya.Andrean memegangi pipinya yang barusan ditinju, kekuatan Evan sangatlah besar untuk ukuran seseorang yang sedang dalam keadaan lemah."Kamu masih kurang ajar seperti dulu! Jelas-jelas kamu yang salah, tapi malah menyalahkanku!" hardik Andrean. Ada perasaan ingin membalas perbuatan Evan, tetapi ia masih memiliki rasa kasihan melihat temannya itu sedang dalam kondisi lemah."Katakan dimana Alana?" teriak Evan."Kau sangat bodoh! Sud
Evan buru-buru berdiri, meski tubuhnya sedang lemah. Ia masih dapat melangkah karena sebuah harapan telah membuatnya menjadi sedikit lebih bertenaga."Evan, tak usah terburu-buru seperti itu, nanti juga pasti akan kemari jika memang orang yang di luar adalah Alana," seru Andrean.Evan tak menghiraukan ucapan Andrean, ia tetap memaksakan untuk berjalan menuju pintu agar bisa segera menghampiri Alana."Alana, maafkan aku," ucap Evan dengan langkahnya yang gontai.Suara langkah kaki terdengar semakin dekat, jantung Evan berdebar kencang. Ada sebuah kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan, harapannya tentang Alana begitu besar."Alana…," ucap Evan, lirih.Sebelum Evan sampai, seseorang tampak sudah berusaha membuka pintu, terlihat dari gagang yang seolah sedang diputar oleh seseorang diluar kamar."Evan? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya perempuan yang ternyata adalah Natasha."Natasha? Untuk apa kamu kemari? Pergilah dari hadapanku!" teriak Evan yang berbalik, membelakangi Natasha.Namun
Danu mencari keluar kamar, ke dapur bahkan ke taman hingga berulang kali, tetapi tetap saja ia tak menemukan keberadaan atasannya tersebut.Tak ada tanda-tanda Evan keluar rumah, bahkan sandalnya pun masih ada di tempat semula.Dengan diliputi perasaan cemas sekaligus takut, Danu kembali mencari di sekeliling rumah. Ia bahkan sampai mencari ke tempat yang sama hingga berkali-kali.Danu terduduk lemas. "Pak, kenapa kamu tega meninggalkanku? Padahal aku ingin terus menjadi asisten pribadi," ucapnya, lirih.Saat Danu sudah merasa frustasi, tiba-tiba Evan muncul dari dalam rumah, menghampiri bawahannya yang duduk bersimpuh di atas rumput."Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Evan yang sudah berpakaian rapi.Danu menoleh ke belakang mencari asal suara, ia menangis saat tahu jika atasan yang belum lama ia khawatirkan, kini sudah memakai setelan jas rapi, menandakan jika Evan sudah siap pergi ke kantor."Pak, apa saya tidak salah lihat? Akhirnya, Anda sudah kembali," ucap Danu yang berlari