Brian berusaha memukul pria yang berada di belakangnya."Brian, hentikan! Apa kamu ingin menjadi seorang penjahat?" teriak Alana yang sudah berdiri menjauh dari Brian."Penjahat? Kamu saja seorang penipu," sahut Brian masih tak terima karena Alana tak mau memberikan uang seratus juta.Saat Brian lengah, pria itu pun langsung menghindar dan memegangi tangan adiknya Alana tersebut agar tak berbuat macam-macam."Hentikan! Saudara Brian, Anda kami amankan karena telah melakukan tindak kekerasan pada Ibu Alana," ujar seorang Polisi yang baru saja datang.Dari belakang datang juga Evan yang terlihat sedang berlari ke arah Alana."Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Evan sambil memeluk Alana.Alana langsung membalas pelukan Evan."Aku sangat takut. Brian terus meminta uang seratus juta karena dia berpikir jika kamu adalah seorang CEO," terang Alana."Brian sepertinya sudah gila, ia begitu terobsesi dengan uang," sahut Evan.Saat mereka tengah berbincang, tiba-tiba saja Aldi datang menghampiri
"Apa aku harus membeli alat tes kehamilan?" Evan terlihat begitu bersemangat."Apa tidak terlalu cepat? Aku takut jika hanya masuk angin biasa." Alana menundukan wajahnya, malu-malu."Tidak apa-apa, kita kan hanya ingin tahu saja. Asal jangan kecewa jika hasilnya tak sesuai keinginan," terang Evan.Alana terdiam sejenak, ia sedikit ragu karena takut jika hasilnya mengecewakan. Bagaimanapun, ia memiliki harapan yang besar untuk memiliki seorang anak."Ya sudah, aku akan berusaha untuk tegar jika memang hasilnya tak seperti yang kita harapkan." Alana berusaha tersenyum meski perasaannya sedang tak karuan."Tunggu sebentar, ya! Aku ke apotek dulu," pinta Evan yang kemudian keluar dari rumah.Kini Alana hanya seorang diri di kamar, ia merenungi kejadian Brian tadi. Hatinya hancur, seorang adik yang selama ini selalu ia sayangi, malah dengan teganya menyakiti fisik dan perasaannya. Meski sedari dulu kedua orang tuanya hanya menunjukan kasih sayang pada Brian saja, tetapi ia sama sekali tak
"Ini apa maksudnya? Aku tidak terlalu mengerti dengan yang seperti ini," ucap Evan."Baca saja petunjuknya," titah Alana."Mengapa tidak mengatakan saja padaku apa hasilnya?" tanya Evan, heran.Alana hanya diam saja, entah mengapa dia menjadi seperti itu.Sedangkan Evan berusaha mencerna maksud dari setiap tulisan di kemasan. Ia sedikit bingung karena tak pernah punya pengalaman membaca alat tes kehamilan."Jadi, garis satu itu maksudnya negatif hamil kan?" Evan sedikit berkecil hati, tetapi tak terlalu mempermasalahkannya."Iya… maaf aku belum bisa memberimu keturunan," keluh Alana yang ternyata sejak tadi sudah berurai air mata."Sudah, jangan menangis lagi. Jika sekarang belum, mungkin bulan depan, kalau masih belum juga mungkin tahun depan.""Kalau masih belum juga setelah tahun depan?"Evan membelai rambut Alana, ia tak tega melihat sang istri yang terus-terusan mendapat kekecewaan dalam satu hari ini."Tidak masalah, aku akan tetap mencintaimu. Kalau kamu benar-benar menginginka
"Itu, aku mau pergi saja," ucap Alana, sedikit gelisah."Pergi kemana? Tumben sekali, mau kuantar?" tanya Evan yang sedikit ragu karena melihat Alana terlihat canggung.Lagi-lagi Alana kebingungan, ia sama sekali tak pernah membohongi Evan."Itu… reuni, iya reuni…," ujar Alana, semakin terlihat gugup.Evan merasa aneh dengan sikap Alana, ingin curiga tapi selama ini istrinya itu tak pernah melakukan hal-hal aneh"Aku antar ya. Tidak boleh menolak!" seru Evan yang sedikit merasa curiga."I-iya," jawab Alana yang bingung.Alana tak mungkin menolak permintaan Evan karena akan membuatnya terlihat semakin mencurigakan."Sayang, apa kamu menyembunyikan sesuatu padaku?" Evan menunjukan kecurigaannya pada sikap Alana."Tidak, aku tak melakukan hal buruk apa pun, sumpah!" Alana mengacung dua jarinya."Iya, iya… aku percaya padamu." Evan membelai rambut Alana.*****Pagi hari di ruang kerja."Alana, apa kamu sudah mendapatkan kerja sambilan itu?" tanya Risa yang masih bersantai karena belum jam
"Ikuti petunjuk alamat dari temanku saja." Alana masih belum berani mengatakan jika tujuannya adalah hotel.Evan melajukan motornya semakin cepat karena takut Alana terlambat. Namun, jalan ini sedikit tak asing baginya."Di depan belok kanan," seru Alana.Benar saja, Evan sudah menduga jika tujuan mereka adalah Vilton hotel, tempat dimana Evan sering mengadakan rapat dulu."Apa tujuanmu hotel Vilton?" tanya Evan, mengerutkan alis."I-iya.""Mengapa tak mengatakan sejak awal saja? Kamu terus terlihat canggung karena hal ini?" Evan merasa sedikit kecewa pada Alana yang tak terbuka padanya."Aku takut kamu melarangku kemari, acara reuni ini sangat penting bagiku." Alana menunduk, ia merasa bersalah pada Evan karena tak mengatakan yang sejujurnya."Ya sudahlah, lain kali kamu lebih terbuka saja padaku. Aku takkan marah ataupun melarangmu pergi."Alana semakin merasa bersalah sudah berbohong, tetapi ia berusaha menepis pikiran itu dengan berpikir jika semua ini ia lakukan demi bisa membeli
Tiga jam yang lalu.Ponsel Evan berdering, ada panggilan dari Danu yang ternyata sudah menelepon sejak tadi."Ada apa?" tanya Evan, dengan nada sedikit keras. Ia merasa sedikit tak nyaman saat tahu Alana pergi ke hotel."Jangan lupa dengan jadwal acara ulang tahun kakek Anda yang akan dilaksanakan di hotel Vilton pukul delapan nanti," terang Danu."Hotel Vilton? Sepertinya waktu itu bukan disana," ujar Evan, merasa tak enak hati."Benar, lokasi berganti atas permintaan kakek Anda," terang Danu."Kenapa harus disana? Alana sedang mengikuti acara reuni disana! Bagaimana jika kami sampai tak sengaja bertemu?" protes Evan.Suasana hati Evan sedang tidak baik, ia sedikit merasa kecewa pada Alana, sekarang malah harus datang ke hotel tersebut dengan identitas sebagai pewaris Lucio."Ah jika bukan agar mendapat restu Kakek dan membawa Alana masuk keluarga Lucio, aku sangat malas menghadiri acara tak penting seperti itu," gerutu Evan."Jadi, apa akan tetap datang? Kalau Bapak mau, saya bisa m
Alana tak menjawabnya, ia hanya terus menangis dan menangis karena begitu dalam luka yang Evan berikan. Padahal ia tak pernah merasa sesakit ini saat keluarganya terus memberi perlakuan buruk, tetapi, apa yang Evan lakukan kali ini lebih dari menyakitkan."Aku bukan perempuan yang pantas untukmu, wanita di panggung tadi jauh lebih cocok. Kalian sama-sama orang kaya, sedangkan aku, hanya seorang karyawan kontrak saja," jelas Alana, dengan suara gemetar yang diiringi dengan isak tangis."Tidak, dia itu seorang rubah licik. Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba ada disana," sanggah Evan, ia sangat takut kehilangan sang istri."Sudahlah, kejar dia saja. Aku hanya seorang perempuan miskin yang bahkan tak pantas memikirkan pria kaya sepertimu." Alana melepas pelukan Evan dengan penuh emosi.Alana berlari sekencang yang ia bisa, entah mengapa, ada perasaan takut di hatinya saat melihat laki-laki yang selama ini sangat ia cintai. Ia benar-benar tak ingin melihat wajah itu walau hanya sekilas, dad
Belaian lembut tangan seorang perempuan membuat Evan merasa nyaman, ia seakan bisa melupakan kesedihannya semalam."Alana, jangan pernah berniat pergi meninggalkanku," ucap Evan, lirih."Aku takkan mungkin meninggalkanmu, Evanders," bisik seorang perempuan tepat di samping telinga Evan.Evan tersentak, ia langsung membuka mata saat mendengar suara perempuan yang ternyata bukan istrinya."Dimana ini?" tanya Evan dalam keadaan setengah sadar."Sudah, beristirahatlah dulu. Tubuhmu belum benar-benar pulih.""Natasha? Apa yang kamu lakukan disini?" hardik Evan.Pria itu sudah sangat muak melihat wajah Natasha. Ia menganggap jika perempuan licik itu adalah penyebab dari semua masalahnya dengan Alana."Tentu saja aku menemanimu yang sedang sakit, memang apa lagi?" ucap Natasha, wajahnya sama sekali tak menunjukan rasa bersalah.Evan memandangi sekeliling, ia baru sadar jika kini dirinya sedang berada di rumah sakit. Bahkan, di tangannya pun terpasang infus."Apa yang terjadi, dimana Alana?""
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern