Bukan hanya keempat orang pria itu saja yang merasa heran dengan sikap Saketi. Ki Burilang, Junada, dan Sami Aji pun merasa heran juga. Saketi sikapnya memang luar biasa penuh dengan kebijaksanaan setelah banyak belajar ilmu dari ayahnya, yakni Prabu Erlangga. Sikapnya sudah seperti ayahnya, berbudi luhur dan bijaksana. Saketi adalah calon pemimpin kerajaan yang bersahaja, kelak akan berlaku adil dan bijaksana terhadap rakyatnya. Hal tersebut sudah ia tunjukkan, sehingga orang-orang pun sangat mengagumi dirinya. Setelah pria paruh baya itu dilepas, Saketi menjura hormat kepada keempat pendekar tersebut. Lalu berkata, "Terima kasih, Ki Sanak. Kalian masih mempunyai jiwa kesatria dan sebagai imbalannya, aku persilakan kalian untuk duduk bersama dengan kami. Kita bicarakan langkah ke depan, agar di antara kelompok kalian dan penduduk desa ini tidak ada ketegangan lagi!" Demikianlah, para pendekar itu pun menyetujui usulan baik dari Saketi. Tanpa basa-basi lagi, Ki Burilang dan para p
Kuda itu diberikan oleh Ki Burilang kepada Junada tanpa harus membelinya. Ki Burilang merupakan seorang tokoh masyarakat yang paling kaya di desa tersebut, sehingga tidak merasa keberatan memberikan hadiah kuda yang bernilai tinggi kepada Junada yang telah datang ke desanya bersama Saketi dan Sami Aji. Mereka sudah membantu melepaskan kemelut yang selama ini menjadi persoalan pelik yang tak kunjung selesai di desa itu. Persoalan tersebut sudah berlangsung lama dan banyak memakan korban jiwa di kalangan para penduduk desa. Semenjak kedatangan Saketi dan kedua kawannya. Akhirnya persoalan rumit itu dapat diselesaikan secara damai. "Apakah hadiah ini tidak terlalu istimewa untuk aku terima, Ki," ujar Junada sedikit merasa keberatan. "Terimalah! Anggap saja, ini adalah bentuk rasa hormat kami terhadap kalian. Semoga apa yang kalian cari dalam pengembaraan ini segera dapat ditemukan," jawab pria senja itu sambil tersenyum-senyum. Setelah itu, ia meraih dua kantung kain berwarna hitam ya
Dengan demikian, Saketi, Junada, dan Sami Aji langsung menikmati makanan dan minuman tersebut. Mereka sangat senang dengan sikap ramah yang ditunjukkan oleh sang pemilik rumah. Mereka terus berbincang saling memperkenalkan diri satu sama lain. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam perbincangan tersebut. "Jadi, Aki ini adalah pemilik pedang Sulaiman?" tanya Saketi di sela perbincangannya dengan Ki Wilata. "Iya, Raden. Aku adalah pemilik sah pedang pusaka itu. Tapi sayang sekali, pedang pusaka tersebut sudah diambil orang," jawab Ki Wilata. Pikirannya mulai kembali ke masa lalu. Dengan demikian, Ki Wilata pun menceritakan peristiwa kelam di masa lalu ketika putranya yang bernama Jaidil tewas oleh sekelompok pendekar yang mengepungnya secara tiba-tiba. Karena para pendekar tersebut memaksa Jaidil untuk menyerahkan pedang pusaka Sulaiman, sehingga ia melakukan perlawanan keras. Namun, Jaidil bernasib naas, ia terbunuh dalam pertarungan tersebut dan pedang pusakanya pun diambil oleh pa
Baru saja mereka hendak memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari arah hutan yang ada di samping rumah tersebut. Sami Aji dan Saketi tersentak bangkit dan langsung melangkah bersama menghampiri sumber suara itu. Begitu pula dengan Ki Wilata dan Junada mereka berlarian mengikuti langkah Saketi dan Sami Aji yang sudah lebih dulu memasuki hutan. "Tolong! Tolong! Tolong!" Suara teriakan itu semakin terdengar dekat dari tempat keberadaan Saketi dan yang lainnya. "Itu, Paman!" tunjuk Sami Aji mengarahkan jari telunjuknya ke tempat seorang wanita sedang dalam kondisi terikat. Wanita itu tubuhnya diikat dan disatukan dengan sebatang pohon pinus yang ada di hutan tersebut. Sami Aji bergerak cepat menuju ke arah wanita itu. Namun, baru beberapa langkah saja, tiba-tiba datang sebuah serangan dahsyat dari dua orang pria bertopeng hitam. Saketi dan yang lainnya tidak banyak bereaksi, mereka sengaja menghentikan langkah dan membiarkan Sami Aji menghadapi dua orang pria bert
Dengan demikian, wanita itu mengurungkan niatnya dan kembali mundur dua langkah ke belakang. "Hentikan, Wulansari! Kau telah termakan kabar yang salah, dan kau sudah terkena hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab!" Seketika Arini muncul di hadapan wanita yang bernama Wulansari itu. "Arini?!" Wulansari tercengang melihat pemandangan yang sungguh membuatnya terkaget-kaget. Kedatangan Arini menghadirkan sebuah rasa kebahagiaan bagi diri wanita itu. Di sisi lain, ia pun tampak ragu kalau itu memang benar-benar Arini—sahabat baiknya. Arini masih belum menjawab pertanyaan dari Wulansari. Ia hanya diam berdiri di hadapan Wulansari sambil tersenyum menatap tajam wajah Wulansari. "Sungguh! Kau ini benar-benar Arini?" Wulansari mengulang kembali pertanyaannya. Seakan-akan dirinya ragu kalau wanita yang berdiri di hadapannya itu adalah benar-benar Arini. Arini menghela napas dalam-dalam. Lalu menjawab lirih, "Ya, aku Arini yang sudah lebih dulu keluar dari istana, dan diangga
Keesokan harinya .... Ketika matahari masih bersembunyi di ufuk timur, Wulansari dan kedua pengawalnya sudah pamit kepada Arini dan suaminya, serta pamit juga kepada Saketi dan dua pengawal pribadinya. Pagi itu ia dan kedua pengawalnya akan melakukan perjalanan jauh ke barat, untuk segera menjumpai Prabu Erlangga di istana kerajaan yang berada di kuta utama—Kuta Tandingan. Sementara Saketi dan Sami Aji masih duduk santai sambil menikmati segarnya udara pagi ditemani minuman hangat dan ubi rebus serta pisang rebus yang disajikan oleh Arini untuk sarapan pagi mereka. Juanda pagi itu sedang bersama Ki Wilata, berbincang-bincang di saung kecil yang ada di belakang rumah sembari menikmati udara segar pagi itu. Hari itu, Saketi dan kedua pengawalnya berencana akan melanjutkan perjalanan dengan tujuan utama ingin ingin bergabung bersama para prajurit kerajaan yang ada di perbatasan. Setelah itu, mereka akan masuk ke Sirnabaya untuk merebut kembali pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata
Junada hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian duduk di sebelah Sami Aji yang tengah mempersiapkan makanan yang dibekalkan oleh Arini untuk makan siang mereka selama dalam perjalanan. Ketiga pendekar itu, langsung memakan bekal makanan tersebut penuh kenikmatan dalam sebuah kebersamaan. Meskipun, makanan yang diberikan Arini tidak sesuai dengan makanan yang biasa mereka makan ketika berada di istana. Setelah selesai makan, Saketi dan Sami Aji langsung beristirahat sejenak. Sementara Junada segera bergegas menuju ke sebuah sungai yang berada tidak jauh dari lokasi peristirahatan tersebut. Junada hendak melaksanakan Salat Zuhur, karena hanya dialah yang mempunyai keyakinan berbeda dengan dua kesatria istana itu. "Sebaiknya kita istirahat saja dulu sambil menunggu Paman Junada sedang melaksanakan salat!" desis Saketi menoleh ke arah saudara sepupunya. Sami Aji hanya mengangguk pelan. Kemudian merebahkan tubuhnya di atas tanah yang hanya diberi alas dedaunan saja. Sel
Pagi itu, Rangkuti masih tertidur nyenyak di atas bebalean yang terbuat dari batang bambu dan hanya beralaskan sehelai kain saja. Bebalean tersebut berada di dalam gubuk sederhana yang berdiri kokoh di pinggiran hutan yang ada di wilayah kepatihan Waluya Jaya. Rangkuti terbangun ketika hari sudah menjelang siang. Entah apa yang ada dalam pikiran anak seusia itu? Tiba-tiba saja, ia menangis dan sukar untuk diberikan pengertian. "Rangkuti, diamlah! Kau sekarang aman bersama Paman!" seru Abdullah sambil menggendong anak laki-laki berparas tampan itu. "Kau ini anak yang baik, diamlah!" Abdullah terus berusaha untuk meredam tangisan Rangkuti. "Aku ingin bertemu dengan bopok dan biung, Paman," sahut Rangkuti berbicara dengan suara yang tidak jelas karena disertai tangisan yang tak henti-hentinya. Air matanya yang deras seakan-akan melukiskan kesedihan yang teramat mendalam yang tengah ia rasakan kala itu. "Besok kita ke istana kerajaan! Bukankah kau ingin melihat istana megah?" tanya Ab