Pada tengah malam, antek-antek Evan mengawasi kediaman Ansel serta memberikan laporan secara berkala. “Nyonya Aisha tetap di rumah.” Laporan yang diberikan pria ini sangat akurat karena dia berada di sini sejak sore hari hanya saja tidak satu pun keluarga Ansel menyadari persembunyiannya. “Awasi terus. Aku tidak ingin kehilangan istriku!” tegas Evan bersama seringai liciknya karena maksud tidak ingin kehilangan yang dikatakannya adalah untuk menyikasa Aisha bukan karena wanita itu sangat berarti di hidupnya. “Baik, Tuan,” patuh pria berpakaian santai ini. Alasan tempat persembunyiannya tidak ditemukan oleh keluarga Ansel itu karena pria ini menyewa kontrakan tepat di hadapan kediaman Ansel maka tidak seorang pun menyadari jika dirinya bukan manusia biasa, melainkan mata-mata yang ditugaskan oleh Evan.“Jika memungkinkan, bawa Aisha padaku pada tengah malam. Tapi jangan pernah meninggalkan jejak, buat kejadian ini seolah-olah murni karena Aisha pergi atas keinginannya.”“Saya akan me
Hari berganti, Ansel mendapatkan panggilan dari polisi tetapi bukan untuk dimintai keterangan melainkan untuk membebaskannya dari tuduhan karena ternyata Aisha mengunjungi kantor polisi tanpa sepengetahuannya, wanita itu melaporkan kejahatan Evan pada ayahnya hingga Adhitia terbaring, hanya saja wanita itu tidak menyertakan buktinya, tetapi karena salah satu anggota kepolisian adalah rekan Adhitia maka laporan Aisha diterima dan kasus ini akan diselidiki. Ansel membuang udara lega. 'Baguslah, saat ini aku terbebas dari tuduhan. Sisanya tinggal aku serahkan pada kepolisian. Aku yakin kejahatan Evan akan segera terkuak!' Kini, Ansel menjenguk ayahnya yang masih berada dalam perawatan serta pengawasan. "Ansel baru tahu kalau papa punya rekan yang berpropesi sebagai polisi dengan jabatan tinggi, papa tidak pernah mengatakannya pada Ansel," kekehnya. Adhitia menarik senyuman bersama beberapa kalimat yang tidak dapat dimengerti oleh Ansel, tetapi pria ini yakin jika Adhitia sedang menyah
"Naima memang wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik yang berasal dari keluarga yang baik. Jadi rasanya sangat tidak mungkin jika Naima berkawan dengan orang-orang yang berkebalikan dengan dirinya." Embusan udara panjang dibuang. "Hanya saja mengapa bawahanku bisa tiba-tiba mengatakannya jika memang tidak melihat Naima dalam keadaan seperti itu." Tawa kegelian Reza. "Aku yakin bawahanmu salah lihat. Dia memang tidak salah melaporkan tentang Naima, tapi sepertinya orang yang dilihatnya bukan Naima." Ansel mencoba menutupi kenyataan tentang wanita yang sejak tadi menjadi bahan obrolannya dan Evan, kemudian mengajukan pertanyaan penting, "Apa bawahanmu mengirimkan foto?" "Tidak karena saat itu kami sedang berkomunikasi lewat telepon, tapi tiba-tiba bawahanku mengalihkan pembicaraan pada Naima hanya saja dia bilang Naima berlalu sangat cepat dan singkat maka tidak sempat memfotonya ataupun mengalihkan panggilan menjadi video call." Ansel tidak ingin hal ini berlarut-larut apalagi ber
Aisha dan sekretaris Evan sudah berhadapan, wanita berpakaian formal ini menyambut hangat si wanita, "Selamat siang Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" Sikap ramah penuh hormat menyertai. 'Saya membutuhkan banyak informasi tentang perusahaan. Pasti kau tahu banyak hal!' Ingin sekali mengatakan hal ini secara langsung, tetapi itu tidak mungkin karena jika kalimat ini dilontarkan maka orang luar akan menebak-nebak yang terjadi pada keluarganya. "Bagaimana keadaan perusahaan? Saya diperintah papa untuk mengunjungi lapangan secara langsung." Kalimatnya disampaikan penuh wibawa, pun Aisha mengganti kalimatnya agar lebih elegan."Senang mendapatkan kunjungan dari Nyonya." Wanita ini selalu bersikap penuh hormat apalagi di hdapannya kini adalah putri dari pemilik perusahaan. Sebuah kertas disodorkan. "Sebenarnya perusahaan baik-baik saja karena selalu memiliki peningkatan yang pesat, tetapi akhir-akhir ini terdapat pengurangan dana." "Pengurangan dana?" Dahi Aisha berkerut heran. Segera, ke
Ansel barusaja membuka email yang dikirimkan Aisha. "Kenapa Aisha bisa mengirimkan data-data parusahaan. Apa Aisha sedang di perusahaan papa!" Seharusnya Ansel merasa puas dengan kemajuan Aisha saat ini karena informasi yang diberikan adiknya sangat penting, tetapi nyatanya pria ini mengkhawatirkan adiknya yang sedang berada di dalam lingkungan berhaya. [Kakak sudah menerima semuanya. Pulanglah!] Perintah tegas ini dikirimkan lewat email karena hanya ini satu-satunya alat komunikasi Aisha saat ini. "Syukurlah kakak sudah mendapatkan semua data yang Aisha kirim." Embusan udara lega dihembus Aisha, tetapi wanita ini belum bisa meninggalkan perusahaan karena dia masih mengunduh data penting lainnya. Namun, terbesit sebuah ide gila. 'Apa lebih baik laptop ini aku bawa saja?'Aisha segera menutup laptopnya setelah selesai mengunduh data. Benda itu dikantongi, tetapi sekretaris segera berkata santun, "Mohon maaf Nyonya, jika sudah selesai laptopnya dikembalikan saja ke tempatnya karena itu
Aisha menggambar wajah penuh rasa takut karena mungkin Evan akan menyakitinya secara fisik, tetapi ternyata bayangannya sangat berkebalikan dengan kenyataan karena Evan segera menunjukan wajah sendu setelah menggambar ekspresi berang. "Sayang, apa kau tidak pernah mencintaiku?" Saat ini Aisha sedikit menurunkan rasa gugupnya, tetapi rasa takut tetap berlipat ganda. "Jangan menanyakan hal bodoh." Suaranya sedikit bergetar karena bibirnya bergetar ketakutan. Evan segera memegangi pelipisnya, kemudian mendesah panjang yang terdengar sangat lirih. Lalu kembali menatap Aisha. "Kita bersama karena dijodohkan, tetapi bukankah sudah banyak hal yang kita lakukan bersama. Apakah kamu tidak pernah menganggap satu saja moment kebersamaan kita sebagai hal spesial?" Suara serta tatapan Evan seolah sangat tersakiti, tetapi Aisha tidak luluh sama sekali karena ini adalah kebiasaan suaminya. Aisha tidak memberikan jawaban apapun bahkan dengan sengaja tatapannya dialihkan ke arah lain. Intinya dia
Makan malam Evan dan Aisha bersama banyak menu, seolah pria ini menyambut kembalinya sang istri dengan suka cita padahal ini hanya termasuk basa-basi saja. "Sayang, makan yang banyak. Sudah cukup lama kamu meninggalkan rumah, sudah beberapa hari juga kamu tinggal dengan Ansel yang kehidupannya pas-pasan, aku rasa di sana kamu tidak bisa memakan banyak hal, hanya seadanya." 'Manusia iblis. Kehidupan kakak begitu karena kamu!' Aisha tidak menanggapi, wajahnya sangat tenang dan datar. Evan tidak ingin keberadaannya diabaikan, maka dengan sengaja menaruh sebuah teman makan di piring milik Aisha. "Cobalah menu favoritku ini, aku belum pernah memakannya sekali pun." Senyuman dipasang sangat lembut. Saat ini Aisha masih bergeming, enggan meladeni suami psikopatnya. 'Tuhan, kapan kehidupan kami membaik. Harus sampai kapan kami seperti ini, mengapa kau memberikan kehidupan seperti ini pada kami? Jika kami berdosa, kami harap dosa ini segera habis dengan jalan penderitaan yang kami hadapi.'
Aisha dibuat menganga saat melihat garis dua yang ditunggunya selama beberapa detik saja. "Tidak!" Kini satu tangannya menangkup mulutnya yang menganga, yang seolah ingin mejerit sekencangnya karena hasilnya sangat mengecewakan. Ini adalah salah satu hal buruk yang tidak pernah diharapkannya. Tetesan air mata mengalir begitu saja hingga membasahi pipinya yang kemerahan. "Kenapa kamu harus hadir. Kamu anaknya Evan. Aku tidak menginginkan kamu ...," rintihan Aisha sangat membatin karena seorang manusia yang hadir di rahimnya adalah keturunan orang jahat, tetapi di sisi lain manusia ini juga adalah darah dagingnya, "Sayang ...," panggilan Evan kembali mengudara sangat lembut, tetapi pria ini tidak pernah ingin membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci, "bagaimana hasilnya, kamu sudah melihatnya?" pertanyaan lembutnya. Aisha terisak hingga Evan mampu mendengarnya dari balik pintu, saat inilah pintu kamar mandi dibukanya untuk memeriksa Aisha yang sejak tadi ditunggunya. "Sayang. Ada