"Naima memang wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik yang berasal dari keluarga yang baik. Jadi rasanya sangat tidak mungkin jika Naima berkawan dengan orang-orang yang berkebalikan dengan dirinya." Embusan udara panjang dibuang. "Hanya saja mengapa bawahanku bisa tiba-tiba mengatakannya jika memang tidak melihat Naima dalam keadaan seperti itu." Tawa kegelian Reza. "Aku yakin bawahanmu salah lihat. Dia memang tidak salah melaporkan tentang Naima, tapi sepertinya orang yang dilihatnya bukan Naima." Ansel mencoba menutupi kenyataan tentang wanita yang sejak tadi menjadi bahan obrolannya dan Evan, kemudian mengajukan pertanyaan penting, "Apa bawahanmu mengirimkan foto?" "Tidak karena saat itu kami sedang berkomunikasi lewat telepon, tapi tiba-tiba bawahanku mengalihkan pembicaraan pada Naima hanya saja dia bilang Naima berlalu sangat cepat dan singkat maka tidak sempat memfotonya ataupun mengalihkan panggilan menjadi video call." Ansel tidak ingin hal ini berlarut-larut apalagi ber
Aisha dan sekretaris Evan sudah berhadapan, wanita berpakaian formal ini menyambut hangat si wanita, "Selamat siang Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" Sikap ramah penuh hormat menyertai. 'Saya membutuhkan banyak informasi tentang perusahaan. Pasti kau tahu banyak hal!' Ingin sekali mengatakan hal ini secara langsung, tetapi itu tidak mungkin karena jika kalimat ini dilontarkan maka orang luar akan menebak-nebak yang terjadi pada keluarganya. "Bagaimana keadaan perusahaan? Saya diperintah papa untuk mengunjungi lapangan secara langsung." Kalimatnya disampaikan penuh wibawa, pun Aisha mengganti kalimatnya agar lebih elegan."Senang mendapatkan kunjungan dari Nyonya." Wanita ini selalu bersikap penuh hormat apalagi di hdapannya kini adalah putri dari pemilik perusahaan. Sebuah kertas disodorkan. "Sebenarnya perusahaan baik-baik saja karena selalu memiliki peningkatan yang pesat, tetapi akhir-akhir ini terdapat pengurangan dana." "Pengurangan dana?" Dahi Aisha berkerut heran. Segera, ke
Ansel barusaja membuka email yang dikirimkan Aisha. "Kenapa Aisha bisa mengirimkan data-data parusahaan. Apa Aisha sedang di perusahaan papa!" Seharusnya Ansel merasa puas dengan kemajuan Aisha saat ini karena informasi yang diberikan adiknya sangat penting, tetapi nyatanya pria ini mengkhawatirkan adiknya yang sedang berada di dalam lingkungan berhaya. [Kakak sudah menerima semuanya. Pulanglah!] Perintah tegas ini dikirimkan lewat email karena hanya ini satu-satunya alat komunikasi Aisha saat ini. "Syukurlah kakak sudah mendapatkan semua data yang Aisha kirim." Embusan udara lega dihembus Aisha, tetapi wanita ini belum bisa meninggalkan perusahaan karena dia masih mengunduh data penting lainnya. Namun, terbesit sebuah ide gila. 'Apa lebih baik laptop ini aku bawa saja?'Aisha segera menutup laptopnya setelah selesai mengunduh data. Benda itu dikantongi, tetapi sekretaris segera berkata santun, "Mohon maaf Nyonya, jika sudah selesai laptopnya dikembalikan saja ke tempatnya karena itu
Aisha menggambar wajah penuh rasa takut karena mungkin Evan akan menyakitinya secara fisik, tetapi ternyata bayangannya sangat berkebalikan dengan kenyataan karena Evan segera menunjukan wajah sendu setelah menggambar ekspresi berang. "Sayang, apa kau tidak pernah mencintaiku?" Saat ini Aisha sedikit menurunkan rasa gugupnya, tetapi rasa takut tetap berlipat ganda. "Jangan menanyakan hal bodoh." Suaranya sedikit bergetar karena bibirnya bergetar ketakutan. Evan segera memegangi pelipisnya, kemudian mendesah panjang yang terdengar sangat lirih. Lalu kembali menatap Aisha. "Kita bersama karena dijodohkan, tetapi bukankah sudah banyak hal yang kita lakukan bersama. Apakah kamu tidak pernah menganggap satu saja moment kebersamaan kita sebagai hal spesial?" Suara serta tatapan Evan seolah sangat tersakiti, tetapi Aisha tidak luluh sama sekali karena ini adalah kebiasaan suaminya. Aisha tidak memberikan jawaban apapun bahkan dengan sengaja tatapannya dialihkan ke arah lain. Intinya dia
Makan malam Evan dan Aisha bersama banyak menu, seolah pria ini menyambut kembalinya sang istri dengan suka cita padahal ini hanya termasuk basa-basi saja. "Sayang, makan yang banyak. Sudah cukup lama kamu meninggalkan rumah, sudah beberapa hari juga kamu tinggal dengan Ansel yang kehidupannya pas-pasan, aku rasa di sana kamu tidak bisa memakan banyak hal, hanya seadanya." 'Manusia iblis. Kehidupan kakak begitu karena kamu!' Aisha tidak menanggapi, wajahnya sangat tenang dan datar. Evan tidak ingin keberadaannya diabaikan, maka dengan sengaja menaruh sebuah teman makan di piring milik Aisha. "Cobalah menu favoritku ini, aku belum pernah memakannya sekali pun." Senyuman dipasang sangat lembut. Saat ini Aisha masih bergeming, enggan meladeni suami psikopatnya. 'Tuhan, kapan kehidupan kami membaik. Harus sampai kapan kami seperti ini, mengapa kau memberikan kehidupan seperti ini pada kami? Jika kami berdosa, kami harap dosa ini segera habis dengan jalan penderitaan yang kami hadapi.'
Aisha dibuat menganga saat melihat garis dua yang ditunggunya selama beberapa detik saja. "Tidak!" Kini satu tangannya menangkup mulutnya yang menganga, yang seolah ingin mejerit sekencangnya karena hasilnya sangat mengecewakan. Ini adalah salah satu hal buruk yang tidak pernah diharapkannya. Tetesan air mata mengalir begitu saja hingga membasahi pipinya yang kemerahan. "Kenapa kamu harus hadir. Kamu anaknya Evan. Aku tidak menginginkan kamu ...," rintihan Aisha sangat membatin karena seorang manusia yang hadir di rahimnya adalah keturunan orang jahat, tetapi di sisi lain manusia ini juga adalah darah dagingnya, "Sayang ...," panggilan Evan kembali mengudara sangat lembut, tetapi pria ini tidak pernah ingin membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci, "bagaimana hasilnya, kamu sudah melihatnya?" pertanyaan lembutnya. Aisha terisak hingga Evan mampu mendengarnya dari balik pintu, saat inilah pintu kamar mandi dibukanya untuk memeriksa Aisha yang sejak tadi ditunggunya. "Sayang. Ada
Aisha digiring Evan dengan sangat lembut saat menuju parkiran, tetapi langkah wanita itu terhenti di lobby rumah sakit. "Katakan yang sejujurnya padaku. Kau tidak menginginkan anak ini, kan?" Tatapan Aisha mengarah pada Evan tanpa bergeser sedikit pun saat mencari tahu tentang suaminya.Evan segera memperat rangkulannya yang sejak tadi melingkar di pinggang Aisha. "Sayang, mengapa menanyakan hal seperti itu bukankah itu pertanyaan yang tidak manusiawi, hm ....""Katakan saja, akui saja!" Aisha mulai mendesak.Evan masih mempertahankan sikap lembutnya, apalagi ini adalah wilayah umum tentu saja dia harus mencitrakan Evan-seorang suami sempurna dengan sebaik mungkin. "Tidak ada satu pun pria di muka bumi ini yang tidak menginginkan darah dagingnya sendiri. Bagaimana mungkin ada pria yang melakukannya? Seburuk apapun pria itu dia akan tetap menyayangi darah dagingnya," penjelasan diberikan dengan lembut, yang paling penting adalah masuk akal. Evan bertindak menurut logika. Hanya saja ken
Adhitia dilanda kecewa karena putrinya mengandung anak dari seorang penjahat, tapi di sisi lain bagaimanapun juga anak dalam kandungan Aisha adalah cucu keduanya setelah Ocean, maka seharusnya tidak ada alasan untuknya membenci keturunannya sendiri. Adhitia bermonog dalam hatinya, menyampaikan pesan penuh kasih sayang pada cucunya. 'Kakek akan berusaha mencintaimu sama seperti kakek mencintai Ocean, tapi satu permintaan kakek, jangan pernah menjadi seperti ayahmu.' Adhitia tidak memberikan respon apapun pada Evan walaupun isi hatinya ricuh, tetapi menantunya tidak ingin berhenti berbicara. Maka saat ini Evan kembali mengutarakan kalimat indah yang padahal sangat menusuk Adhitia, "Selama Aisha mengandung bukankah sebaiknya Aisha terus berada di sisi suaminya yaitu Evan. Tapi ... Ansel meminta Aisha untuk tinggal bersamanya. Hm ... bagaimana ya, Evan khawatir karena mungkin jika Aisha tinggal bersama Ansel, Evan tidak mampu sepenuhnya memberikan perhatian serta kasih sayang pada anak da
Hari berganti, Ansel masih belum kembali dan saat ini Alea mulai menangis tersedu, tetapi untungnya Rina tetap di sisinya dan wanita ini juga yang membantu menenangkan ibu satu anak ini. Namun, kebaikan Rina tidak membuat Ansel kembali. Lelaki itu menghilang hingga satu minggu lamanya. Setiap hari Alea dan Aisha mencoba mencari tanpa melibatkan polisi karena mereka yakin hilangnya Ansel karena perbuatan Evan. Namun, hingga saat ini Aisha tidak menemukan bukti kecurigaannya. Tidak mudah untuk Alea menjalani kehidupannya selama satu minggu ini, Ocean sering menangis dan Alea tidak bisa fokus pada apapun. Jika saya Rina tidak di sisinya mungkin saat ini Alea sudah mendekati kehancurannya. Hari ini, Rina tidak tahan melihat Alea menderita. Maka, dia menghubungi Reza untuk mencari tahu keberadaan Ansel. Wanita ini yakin Reza bisa membantu karena Alea sudah melarangnya melaporkan hilangnya Ansel pada polisi. Sementara, saat ini Ansel disekap oleh Evan. Ya, pelakunya memang Evan. Sudah s
Ansel menemui hari sialnya lagi karena akibat tindakannya dia disandera oleh Evan tanpa sepengetahuan Alea maupun Aisha. Jadi seakan-seakan Ansel menghilang tanpa jejak. Pada pagi ini Alea menunggu suaminya pulang, tapi hingga pukul sembilan dia tidak mendapatkan kabar apa pun. Alea menemui Rina untuk meminta bantuan menghubungi Ansel, tetapi nomor suaminya tidak aktif. "Ansel kemana dan kenapa nomornya tidak aktif, apa menemui Aisha?" Alea khawatir, hanya saja dia tidak ingin memikirkan hal aneh.Alea kembali ke rumahnya, di pangkuannya Ocean merengek padahal anaknya sudah diberikan susu. "Kenapa sayang ...." Lembutnya saat membelai pipi Ocean.Alea tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, tetapi Ansel masih belum kembali bahkan ketika matahari sudah berada di puncak langit. Rengekan Ocean hanya berhenti sesaat, sejak pagi-pagi bayi itu terus merengek dan tidak pernah tidur nyenyak. "Nak, kenapa ..., jangan seperti ini ..., papa belum pulang dan tidak bisa dihubungi, mama khawatir
Ansel tertangkap sebelum pria ini menemukan hal penting, maka bawahan yang ditugaskan Evan membawanya secara halus ke hadapan Evan supaya kedok tuannya tidak terbongkar di hadapan para karyawan.Saat ini Evan bertepuk tangan di hadapan Ansel yang berdiri geram. "Kakak ipar, kau memang hebat, kau bisa menebak keberadaan surat-surat penting milikku. Tapi ... aku yakin kau belum menemukan apapun karena tidak semudah itu. Aku sudah menyimpannya sangat rapat dan sulit dijangkau." Sunggingan bibir Evan mengudara sangat menyebalkan di dalam indera penglihatan Ansel. Saat ini Ansel tidak berkata apapun, arah matanya hanya selalu mengikuti gerakan Evan tanpa pernah berkedip sama sekali, bahkan bola matanya hanya berisi api yang siap membakar Evav."Jangan marah. Santai saja. Kakak ipar tidak boleh terlalu tegang karena memiliki anak dan istri yang harus dicukupi. Hm ... apakah rumah sekecil itu tidak membuat kalian pengap heuh? Rasanya untuk bernapas saja terlalu sulit," hina Evan bersama sun
Jumlah kunci yang dimiliki satpam tidak sama dengan sebelum Ansel meninggalkan gedung ini, maka pria ini semakin yakin jika surat-surat penting milik Adithia disimpan di dalam salah satu ruangan di gedung ini. Setelah mencari tahu akhirnya Ansel menemukan satu ruangan yang tidak memiliki kunci. Dia berdiri tepat di depan pintu, ruangan ini memang terisolasi karena pernah terjadi hal tidak diinginkan. Ruangan ini tidak pernah disukai para karyawan karen lokasinya terlalu tinggi hingga mereka mengeluhkan jarak dengan lobby utama. "Ck, apa dugaanku benar. Kau menyimpan semua surat penting milik papa di tempat ini, tempat yang dibenci semua orang? Ya, memang masuk akal jika kau menyimpannya di sini karena tidak ada yang berniat memasuki ruangan ini!" Ansel selalu berhasil membaca isi kepala Evan yang dipenuhi dengan hal-hal licik. Begitupun dengan yang ini, ini mudah untuknya. Namun, apakah dugaannya benar?Ansel tidak memiliki kunci untuk ruangan ini karena salah satu kunci yang berkura
Alea berwajah sendu ketika kembali masuk ke dalam rumah hingga menimbulkan pertanyaan besar dari Ansel sekalian merangkul istrinya, "Sayang, ada apa hm ...." Usapan lembutnya segera membelai punggung Alea.Alea tersedu di dalam pelukan Ansel, tetapi segera mengadukan isi hatinya, "Aku mengingat cerita ibu panti tentang asal-usulku karena tadi bu Rina bercerita tentang anaknya yang hilang."Rangkulan Ansel semakin dalam setelah mendengar kalimat sendu istrinya. "Tidak apa, itu hanya kebetulan ...." Usapan lembut di punggung Alea tidak berhenti bahkan semakin sering membelai penuh kasih sayang, tidak lupa mengecup puncak kepala sang istri. Setelah berhasil menenangkan diri, Alea melepaskan diri dari pelukan Ansel, kemudian segera membahas Deon. "Bukan teman kamu yang akan menyewa rumah, tapi saudaranya." Tatapannya masih berkaca, tetapi Alea berusaha menyampaikannya dengan benar hingga membuat Ansel mengusap salah satu pipi istrinya bersama senyuman hangat penuh cinta."Aku sudah mende
Rina merasa harus menjelaskan tentang keluarga Ansel karena di matanya keluarga Ansel adalah contoh baik dan patut mendapatkan pujian juga patut menjadi gambaran positif untuk calon penyewanya. Ibu jarinya mengarah pada kediaman Ansel. "Ini rumah keluarga nak Ansel dan nak Alea, mereka sudah memiliki seorang bayi. Kalau ada perlu apa-apa jika memang malas ke rumah ibu, nak Deon biasa mengunjungi nak Ansel dan nak Alea, keduanya sangat ramah," tutur Rina dengan sikap ramah serta raut wajah memuji-muji kedua orang yang berada dalam ceritanya. "Iya. Eu ..., tapi sebenarnya saya sedang mencarikan kontrakan untuk saudara saya karena kebetulan dia mendapatkan pekerjaan di dekat daerah sini," kekeh kecil Deon. "Kalau begitu, Nak Deon jelaskan saja yang baru saja ibu jelaskan pada saudaranya Nak Deon. Intinya lingkungan di sini sangat nyaman karena salah satu alasannya para tetangganya yang baik hati," kekeh merdu Rina kala sedikit berdusta karena hanya beberapa saja dari banyaknya warga ya
“Sayang, makanlah.” Untuk ke sekian kalinya Evan menawarkan bubur hasil buatannya sendiri.Aisha terpaku sesaat mentap semangkuk bubur yang berhasil menggugah seleranya, tetapi dia masih menolak, “Aku belum lapar. Aku akan makan buah-buahan.” Buah apel utuh segera diraih padahal di atas meja makan sudah tersedia buah apel yang sudah dikupas.Evan tidak menunjukan emosi, tetapi hanya senyuman hangat. “Makanlah buahnya.” Kini, Evan berhenti menawarkan bubur pada Aisha, tetapi berpesan pada bibi untuk mengganti bubur yang baru saat Aisha menginginkannya karena dia membuat satu panci bubur.‘Tenanglah, jangan mengacau!’ omelan Aisha pada bayinya yang masih menginginkan bubur yang berada di hadapannya. Buah apel utuh mulai digigit dengan gigitan kecil, tetapi Evan segera meraih buah yang baru lalu mengirisnya di hadapan Aisha.“Jangan memakan buah apel dengan cara seperti itu, makan yang ini saja.” Senyuman teduh Evan tampak sangat ramah dan dipenuhi kasih sayang, tetapi tidak mungkin Aish
Pada pagi hari, Evan menyiapkan sebuah bubur yang sengaja dibawanya pada Aisha. "Selamat pagi, Sayang." Senyuman lembut diumbar saat istrinya baru saja membuka mata. Tentu saja dahi wanita ini berkerut saat menyaksikan pemandangan asing di hadapannya karena tidak biasanya Evan mengucapkan sapaan. "Ada apa. Apa kamu sudah di sana sejak tadi?" tanya Aisha alih-alih membalas sapaan hangat Evan."Lumayan. Aku menunggu kamu, kamu tidur sangat lelap." Senyuman lembut kembali diumbar."Oh ...." Datar Aisha yang segera mendudukan dirinya. Setelah ini tidak sedikit pun dia memandang Evan. Namun, Evan berkata sangat lembut, "Aku baru saja membuatkan bubur untukmu dan bayi kita." Aisha segera melirik pada bubur yang dimaksud Evan, kemudian mengajukan pertanyaan dengan raut wajah heran, "Kamu yang membuat ini?" Evan mengangguk kecil, kemudian menurunkan tatapannya sesaat lalu berkata seiring memasang tatapan sendu. "Aku belum pernah membuatkan apapun untukmu, terutama untuk anak kita. Walaupu
Evan baru saja menyadari jika Aisha membiarkan menunya. "Sayang. kenapa belum makan. Ingin aku suapi?" tawaran lembut dan penuh perhatian ini sudah sewajarnya dilakukan oleh seorang suami, tetapi tentu saja yang dilakukannya hanya berbasa-basi."Aku belum lapar." Dingin dan datar Aisha. Dahi Evan segera berkerut heran, "Tidak mungkin belum lapar. Ada bayi di perutmu, yang aku tahu seorang wanita hamil akan mudah merasa lapar." Pun, sikapnya yang ini adalah sikap wajar seorang suami, tetapi maksud kalimatnya hanya ingin memastikan jika Aisha memberikan makan bayi dalam kandungannya supaya tumbuh dan berkembang normal. Evan tidak ingin mengambil resiko bayinya keguguran apalagi terlahir cacat, itu memalukan."Aku sudah banyak memakan camilan. Aku akan makan makanan berat setelah merasa lapar." Lagi, sikap Aisha sangat dingin dan datar maka wanita ini tidak mencitrakan seorang istri sama sekali yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman pada orang yang tidak mengetahui kisah keduanya.