Ansel memang belum bisa kembali, pria ini masih berkumpul dengan kawan-kawannya di ruangan karyawan. “Apa kita harus tetap di sini sampai supervisor datang?” Tatapan Deon mengarah pada semua kawannya termasuk Ansel.“Kita harus memastikannya!” Kalimat tegas salah satu pria, kemudian mengarahkan tatapannya pada Ansel sekalian berbicara pada semua orang di dalam ruangan. “Semalam Ansel sudah mencoba bicara, jadi aku rasa kita memiliki harapan.”“Syukurlah.” Semua orang melukis wajah sumringah, tetapi berbeda dengan Ansel karena justru dirinya tidak dapat menjanjikan apapun. Segera, Ansel mengungkapkan kenyataan yang harus diterima kawan-kawannya, “Jangan banyak berharap. Kita lihat saja nanti.” Tatapannya membaur seiring memerhatikan perubahan ekspresi semua orang, kemudian melanjutkan, “Lagipula supervisor membutuhkan waktu untuk berbicara dengan suplier. Aku rasa andaipun ada kabar baik, beliau tidak akan menyampaikannya secepat keinginan kita.”Beberapa pria ini saling memandang sat
Saat Evan sedang bersenang-senang dengan semua harta kekayaan milik Adhitia dan keluarganya, justru Ansel sedang bersusah payah hingga setiap tetesan keringatnya adalah bentuk dari kerasnya kehidupan. “Silakan Bu, pakaian bayi tersedia di sini. Mulai dari new born sampai anak berusia satu tahun.” Selalu, kalimat ini diucapkan setiap kali lapaknya dilewati para pengunjung pasar kaget hingga membuat kebanyakan orang melirik. Ansel adalah si ahli berbisnis, maka dirinya memiliki strategi marketing yang sangat sempurna hingga mampu menarik konsumen dengan beberapa kalimat saja. Setiap kali pengunjung bertanya satu hal, maka Ansel akan memberikan jawaban dengan terperinci hingga akhirnya produknya menarik hati custamer. Pengalamannya dalam berbinis memang sangat berguna untuk saat ini walaupun di bidang berbeda, hanya saja kali ini Ansel harus menggunakan usaha lebih dan tentu saja harus rela terkena sinar matahari serta debu jalanan, padahal seharusnya dirinya adalah pria berdasi yang b
Alea membeku setelah mendengar kabar mengejutkan dari Aisha, pun lidahnya berubah kelu hingga iparnya kembali berkata dengan nada ragu, “Apa ... Kakak belum tahu, kak Ansel tidak memberi tahu Kakak?”Alea mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes. “Belum. Mungkin belum sempat,” desah lirihnya.Saat ini Aisha menggigit ujung bibirnya. ‘Astaga ... apa kakak sengaja merahasiakannya dari kak Alea?’Saat ini panggilan hening karena Aisha sedang menyesali kalimat yang sudah terlanjur diucapkan, sedangkan Alea bermonolog lirih di dalam hatinya. ‘Jadi karena ini akhirnya kamu bekerja lebih keras dari biasanya. Harusnya kamu katakan saja, kamu tidak usah memendamnya dan jangan menanggungnya sendiri!’ Raungan Alea yang ingin segera dikatakan pada Ansel diiringi pelukan.“Kak ....” Suara Aisha sedikit bergetar karena penyesalan menyelimuti, “ba-gaimana uang yang pernah Aisha berikan, apa masih ada?” Harapannya semoga dengan uang yang pernah diberikannya dapat membantu prekonomian keluarga kaka
Pada sore harinya Ansel barusaja terbangun, saat ini hal pertama yang dikatakan Alea adalah tentang kiriman uang dari Aisha. “Tadi siang ada ojek online yang mengirimkan uang dari Aisha.”Dahi Ansel segera berkerut seiring menatap amplop putih yang disodorkan Alea. “Aisha mengirim uang?”“Iya. Tapi aku tidak menelepon balik karena kuota kamu habis.” Tatapan Alea sudah memerlihatkan sendu, tetapi menurutnya belum saatnya membahas pemotongan gaji yang membuat suaminya bekerja lebih keras.“Astaga ... kenapa baru bilang kalau kuotanya habis. Nanti bagaimana yang memesan.” Ansel menunjukan sedikit rasa panik. Segera, dirinya bergegas mengambil uang dalam kantong celananya untuk mengisi ulang kuota di konter terdekat. Saat inilah panggilan Alea mengudara.“Bukankah seharusnya kamu membuka amplop pemberian Aisha,” sodorannya masih belum diterima Ansel.Maka, Ansel segera membukanya kemudian menghitung uang di dalamnya. “Jumlahnya hampir satu juta. Aku tidak bisa membiarkan Aisha terus mengi
Evan menanggapi amarah Ansel dengan nada yang sangat santai. “Calm down ....”“Bebaskan teman-temanku!” ulang Ansel bersama dengusan.Evan segera meninggalkan duduknya karena kini dirinya lebih suka menatap langit biru dengan perasaan riang. “Tidak bisa ..., bahkan papa akan melakukan hal yang sama jika berliannya hilang. Jadi seharusnya kau sudah paham denda yang harus ditanggung penjaga keamanan.”“Aku tidak mau tahu. Bebaskan mereka sekarang juga!” Ansel tidak akan berhenti berbicara walaupun mungkin Evan tidak akan mendengarnya. “Bisnis adalah bisnis.” Evan menyeringai penuh kemenangan. “Aku akan membongkar semua kebusukanmu!” ancaman Ansel yang akhirnya diungkapkan.Saat ini Evan mulai menanggapi Ansel dengan serius. “Kebusukan. Sisi mana yang menunjukan kebusukanku, hm ....” Pria ini tidak lantas gentar walaupun kini dirinya sedikit gemetar. “Aku bisa saja mengatakan semuanya pada supervisor jika kau merebut perusahaan papa. Dengan begitu supervisor akan menghentikan pemasuka
Pukul delapan malam, Aisha menghidangkan menu yang dibuatnya karena Evan selalu menginginkan masakannya dibandingkan hasil masakan bibi, tetapi itu karena Evan ingin membuat Aisha kerepotan bukan karena menyukai cita rasa pada setiap menu yang dibuatkan istrinya. Pria ini menghirup udara dari sebuah menu yang kebetulan dekat dengan dirinya hingga aromanya tertangkap dengan kuat. “Sangat menggugah selera,” pujian palsunya. “Tidak ada kamu di rumah membuat aku harus memakan masakan bibi setiap hari.” Kalimatnya seakan mengeluh padahal masakan bibi maupun hasil buatan Aisha sama saja baginya. “Kamu bisa sering-sering kesini, kan.” Kalimat kosong Aisha yang masih menata meja makan. “Inginnya begitu, Sayang ..., tapi aku menumpuk pekerjaan di rumah. Jika harus dibawa kesini maka hanya akan menambah pekerjaanku saja,” kekeh Evan saat memberikan kepalsuan karena dengan tidak adanya Aisha dan Adhitia di rumah, suasana terasa lebih fress juga luas dibandingkan biasanya. Pun, dia bisa lebih l
Amplop berisi uang disodorkan Ansel pada Alea, “Hampir saja lupa. Tolong simpan uang ini, anggap saja uang ini tabungannya Aisha.” Pria ini sangat memercayai istrinya, dia tahu Alea tidak akan mengambil sedikit pun yang bukan miliknya.Anggukan patuh diterima Ansel dari Alea. “Aku akan menyimpannya.” Setelah ini Ansel berlalu untuk berniaga walaupun sebenarnya ini sudah terlalu siang karena pasar kaget menggunakan sistim mengejar waktu jadi biasanya para pedagang akan datang sangat pagi.Di sisi lain, Evan hendak menikmati sarapan paginya yang lagi-lagi hasil buatan Aisha. “Wanginya selalu menggugah selera,” pujian palsunya lagi walaupun istrinya memang pantas dinobatkan sebagai istri sempurna dalam hal dapur.“Aku membuatkan menu kesukaanmu jadi pasti kamu tidak akan bisa menolaknya.” Senyuman kecil Aisha hanya sebagai pemanis saja di depan Evan karena jika tidak dilakukan mungkin suaminya akan menambah penyiksaan pada keluarganya. “Terimakasih, Sayang.” Kecupan di dahi Aisha mendar
Saat ini Aisha berjalan cepat keluar dari gedung apartemen setelah mendapatkan izin dari Adhitia dan setelah menitipkan sang ayah pada bibi. Taxi adalah kendaraan yang digunakannya. Wanita ini membawa sedikit uang, maka tidak ada oleh-oleh untuk Ocean maupun Alea dan Ansel. “Pak, dipercepat ya,” pintanya dengan sedikit panik karena di satu sisi dia harus menemui Ansel untuk menyampaikan yang didengarnya sekalian bertatap muka dengan ipar serta keponakannya, tetapi di sisi lain sang ayah dibiarkan seorang diri dan hanya mendapatkan penjagaan dari bibi. Bibi adalah pembantu rumah tangga yang sudah bekerja belasan tahun, dia saksi dan mengetahui banyak hal yang terjadi di keluarga Adhitia. Wanita ini juga memihak keluarga Adhitia walaupun di depan Evan dirinya selalu mengangguk patuh, maka dari itu Aisha berani menitipkan sang ayah padanya. Namun, doa-doa terbaik yang diiringi cemas tetap dilantunkan pada Tuhannya walaupun sembilan puluh persen ayahnya aman. “Tuhan, tolong jaga papa. Bi