Home / Pendekar / Pewaris Pedang Sulur Naga / Bab 6. Wewangian di Malam Hari

Share

Bab 6. Wewangian di Malam Hari

Author: Eka wa
last update Last Updated: 2022-07-05 21:24:19

Malam itu Sekar Pandan dan Mahisa Dahana bermalam di tepi sungai Berantas. Hawa dingin di alam terbuka menjadi hangat seketika saat api unggun telah dinyalakan. Bau harum yang lembut seketika berpendar . Kening Mahisa Dahana berkerut. Dia heran, di dalam hutan kenapa ada wewangian seharum ini?

Diam-diam tangannya meraba gagang pedang yang ada di pinggangnya. Dia yakin ada seorang perempuan yang tengah mengintai mereka berdua di tempat itu. Dan perempuan yang selalu memakai wewangian di hutan pastilah dia dari golongan hitam.

Cukup lama pemuda itu bersiap siaga.

Sekar Pandan yang mengira memang ada tamu tak diundang ikut bersiap. Dia kerahkan semua panca inderanya untuk mengetahui keberadaan tamu itu.

Karena yang ditunggu tidak berani muncul menampakkan batang hidung, Mahisa Dahana berdiri menantang. "Nisanak, keluar lah! Jangan hanya sembunyi. Kami bukan orang jahat dari golongan hitam. Keluarlah, Nisanak …!"

Tak ada suara. Hanya suara jangkrik dan gemericik air sungai yang terdengar.

Mahisa Dahana mengedarkan pandangan menembus kegelapan. Angin malam berhembus menyebarkan bau harum itu kembali.

"Sepertinya perempuan yang menebarkan bau harum itu tetap tidak mau muncul," tukas Mahisa Dahana memandang Sekar Pandan yang tengah menikmati daging ikan bakar.

Tiba-tiba Sekar Pandan tertawa. Tanpa suara.

"Kenapa Nini tertawa?"

Sekar Pandan menahan tawa dengan menutup mulutnya. Rupanya Mahisa Dahana mengira bahwa bau harum yang sejak tadi tercium berasal dari seseorang yang mengintai mereka. Pemuda itu tidak tahu, bahwa bau harum itu berasal dari bau alami tubuhnya yang hanya keluar jika malam hari.

Mahisa Dahana mendengus. Memiliki teman yang tidak bisa bicara sama saja dengan bicara sendiri.

Sekar Pandan merasa kasihan pada kawan barunya ini, maka dia meraih satu ranting lalu mendekati tempat duduk Mahisa Dahana. Dengan ranting itu dia menggores tanah di depan laki-laki muda itu.

BAU HARUM ITU BERASAL DARIKU, KAKANG.

Wajah Mahisa Dahana mendongak. Dan benar. Bau harum itu semakin tercium santer masuk ke dalam hidungnya. Bau harum yang berasal dari tubuh gadis berkain hijau ini lah yang tadi dia kira adalah musuh yang tengah mengintai. Menyadari kekeliruannya, Mahisa Dahana tertawa terpingkal.

"Hahaha, aku bodoh sekali. Aku pikir bau harum ini berasal dari seorang wanita yang tengah mengintai kita. Ternyata dugaanku salah." Sekar Pandan kembali duduk ke tempatnya.

Mahisa Dahana memandangi Sekar Pandan yang kembali melanjutkan makannya. Gadis ini masih belasan warsa, tapi memiliki raga yang luar biasa cantik. Kulitnya halus seperti para putri keraton yang rajin merawat diri dengan lulur mangir dan kuning kulitnya seperti kuningnya buah langsat. Rambut hitamnya yang lebat bergelombang sepinggul menambah pesonanya.

Hidungnya yang mancung itu bagai rautan lilin dengan sepasang bola mata yang sebening telaga dihiasi bulu lentik yang memesona.

Bibirnya merah meranum dan jika tertawa, ada gingsul yang menyihir siapa pun yang menatapnya.

Gadis ini bukan gadis desa yang lemah. Atau seorang putri keraton yang membutuhkan pengawalan dari prajurit pilihan. Dia seorang pendekar wanita. Dari gagang pedang yang ia sandang saja sudah menunjukkan bahwa pedang itu bukan pedang biasa. Itu pedang pusaka yang cantik dan luar biasa.

Mahisa Dahana lupa menarik pandangannya yang sejak tadi berlabuh pada diri Sekar Pandan. Sehingga saat gadis cantik itu mendadak balik menatapnya, dia geragapan. Sambil salah tingkah pemuda berkain tambal-tambal itu menunduk. Berharap Sekar Pandan tidak melihat perubahan wajahnya yang malu karena ketahuan telah menatap diam-diam padanya.

Tapi rasanya memang rugi bandar jika makhluk secantik itu dihiraukan. Perlahan dia mengangkat wajahnya yang sebenarnya tampan, hanya saja kurang perhatian dengan rambut yang sedikit awut-awutan sebahu. Ditambah pancaran sinar matanya yang tanpa gairah hidup, membuat penampilan Mahisa Dahana menyedihkan.

Saat dia kembali menatap Sekar Pandan, gadis itu ternyata masih menatapnya. Dua pasang mata saling pandang. Dada Mahisa Dahana berdegup kencang memompa darahnya lebih cepat. Ada hawa hangat yang mengalir cepat ke seluruh tubuhnya. Membuat dirinya merasa bergairah. Hal yang belum pernah dialami.

Jika selama ini hidupnya dingin tanpa gairah hidup, tapi saat ini ketika bersama Sekar Pandan ia merasa hidupnya lebih berwarna.

Perlahan sudut mulutnya tertarik ke samping, menciptakan garis senyum yang manis.

Sekar Pandan pun membalas senyum pemuda berusia dua puluh warsa itu. Dia berharap, Mahisa Dahana ini akan menjadi kawan baik seperti Raden Prana Kusuma yang saat ini telah pulang ke Trowulan.

"Kau biasa memakai wewangian jika malam hari, Nini?"

Sekar Pandan menggeleng.

"Lalu?"

Gadis itu kembali menorehkan huruf demi huruf sansekerta di atas tanah.

ITU BAU ALAMI TUBUHKU, KAKANG.

Mahisa Dahana membaca tulisan itu. Walaupun dia hidup di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, lebih tepatnya di Bukit Tengkorak. Gurunya yang aneh itu tetap mengajarkan baca tulis. Walaupun kurang pandai, Mahisa Dahana masih bisa membaca tulisan gadis berbau harum ini.

"Luar biasa, baru kali ini aku bertemu gadis unik sepertimu, Nini." Sekar Pandan tertunduk malu. Pemuda itu melanjutkan kembali kalimatnya, "kau pendekar wanita yang berilmu tinggi, pasti memiliki julukan."

Sekar Pandan mengernyit tidak mengerti.

"Nini seorang pendekar wanita yang cantik bagai Dewi. Dan memiliki bau alami yang harum di malam hari. Pantasnya Nini mendapat julukan … Dewi Malam."

Sekar Pandan tertawa memamerkan gigi gingsulnya.

"Nini tidak suka?"

Sekar Pandan menggeleng.

Mahisa Dahana berpikir keras membuatkan julukan yang tepat untuk Sekar Pandan. Gadis itu menunggu dengan memeluk lutut. Hatinya demikian gembira karena akan mempunyai julukan seperti para pendekar digdaya lainnya. Kelak,jika dia pulang ke perguruan Pulau Pandan, dia akan memamerkan julukannya itu pada bibi pengasuh dan saudara seperguruannya di sana.

Biar semua orang tahu, bahwa tidak hanya kedua ayah angkatnya saja yang memiliki

julukan, yaitu si Muka Merah dan si Muka Putih. Dirinya pun memiliki.

Related chapters

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 7. Julukan dari Mahisa Dahana

    Sekar Pandan masih menunggu dengan sabar julukan itu. Dia yakin, kawannya ini tengah berpikir keras untuk membuatkan julukan atau nama lain yang sesuai dengan dirinya di dunia persilatan Jawa Dwipa."Ah, aku tahu, Nini. Julukan yang tepat untukmu adalah … Dewi Bunga Malam! ""Rupanya sepasang muda mudi tengah bermain membuat julukan. "Serangkum angin melesat melabrak api unggun hingga api itu bergoyang dahsyat dan padam. Sekar Pandan yang duduk paling dekat dengan api unggun bisa merasakan besarnya kekuatan angin itu. Gadis yang berasal dari perguruan Pulau Pandan itu membuang tubuhnya ke samping, menghindari serangan tiba-tiba itu.Saat membuang tubuhnya ke samping, kakinya sempat menendang satu kayu dari api unggun hingga terlempar ke udara. Saat api unggun padam, kayu yang masih dimakan api yang melayang di udara itu lah yang menerangi tempat itu. Dengan gerak cepat Sekar Pandan menyambar kayu yang masih melayang. Siapa sangka, sebuah tendangan yang demikian cepat berhasil membua

    Last Updated : 2022-07-13
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 8. Bertamu

    Dengan hati-hati, kedua muda mudi itu berjalan menyusuri semak dan rerumputan yang setinggi lutut untuk mencapai rumah yang terlihat samar dalam gelap. Benar saja. Di depan mereka berdiri sebuah rumah berbentuk panggung sederhana dari kayu. Obor penerangan terpasang di sudut luar rumah. Tidak cukup besar, tapi cukup sebagai penerang serambi depan dan sebagian halaman.Sekar Pandan berjalan mendekati pintu. Mengetuknya dengan pelan. Satu orang pun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Sekar Pandan mengetuk kembali. Kali ini suara ketukannya lebih dikeraskan berharap pemilik rumah mendengarnya lalu bangun untuk membukakan pintu.Perkiraannya benar.Dari dalam terdengar suara palang kayu pintu dibuka. Disusul dengan suara geritan pintu yang dibuka. Seraut wajah laki-laki tua dengan wajah masih mengantuk muncul di sana."Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja."Mahisa Dahana menghampiri mereka. Merangkapkan kedua tangannya di depan dada pada pemilik rumah, sebagai permintaan maaf karen

    Last Updated : 2022-07-22
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 9. Penguasa Hutan

    "Aku akan berusaha. Besuk pagi akan memetik daun obat untuk merawat anak kakek ini. Kalian berdoalah, agar semuanya berjalan lancar.""Kau tetaplah di sini, Dewi Bunga Malam," ujar mereka bersama-sama. Gadis itu mengangguk. Kakek dan nenek pemilik rumah keluar kamar meninggalkan Sekar Pandan dan anaknya yang masih terbaring."Jika kau ingin istirahat, kau bisa tidur di balai balai itu, Dewi Bunga Malam." Sekar Pandan menoleh pada sebuah balai balai yang ada di sudut ruangan. "Itu tempat tidur ibuku.""Siapa namamu?" tanya Sekar Pandan."Sekar Wangi." jawab Sekar Wangi."Bagaimana kau bisa sakit separah ini? Apakah kedua orang tuamu tidak—""Ceritanya panjang dan kau tidak perlu tahu. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengobati penyakitku. Tubuhku dari waktu ke waktu bertambah kurus hingga seperti yang kau lihat. Tubuhku tak ubahnya tengkorak hidup," desah Sekar Wangi pasrah dengan keadaan dirinya.

    Last Updated : 2022-08-10
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 10. Jati Diri Sekar Pandan

    Sekar Pandan menelisik tubuh Sekar Wangi, tak percaya."Dan aku benar-benar sakit. Kau bisa melihat keadaanku," terang Sekar Wangi diantara kekehannya."Kau tahu namaku?" tanya Sekar Pandan pada Sekar Wangi. Kedua bola mata Sekar Pandan melebar."Tentu saja tahu. Asal usulmu pun aku tahu," jawab Sekar Wangi enteng."Tidak mungkin!" sanggah Sekar Pandan."Apanya yang tidak mungkin bagi kami. Namamu Sekar Pandan. Kau berasal dari sebuah pulau yang sangat jauh dari tanah Jawa Dwipa ini. Kedua ayah angkatmu merupakan Datuk ahli obat dan racun. Ibumu berasal dari hutan Gendingsewu." Sekar Wangi mulai membuka jati diri Sekar Pandan. Gadis itu semakin dibuat takjub oleh pengetahuan wanita di depannya ini. Sekar Wangi adalah wanita dari bangsa lelembut, tentu saja dia tahu banyak hal tentang diri Sekar Pandan."Hutan Gendingsewu?""Ya. Ibumu adalah putri seorang pertapa di Padepo

    Last Updated : 2022-08-11
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 11. Hadiah dari Sekar Wangi

    Sekar Wangi terus maju dan menepuk pundak Sekar Pandan dengan senyum mengembang di bibirnya yang penuh. "Itu memang aku. Lebih tepatnya kekuatan jahat yang ada dalam diriku.""I-Itu … wujud aslimu?" Mata Sekar Pandan berputar menatap sosok Sekar Wangi, seolah ingin mencari celah dari tubuh sempurna, dari mana perubahan mengerikan itu berasal."Hihihi, tentu bukan, Sekar Pandan. Wujud asliku seperti ini." Sekar Wangi terkekeh sembari menutupi mulutnya dengan punggung tangannya. Karena merasa lucu dengan tuduhan Sekar Pandan barusan."Ohh, lalu kau membawa kami ke sini? Bagaimana dengan temanku? Kalian tidak—" gumam Sekar Pandan tidak meneruskan perkataannya karena mengkhawatirkan Mahisa Dahana yang tengah terluka. Bagaimanapun dia sangat khawatir dengan keselamatan pemuda itu. Apalagi mereka berada di alam lain.Seolah mengerti dengan isi kepala si gadis, perempuan dari bangsa lelembut itu segera menimpali."Temanmu itu aman. Jangan khawatir. Sekarang kembalilah kau bersama temanmu it

    Last Updated : 2022-08-11
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 12. Daun Kuning Pengganti Kata.

    Dalam waktu sepenginangan sirih, Mahisa Dahana telah bangun dan setelah membersihkan diri di sungai, keduanya menyantap daging ayam hutan bakar hasil perburuan Sekar Pandan."Dewi Bunga Malam, apakah semalam kau merasakan sesuatu?"Sekar Pandan tahu kemana arah pertanyaan pemuda ini. Pasti ingin tahu tentang Sekar wangi, atau pak tua semalam yang telah memberi tumpangan menginap. Untuk menutupi dan menghentikan rasa penasaran si pemuda, Sekar Pandan sengaja menggelengkan kepalanya keras-keras.Mahisa Dahana serba salah jika berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu. Tentu gadis itu lebih memilih menggeleng tidak tahu daripada harus bercerita. Seumpama gadis itu memilih bercerita pun, tentu dirinya juga tidak akan mengerti. Sebab gadis itu bercerita dengan menggerakkan tangannya."Ah, sungguh susah berteman dengan gadis bisu," gumam Mahisa Dahana pelan. Dia menghentikan gigitan pada daging ayam bakar miliknya, saat dia tidak sengaja mengangkat pinggangnya. Rasa nyeri yang luar biasa baga

    Last Updated : 2022-08-19
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 13. Muda Mudi Polos.

    Saat dia merasakan tubuh pemuda itu merapat ke tubuhnya. Dia gadis polos yang belum pernah tersentuh laki-laki manapun. Kedua pipinya menghangat, malu."Jangan takut, Nini. Aku akan menemanimu menempuh perjalanan." Pemuda itu berkata di belakang telinga si gadis. Hembusan nafas hangat si pemuda pun merayap di kulit halusnya lalu menjelajahi tubuhnya. Memaksa bulu kuduknya berdiri.Mahisa Dahana pun tidak beda jauh dengan Sekar Pandan. Meskipun sudah dua puluhan warsa usianya, tapi dia belum pernah bersentuhan dengan seorang gadis. Bisa dikatakan Sekar Pandan lah gadis pertama yang pernah bersentuhan dengannya.Dia pikir, saat memutuskan akan berkuda bersama dengan Sekar Pandan, akan biasa saja. Tidak akan seperti ini yang dia rasakan. Begitu berhasil duduk di belakang punggung gadis itu, jantungnya berdegup kencang.Rambut hitam panjang bergelombang Sekar Pandan tercium harum. Seperti inikah bau rambut seorang gadis? Harum sekali, katanya dalam hati. Dan saat lengannya berhasil memel

    Last Updated : 2022-08-24
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 14. Markas Rahasia

    Gerakan keduanya gesit, sehingga si Pekatik segera menghormat. Dia hafal tamu-tamu yang datang ke rumah penginapan. Mana yang dari pendekar dan mana yang saudagar. Jika dengan saudagar, biasanya akan mendapat imbalan kepeng atas kerjanya. Namun, jika dengan pendekar, jangankan kepeng, tidak dibentak dan dipukul saja sudah untung.Tangan gadis itu mengambil dua buntalan miliknya dari punggung kuda. Si Pekatik menuntun kuda hitam ke belakang rumah penginapan melewati samping rumah. Sekar Pandan justru menghalangi langkah Pekatik itu."Ada apa, Nini?" Hati si Pekatik mulai was-was. Dia sudah bersiap menerima cacian, pukulan, dan tendangan gadis bercadar hijau itu.Sekar Pandan mengelus-elus kepala kudanya dengan sayang. Sementara si kuda seperti merasakan apa yang ingin disampaikan majikannya. Dia pun mengusap-usapkan moncongnya ke wajah cantik gadis berusia tujuh belas warsa yang tertutup cadar hijau tipis. Melihat hubungan kedu

    Last Updated : 2022-09-23

Latest chapter

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 239. Ketetapan Hati

    Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 238. Pendekar Tampan Berambut Putih.

    Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 237. Lelaki Tampan Berambut Putih

    Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 236. Terluka

    "Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 235. Tumbangnya Sang Penguasa Jurang.

    Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 234. Berebut Pedang.

    Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 233. Dua Kekuatan Berlawanan

    Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 232. Berhadapan dengan Hang Dineshcarayaksa.

    Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 231. Melawan Hang Dineshcarayaksa.

    Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b

DMCA.com Protection Status