Gerakan keduanya gesit, sehingga si Pekatik segera menghormat. Dia hafal tamu-tamu yang datang ke rumah penginapan. Mana yang dari pendekar dan mana yang saudagar. Jika dengan saudagar, biasanya akan mendapat imbalan kepeng atas kerjanya. Namun, jika dengan pendekar, jangankan kepeng, tidak dibentak dan dipukul saja sudah untung.
Tangan gadis itu mengambil dua buntalan miliknya dari punggung kuda. Si Pekatik menuntun kuda hitam ke belakang rumah penginapan melewati samping rumah. Sekar Pandan justru menghalangi langkah Pekatik itu."Ada apa, Nini?" Hati si Pekatik mulai was-was. Dia sudah bersiap menerima cacian, pukulan, dan tendangan gadis bercadar hijau itu.Sekar Pandan mengelus-elus kepala kudanya dengan sayang. Sementara si kuda seperti merasakan apa yang ingin disampaikan majikannya. Dia pun mengusap-usapkan moncongnya ke wajah cantik gadis berusia tujuh belas warsa yang tertutup cadar hijau tipis.Melihat hubungan kedu"Aku berhutang budi padanya, Paman. Saat ini pun saya sebenarnya tengah sakit. Kalau bukan karena gadis itu, … aahh mungkin saat ini aku telah tewas dengan tubuh remuk terlilit ular berwarna perak itu.""Ular bersisik putih keperakan?" Pria itu terkejut. Dirayapinya tubuh pemuda yang sangat ia hormati itu mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan rasa khawatir yang besar. Tidak ada tanda-tanda lebam atau memar di tubuhnya. Ki Gondo menarik napas lega. Setahunya, tidak ada yang lolos dari serangan belitan ular besar itu. Demikian gesit dan kuatnya, maka para pendekar menamai ular itu sebagai Ular Naga Perak. Sekarang ular itu telah mati di tangan gadis berpakaian hijau. Itu artinya ilmu kesaktian si gadis sangat tinggi."Den Mahisa bertemu gadis itu di mana?" tanya Ki Gondo mulai tertarik."Di dalam hutan. Ada apa, Paman?""Kira-kira dari perguruan mana dia berasal?" Mahisa Dahana menggeleng.
"Paman Sempana,""Benar, Den. Selama ini hanya para penari dan nayaga-lah yang aman dari incaran anak buah Dewa Jari Maut. Sedangkan perkumpulan Sapu Tangan Merah … satu persatu tewas di tangan Manggala, orang kepercayaan Dewa Jari Maut." Ki Gondo menarik napas panjang dengan hati miris. Dia sebagai ketua tidak becus melindungi para anak buahnya dari tangan jahat Dewa Jari Maut."lalu bagaimana kita bisa mengenali rombongan penari itu?""Saat ini mereka membawa sapu tangan merah hanya sebagai pengenal."Mahisa Dahana mengerti akan kesedihan orang yang menjadi kepercayaan orang tuanya ini. Untuk merebut kembali perguruan Tangan Seribu, Ki Gondo menggalang kekuatan baru yang diberi nama perkumpulan Sapu Tangan Merah. Ki Sempana—orang kepercayaan orang tuanya juga— membuat kelompok penari, dengan tujuan sama.Kedua orang tua itu demikian setia pada perguruan Tangan Seribu. Rela melakukan apa pun untuk membangun kekuatan. Sedangkan
"Ah, kenapa pesanmu selalu hadir tepat waktu," batinnya. Tangan kecil dan halus itu membuka tas kecil yang menggantung di pinggangnya. Mengambil bungkusan kain hitam kecil dari sisi lain dalam tas anyaman pandan, lalu membukanya. Sebuah jarum perak terselip di secarik kain itu.Dengan benda kecil itu, semua makanan yang terhidang diperiksa, apakah ada racun di dalamnya atau tidak. Jarum perak itu tidak berubah warna, meski telah ditusukkan pada semua makanan yang terhidang. Artinya, tidak ada racun yang dibubuhkan dalam makanannya. Jadi aman untuk dimakan. Seandainya saat ini ada Raden Prana Kusuma di depannya, maka dengan rasa percaya diri tinggi akan membusungkan dada untuk menyanggah semua perkataan pemuda itu."Raden lihat, jarum perakmu ini tidak berubah warna. Artinya rasa khawatirmu itu berlebihan." Dia yakin, saat itu wajah tampan Senopati Prana Kusuma akan berubah serius lalu katanya, "kenapa kau selalu membantahku,
Udara dari luar yang menerobos masuk ruang depan terhalang oleh tubuh rampingnya yang masih berdiri di ambang pintu. Membuat selendang jingga itu berkibar pelan seolah melambai. Menyebarkan bau harum lembut mengusik empat pria yang tengah duduk di ruangan, yang sejak tadi ngobrol ngalor ngidul sambil menikmati minuman hangat.Salah satu pria menyenggol lengan teman yang duduknya paling dekat dengannya. Pria yang merasa disenggol menggerakkan dagunya. "Ada apa?""Coba kalian cium bau wangi ini."Serentak mereka mengendus. Seperti anjing yang mengendus jejak. Benar sekali. Bau harum ini sangat lembut dan menenangkan. Bau harum itu dibawa angin dari luar, dan gadis berkain hijau berselendang jingga ini sepertinya adalah sumber dari bau harum itu, pikir mereka kompak."Sstt, siapa gadis itu, kakang?""Tidak tahu.""Bau harum ini berasal darinya.""Coba lihat kakinya,""Untuk a
"Iya, Den. Umang Sari anak gadis saya satu-satunya.""Hmm," Diam-diam Umang Sari melirik Paksi Jingga. Tepat saat pemuda bertudung bambu itu belum melepaskan pandangannya dari pesona dirinya. Kembali dia menunduk. Wajahnya semakin merah seperti kepiting rebus."Kau pun sudah menjelaskan pada mereka akan tugas yang harus mereka kerjakan?" Si Tudung bambu nampak ingin mendapat kepastian. Dia tidak mau kesempatan baik ini hancur berantakan tidak sesuai rencana."Sudah, Kisanak. Kami sudah mengerti tugas kami. Kami siap mengorbankan nyawa kami ini demi kejayaan perkumpulan Sapu Tangan Merah, dan demi kejayaan perguruan Tangan Seribu kembali." Ludra Mangun menimpali. Si Tudung bambu tersenyum puas.Nampak si Tudung bambu menjelaskan sesuatu pada mereka. Dan mereka pun manggut-manggut pertanda mengerti."Tugas ini tidak main-main. Kalian boleh mundur jika tidak sanggup." kata-kata pria itu tajam
"Mencari kepala gundulmu! Kau tadi tidak mendengar kata-kata Ki Sempana?" Palasari ngomel. Wanita itu masih dongkol atas perkataan Ludro Mangun padanya. Makanya begitu ada kesempatan membalas langsung balas dendam. Mendapat makian Palasari, Ludro Mangun mendelik."Kau!""Sudah. Sesama saudara yang memiliki satu tujuan jangan berdebat. Cita-cita belum tercapai kalian malah saling tengkar. Yang ada justru kita bercerai berai." Ki Sempana menengahi keduanya. Palasari melengos kearah luar, sementara Ludro Mangun menunduk patuh. Baginya, Ki Sempana tidak hanya guru, tapi dewa dalam wujud manusia untuk menolongnya.Untuk mencari rumah penginapan Ki Gondo tidak sulit. Selain Ki Sempana memang sudah tahu, rumah penginapan itu sangat terkenal di desa yang ada di lereng gunung Wilis ini. Pelayan rumah penginapan segera menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Bunyi gelang kaki para penari itu mengusik telinga Sekar Pandan yang sedang b
Ohh … kasihan sekali. Meskipun begitu kau tetap tidak boleh sembrono. Harus tetap hati-hati. Ingat cita-cita luhur kita. Merebut kembali perguruan Tangan Seribu dari si culas Dewa Jari Maut. Kesampingkan dulu urusan pribadimu itu, Umang." Ki Sempana tidak ingin gara-gara urusan pribadi anaknya, semua rencananya berantakan. "Baik, ayah. Aku mengerti. Sekarang aku akan kembali ke kamar."Umang Sari meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya sendiri. Sesampai di sana. Gadis penari itu merebahkan tubuhnya untuk tidur menyusul Sekar Pandan. Bau harum yang lembut berasal dari wangi tubuh gadis berkain hijau itu menenangkan sekaligus mengherankan hatinya."Wangi ini lembut dan menenangkan. Sepertinya bukan berasal dari wewangian seperti yang aku pakai menari selama ini," gumamnya heran. Untuk mengobati rasa ingin tahunya, gadis itu mengendus tubuh Sekar Pandan, mencoba mencari tahu asal muasal bau wangi dari tubuh gadis itu. Menurutnya,
"Ohh … kasihan sekali. Meskipun begitu kau tetap tidak boleh sembrono. Harus tetap hati-hati. Ingat cita-cita luhur kita. Merebut kembali perguruan Tangan Seribu dari si culas Dewa Jari Maut. Kesampingkan dulu urusan pribadimu itu, Umang." Ki Sempana tidak ingin gara-gara urusan pribadi anaknya, semua rencananya berantakan. "Baik, ayah. Aku mengerti. Sekarang aku akan kembali ke kamar."Umang Sari meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya sendiri. Sesampai di sana. Gadis penari itu merebahkan tubuhnya untuk tidur menyusul Sekar Pandan. Bau harum yang lembut berasal dari wangi tubuh gadis berkain hijau itu menenangkan sekaligus mengherankan hatinya."Wangi ini lembut dan menenangkan. Sepertinya bukan berasal dari wewangian seperti yang aku pakai menari selama ini," gumamnya heran. Untuk mengobati rasa ingin tahunya, gadis itu mengendus tubuh Sekar Pandan, mencoba mencari tahu asal muasal bau wangi dari tubuh gadis itu. Menurutnya, jika dirinya memakai wewangian ini maka akan
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b