Share

Bab 5.  Jengah.

Author: Eka wa
last update Last Updated: 2022-07-01 10:05:16

"Ada apa, Nini?" Si pemuda bertanya karena merasa keheranan dengan tingkah si gadis . Sekar Pandan menunjuk tubuh si pemuda kembali. Pemuda itu kebingungan dan semakin tidak mengerti. Dia mengamati keadaan tubuh gadis penolongnya. Sekujur tubuh gadis itu penuh darah ular yang menebarkan bau anyir. Niat awal dirinyalah yang ingin menolong si gadis , justru malah dirinya yang ditolong.

Dia malu sekali.

Tanpa menghiraukan tingkah aneh Sekar Pandan, pemuda itu berpamitan. "Nini, maaf saya harus pergi." Pemuda itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada, tanpa menunggu balasan gadis yang menolongnya, dia melangkah pergi dengan tertatih-tatih karena tulang punggungnya masih sakit dan ngilu akibat belitan ular.

Sekar Pandan tidak bisa mencegah orang muda berkain tambal tambal itu pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa menarik napas panjang kemudian menghembuskannya kembali dengan berat. Tubuhnya berputar hendak menuju sungai, tempat kuda dan buntalan pakaiannya berada.

Tiba-tiba … .

Bruk! Krosak!

Gadis berkain hijau itu menoleh dengan terkejut.

Rupanya, dalam beberapa langkah ke depan, tubuh si pemuda jatuh terjerembab di semak belukar yang banyak daun keringnya. Sehingga menyebabkan bunyi ' krosak' yang keras.

Sekar Pandan berlari menolongnya. Si pemuda berusaha bangkit, tangannya mengibas ke arah Sekar Pandan, menolak bantuannya. Gadis itu diam terpaku sambil mengawasi pemuda yang ada di depannya ini berdiri tegak. Lalu berjalan kembali seraya meringis menahan ngilu di sendi tulangnya. Boleh jadi letak tulangnya telah kembali. Tapi ngilu akibat belitan ular sialan itu tetap harus dia tanggung.

Dalam hati si pemuda menyumpah, geram.

Sekar Pandan ingin mencegahnya. Tidak satupun suara yang keluar dari tenggorokan. Baru saja dia bertemu teman, sekarang malah ingin pergi. Yang jelas bukan dia takut melakukan perjalanan seorang diri, melainkan dia perlu membantu orang muda ini kembali sampai benar-benar pulih. Mungkin dengan membawanya kepada seorang dukun yang mengerti tentang tulang dan sendi barulah dia merasa lega.

Dengan gerak cepat, Sekar Pandan menghadangnya. Si pemuda terperanjat! Dia tidak menyangka bahwa gadis penolongnya bisa bergerak sedemikian cepatnya.

"Ada apa Nini? saya ingin pergi. Tolong jangan halangi." Sekar Pandan menggeleng keras kemudian menarik tangan pemuda itu menuju sungai.

"Bersihkan tubuhmu dengan air sungai, Kisanak." ujar Sekar Pandan menunjuk aliran sungai Berantas yang jernih.

Mengertilah pemuda itu dengan maksud dari si gadis. Dia memperhatikan tubuhnya yang penuh darah. Sekar Pandan melepaskan pegangan tangannya kemudian pergi menuju tepi sungai untuk membersihkan diri.

Si pemuda pun langsung masuk ke dalam sungai agak terpisah dengan gadis belasan tahun itu. Bukan main sakitnya pinggang bekas belitan ular, saat kakinya masuk sungai. Beberapa batu besar menghalangi jarak keduanya. Mulailah mereka membersihkan tubuh dan mencuci kain yang melilit di tubuh. Setelah cukup membersihkan diri, gadis itu kembali keluar dengan pakaian kering sambil membawa baju basah lalu menjemurnya di atas batu di bawah terik matahari.

Keduanya duduk di atas sebongkah batu saling berhadapan. Pemuda itu duduk bersila dengan kain sedikit basah, mencoba menghimpun kekuatannya kembali. Sementara gadis itu sibuk mengeringkan rambut hitam panjang bergelombangnya yang basah. Ujung kain hijau yang melekat di tubuhnya berkibar tertiup angin siang yang tetap sejuk.

Setelah berhasil menghimpun kekuatannya kembali, si pemuda bertanya," Siapa namamu, Nini?"

Gadis itu menghentikan gerakan tangan pada rambutnya. Memandang lurus ke depan. Pemuda itu juga tengah memandangnya. Menunggu jawaban. Sebenarnya dia enggan menyebutkan nama di depan orang asing.

"Apakah Nini tidak ingin berkawan dengan pemuda gembel sepertiku?" Suara pemuda itu terdengar bergetar. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang dalam. Sekar Pandan ingin mengatakan bahwa dia suka berteman dengan pemuda ini. Baru saja dia hendak menggerakkan tangannya untuk menjelaskan isi hatinya. Ah, mana mungkin laki-laki muda ini mengerti dengan bahasanya.

Untuk melakukan sesuatu seperti yang biasa ia lakukan dengan Raden Prana Kusuma saat berbicara, gadis itu jengah. Padahal Raden Prana Kusuma malah seorang prajurit sekaligus bangsawan Majapahit, sedangkan dirinya hanya gadis biasa yang seharusnya lebih menjaga sopan santun dan kehormatan, tapi dirinya tidak pernah mengalami rasa itu. JENGAH. Entah kenapa dengan pemuda berkain tambal-tambal ini dirinya mengalaminya.

Sekar Pandan tersenyum tipis. Bermaksud, bahwa dia senang berkawan dengan pemuda itu. Si pemuda sedikit lega. Kedua alisnya bertaut, dia seperti tengah mengingat sesuatu.

"Ah, sejak tadi aku belum mengenalkan namaku padamu. Jika kau tidak mau menyebutkan nama, maka biarkanlah aku yang menyebut nama terlebih dahulu. Namaku Mahisa Dahana. Nini bisa memanggilku Kakang Mahisa. Karena usia kita memang terpaut jauh." Gadis berkulit kuning buah langsat itu mengangguk senang.

Pemuda ini kelihatannya cukup baik, tidak masalah jika dia berteman dengannya. Lagi pula, saat ini sepertinya dia butuh seorang teman.

Mata indah dan bening bak telaga Sekar Pandan mengamati aliran sungai Berantas yang ada di bawahnya. Beberapa ikan besar berenang di antara celah-celah bebatuan. Ikan ikan sungai itu cukup untuk santapan makan malam nanti.

Bergegas dia memunguti batu kecil yang ada di tepi sungai. Dengan mengerahkan tenaga dalam, batu batu kecil itu digunakan untuk membidik ikan yang tengah berenang di dasar sungai.

Wusshh wuushh!

Satu ekor ikan menggelepar. Satu sambitan Sekar Pandan lakukan lagi. Dan satu ekor menyusul muncul di permukaan air. Dia melakukan itu sampai beberapa kali hingga ikan yang ia kumpulkan cukup banyak untuk disantap berdua dengan Mahisa Dahana.

Tangannya mengambil ranting-ranting kayu kering yang berserakan di bawah pohon di tepi sungai. Melihat ulah Sekar Pandan, yang sejak tadi melakukan semuanya sendiri, Mahisa Dahana berjalan tertatih-tatih mendekat.

"Kau pikir aku tidak bisa mengumpulkan ranting-ranting kayu kering ini, Nini? " Sekar Pandan terkejut dengan kata-kata pemuda ini. Padahal dia tidak bermaksud seperti yang pemuda itu kira.

Tanpa menghiraukan si pemuda yang sibuk menumpuk ranting-ranting kering, Sekar Pandan pergi begitu saja masuk hutan kembali. Mahisa Dahana menghentikan pekerjaannya. Memandang Sekar Pandan yang telah tertelan lebatnya hutan.

"Dia pergi meninggalkan aku sendiri begitu saja. Apakah gadis itu tersinggung?" desahnya mulai merasa bersalah.

"Nini …! Kembalilah."

Sekar Pandan tidak kembali.

Gadis itu terus berjalan menyusuri hutan sambil sesekali memetik dedaunan, buah, dan bunga. Semua yang ia petik merupakan sesuatu yang mengandung obat. Dia ingin membuat ramuan jamu untuk Mahisa Dahana agar tubuhnya lebih baik setelah dililit ular besar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suprayitno Suprayitno
oh, dia ini tabib ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 6. Wewangian di Malam Hari

    Malam itu Sekar Pandan dan Mahisa Dahana bermalam di tepi sungai Berantas. Hawa dingin di alam terbuka menjadi hangat seketika saat api unggun telah dinyalakan. Bau harum yang lembut seketika berpendar . Kening Mahisa Dahana berkerut. Dia heran, di dalam hutan kenapa ada wewangian seharum ini? Diam-diam tangannya meraba gagang pedang yang ada di pinggangnya. Dia yakin ada seorang perempuan yang tengah mengintai mereka berdua di tempat itu. Dan perempuan yang selalu memakai wewangian di hutan pastilah dia dari golongan hitam. Cukup lama pemuda itu bersiap siaga.Sekar Pandan yang mengira memang ada tamu tak diundang ikut bersiap. Dia kerahkan semua panca inderanya untuk mengetahui keberadaan tamu itu.Karena yang ditunggu tidak berani muncul menampakkan batang hidung, Mahisa Dahana berdiri menantang. "Nisanak, keluar lah! Jangan hanya sembunyi. Kami bukan orang jahat dari golongan hitam. Keluarlah, Nisanak …!"Tak ada suara. Hanya suara jangkrik dan gemericik air sungai yang terdenga

    Last Updated : 2022-07-05
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 7. Julukan dari Mahisa Dahana

    Sekar Pandan masih menunggu dengan sabar julukan itu. Dia yakin, kawannya ini tengah berpikir keras untuk membuatkan julukan atau nama lain yang sesuai dengan dirinya di dunia persilatan Jawa Dwipa."Ah, aku tahu, Nini. Julukan yang tepat untukmu adalah … Dewi Bunga Malam! ""Rupanya sepasang muda mudi tengah bermain membuat julukan. "Serangkum angin melesat melabrak api unggun hingga api itu bergoyang dahsyat dan padam. Sekar Pandan yang duduk paling dekat dengan api unggun bisa merasakan besarnya kekuatan angin itu. Gadis yang berasal dari perguruan Pulau Pandan itu membuang tubuhnya ke samping, menghindari serangan tiba-tiba itu.Saat membuang tubuhnya ke samping, kakinya sempat menendang satu kayu dari api unggun hingga terlempar ke udara. Saat api unggun padam, kayu yang masih dimakan api yang melayang di udara itu lah yang menerangi tempat itu. Dengan gerak cepat Sekar Pandan menyambar kayu yang masih melayang. Siapa sangka, sebuah tendangan yang demikian cepat berhasil membua

    Last Updated : 2022-07-13
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 8. Bertamu

    Dengan hati-hati, kedua muda mudi itu berjalan menyusuri semak dan rerumputan yang setinggi lutut untuk mencapai rumah yang terlihat samar dalam gelap. Benar saja. Di depan mereka berdiri sebuah rumah berbentuk panggung sederhana dari kayu. Obor penerangan terpasang di sudut luar rumah. Tidak cukup besar, tapi cukup sebagai penerang serambi depan dan sebagian halaman.Sekar Pandan berjalan mendekati pintu. Mengetuknya dengan pelan. Satu orang pun tidak ada yang menyahut dari dalam rumah. Sekar Pandan mengetuk kembali. Kali ini suara ketukannya lebih dikeraskan berharap pemilik rumah mendengarnya lalu bangun untuk membukakan pintu.Perkiraannya benar.Dari dalam terdengar suara palang kayu pintu dibuka. Disusul dengan suara geritan pintu yang dibuka. Seraut wajah laki-laki tua dengan wajah masih mengantuk muncul di sana."Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja."Mahisa Dahana menghampiri mereka. Merangkapkan kedua tangannya di depan dada pada pemilik rumah, sebagai permintaan maaf karen

    Last Updated : 2022-07-22
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 9. Penguasa Hutan

    "Aku akan berusaha. Besuk pagi akan memetik daun obat untuk merawat anak kakek ini. Kalian berdoalah, agar semuanya berjalan lancar.""Kau tetaplah di sini, Dewi Bunga Malam," ujar mereka bersama-sama. Gadis itu mengangguk. Kakek dan nenek pemilik rumah keluar kamar meninggalkan Sekar Pandan dan anaknya yang masih terbaring."Jika kau ingin istirahat, kau bisa tidur di balai balai itu, Dewi Bunga Malam." Sekar Pandan menoleh pada sebuah balai balai yang ada di sudut ruangan. "Itu tempat tidur ibuku.""Siapa namamu?" tanya Sekar Pandan."Sekar Wangi." jawab Sekar Wangi."Bagaimana kau bisa sakit separah ini? Apakah kedua orang tuamu tidak—""Ceritanya panjang dan kau tidak perlu tahu. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengobati penyakitku. Tubuhku dari waktu ke waktu bertambah kurus hingga seperti yang kau lihat. Tubuhku tak ubahnya tengkorak hidup," desah Sekar Wangi pasrah dengan keadaan dirinya.

    Last Updated : 2022-08-10
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 10. Jati Diri Sekar Pandan

    Sekar Pandan menelisik tubuh Sekar Wangi, tak percaya."Dan aku benar-benar sakit. Kau bisa melihat keadaanku," terang Sekar Wangi diantara kekehannya."Kau tahu namaku?" tanya Sekar Pandan pada Sekar Wangi. Kedua bola mata Sekar Pandan melebar."Tentu saja tahu. Asal usulmu pun aku tahu," jawab Sekar Wangi enteng."Tidak mungkin!" sanggah Sekar Pandan."Apanya yang tidak mungkin bagi kami. Namamu Sekar Pandan. Kau berasal dari sebuah pulau yang sangat jauh dari tanah Jawa Dwipa ini. Kedua ayah angkatmu merupakan Datuk ahli obat dan racun. Ibumu berasal dari hutan Gendingsewu." Sekar Wangi mulai membuka jati diri Sekar Pandan. Gadis itu semakin dibuat takjub oleh pengetahuan wanita di depannya ini. Sekar Wangi adalah wanita dari bangsa lelembut, tentu saja dia tahu banyak hal tentang diri Sekar Pandan."Hutan Gendingsewu?""Ya. Ibumu adalah putri seorang pertapa di Padepo

    Last Updated : 2022-08-11
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 11. Hadiah dari Sekar Wangi

    Sekar Wangi terus maju dan menepuk pundak Sekar Pandan dengan senyum mengembang di bibirnya yang penuh. "Itu memang aku. Lebih tepatnya kekuatan jahat yang ada dalam diriku.""I-Itu … wujud aslimu?" Mata Sekar Pandan berputar menatap sosok Sekar Wangi, seolah ingin mencari celah dari tubuh sempurna, dari mana perubahan mengerikan itu berasal."Hihihi, tentu bukan, Sekar Pandan. Wujud asliku seperti ini." Sekar Wangi terkekeh sembari menutupi mulutnya dengan punggung tangannya. Karena merasa lucu dengan tuduhan Sekar Pandan barusan."Ohh, lalu kau membawa kami ke sini? Bagaimana dengan temanku? Kalian tidak—" gumam Sekar Pandan tidak meneruskan perkataannya karena mengkhawatirkan Mahisa Dahana yang tengah terluka. Bagaimanapun dia sangat khawatir dengan keselamatan pemuda itu. Apalagi mereka berada di alam lain.Seolah mengerti dengan isi kepala si gadis, perempuan dari bangsa lelembut itu segera menimpali."Temanmu itu aman. Jangan khawatir. Sekarang kembalilah kau bersama temanmu it

    Last Updated : 2022-08-11
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 12. Daun Kuning Pengganti Kata.

    Dalam waktu sepenginangan sirih, Mahisa Dahana telah bangun dan setelah membersihkan diri di sungai, keduanya menyantap daging ayam hutan bakar hasil perburuan Sekar Pandan."Dewi Bunga Malam, apakah semalam kau merasakan sesuatu?"Sekar Pandan tahu kemana arah pertanyaan pemuda ini. Pasti ingin tahu tentang Sekar wangi, atau pak tua semalam yang telah memberi tumpangan menginap. Untuk menutupi dan menghentikan rasa penasaran si pemuda, Sekar Pandan sengaja menggelengkan kepalanya keras-keras.Mahisa Dahana serba salah jika berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu. Tentu gadis itu lebih memilih menggeleng tidak tahu daripada harus bercerita. Seumpama gadis itu memilih bercerita pun, tentu dirinya juga tidak akan mengerti. Sebab gadis itu bercerita dengan menggerakkan tangannya."Ah, sungguh susah berteman dengan gadis bisu," gumam Mahisa Dahana pelan. Dia menghentikan gigitan pada daging ayam bakar miliknya, saat dia tidak sengaja mengangkat pinggangnya. Rasa nyeri yang luar biasa baga

    Last Updated : 2022-08-19
  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 13. Muda Mudi Polos.

    Saat dia merasakan tubuh pemuda itu merapat ke tubuhnya. Dia gadis polos yang belum pernah tersentuh laki-laki manapun. Kedua pipinya menghangat, malu."Jangan takut, Nini. Aku akan menemanimu menempuh perjalanan." Pemuda itu berkata di belakang telinga si gadis. Hembusan nafas hangat si pemuda pun merayap di kulit halusnya lalu menjelajahi tubuhnya. Memaksa bulu kuduknya berdiri.Mahisa Dahana pun tidak beda jauh dengan Sekar Pandan. Meskipun sudah dua puluhan warsa usianya, tapi dia belum pernah bersentuhan dengan seorang gadis. Bisa dikatakan Sekar Pandan lah gadis pertama yang pernah bersentuhan dengannya.Dia pikir, saat memutuskan akan berkuda bersama dengan Sekar Pandan, akan biasa saja. Tidak akan seperti ini yang dia rasakan. Begitu berhasil duduk di belakang punggung gadis itu, jantungnya berdegup kencang.Rambut hitam panjang bergelombang Sekar Pandan tercium harum. Seperti inikah bau rambut seorang gadis? Harum sekali, katanya dalam hati. Dan saat lengannya berhasil memel

    Last Updated : 2022-08-24

Latest chapter

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 239. Ketetapan Hati

    Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 238. Pendekar Tampan Berambut Putih.

    Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 237. Lelaki Tampan Berambut Putih

    Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 236. Terluka

    "Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 235. Tumbangnya Sang Penguasa Jurang.

    Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 234. Berebut Pedang.

    Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 233. Dua Kekuatan Berlawanan

    Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 232. Berhadapan dengan Hang Dineshcarayaksa.

    Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.

  • Pewaris Pedang Sulur Naga    Bab 231. Melawan Hang Dineshcarayaksa.

    Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b

DMCA.com Protection Status