"Lalu ayahmu sekarang di mana? Di penginapan ini juga?" Sekar Pandan menggeleng. Kedua mata beningnya yang bak telaga, beriak. Melihat itu, Umang Sari segera meminta maaf."Kau pasti sangat kehilangan ayahmu, Sekar. Aku juga telah kehilangan ibuku sejak kecil. Rasanya sedih sekali. Dulu, setiap aku kelaparan karena kami belum mendapatkan uang tanggapan dari orang-orang, aku selalu merindukan masakan ibuku. Kau tahu, masakan ibuku sangat enak."Sekar Pandan menunduk. Jangankan rasa masakan ibunya, wajah ibunya saja dia tidak tahu. Sebab ibunya meninggal setelah melahirkan dirinya."Kau sendirian di sini?" Umang Sari bertanya kembali.Sekar Pandan menggeleng."Bersama teman?" Sekar Pandan mengangguk.Jika bersama teman, jangan-jangan temannya ini tidak mengizinkan gadis remaja ini meminjamkan pedang miliknya. Umang Sari gelisah sendiri. Jari-jarinya saling remas. Digigitnya bibirnya send
"Beraninya kau memanggil penghianat itu dengan sebutan paman, jangan sebut namaku Paksi Jingga jika aku tidak menghajarmu, Mahisa Dahana!" geram Paksi Jingga. Telinganya terasa panas setiap mendengar nama orang yang telah membunuh ayah dan mengambil perguruannya.Mahisa Dahana segera menjatuhkan dirinya di depan lutut kakangnya sambil meminta maaf. Pemuda itu sangat mengenal watak kakangnya yang sejak dulu selalu keras dan berdarah panas. Hanya dengan kelembutan lah kakangnya ini dapat diatasi."Maaf, kakang Paksi Jingga. Aku tidak bermaksud seperti itu," jelasnya dengan perasaan bersalah.Paksi Jingga mendengus kesal. Kedua matanya berkilat-kilat melebihi kilatan pedang.Ki Sempana dan Ki Gondo pun segera menengahi perselisihan kecil antara adik dan kakak itu."Sudahlah, Den. Jangan terlalu keras pada Den Mahisa. Hari ini adalah pertemuan kita setelah sekian lama berpisah. Tolong jangan diambil hati.""A
Bukan itu, Kakang. Rasanya untuk kali ini kau harus berterima kasih padaku.""Eh??""Saat ini orang itu aku bawa ke sini."Semua orang menoleh ke kanan dan kiri. Seolah di sekitar mereka ada seseorang yang dimaksudkan Mahisa Dahana. Pemuda itu menggerak-gerakkan tubuhnya yang masih sakit. Akibat belitan ular besar yang bernama Naga Perak.Kalau bukan karena pertolongan Sekar Pandan, mungkin dirinya telah mati menjadi santapan ular itu dengan tulang belulang remuk terlebih dahulu.Sekarang nasib gadis itu diperbincangkan oleh saudara seperguruannya. Haruskah dia melindungi Sekar Pandan, atau menjalankan tugas perkumpulan yang telah lama diidamkan? Yaitu mengambil Pedang Sulur Naga dari si gadis. Mahisa Dahana dilema."Kau kenapa, Mahisa?" Paksi Jingga merapatkan duduknya dengan adiknya."Ohh… tidak apa-apa, Kakang. Aku memang kurang sehat saat ini. Itu karena kesalahanku sendiri yang ter
Gadis berkain hijau itu nampak sangat segar bagai sekuntum bunga yang akan mekar pada setangkai daun. Kulit kuning Langsatnya sangat halus dan matanya yang bening dan indah itu laksana sebuah telaga. Wajahnya cantik jelita namun terlihat lembut, tidak bosan bagi yang memandang.Melihat kedatangan Mahisa Dahana, Sekar Pandan tersenyum lebar. Sebuah gigi gingsul yang manis semakin membuat senyumnya memusingkan kepala para pemuda. Mahisa Dahana terkesiap darahnya. Sambil berjalan terseok-seok karena belum sembuh benar, pemuda itu berdiri satu tombak di depan Sekar Pandan.Jantungnya berdegup kencang.Justru itu membuat Sekar Pandan kesal. Dalam keadaan tubuh yang belum pulih seharusnya dia tidak keluar kamar. Dengan gerakan tangannya, Sekar Pandan memarahi Mahisa Dahana."Tulangmu itu belum sembuh sepenuhnya. Kau tidak boleh keluyuran kemana-mana. Istirahatlah di kamar."Umang Sari mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Nini mungkin bingung. Dan kami mengerti. Percayalah, kami tidak akan melibatkan Nini dalam urusan dalam di perkumpulan kami , karena memang Nini bukan anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah. Kami hanya membutuhkan benda pusaka itu. Pedang pusaka milik Nini. Pedang Sulur Naga."Pedang Sulur Naga merupakan pedang pusaka warisan ayahnya. Satu-satunya kenangan yang mengikat dirinya dengan jiwa manusia yang telah mengukir jiwa raganya. Selama ini pedang Sulur Naga tidak pernah jauh dari tubuhnya. Sekarang bagaimana mungkin pedang itu akan dipinjamkan kepada orang lain.Melihat gadis itu terdiam, membuat semua anggota perkumpulan Tangan Seribu terdiam. Mereka sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Paksi Jingga berdehem,"Pasti Nini tidak akan meminjamkan pedang itu pada kami. Itu sangat dimaklumi. Baiklah, lupakan! Sekarang silakan Nini kembali beristirahat ke rumah penginapan," ujar Paksi Jingga mempersilakan gadis itu meninggalkan tempat itu.
Di sebuah kamar yang tertata indah, seorang gadis berusia dua puluh tahun tengah mematut diri di depan cermin. Wajahnya yang cantik karena terpoles bedak nampak tersenyum puas. Rambut panjangnya yang ikal nampak tergerai menutupi punggungnya yang putih dan halus."Kau itu sudah cantik, Mayang. Pemuda mana pun akan takluk di bawah kakimu saat melihatmu." Sebuah suara berat khas seorang laki-laki telah berada di ambang pintu kamarnya yang lupa ia tutup. Wajah cantik gadis yang bernama Mayang menoleh. Tatapan mata yang menakjubkan itu menyipit. Bibirnya yang merah merekah tersenyum. Dengan merapikan kain batiknya dia melangkah pelan menghampiri pemuda gagah dan tampan itu."Kakang Senayudha. Kau mengagetkanku saja." Gadis itu berlari kecil menghampiri Senayudha kemudian menggelayut manja pada sang pemuda yang merupakan kakang kandungnya. Senayudha membimbing adiknya duduk di dampar berukir yang ada di dekat tempat tidur. "Wajahmu nampak b
"Kakang harus berjanji padaku untuk tidak membiarkan perkumpulan Sapu Tangan Merah berkeliaran mengganggu kita. Aku tidak suka." Mayang melepaskan diri lalu menatap kakangnya dengan wajah penuh harap. Keadaan perguruan Tangan Seribu sangat nyaman dan tenang, tapi setiap saat telinganya mendengar keonaran yang selalu orang-orang perkumpulan Sapu Tangan Merah lakukan, hatinya cemas dan takut."Mereka itu seperti benalu yang mengaku bagian dari perguruan Tangan Seribu ini. Padahal mereka tidak ubahnya musuh besar yang ingin mengambil perguruan kita. Hah! Tidak tahu diri!" Senayudha mengumpat kesal. Darah Mayang selalu panas setiap mendengar cerita Senayudha tentang perkumpulan Sapu Tangan Merah. Gadis itu diam-diam menentang tindakan para anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah.Pasalnya, mereka itu sungguh keterlaluan dan tidak tahu malu. Mereka berkoar-koar mengaku bagian dari perguruan Tangan Seribu. Padahal mereka hanya perusuh licik yang tidak punya tempat tinggal. Gelandangan yang ing
Demikian tajam bagai seekor elang yang mengincar anak ayam. Anak ayam itu adalah dirinya. Dia berusaha tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh, sembari mengikuti gerak tubuh Umang Sari dalam hentakan pukulan gendang. Pemilik mata itu adalah Paksi Jingga. Pemuda berusia tiga puluh warsa, anak tertua ketua padepokan Tangan Seribu yang lama, sekaligus calon ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang.Setelah selesai berlatih menari, Sekar Pandan melirik pada Paksi Jingga yang masih duduk di atas pohon sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Mata keduanya bertemu. Tajam menusuk kalbu, itulah tatapan Paksi Jingga yang dirasakan Sekar Pandan. Apalagi wajah tampan itu banyak sayatan luka, menambah seram pemiliknya. Sangat jauh berbeda dengan pandangan Raden Prana Kusuma yang teduh padanya. Sehingga selalu membuat hatinya tenang setiap bersama pemuda bangsawan Majapahit itu."Tatapan matanya begitu tajam. Apakah dia marah padaku?" tanya Sekar Pand
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b