Bab Utama : 2/2 Selesai Bab Bonus : 0/1 Menyusul Siang Bab Bonus dapat bertambah apabila Gems mencapai target bonus bab ... Bab Extra April : Berapa Bab tergantung Author atau mungkin tidak ada. Selamat pagi ... selamat beraktivitas ya ...
Kevin sempat tersenyum kecil, pikirannya melayang kembali pada kekayaan luar biasa yang tersegel di dalam Kuburan Kuno Iblis dan Dewa. Ia tak pernah benar-benar menghitungnya, tapi kekuatan dan harta karun yang ia warisi dari Roh Dewa di dalam sana memang... luar biasa.“Aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan sebentar lagi,” ucap Kevin akhirnya, dengan nada mulai serius kembali. Ia melirik ke dalam pondok, ke arah Clara yang kini mulai bergerak dalam tidurnya, seperti sedang bermimpi.“Oh ya, satu hal lagi,” sambungnya. “Bisakah kau menjaga Clara untuk sementara? Bawalah dia ke Paviliun Dracarys. Pastikan dia aman… dan dirawat dengan baik.”Claudia terdiam sejenak, kemudian mengangguk mantap. Tatapannya kini penuh penghormatan dan rasa tanggung jawab.“Akan aku jaga sebaik mungkin, Chief. Seperti menjaga nyawaku sendiri.”Kevin menatapnya lama, lalu mengangguk. Tak perlu banyak kata. Kepercayaan sudah tertanam di antara mereka, dan pagi itu… terasa seperti babak baru telah dimula
Kevin menuruni lereng bukit dengan langkah mantap. Angin pagi yang membawa aroma dedaunan basah menyapu rambutnya, mengingatkannya pada masa-masa di mana dunia belum segelap sekarang. Di kejauhan, bayangan bangunan tua mulai terlihat di balik kabut tipis yang belum sepenuhnya terangkat. Itulah Paviliun Vasper.Ia masih ingat jelas tempat ini. Letaknya di pinggiran Kota Nagapolis, jauh dari keramaian, tersembunyi di antara rimbunnya pohon tua dan jalan setapak yang hampir tak terurus. Paviliun ini tak pernah dikenal, bahkan nyaris dilupakan. Dalam kalangan para cultivator tingkat tinggi, Paviliun Vasper tak lebih dari sekumpulan semut di tengah para naga. Sebuah paviliun ‘sampah’—begitulah banyak orang menyebutnya.Namun bagi Kevin, tempat ini punya arti berbeda.Paviliun Drakenis—yang saat itu berada di puncak kejayaannya sebagai paviliun nomor satu di Nagapolis—tak pernah mengajarkannya untuk memandang rendah siapa pun. Kedua orang tuanya, dengan segala wibawa dan pengaruhnya, justru
TRAAANG!Dentuman logam melengking membelah udara, nyaring seperti petir yang meledak di tengah keheningan. Pedang panjang itu terlepas dari genggaman, terpental beberapa meter ke belakang dan menancap miring di tanah, bergetar seperti masih menyimpan sisa energi hantaman yang tak terlihat. Si pria berjubah hitam terdorong mundur dua langkah, wajahnya memucat. Matanya membelalak, bingung, seolah akalnya berusaha mengejar kenyataan yang baru saja terjadi.Tatapannya menukik ke arah pedangnya, lalu turun ke tanah. Di sana, sebuah kerikil kecil tergeletak tenang—terlalu biasa untuk jadi sumber dari kekuatan sebesar itu. Tapi justru kerikil itulah yang menyelamatkan lawannya dari tebasannya yang mematikan.“T-tidak mungkin…” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya bergetar hebat, seperti baru saja mencelupkan jari-jarinya ke dalam aliran petir. Kesemutan menyebar hingga ke siku, membuatnya mengerang pelan sambil mencengkeram pergelangan tangannya yang kesakitan.“Kurang ajar…” de
Suara teriakan perintah yang baru saja menggema dari mulut pria berjubah hitam itu tiba-tiba terputus… menguap begitu saja di udara. Matanya terbelalak, menyapu sekeliling dengan panik.“Di… di mana dia?!” serunya panik, tenggorokannya tercekat. Tak ada jejak Kevin—seolah sosok itu menghilang ditelan kabut.Namun, rasa bingung itu hanya bertahan sekejap.DUAAARRR!!!Sebuah ledakan menghantam bumi dengan kekuatan mengejutkan, mengguncang tanah seperti hentakan dewa murka. Tubuh salah satu dari mereka—pria berambut cepak dan jubah terburai—terlempar ke udara seperti boneka tanpa jiwa. Sebuah lubang besar menganga di perutnya, tak berdarah, tak teriris… hanya kehancuran dari dalam, seakan seluruh isi tubuhnya diremukkan oleh tinju tak kasat mata.Tak sempat menjerit. Tak sempat paham.Tubuhnya jatuh menghantam tanah, bergetar sebentar… lalu membisu, selamanya.“SATU.” Suara Kevin terdengar dari atas—dalam, dingin, seperti bisikan maut dari langit yang tak terlihat.Seketika, salah satu
Di balik tumpukan batu, Baron Vasper masih terbaring. Napasnya terengah, tubuhnya lemah, namun matanya… mata itu kini berkaca-kaca, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.Lima orang dari Sekte Jubah Hitam. Mereka bukan sembarang petarung—masing-masing berada di ranah Golden Core. Di dunia kultivasi, mereka sudah dianggap raja di gunung-gunung kecil. Namun di hadapan Kevin, mereka tak lebih dari boneka rapuh.Baron menatap sosok itu, berdiri dengan jubah berkibar tertiup angin, tubuhnya dikelilingi aura pekat yang belum sepenuhnya menghilang.“…Dia bukan sekadar cultivator kuat…” bisik Baron dengan suara serak. “Dia adalah… malaikat pencabut nyawa.”Ia masih belum sepenuhnya yakin—apakah benar pemuda di hadapannya ini adalah Kevin Drakenis yang dulu suka menendang bola dan tertawa bersama Clara di halaman belakang?Jika iya… maka Kevin yang kembali sekarang bukanlah Kevin yang sama lagi.Langkah-langkah Kevin menyentuh tanah yang telah berlumur darah dan debu, menin
Denting lembut roda mobil menyentuh bebatuan halus di halaman Paviliun Vasper, menandai kedatangan lima buah Bentley hitam berkilau yang berjejer dengan elegan, memecah keheningan pagi itu. Bau logam hangat dari mesin yang baru saja dimatikan bercampur dengan aroma bunga melati dari taman Paviliun, menciptakan kontras tajam antara kekuatan dan kelembutan.Pintu mobil pertama terbuka dengan bunyi klik yang nyaris tak terdengar. Claudia, sosok wanita berwibawa dengan jas panjang berwarna midnight blue, turun dengan langkah tegas. Sepasang mata elangnya segera mengunci pandang pada Kevin yang berdiri di bawah terik matahari pagi, dengan sorot mata penuh kewaspadaan namun tenang.Dengan satu gerakan anggun, Claudia memberi hormat. "Chief," ucapnya dalam suara datar yang dibungkus hormat. “Kami siap.”Baron Vasper, yang berdiri di samping Kevin, tampak nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang terkenal sulit ditemui di Paviliun Dracarys, kini berdiri dengan penuh hormat d
Langit di atas Nagapolis mulai kehilangan warnanya, bukan karena awan kelabu yang menyapa, tapi karena sesuatu yang lebih mencekam. Hawa kelam perlahan menyelimuti cakrawala, seperti kabut pekat yang merayap diam-diam, menelan cahaya. Awan-awan yang semula menggantung di langit tampak tersibak—mundur seolah takut melewati jalur yang kini dilalui oleh satu sosok.Kevin Drakenis.Jejak langkahnya tak menimbulkan suara, namun kehadirannya mengusik atmosfer kota. Jalanan yang biasa dipenuhi dengungan aktivitas kini terasa sepi dalam hati, meski kendaraan masih berlalu-lalang, membelah kabut pagi yang menyelimuti kota. Aroma lembap dari embun yang belum mengering bercampur dengan bau tajam asap knalpot dan aspal panas. Namun semua itu tak menyentuh kesadaran Kevin. Dunia di sekitarnya terasa jauh, seakan ia melangkah di jalur terpisah—jalur miliknya sendiri.Wajahnya tanpa emosi, dingin, sekeras batu. Tapi di balik matanya yang gelap, ada nyala kecil. Bukan murka yang menggelegak, tapi teka
Denting logam tua menggema panjang, mengguncang udara dengan getaran yang dalam dan mengancam. Lonceng kuno itu bergema dari pusat menara, menandai satu hal pasti—perang telah dimulai.Getaran menjalar ke tanah, menghantam hingga ke akar pepohonan yang mengelilingi kompleks. Udara mendadak menjadi berat, seolah setiap partikel di dalamnya dipaksa tunduk oleh tekanan spiritual yang mengamuk dari pusat pertahanan.Di atas markas, lapisan kabut gelap menggumpal, lalu meretih menjadi jaring energi berwarna hitam keunguan. Aura beracun memancar dari formasi itu, mendesis seperti bisikan ular di telinga, menciptakan ketegangan yang menusuk kulit dan membuat rambut berdiri.Namun sosok berpakaian jubah hitam itu tak bergeming. Kevin berjalan pelan, setiap langkahnya seolah menolak logika ketakutan yang dirasakan semua orang di sekitarnya. Kedua tangannya santai di balik punggung, sikapnya tenang seperti seorang penilai di ujung akhir dunia.Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya—bukan eje
“Dasar Iblis!”Seruan itu meluncur keras dari bibir salah satu dari Tujuh Cultivator Pedang Sekte Pedang Langit. Suara itu penuh amarah, namun juga diliputi ketakutan.Udara di sekeliling mereka mendadak berubah. Panas. Tajam. Mencekam. Niat pedang mereka menyembur keluar, tak kasatmata namun terasa seperti ribuan jarum mencabik kulit. Setiap langkah maju mereka menggores langit, membentuk retakan-retakan halus berwarna biru di udara—seakan dimensi itu sendiri enggan menyentuh kekuatan mereka.Salah satu pemimpin mereka mengangkat pedang tinggi-tinggi, suaranya bergema seperti dentang baja:"Formasi Pedang Tujuh Langit!"Tujuh sosok melesat ke langit—secepat kilat, sepadu nyawa. Tubuh mereka membentuk formasi bintang berujung tujuh, dan di tengahnya, badai spiritual mengamuk. Udara menjadi berat. Tanah bergetar. Energi murni meledak ke segala penjuru.Tapi Kevin... hanya berdiri.Angin menggoyang rambutnya yang tergerai. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang hendak di
“BUNUH DIA!!”Teriakan sang kapten pengawal meledak seperti cambuk petir di langit malam. Suaranya serak dan dipenuhi kemarahan, menggema hingga sudut-sudut aula megah yang kini penuh ketegangan.Tanpa perlu aba-aba kedua, derap kaki ratusan prajurit menggema serempak, seperti gelombang badai hitam yang bangkit dari kedalaman neraka. Pedang-pedang terhunus, mata mereka menyala oleh api perintah.Namun di tengah pusaran itu, Kevin berdiri...Diam.Tak bergeming, seperti patung dewa kuno yang menatap hina pada makhluk fana yang mencoba memberontak pada takdir. Matanya menyipit sedikit, penuh keheningan mematikan. Bukan tatapan manusia—melainkan penilaian dingin dari makhluk yang jauh lebih tinggi.Lalu... suara itu terdengar.Pelan.Lembut.Nyaris seperti bisikan yang menggelitik telinga, namun mampu menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya.“Phantom Gods Blast.”Sepersekian detik kemudian, dunia terasa terhenti. Waktu seolah ditahan napasnya.Angin berhenti bergerak.Jantung para p
Tiba-tiba, suara derap langkah bergema keras, teratur seperti genderang perang yang dipukul serempak. Dari kedua sisi aula, pasukan pengawal Gubernur Adam Smith memasuki ruangan dengan formasi militer yang disiplin. Lantainya bergetar pelan setiap kali kaki mereka menghantam marmer, seakan kekuatan kolektif mereka mampu mengguncang fondasi gedung tua itu.Ratusan pria dan wanita berseragam hitam berlapis emas muncul dari balik pintu besar. Seragam mereka berkilat di bawah cahaya kristal gantung, dengan hiasan logam berbentuk naga membungkus helm mereka seperti penjaga legenda kuno. Di dada masing-masing, terpatri lambang mata merah menyala—simbol ketaatan mutlak dan ambisi yang membara. Sorot mata mereka tajam, tidak hanya menyoroti kesiapan bertempur, tapi juga hasrat untuk diakui. Mereka bukan hanya datang untuk bertarung... mereka datang untuk terlihat bertarung.Seorang kapten, dengan jubah sedikit lebih panjang dan emblem perak di bahunya, melangkah ke depan dan mengacungkan peda
Udara di dalam aula megah itu mendadak berubah—seakan suhu turun beberapa derajat dalam sekejap. Aroma rempah dari alat aroma terapi yang sebelumnya mendominasi ruangan kini tercampur dengan jejak tipis asap rokok yang menggantung di langit-langit, membentuk sulur-sulur samar yang belum sempat lenyap. Di tengah keremangan cahaya kristal gantung, Kevin berdiri tenang, sebatang rokok terselip di jarinya, abu di ujungnya bergetar ringan—seperti merespon ketegangan yang menggumpal di udara.Lalu... BRAAAK! Sebuah tekanan spiritual menghantam ruangan seperti gelombang tak terlihat, membuat udara seolah-olah membeku. Para tamu tersentak. Sebagian kehilangan keseimbangan, dan yang lain meremas dada, berusaha bernapas. Seolah-olah langit menggantung tepat di atas kepala mereka—berat, gelap, dan penuh ancaman.Tiba-tiba, dari balik pilar-pilar marmer putih, kilatan cahaya menusuk udara. Secepat kilat, tujuh sosok muncul dalam lompatan nyaris tak terlihat mata biasa. Jubah panjang mereka berkib
Di dalam aula mewah yang dikelilingi lampu kristal berkilauan dan aroma wine mahal yang menguar lembut di udara, Gubernur Adam Smith duduk dengan santai di singgasananya yang megah. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, namun sedikit pun tak menunjukkan keterkejutannya saat Kevin Drakenis masuk ke dalam aula pesta dan menghinanya.Asistennya, seorang wanita berjas putih dengan tablet di tangan, telah menunjukkan video viral yang menampilkan pria itu—Kevin Drakenis, sosok misterius yang mengendarai peti mati spiritual di tengah Kota Godam. Adam mengangguk pelan kala itu, sambil menyesap anggur merahnya.Kini, ia memandangi Kevin dari singgasananya, menilai dengan penuh minat, lalu berdiri. Dengan suara berat yang bergema ke seluruh ruangan, ia berkata sambil membuka kedua tangannya lebar, "Kau datang juga akhirnya. Keberanianmu patut dipuji! Aku memang selalu menyukai anak muda yang tangguh dan punya nyali besar!"Ia melangkah turun, mendekati Kevin. Para tamu menahan napas."Apa
Hening berubah menjadi gelombang riuh."Apa?! Peti mati?"“Gila! Itu penghinaan! Apa Paviliun Drakenis sudah bosan hidup?”“Bukankah mereka sudah musnah lima tahun lalu?”Kerumunan mulai berdesis dan mengerutkan kening, mencari siapa yang berani menyebut nama itu—nama yang seharusnya sudah terkubur dalam sejarah berdarah.Lalu, perlahan, sebuah bayangan muncul dari balik gerbang utama. Peti mati hitam berukir pola naga terkutuk melayang anggun di udara, mengeluarkan aura dingin yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. Di atasnya berdiri seorang pemuda berjubah putih, tubuhnya tegak, langkahnya tenang bagai tak tersentuh tekanan ratusan pasang mata yang menatap tajam.Wajah-wajah para tamu berubah pucat, sebagian bahkan mundur setapak, seolah keberadaan pemuda itu adalah racun yang bisa meledak kapan saja. Namun pemuda itu tidak menunjukkan ketegangan sedikit pun. Dengan santai, ia mengambil sebungkus rokok dari dalam jubahnya, menyalakan sebatang, lalu menghembuskan asap ke la
Halaman depan kediaman Gubernur Adam Smith malam itu bagaikan lautan manusia. Lentera kristal tergantung di sepanjang jalan masuk, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di permukaan marmer putih, memantulkan siluet para tamu berpakaian mewah. Aroma dupa kayu cendana dan bunga kastuba bercampur dalam udara malam, menambah suasana sakral dan megah.Di tengah keramaian, para petinggi kota dan pemimpin paviliun berdiri berbaris dengan wajah penuh senyum dan tangan memegang kotak persembahan. Mereka tidak hanya datang untuk merayakan ulang tahun Gubernur yang ke-55, tetapi juga berlomba-lomba menunjukkan loyalitas dan mencari restu dari orang paling berpengaruh di Provinsi Xandaria.Desiran bisik-bisik terdengar dari paviliun-paviliun kecil yang berdiri di bawah tenda-tenda bermotif naga dan burung phoenix. Meskipun mereka tahu posisi mereka jauh di bawah nama-nama besar seperti Paviliun Caraxis—yang reputasinya musnah hanya dalam satu hari oleh tangan dingin Kevin Drakenis—namun mer
Langit Kota Godam siang itu tampak cerah, nyaris tanpa awan. Udara dipenuhi aroma manisan dan daging panggang dari festival ulang tahun Gubernur yang ke-55. Namun, keceriaan itu mendadak membeku ketika sebuah bayangan besar melintas di atas alun-alun.Sebuah peti mati berwarna hitam legam—melayang perlahan, sekitar tiga meter dari tanah. Di atasnya berdiri seorang pria muda berjubah putih panjang, dengan rambut hitam tergerai tertiup angin. Matanya yang tajam memandang ke bawah, diam namun penuh arti, seperti membawa beban ratusan rahasia yang tak diucapkan.Kerumunan yang awalnya tertawa dan menari kini terdiam. Langkah mereka tertahan, kepala menengadah. Bisikan-bisikan mulai menggema di antara orang-orang yang berdiri di alun-alun, menciptakan gelombang kegelisahan.“Apa yang sedang terjadi?” gumam seorang ibu yang memeluk anaknya erat.“Siapa dia? Kenapa muncul hari ini? Apa dia sudah gila, membuat keributan di hari sebesar ini?” seorang lelaki paruh baya mengomel dengan nada tak p
Fajar baru saja menyingsing di langit Kota Nagapolis. Kabut tipis menyelimuti halaman Paviliun Dracarys, menciptakan bayangan samar yang menari di antara pepohonan. Kevin Drakenis berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya dibalut jubah putih yang berkibar tertiup angin pagi. Di bahunya, sebuah peti mati berwarna hitam legam terpanggul dengan mantap, menciptakan kontras mencolok dengan cahaya lembut matahari pagi.Claudia, pemimpin Pavilun Dracarys cabang Nagapolis, melangkah cepat mendekatinya. Alisnya berkerut menunjukkan kebingungan."Chief, kenapa tidak naik mobil saja? Perjalanan ke Kota Godam cukup jauh, dan membawa peti mati seperti itu... agak mencolok," katanya dengan nada khawatir.Kevin menoleh sekilas, matanya tajam. "Peti mati ini lebih cepat dari mobil," jawabnya singkat.Claudia terdiam, mencoba mencerna jawaban yang tidak masuk akal itu. Ia menatap peti mati besar yang tampak berat dan tidak mungkin digunakan sebagai kendaraan."Bukankah lebih nyaman naik mobil, Chief? Na