Bab Utama : 2/2 Selesai Ada satu Bab Bonus Malam ini karena target gems tercapai. Jangan ragu memberikan gems untuk Bab Bonus kedua ... Bab Extra : ?
Denting logam tua menggema panjang, mengguncang udara dengan getaran yang dalam dan mengancam. Lonceng kuno itu bergema dari pusat menara, menandai satu hal pasti—perang telah dimulai.Getaran menjalar ke tanah, menghantam hingga ke akar pepohonan yang mengelilingi kompleks. Udara mendadak menjadi berat, seolah setiap partikel di dalamnya dipaksa tunduk oleh tekanan spiritual yang mengamuk dari pusat pertahanan.Di atas markas, lapisan kabut gelap menggumpal, lalu meretih menjadi jaring energi berwarna hitam keunguan. Aura beracun memancar dari formasi itu, mendesis seperti bisikan ular di telinga, menciptakan ketegangan yang menusuk kulit dan membuat rambut berdiri.Namun sosok berpakaian jubah hitam itu tak bergeming. Kevin berjalan pelan, setiap langkahnya seolah menolak logika ketakutan yang dirasakan semua orang di sekitarnya. Kedua tangannya santai di balik punggung, sikapnya tenang seperti seorang penilai di ujung akhir dunia.Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya—bukan eje
Kabut merah pekat, seolah darah yang menguap dari bumi, masih menggantung berat di atas medan pertarungan yang porak-poranda. Bau logam, darah, dan abu bercampur di udara, menusuk hidung dan membuat paru-paru terasa sesak. Bangunan utama Sekte Jubah Hitam—yang dulunya berdiri megah dengan arsitektur kuno penuh simbol kutukan—kini telah menjadi reruntuhan. Pilar-pilarnya tumbang, simbol-simbol iblis yang tertanam di dinding meleleh seperti lilin terbakar sebelum akhirnya padam, menghilang ke kekosongan selamanya.Tubuh-tubuh terkapar di tanah, sebagian hangus, sebagian terkoyak. Tak ada yang bergerak. Dunia seakan diam—sunyi dalam trauma kekalahan yang mutlak.Namun di tengah pusaran kehancuran itu… sesuatu bergerak.Langkah kaki terdengar, berat namun mantap. Setiap hentakannya memunculkan retakan halus di tanah yang telah terluka. Aura hitam keunguan menyelubungi sosok itu, bergulung-gulung di udara seperti tentakel iblis yang lapar.Lalu muncullah dia—seorang pria tua berjubah hitam
KRAAAAK!Lantai di bawah kaki Vandar retak, pecah seperti kaca diinjak. Sang master buru-buru membentuk perisai energi berwarna ungu pekat. Aura spiritualnya melonjak, membungkus tubuhnya seperti kepompong sihir kuno. Tapi sorot matanya berubah—tak lagi percaya diri.“Ini... bukan aura manusia,” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Ini… ini seperti... seperti aura iblis yang bangkit dari kematian.”WUUUSH!Angin berdesir kencang. Dalam kedipan mata, Kevin sudah berdiri di hadapannya. Kepalan tangannya menyala dengan cahaya biru keemasan, menyalakan dunia yang muram dengan percik kekuatan murni.BOOOM!!!Pukulan itu menghantam perisai Vandar. Dalam sepersekian detik, tameng spiritualnya pecah bagai kaca dilempar batu. Tubuh sang master terhempas, melesat seperti boneka tanpa jiwa, menghantam tanah dan menggores parit dalam sejauh lima puluh meter.Jeritan panik meledak dari sisa-sisa pengikut sekte. Sebagian membuang senjatanya, yang lain langsung berlutut sambil menangis ketakutan.Aura sp
Fajar baru saja menyingsing di langit Kota Nagapolis. Kabut tipis menyelimuti halaman Paviliun Dracarys, menciptakan bayangan samar yang menari di antara pepohonan. Kevin Drakenis berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya dibalut jubah putih yang berkibar tertiup angin pagi. Di bahunya, sebuah peti mati berwarna hitam legam terpanggul dengan mantap, menciptakan kontras mencolok dengan cahaya lembut matahari pagi.Claudia, pemimpin Pavilun Dracarys cabang Nagapolis, melangkah cepat mendekatinya. Alisnya berkerut menunjukkan kebingungan."Chief, kenapa tidak naik mobil saja? Perjalanan ke Kota Godam cukup jauh, dan membawa peti mati seperti itu... agak mencolok," katanya dengan nada khawatir.Kevin menoleh sekilas, matanya tajam. "Peti mati ini lebih cepat dari mobil," jawabnya singkat.Claudia terdiam, mencoba mencerna jawaban yang tidak masuk akal itu. Ia menatap peti mati besar yang tampak berat dan tidak mungkin digunakan sebagai kendaraan."Bukankah lebih nyaman naik mobil, Chief? Na
Langit Kota Godam siang itu tampak cerah, nyaris tanpa awan. Udara dipenuhi aroma manisan dan daging panggang dari festival ulang tahun Gubernur yang ke-55. Namun, keceriaan itu mendadak membeku ketika sebuah bayangan besar melintas di atas alun-alun.Sebuah peti mati berwarna hitam legam—melayang perlahan, sekitar tiga meter dari tanah. Di atasnya berdiri seorang pria muda berjubah putih panjang, dengan rambut hitam tergerai tertiup angin. Matanya yang tajam memandang ke bawah, diam namun penuh arti, seperti membawa beban ratusan rahasia yang tak diucapkan.Kerumunan yang awalnya tertawa dan menari kini terdiam. Langkah mereka tertahan, kepala menengadah. Bisikan-bisikan mulai menggema di antara orang-orang yang berdiri di alun-alun, menciptakan gelombang kegelisahan.“Apa yang sedang terjadi?” gumam seorang ibu yang memeluk anaknya erat.“Siapa dia? Kenapa muncul hari ini? Apa dia sudah gila, membuat keributan di hari sebesar ini?” seorang lelaki paruh baya mengomel dengan nada tak p
Halaman depan kediaman Gubernur Adam Smith malam itu bagaikan lautan manusia. Lentera kristal tergantung di sepanjang jalan masuk, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di permukaan marmer putih, memantulkan siluet para tamu berpakaian mewah. Aroma dupa kayu cendana dan bunga kastuba bercampur dalam udara malam, menambah suasana sakral dan megah.Di tengah keramaian, para petinggi kota dan pemimpin paviliun berdiri berbaris dengan wajah penuh senyum dan tangan memegang kotak persembahan. Mereka tidak hanya datang untuk merayakan ulang tahun Gubernur yang ke-55, tetapi juga berlomba-lomba menunjukkan loyalitas dan mencari restu dari orang paling berpengaruh di Provinsi Xandaria.Desiran bisik-bisik terdengar dari paviliun-paviliun kecil yang berdiri di bawah tenda-tenda bermotif naga dan burung phoenix. Meskipun mereka tahu posisi mereka jauh di bawah nama-nama besar seperti Paviliun Caraxis—yang reputasinya musnah hanya dalam satu hari oleh tangan dingin Kevin Drakenis—namun mer
Hening berubah menjadi gelombang riuh."Apa?! Peti mati?"“Gila! Itu penghinaan! Apa Paviliun Drakenis sudah bosan hidup?”“Bukankah mereka sudah musnah lima tahun lalu?”Kerumunan mulai berdesis dan mengerutkan kening, mencari siapa yang berani menyebut nama itu—nama yang seharusnya sudah terkubur dalam sejarah berdarah.Lalu, perlahan, sebuah bayangan muncul dari balik gerbang utama. Peti mati hitam berukir pola naga terkutuk melayang anggun di udara, mengeluarkan aura dingin yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. Di atasnya berdiri seorang pemuda berjubah putih, tubuhnya tegak, langkahnya tenang bagai tak tersentuh tekanan ratusan pasang mata yang menatap tajam.Wajah-wajah para tamu berubah pucat, sebagian bahkan mundur setapak, seolah keberadaan pemuda itu adalah racun yang bisa meledak kapan saja. Namun pemuda itu tidak menunjukkan ketegangan sedikit pun. Dengan santai, ia mengambil sebungkus rokok dari dalam jubahnya, menyalakan sebatang, lalu menghembuskan asap ke la
Di dalam aula mewah yang dikelilingi lampu kristal berkilauan dan aroma wine mahal yang menguar lembut di udara, Gubernur Adam Smith duduk dengan santai di singgasananya yang megah. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, namun sedikit pun tak menunjukkan keterkejutannya saat Kevin Drakenis masuk ke dalam aula pesta dan menghinanya.Asistennya, seorang wanita berjas putih dengan tablet di tangan, telah menunjukkan video viral yang menampilkan pria itu—Kevin Drakenis, sosok misterius yang mengendarai peti mati spiritual di tengah Kota Godam. Adam mengangguk pelan kala itu, sambil menyesap anggur merahnya.Kini, ia memandangi Kevin dari singgasananya, menilai dengan penuh minat, lalu berdiri. Dengan suara berat yang bergema ke seluruh ruangan, ia berkata sambil membuka kedua tangannya lebar, "Kau datang juga akhirnya. Keberanianmu patut dipuji! Aku memang selalu menyukai anak muda yang tangguh dan punya nyali besar!"Ia melangkah turun, mendekati Kevin. Para tamu menahan napas."Apa
KRRAAAK!!Suara mengerikan terdengar saat formasi raksasa itu mulai retak. Garis-garis merah membelah rune-rune suci, seperti es yang pecah di musim semi. Dalam sekejap, formasi itu runtuh, meledak menjadi serpihan cahaya darah yang berhamburan dan lenyap ditelan kekosongan.Grand Rune Master Weng terhuyung mundur, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat seperti kertas, matanya membelalak ngeri menatap kehancuran yang baru saja terjadi.Namun Kevin tidak memberinya waktu untuk bernapas.Dengan gerakan halus, tubuh Kevin melesat ke depan—hanya sebuah bayangan hitam yang membelah jarak di antara mereka. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di hadapan Grand Rune Master Weng.Mata mereka bertemu. Milik Weng penuh ketakutan. Milik Kevin, kosong. Tak berperasaan.Kevin menatap dingin ke arah lawannya, lalu berbisik dengan suara datar, nyaris seperti gumaman, namun setiap katanya menusuk seperti bilah pedang."Aku tidak suka bertarung menggunakan jima
Namun sebelum Kevin sempat melangkah maju, udara di medan pertempuran tiba-tiba menegang.Dari kerumunan yang berjarak, sebuah suara mengguntur, berat dan dipenuhi kekuatan yang menusuk hingga ke sumsum."Kevin Drakenis!"Grand Rune Master Weng melangkah maju, jubah panjangnya berkibar keras dihempas badai spiritual yang ia ciptakan. Tatapan matanya tajam seperti tombak kuno, membelah jarak di antara mereka. Suaranya mengandung gema keabadian, seolah dunia itu sendiri berhenti sejenak untuk mendengarkan.Di tangannya, ia mencengkeram sebuah jimat kuno—selembar kain tipis berwarna merah darah, penuh dengan rune-rune kuno yang berdenyut seperti nadi makhluk hidup. Cahaya merah menyala dari jimat itu, membentuk pusaran rune raksasa di udara."Atas nama Dao... kuhancurkan kau!" teriak Weng, suara amarah bercampur dengan hukum alam itu sendiri.BOOOM!Jimat itu meledak, menghamburkan ratusan sinyal kuno ke segala penjuru. Rune-rune tersebut melesat, berpadu, dan berputar membentuk segel ko
“Dasar Iblis!”Seruan itu meluncur keras dari bibir salah satu dari Tujuh Cultivator Pedang Sekte Pedang Langit. Suara itu penuh amarah, namun juga diliputi ketakutan.Udara di sekeliling mereka mendadak berubah. Panas. Tajam. Mencekam. Niat pedang mereka menyembur keluar, tak kasatmata namun terasa seperti ribuan jarum mencabik kulit. Setiap langkah maju mereka menggores langit, membentuk retakan-retakan halus berwarna biru di udara—seakan dimensi itu sendiri enggan menyentuh kekuatan mereka.Salah satu pemimpin mereka mengangkat pedang tinggi-tinggi, suaranya bergema seperti dentang baja:"Formasi Pedang Tujuh Langit!"Tujuh sosok melesat ke langit—secepat kilat, sepadu nyawa. Tubuh mereka membentuk formasi bintang berujung tujuh, dan di tengahnya, badai spiritual mengamuk. Udara menjadi berat. Tanah bergetar. Energi murni meledak ke segala penjuru.Tapi Kevin... hanya berdiri.Angin menggoyang rambutnya yang tergerai. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang hendak di
“BUNUH DIA!!”Teriakan sang kapten pengawal meledak seperti cambuk petir di langit malam. Suaranya serak dan dipenuhi kemarahan, menggema hingga sudut-sudut aula megah yang kini penuh ketegangan.Tanpa perlu aba-aba kedua, derap kaki ratusan prajurit menggema serempak, seperti gelombang badai hitam yang bangkit dari kedalaman neraka. Pedang-pedang terhunus, mata mereka menyala oleh api perintah.Namun di tengah pusaran itu, Kevin berdiri...Diam.Tak bergeming, seperti patung dewa kuno yang menatap hina pada makhluk fana yang mencoba memberontak pada takdir. Matanya menyipit sedikit, penuh keheningan mematikan. Bukan tatapan manusia—melainkan penilaian dingin dari makhluk yang jauh lebih tinggi.Lalu... suara itu terdengar.Pelan.Lembut.Nyaris seperti bisikan yang menggelitik telinga, namun mampu menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya.“Phantom Gods Blast.”Sepersekian detik kemudian, dunia terasa terhenti. Waktu seolah ditahan napasnya.Angin berhenti bergerak.Jantung para p
Tiba-tiba, suara derap langkah bergema keras, teratur seperti genderang perang yang dipukul serempak. Dari kedua sisi aula, pasukan pengawal Gubernur Adam Smith memasuki ruangan dengan formasi militer yang disiplin. Lantainya bergetar pelan setiap kali kaki mereka menghantam marmer, seakan kekuatan kolektif mereka mampu mengguncang fondasi gedung tua itu.Ratusan pria dan wanita berseragam hitam berlapis emas muncul dari balik pintu besar. Seragam mereka berkilat di bawah cahaya kristal gantung, dengan hiasan logam berbentuk naga membungkus helm mereka seperti penjaga legenda kuno. Di dada masing-masing, terpatri lambang mata merah menyala—simbol ketaatan mutlak dan ambisi yang membara. Sorot mata mereka tajam, tidak hanya menyoroti kesiapan bertempur, tapi juga hasrat untuk diakui. Mereka bukan hanya datang untuk bertarung... mereka datang untuk terlihat bertarung.Seorang kapten, dengan jubah sedikit lebih panjang dan emblem perak di bahunya, melangkah ke depan dan mengacungkan peda
Udara di dalam aula megah itu mendadak berubah—seakan suhu turun beberapa derajat dalam sekejap. Aroma rempah dari alat aroma terapi yang sebelumnya mendominasi ruangan kini tercampur dengan jejak tipis asap rokok yang menggantung di langit-langit, membentuk sulur-sulur samar yang belum sempat lenyap. Di tengah keremangan cahaya kristal gantung, Kevin berdiri tenang, sebatang rokok terselip di jarinya, abu di ujungnya bergetar ringan—seperti merespon ketegangan yang menggumpal di udara.Lalu... BRAAAK! Sebuah tekanan spiritual menghantam ruangan seperti gelombang tak terlihat, membuat udara seolah-olah membeku. Para tamu tersentak. Sebagian kehilangan keseimbangan, dan yang lain meremas dada, berusaha bernapas. Seolah-olah langit menggantung tepat di atas kepala mereka—berat, gelap, dan penuh ancaman.Tiba-tiba, dari balik pilar-pilar marmer putih, kilatan cahaya menusuk udara. Secepat kilat, tujuh sosok muncul dalam lompatan nyaris tak terlihat mata biasa. Jubah panjang mereka berkib
Di dalam aula mewah yang dikelilingi lampu kristal berkilauan dan aroma wine mahal yang menguar lembut di udara, Gubernur Adam Smith duduk dengan santai di singgasananya yang megah. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, namun sedikit pun tak menunjukkan keterkejutannya saat Kevin Drakenis masuk ke dalam aula pesta dan menghinanya.Asistennya, seorang wanita berjas putih dengan tablet di tangan, telah menunjukkan video viral yang menampilkan pria itu—Kevin Drakenis, sosok misterius yang mengendarai peti mati spiritual di tengah Kota Godam. Adam mengangguk pelan kala itu, sambil menyesap anggur merahnya.Kini, ia memandangi Kevin dari singgasananya, menilai dengan penuh minat, lalu berdiri. Dengan suara berat yang bergema ke seluruh ruangan, ia berkata sambil membuka kedua tangannya lebar, "Kau datang juga akhirnya. Keberanianmu patut dipuji! Aku memang selalu menyukai anak muda yang tangguh dan punya nyali besar!"Ia melangkah turun, mendekati Kevin. Para tamu menahan napas."Apa
Hening berubah menjadi gelombang riuh."Apa?! Peti mati?"“Gila! Itu penghinaan! Apa Paviliun Drakenis sudah bosan hidup?”“Bukankah mereka sudah musnah lima tahun lalu?”Kerumunan mulai berdesis dan mengerutkan kening, mencari siapa yang berani menyebut nama itu—nama yang seharusnya sudah terkubur dalam sejarah berdarah.Lalu, perlahan, sebuah bayangan muncul dari balik gerbang utama. Peti mati hitam berukir pola naga terkutuk melayang anggun di udara, mengeluarkan aura dingin yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. Di atasnya berdiri seorang pemuda berjubah putih, tubuhnya tegak, langkahnya tenang bagai tak tersentuh tekanan ratusan pasang mata yang menatap tajam.Wajah-wajah para tamu berubah pucat, sebagian bahkan mundur setapak, seolah keberadaan pemuda itu adalah racun yang bisa meledak kapan saja. Namun pemuda itu tidak menunjukkan ketegangan sedikit pun. Dengan santai, ia mengambil sebungkus rokok dari dalam jubahnya, menyalakan sebatang, lalu menghembuskan asap ke la
Halaman depan kediaman Gubernur Adam Smith malam itu bagaikan lautan manusia. Lentera kristal tergantung di sepanjang jalan masuk, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di permukaan marmer putih, memantulkan siluet para tamu berpakaian mewah. Aroma dupa kayu cendana dan bunga kastuba bercampur dalam udara malam, menambah suasana sakral dan megah.Di tengah keramaian, para petinggi kota dan pemimpin paviliun berdiri berbaris dengan wajah penuh senyum dan tangan memegang kotak persembahan. Mereka tidak hanya datang untuk merayakan ulang tahun Gubernur yang ke-55, tetapi juga berlomba-lomba menunjukkan loyalitas dan mencari restu dari orang paling berpengaruh di Provinsi Xandaria.Desiran bisik-bisik terdengar dari paviliun-paviliun kecil yang berdiri di bawah tenda-tenda bermotif naga dan burung phoenix. Meskipun mereka tahu posisi mereka jauh di bawah nama-nama besar seperti Paviliun Caraxis—yang reputasinya musnah hanya dalam satu hari oleh tangan dingin Kevin Drakenis—namun mer