Denzel menurunkan Rose di depan gerbang mansion. Setelah kedekatan yang terjalin selama tujuh tahun, Rose sangat sensitif terhadap perubahan sikap Denzel. Biasanya Denzel selalu menatapnya dengan hangat, tapi pandangan itu lenyap sudah. Kini yang tersisa hanyalah tatapan dingin dari bola mata sebiru samudera itu. Tak ayal hati Rose terluka karenanya. Hubungan yang terbangun di antara mereka selama bertahun-tahun hancur dalam waktu semalam. Ia harus kehilangan satu lagi orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tapi ia harus menyalahkan siapa? Luke? Percuma saja karena ia sendiri yang setuju untuk menikahi pria pendendam itu. Barangkali sudah takdirnya harus terbelenggu dalam pusaran karma yang tiada henti. Kehadirannya di dunia telah menyakiti hati seorang wanita karena itu ia pun harus menanggung rasa sakit yang sama. "Jaga kesehatanmu, Daddy," kata Rose sebelum keluar dari mobil. Rose ingin memeluk Denzel untuk terakhir kali, tapi rasanya mustahil setelah luka dalam yang ditorehka
Setelah melewati empat orang pengawal yang berjaga, Denzel menuju ke ruang kerja ayahnya."Apa Papaku ada di dalam?" tanya Denzel kepada asisten pribadi ayahnya."Iya, Tuan Denzel. Tapi Beliau sedang menerima tamu.""Bukakan pintunya. Aku perlu bicara dengan Papaku.""Saya perlu bertanya dulu pada Tuan Besar.""Tidak usah bertanya. Aku ini anaknya. Aku bisa menemuinya kapanpun aku mau."Tanpa mempedulikan larangan dari asisten ayahnya, Denzel menerobos masuk. Ia melihat ayahnya sedang berbicara serius dengan seorang pria. Namun pria itu mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajahnya."Denzel, angin apa yang membawamu datang kesini?""Aku ingin bicara empat mata dengan Papa. Tolong minta dia pergi sebentar.""Pasti kamu ingin membicarakan tentang Rose Black. Apa kamu sudah melamarnya? Katakan saja, tidak ada yang perlu ditutupi.""Aku tidak mau membicarakan masalah pribadi di hadapan orang asing," ketus Denzel."Dia adalah sekutu kita, bukan orang asing."Pria bertopeng itu beranjak d
Rose turun ke lantai bawah dengan wajah masam. Esme dan Benjamin sampai keheranan melihat ekspresi kesal Rose di pagi hari."Ben, tolong turunkan lukisanku dari lantai tiga. Aku akan membawanya ke mobil," kata Rose duduk di meja makan. Mau tidak mau ia harus membawa lukisannya daripada datang ke kampus dengan tangan hampa."Baik, Nona."Esme membuatkan sandwich sayuran untuk Rose sambil menatap lamat wajah gadis itu."Nona Rose, Tuan Muda mempekerjakan supir baru. Katanya dia bertugas mengantar jemput Nona setiap hari. Badannya sangat besar, lebih mirip mafia daripada supir," terang Esme."Dimana supir itu?""Di halaman depan, Nona.""Esme, terima kasih atas sandwichnya. Aku akan berangkat ke kampus sekarang.""Tapi Nona baru makan sedikit sekali.""Lain kali aku akan makan lebih banyak," jawab Rose melambaikan tangannya.Benar saja saat menuju ke mobil, supir bernama Noah itu telah siap menunggunya. Dengan tangannya yang besar, Noah membantu Ben memasukkan lukisan ke dalam mobil.Sep
Setelah dinobatkan sebagai pemenang, Anneth tak henti mengumbar senyuman. Ia juga tak segan menempel pada Luke hingga kelas melukis selesai. "Aku yakin sebentar lagi Anneth akan meminta nomor ponsel Luke Brown. Lalu dia akan merayu dan menggoda pria tampan itu supaya naik ke atas ranjangnya," bisik Gwen sebal. Rose tidak menanggapi tapi telinganya memanas. Jika dilihat dari kelakuan Anneth, apa yang dikatakan Gwen bisa menjadi kenyataan. "Tuan Luke, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu dengan kami. Semoga Anda tidak bosan datang ke kampus ini jika kami mengundang Anda lagi. Mari kita makan siang bersama," ajak Mr. Zack. "Maaf, hari ini saya ada urusan keluarga. Lain kali saya pasti akan memenuhi undangan Anda, Mr. Zack." Luke meninggalkan kelas bersama Mr. Zack. Ia tidak melihat ke arah Rose sama sekali bahkan ketika melewati gadis itu. Tampaknya Luke memenuhi permintaan Rose agar mereka berdua bersikap sebagai orang asing. Tapi anehnya Rose justru merasa ters
Pendeta memandu kedua mempelai untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Luke terlebih dahulu mengatakannya dengan lancar, mantap dan tanpa beban. Sedangkan ketika tiba giliran Rose, gadis itu mengucapkannya dengan terbata-bata meskipun akhirnya berhasil juga.Luke menatap Rose sekilas. Ia tahu gadis ini sekarang menikah dengannya karena keterpaksaan. Tapi setelah pernikahan ini dia akan membuat Rose jatuh cinta padanya. Bahkan bila perlu ia akan membuat wanita ini tidak bisa lepas dari genggamannya."Mulai hari ini kalian berdua adalah pasangan suami istri yang sah di hadapan Tuhan. Apa yang dipersatukan Tuhan tidak bisa diceraikan oleh manusia," ucap sang Pendeta sebagai tanda resminya pernikahan Luke dan Rose.Berikutnya, Luke membuka kotak cincin. Di dalamnya ada sepasang cincin pernikahan bertahtakan diamond putih. Luke meraih tangan kanan Rose lalu memasangkan cincin indah itu di jari manis istrinya. Rose tidak bereaksi. Seindah apapun cincin yang melingkar di jarinya sama sekali
Terima kasih," ucap Luke kepada karyawan cottage yang membantunya. Masih menggendong Rose, Luke menutup pintu kamar dengan kakinya."Aku bukan orang lumpuh, Luke. Tolong turunkan aku," pinta Rose merasa risih.Luke menurunkan Rose di tepi tempat tidur dengan posisi duduk. Ia berjalan ke pintu lalu menguncinya dari dalam. Darah Rose berdesir cepat. Berduaan dengan Luke setelah mereka menjadi suami istri membuatnya sangat canggung.Luke membuka tuxedo dan rompinya lalu menyampirkannya di atas kursi. Ia menatap dalam Rose yang masih duduk tak bergerak."Katamu tadi kerepotan memakai gaun itu? Kenapa tidak melepasnya?" tanya Luke mendekat."Aku akan melepasnya tapi tolong kamu keluar dulu dari kamar ini.""Lepas saja di hadapanku. Kita sekarang suami istri, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan. Lagipula kamu tidak akan bisa membuka gaun itu tanpa bantuanku," tunjuk Luke ke bagian belakang gaun pengantin yang dipakai Rose.Rose berdiri dan menghadap ke cermin. Apa yang dikatakan Luke mem
Rose tidak sanggup untuk menjawab karena rasa sakit sekaligus nikmat yang bercampur menjadi satu. Hanya lelehan air mata yang keluar dari sudut matanya. Ia merasa dipermainkan oleh Luke tapi anehnya dia juga menginginkan hal ini. "Jangan menangis, Baby. Sakitnya hanya sebentar setelah itu kamu akan terbiasa." Senyum mengembang di wajah tampan Luke. Ia merasa bangga sekaligus bahagia karena menjadi pria pertama bagi Rose. Rose bukanlah wanita murahan yang sembara menjual diri seperti ibu kandungnya. Kecurigaannya selama ini mengenai hubungan asmara Rose dan Denzel tidak terbukti. Gadis cantik ini bisa menjaga diri dengan baik. Tidak, dia bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang wanita. Luke menggerakkan pinggulnya perlahan hingga milik Rose lebih siap menerimanya. Setelah Rose tenang, Luke mulai menggerakkan pinggulnya lebih kencang. "Sudah merasakan nikmatnya?" tanya Luke sensual. Rose menatap sayu Luke tanpa bisa berkata-kata. Tindakan Luke telah membuatnya terbuai hingg
Rose enggan menjawab pertanyaan yang diajukan Luke. Entah mengapa jauh di lubuk hatinya terbersit keinginan untuk terus bersama pria ini. Namun Rose tahu harapannya mustahil untuk terlaksana. Pasti rasa yang tak wajar ini muncul akibat malam pengantin yang baru mereka lalui bersama. Lagipula pantang bagi Rose untuk menyerahkan hatinya pada Luke. Jika dia sampai melakukan hal bodoh tersebut maka dia akan hancur berkeping-keping saat pria itu meninggalkannya."Sudah selesai," ucap Rose. Dia berusaha keluar dari bathtub lebih dulu namun Luke menahan tangannya."Kamu masih lemas, jangan keras kepala. Sudah kubilang aku akan menjadi pelayanmu hari ini," ucap Luke.Luke berdiri lalu mendudukkan Rose di atas bangku panjang yang terbuat dari keramik. Ia mengambil bathrobe dan memakaikannya ke tubuh Rose. Setelah itu dia mengelap rambut basah Rose dan mengeringkannya perlahan dengan hair dryer. Semua tindakan manis Luke membuat Rose semakin tersiksa. Pria ini sangat berbakat untuk membintangi
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams