Jangan lupa berikan vote dan rating setelah baca episode ini ya
Setelah melewati empat orang pengawal yang berjaga, Denzel menuju ke ruang kerja ayahnya."Apa Papaku ada di dalam?" tanya Denzel kepada asisten pribadi ayahnya."Iya, Tuan Denzel. Tapi Beliau sedang menerima tamu.""Bukakan pintunya. Aku perlu bicara dengan Papaku.""Saya perlu bertanya dulu pada Tuan Besar.""Tidak usah bertanya. Aku ini anaknya. Aku bisa menemuinya kapanpun aku mau."Tanpa mempedulikan larangan dari asisten ayahnya, Denzel menerobos masuk. Ia melihat ayahnya sedang berbicara serius dengan seorang pria. Namun pria itu mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajahnya."Denzel, angin apa yang membawamu datang kesini?""Aku ingin bicara empat mata dengan Papa. Tolong minta dia pergi sebentar.""Pasti kamu ingin membicarakan tentang Rose Black. Apa kamu sudah melamarnya? Katakan saja, tidak ada yang perlu ditutupi.""Aku tidak mau membicarakan masalah pribadi di hadapan orang asing," ketus Denzel."Dia adalah sekutu kita, bukan orang asing."Pria bertopeng itu beranjak d
Rose turun ke lantai bawah dengan wajah masam. Esme dan Benjamin sampai keheranan melihat ekspresi kesal Rose di pagi hari."Ben, tolong turunkan lukisanku dari lantai tiga. Aku akan membawanya ke mobil," kata Rose duduk di meja makan. Mau tidak mau ia harus membawa lukisannya daripada datang ke kampus dengan tangan hampa."Baik, Nona."Esme membuatkan sandwich sayuran untuk Rose sambil menatap lamat wajah gadis itu."Nona Rose, Tuan Muda mempekerjakan supir baru. Katanya dia bertugas mengantar jemput Nona setiap hari. Badannya sangat besar, lebih mirip mafia daripada supir," terang Esme."Dimana supir itu?""Di halaman depan, Nona.""Esme, terima kasih atas sandwichnya. Aku akan berangkat ke kampus sekarang.""Tapi Nona baru makan sedikit sekali.""Lain kali aku akan makan lebih banyak," jawab Rose melambaikan tangannya.Benar saja saat menuju ke mobil, supir bernama Noah itu telah siap menunggunya. Dengan tangannya yang besar, Noah membantu Ben memasukkan lukisan ke dalam mobil.Sep
Setelah dinobatkan sebagai pemenang, Anneth tak henti mengumbar senyuman. Ia juga tak segan menempel pada Luke hingga kelas melukis selesai. "Aku yakin sebentar lagi Anneth akan meminta nomor ponsel Luke Brown. Lalu dia akan merayu dan menggoda pria tampan itu supaya naik ke atas ranjangnya," bisik Gwen sebal. Rose tidak menanggapi tapi telinganya memanas. Jika dilihat dari kelakuan Anneth, apa yang dikatakan Gwen bisa menjadi kenyataan. "Tuan Luke, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu dengan kami. Semoga Anda tidak bosan datang ke kampus ini jika kami mengundang Anda lagi. Mari kita makan siang bersama," ajak Mr. Zack. "Maaf, hari ini saya ada urusan keluarga. Lain kali saya pasti akan memenuhi undangan Anda, Mr. Zack." Luke meninggalkan kelas bersama Mr. Zack. Ia tidak melihat ke arah Rose sama sekali bahkan ketika melewati gadis itu. Tampaknya Luke memenuhi permintaan Rose agar mereka berdua bersikap sebagai orang asing. Tapi anehnya Rose justru merasa ters
Pendeta memandu kedua mempelai untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Luke terlebih dahulu mengatakannya dengan lancar, mantap dan tanpa beban. Sedangkan ketika tiba giliran Rose, gadis itu mengucapkannya dengan terbata-bata meskipun akhirnya berhasil juga.Luke menatap Rose sekilas. Ia tahu gadis ini sekarang menikah dengannya karena keterpaksaan. Tapi setelah pernikahan ini dia akan membuat Rose jatuh cinta padanya. Bahkan bila perlu ia akan membuat wanita ini tidak bisa lepas dari genggamannya."Mulai hari ini kalian berdua adalah pasangan suami istri yang sah di hadapan Tuhan. Apa yang dipersatukan Tuhan tidak bisa diceraikan oleh manusia," ucap sang Pendeta sebagai tanda resminya pernikahan Luke dan Rose.Berikutnya, Luke membuka kotak cincin. Di dalamnya ada sepasang cincin pernikahan bertahtakan diamond putih. Luke meraih tangan kanan Rose lalu memasangkan cincin indah itu di jari manis istrinya. Rose tidak bereaksi. Seindah apapun cincin yang melingkar di jarinya sama sekali
Terima kasih," ucap Luke kepada karyawan cottage yang membantunya. Masih menggendong Rose, Luke menutup pintu kamar dengan kakinya."Aku bukan orang lumpuh, Luke. Tolong turunkan aku," pinta Rose merasa risih.Luke menurunkan Rose di tepi tempat tidur dengan posisi duduk. Ia berjalan ke pintu lalu menguncinya dari dalam. Darah Rose berdesir cepat. Berduaan dengan Luke setelah mereka menjadi suami istri membuatnya sangat canggung.Luke membuka tuxedo dan rompinya lalu menyampirkannya di atas kursi. Ia menatap dalam Rose yang masih duduk tak bergerak."Katamu tadi kerepotan memakai gaun itu? Kenapa tidak melepasnya?" tanya Luke mendekat."Aku akan melepasnya tapi tolong kamu keluar dulu dari kamar ini.""Lepas saja di hadapanku. Kita sekarang suami istri, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan. Lagipula kamu tidak akan bisa membuka gaun itu tanpa bantuanku," tunjuk Luke ke bagian belakang gaun pengantin yang dipakai Rose.Rose berdiri dan menghadap ke cermin. Apa yang dikatakan Luke mem
Rose tidak sanggup untuk menjawab karena rasa sakit sekaligus nikmat yang bercampur menjadi satu. Hanya lelehan air mata yang keluar dari sudut matanya. Ia merasa dipermainkan oleh Luke tapi anehnya dia juga menginginkan hal ini. "Jangan menangis, Baby. Sakitnya hanya sebentar setelah itu kamu akan terbiasa." Senyum mengembang di wajah tampan Luke. Ia merasa bangga sekaligus bahagia karena menjadi pria pertama bagi Rose. Rose bukanlah wanita murahan yang sembara menjual diri seperti ibu kandungnya. Kecurigaannya selama ini mengenai hubungan asmara Rose dan Denzel tidak terbukti. Gadis cantik ini bisa menjaga diri dengan baik. Tidak, dia bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang wanita. Luke menggerakkan pinggulnya perlahan hingga milik Rose lebih siap menerimanya. Setelah Rose tenang, Luke mulai menggerakkan pinggulnya lebih kencang. "Sudah merasakan nikmatnya?" tanya Luke sensual. Rose menatap sayu Luke tanpa bisa berkata-kata. Tindakan Luke telah membuatnya terbuai hingg
Rose enggan menjawab pertanyaan yang diajukan Luke. Entah mengapa jauh di lubuk hatinya terbersit keinginan untuk terus bersama pria ini. Namun Rose tahu harapannya mustahil untuk terlaksana. Pasti rasa yang tak wajar ini muncul akibat malam pengantin yang baru mereka lalui bersama. Lagipula pantang bagi Rose untuk menyerahkan hatinya pada Luke. Jika dia sampai melakukan hal bodoh tersebut maka dia akan hancur berkeping-keping saat pria itu meninggalkannya."Sudah selesai," ucap Rose. Dia berusaha keluar dari bathtub lebih dulu namun Luke menahan tangannya."Kamu masih lemas, jangan keras kepala. Sudah kubilang aku akan menjadi pelayanmu hari ini," ucap Luke.Luke berdiri lalu mendudukkan Rose di atas bangku panjang yang terbuat dari keramik. Ia mengambil bathrobe dan memakaikannya ke tubuh Rose. Setelah itu dia mengelap rambut basah Rose dan mengeringkannya perlahan dengan hair dryer. Semua tindakan manis Luke membuat Rose semakin tersiksa. Pria ini sangat berbakat untuk membintangi
"Jangan membicarakan soal Denzel. Mulai sekarang aku melarangmu untuk berhubungan dengan orang itu. Dia pria yang berbahaya. Untuk masalah perusahaan biar aku yang menanganinya.""Kenapa kamu sangat membenci Denzel, bahkan menuduhnya terlibat dengan kasus kematian Daddy? Padahal kalian tidak terlalu mengenal satu sama lain," tanya Rose keheranan."Kamu tahu siapa nama asli Denzel?""Denzel Miller," jawab Rose spontan."Salah. Miller adalah nama keluarga ibunya. Denzel sengaja menggunakan nama itu untuk menutupi identitasnya. Nama belakangnya adalah Adams. Aku mengetahui ini dari detektif yang aku sewa untuk menyelidikinya."Luke melanjutkan ucapannya."Aku ingat Daddy pernah berseteru dengan seorang pengusaha bernama Peter Adams. Aku tidak tahu apa masalah mereka karena saat itu aku masih remaja. Tapi aku melihat Daddy sangat gusar. Dia menyewa banyak pengawal pribadi dan terlihat gelisah selama beberapa minggu. Aku curiga Denzel ada hubungannya dengan Peter Adams.""I...ini mustahil,