Rose tidak sanggup untuk menjawab karena rasa sakit sekaligus nikmat yang bercampur menjadi satu. Hanya lelehan air mata yang keluar dari sudut matanya. Ia merasa dipermainkan oleh Luke tapi anehnya dia juga menginginkan hal ini. "Jangan menangis, Baby. Sakitnya hanya sebentar setelah itu kamu akan terbiasa." Senyum mengembang di wajah tampan Luke. Ia merasa bangga sekaligus bahagia karena menjadi pria pertama bagi Rose. Rose bukanlah wanita murahan yang sembara menjual diri seperti ibu kandungnya. Kecurigaannya selama ini mengenai hubungan asmara Rose dan Denzel tidak terbukti. Gadis cantik ini bisa menjaga diri dengan baik. Tidak, dia bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang wanita. Luke menggerakkan pinggulnya perlahan hingga milik Rose lebih siap menerimanya. Setelah Rose tenang, Luke mulai menggerakkan pinggulnya lebih kencang. "Sudah merasakan nikmatnya?" tanya Luke sensual. Rose menatap sayu Luke tanpa bisa berkata-kata. Tindakan Luke telah membuatnya terbuai hingg
Rose enggan menjawab pertanyaan yang diajukan Luke. Entah mengapa jauh di lubuk hatinya terbersit keinginan untuk terus bersama pria ini. Namun Rose tahu harapannya mustahil untuk terlaksana. Pasti rasa yang tak wajar ini muncul akibat malam pengantin yang baru mereka lalui bersama. Lagipula pantang bagi Rose untuk menyerahkan hatinya pada Luke. Jika dia sampai melakukan hal bodoh tersebut maka dia akan hancur berkeping-keping saat pria itu meninggalkannya."Sudah selesai," ucap Rose. Dia berusaha keluar dari bathtub lebih dulu namun Luke menahan tangannya."Kamu masih lemas, jangan keras kepala. Sudah kubilang aku akan menjadi pelayanmu hari ini," ucap Luke.Luke berdiri lalu mendudukkan Rose di atas bangku panjang yang terbuat dari keramik. Ia mengambil bathrobe dan memakaikannya ke tubuh Rose. Setelah itu dia mengelap rambut basah Rose dan mengeringkannya perlahan dengan hair dryer. Semua tindakan manis Luke membuat Rose semakin tersiksa. Pria ini sangat berbakat untuk membintangi
"Jangan membicarakan soal Denzel. Mulai sekarang aku melarangmu untuk berhubungan dengan orang itu. Dia pria yang berbahaya. Untuk masalah perusahaan biar aku yang menanganinya.""Kenapa kamu sangat membenci Denzel, bahkan menuduhnya terlibat dengan kasus kematian Daddy? Padahal kalian tidak terlalu mengenal satu sama lain," tanya Rose keheranan."Kamu tahu siapa nama asli Denzel?""Denzel Miller," jawab Rose spontan."Salah. Miller adalah nama keluarga ibunya. Denzel sengaja menggunakan nama itu untuk menutupi identitasnya. Nama belakangnya adalah Adams. Aku mengetahui ini dari detektif yang aku sewa untuk menyelidikinya."Luke melanjutkan ucapannya."Aku ingat Daddy pernah berseteru dengan seorang pengusaha bernama Peter Adams. Aku tidak tahu apa masalah mereka karena saat itu aku masih remaja. Tapi aku melihat Daddy sangat gusar. Dia menyewa banyak pengawal pribadi dan terlihat gelisah selama beberapa minggu. Aku curiga Denzel ada hubungannya dengan Peter Adams.""I...ini mustahil,
Denzel meraih ponselnya sambil mendengus kasar. Terpaksa ia meminta bantuan dari seseorang yang selama ini sangat dihindarinya. "Selamat malam, Tuan Hendrick, ini aku Denzel." Terdengar suara tawa pria itu dari seberang telpon. "Akhirnya kamu membutuhkan bantuanku juga, Tuan Denzel. Pasti ini sesuatu yang sangat penting karena kamu menelponku malam-malam," ujar Hendrick merasa di atas angin. "Aku tidak akan meminta bantuanmu secara gratis. Jika kamu berhasil aku akan memberikan apa yang kamu inginkan selama ini. Dua puluh persen saham di Brown Group," cetus Denzel mengungkapkan tawarannya. Hendrick kembali terkekeh mendengar kata-kata Denzel. "Dua puluh persen, sedikit sekali. Tuan Denzel, aku bukan anak remaja yang membutuhkan uang hanya untuk membeli rokok atau minuman keras. Aku memiliki istri yang harus aku penuhi kebutuhannya." Denzel berdecih di dalam hati. Pria serakah ini masih meminta lebih di saat ia memberikan penawaran yang sangat menguntungkan. "Hanya itu yang bisa
Sinar matahari yang menembus lewat celah tirai membangunkan Rose. Jajaran bulu mata lentiknya bergerak ke kiri dan ke kanan sebelum ia mengerjapkan mata. Rose menggeliat perlahan, merasakan pegal di seluruh tubuhnya. Ketika kesadarannya sudah terkumpul, Rose baru menyadari bahwa Luke tidak ada di sampingnya. Entah dimana keberadaan pria itu. Yang jelas Rose hanya berharap dia tidak ditinggalkan begitu saja di tempat asing ini. Rose pun membuka selimutnya lalu menjejakkan kaki satu per satu ke atas ubin yang dingin. Dengan perlahan, ia menuju ke kamar mandi. Memutar keran ke kanan lalu membiarkan dirinya menikmati kucuran air shower yang hangat. Dalam kesendiriannya, Rose mengamati jejak berwarna merah keunguan yang ditinggalkan Luke. Tanda bahwa dirinya telah dimiliki pria itu. Rose menggosoknya, berusaha menghilangkan semua jejak dengan usapan air sabun meskipun usahanya ini akan berakhir sia-sia. Haruskah dia menangis atau merasa bahagia dengan keadaannya sekarang? Dengan sadar
"Tuan, Anda tidak ingin bertemu Tuan Muda?" tanya salah seorang pria yang berkaca mata.Pria paruh baya itu menghela napas dalam."Belum saatnya. Kalau aku memaksakan diri mengaku sebagai ayahnya, dia justru akan membenciku. Sepertinya dia sudah cukup bahagia menjadi seorang Brown.""Tapi Tuan, mungkin putra Anda ada dalam bahaya.""Aku tahu. Utus beberapa orang kita untuk melindunginya secara diam-diam.""Baik, Tuan," jawab pria itu patuh.Sementara Rose dan Luke sudah selesai berdoa di atas pusara Louis Brown. Kini mereka bersiap untuk pergi ke makam Karen Black."Luke, aku mau ke apotek sebentar sebelum ke makam Mommy," kata Rose saat mereka sudah ada di dalam mobil.Luke menoleh sebentar dari kursi kemudi untuk mengamati wajah Rose."Apotek? Apa kamu sakit?""Tidak, aku ingin membeli obat pencegah kehamilan."Alis Luke bertaut mendengar penuturan Rose yang terang-terangan. Ia tidak mengerti mengapa Rose begitu khawatir akan mengandung anaknya."Kenapa harus meminum obat? Tidak mas
"Aku tidak ingin timbul gosip atau desas desus mengenai Rose. Dan satu lagi jangan sampai berita ini tersebar ke luar mansion. Kalian semua mengerti?" Suara Luke terdengar begitu tegas sehingga Rose yang berdiri di sampingnya ikut tertunduk. Seperti biasa, Benjamin sebagai kepala pelayan mansion menjawab titah yang diberikan oleh sang majikan. "Kami semua akan mematuhinya, Tuan Muda." "Sekarang kalian semua boleh beristirahat," ujar Luke seraya mengajak Rose menaiki tangga ke lantai dua. Rose masih setia dalam kebungkamannya. Di ujung tangga, mereka berpapasan dengan Esme. Ekspresi wanita itu nampak terkejut melihat kedatangan majikannya. "Kenapa kamu disini? Apa tugas yang kuberikan sudah selesai?" tanya Luke. Esme segera membungkukkan badannya penuh hormat. "Sudah, saya baru akan memberitahukannya kepada Tuan Muda." "Kalau begitu kembalilah ke paviliun."
Setibanya di kamar mereka, Luke langsung menaikkan dagu Rose dan melumat bibirnya. Rose tidak melawan karena ia pun menantikan sentuhan pria ini. Terkadang Rose merasa dirinya tidak waras karena menghamba pada lelaki yang jelas tidak mencintainya. Namun ciuman Luke kali ini terasa berbeda. Bukan hanya didominasi oleh hasrat tapi ada kelembutan dan kasih sayang di dalamnya. "Jujurlah, apa sampai detik ini kamu masih terpaksa menikah denganku?" tanya Luke melepaskan tautan bibir mereka. Rose tidak menjawab tapi ia malah balik bertanya. Ia yakin pria ini sedang berusaha mengorek isi hatinya untuk memastikan seberapa kuat pengaruhnya. "Bagaimana denganmu?" Luke mengelus pipi Rose dengan lembut. Sesaat pandangan mata mereka saling mengunci satu sama lain. "Jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu apa kamu akan percaya?" Rose menunduk untuk memutus tatapan mata mereka. Ia menghembuskan napas pelan. "Kalau kamu menyatakan cinta pada Anneth, pasti dia akan meleleh dan menyerahkan diri p
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams