Jam pelajaran sudah selesai.
Rose menyilangkan tas sekolahnya yang kumal lalu meninggalkan ruang kelas. Ia berjalan lurus melintasi pekarangan sekolah. Seperti biasa tidak ada yang menghiraukan keberadaannya. Teman-teman sekelasnya juga bersikap sama. Mereka menjauhi Rose karena enggan berteman dengan gadis yatim piatu yang miskin.Rose pun melanjutkan langkah kakinya menuju gerbang sekolah. Sambil menundukkan kepala, ia meneruskan perjalanan pulang. Angin berhembus begitu kencang. Rose memeluk dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa dingin, tapi tetap saja tubuhnya gemetaran. Awan kelabu yang berarak menutupi sang surya, menandakan bahwa hujan akan segera turun mengguyur bumi.
Rose gelisah. Pagi ini ia bangun dalam keadaan kurang sehat. Jika hari ini kehujanan, mungkin ia akan benar-benar jatuh sakit.
Rose berhenti sejenak. Ia melihat sekumpulan remaja yang mengantri di depan food truck untuk membeli burger dan kopi. Rose baru menyadari jika perutnya berbunyi sejak tadi. Ingin sekali ia membeli makanan untuk mengganjal perut. Sayangnya, ia tidak punya uang sama sekali.
Dengan kecewa, Rose memalingkan wajahnya. Ia menyeberang jalan lalu berbelok ke kanan. Rose memilih jalan pintas yang kerapkali dilaluinya setiap pulang sekolah. Jalan kecil itu akan membawanya tiba di rumah lebih cepat.
Entah karena pusing atau terlalu lama menahan lapar, pandangan Rose menjadi berkunang-kunang. Tubuhnya terhuyung dan hampir roboh ke bawah bila saja tidak ada tangan yang menahannya.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" Terdengar suara bariton seorang pria di telinga Rose.
Rose mengerjapkan mata beberapa kali untuk menormalkan penglihatannya. Di hadapannya sedang berdiri seorang pria muda. Pria itu tengah menatapnya dengan seksama.
"Nona," tanya pria itu sekali lagi.
Rose berusaha memfokuskan titik pandangnya, memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi. Pria yang menyapanya sungguh nyata, bukan hantu atau sosok khayalan. Pria ini mengenakan setelan jas kerja yang elegan dengan dasi menghiasi lehernya. Penampilannya terlihat seperti seorang eksekutif muda.
Profil wajah pria ini terbilang sempurna dengan alis tebal, rahang tegas dan manik mata berwarna biru laut. Bisa dikatakan ia adalah gambaran sempurna dari sosok dewa dalam mitologi Yunani.
"Maaf, saya harus pulang ke rumah, Tuan," kata Rose menghindar. Berbicara terlalu lama dengan orang asing membuat Rose tidak nyaman. Bisa saja pria ini berlagak baik tapi sebenarnya menyimpan niat yang buruk.
"Tunggu Nona. Benarkah Nona bernama Rose Black?" tanya pria itu penuh selidik. Black adalah nama keluarga dari ibu kandung Rose.
Pertanyaan pria itu membuat Rose terhenyak. Dari mana pria ini bisa mengetahui nama lengkapnya padahal mereka baru pertama kali bertemu.
"I...iya saya Rose."
Seolah bisa menebak isi pikiran Rose, pria itu berusaha bersikap lebih ramah.
"Jangan takut, Nona. Perkenalkan saya Denzel, wali Nona. Saya perlu bicara empat mata dengan Nona. Mari ikut saya ke mobil."
"Wali? Yang menjadi wali saya adalah paman saya, Josh Black. Saya tidak mengenal Anda jadi tolong biarkan saya pergi," tolak Rose.
"Saya tidak bermaksud jahat, Nona Rose. Kita harus bicara di dalam mobil karena jalanan ini tidak aman."
"Tapi saya tidak mau."
Tanpa merespon penolakan Rose, Denzel menarik tangan gadis remaja itu. Rose meronta-ronta minta dilepaskan, namun kekuatannya kalah jauh dibandingkan Denzel yang bertubuh kekar. Terlebih jalan kecil itu tampak lengang, sehingga tidak ada orang yang bisa menolong Rose.
Denzel memasukkan Rose ke dalam mobilnya lalu mengunci pintu. Melihat tindakan Denzel, dahi Rose dipenuhi keringat dingin. Ia khawatir bila pria muda ini akan berbuat macam-macam kepadanya.
"Maafkan saya karena harus bertindak kasar. Saya terpaksa melakukannya demi keselamatan Nona. Jangan sampai ada yang mendengarkan percakapan kita," jelas Denzel melembutkan suaranya.
"A...apa yang Tuan inginkan?" tanya Rose gugup.
Denzel mengambil sebuah map dari tasnya lalu menyodorkan kepada Rose.
"Baca dokumen ini baik-baik, Nona."
Dengan tangan gemetar, Rose menerima map yang disodorkan Denzel. Ia harus menuruti perintah laki-laki ini supaya tidak memancing amarahnya.
Ketika Rose mulai membaca judul dokumen itu, ia menjadi bingung.
"Surat wasiat Louis Brown? Apa hubungannya dengan saya?"
Seingat Rose, Louis Brown adalah pengusaha kaya raya yang diberitakan meninggal karena diracun. Semalam ia melihat berita tentang kematian pria itu di televisi. Benarkah Louis Brown yang ini sama dengan yang ada di berita? Ataukah namanya saja yang sama?
"Saya adalah pengacara merangkap asisten pribadi Tuan Louis. Bolehkah saya bertanya sesuatu? Apakah kalung mawar hitam yang Nona pakai itu pemberian dari Ibu Nona?" tanya Denzel menunjuk ke leher Rose.
Rose terkejut mendengar pertanyaan Denzel. Ia tidak menyangka pria asing ini mengetahui dari mana kalungnya berasal.
"Iya, Tuan. Ibu saya memberikannya sebelum meninggal dunia."
"Kalung itu adalah pemberian dari ayah kandung Anda, Louis Brown. Yang Anda pegang sekarang merupakan surat wasiat dari Beliau. Tuan Louis Brown telah mewariskan sebagian besar dari kekayaannya kepada Anda sebagai putri tunggalnya. Sedangkan sisanya ia wariskan kepada putra angkatnya," terang Denzel meyakinkan Rose.
Bahu Rose bergetar pelan. Ia hampir menangis ketika melihat namanya tercantum dalam surat wasiat tersebut.
"Tuan, apa Anda tidak salah orang? Kalau saya putri dari Tuan Brown, kenapa dia tidak pernah mencari saya selama ini?"
"Nona, saya belum bisa menceritakannya sekarang. Yang jelas Tuan Brown ingin melindungi Nona dari segala bentuk marabahaya. Dia sangat menyayangi Nona. Mulai sekarang hidup Nona tidak akan menderita lagi."
Rose membuka halaman kedua dari dokumen itu yang berisi tentang hak perwalian. Tuan Brown menyatakan bahwa Denzel Adams adalah wali sah yang bertanggung jawab atas ahli warisnya sebelum berusia dua puluh tahun.
Pernyataan ini membuat Rose cemas. Ia tidak mau hidup bersama dengan pria asing yang tidak dikenalnya.
"Tuan, saya tidak bisa menerima warisan ini. Apalagi jika saya harus berpisah dari paman saya."
"Apa yang diberikan Tuan Brown adalah hak Nona sebagai anaknya. Nona tetap bisa tinggal di rumah keluarga Black karena identitas asli Nona harus dirahasiakan. Pembunuh Tuan Louis belum tertangkap. Di luaran sana masih berkeliaran musuh keluarga Brown dan mereka akan mengincar Nona sebagai pewarisnya."
"Lalu saya harus bagaimana, Tuan?"
"Sekarang saya akan mengantarkan Nona pulang ke rumah."
"Sekarang saya akan mengantarkan Nona pulang ke rumah," kata Denzel menenangkan Rose.Mendengar itu, Rose menarik nafas lega. Pikiran negatifnya terhadap Denzel ternyata tidak terbukti. Ayahnya juga pasti memiliki pertimbangan khusus mengapa memilih pria ini sebagai walinya. Namun sejujurnya Rose masih belum percaya dengan kenyataan yang dihadapinya saat ini.****Sementara itu, Josh izin pulang lebih cepat dari kantor karena ditelpon oleh istrinya. Entah apa yang terjadi di rumah sehingga suara Lily terdengar panik. Wanita itu hanya mengatakan bahwa ada seorang pria tak dikenal yang datang ke rumah mereka bersama Rose. Dengan tergesa-gesa, Josh memarkirkan mobilnya. Perasaannya makin cemas ketika melihat sebuah mobil porsche terparkir di halaman rumahnya yang sederhana. Ketika masuk di ruang tamu, Josh mendapati seorang pria muda duduk bersama Rose dan Lily. Pria itu langsung berdiri saat mendengar langkah Josh yang mendekatinya. "Siapa Anda?" tanya Josh tanpa basa-basi. "Saya D
Gwen kembali memperlihatkan video Miss Black kepada Rose."Miss Black tidak pernah memperlihatkan wajahnya di video. Yang terlihat hanya bagian pundak ke bawah. Tapi justru sisi misteriusnya ini yang membuat orang-orang semakin penasaran.""Sepertinya kamu salah satu penggemar Miss Black, Gwen.""Iya. Aku berharap suatu hari bisa menguak identitas Miss Black yang sebenarnya."Dering ponsel Rose menghentikan obrolan mereka. Gwen melirik sebentar dan melihat nama "Daddy" muncul di layar ponsel Rose."Itu dari ayahmu, Rose?" tanya Gwen penuh selidik."Aku pulang duluan Gwen. Nanti aku akan menelponmu," kata Rose melambaikan tangannya.Gwen mengerutkan kening melihat sikap aneh.Rose. Setiap kali ada panggilan dari "si Daddy", Rose selalu buru-buru pergi. Ia penasaran apakah ayahnya Rose seorang pria yang sangat galak sehingga putrinya sampai ketakutan.Sembari memastikan tidak ada orang yang mengikutinya, Rose berjalan menuju ke parkiran. Ia membuka pintu mobil lalu menerima panggilan ter
Ruang audisi sudah dipenuhi oleh para peserta. Rose memandang ke kiri dan ke kanan, mencari tempat duduk yang masih kosong."Rose sebelah sini," teriak seseorang memanggilnya.Rose berpaling dan melihat gurunya, Mr. Robert, duduk di deretan bangku nomor tiga dari belakang. Di sebelah Mr. Robert ada seorang gadis berbaju merah. Gadis itu tak lain adalah Anneth. Entah mengapa Anneth muncul di acara audisi. Yang jelas kehadirannya pasti memiliki tujuan tertentu."Maaf, Mr. Robert, saya terjebak kemacetan," kata Rose meletakkan tas biolanya di bawah kursi."Aku kira kamu tidak akan datang, Rose," sindir Anneth."Audisinya baru dimulai sekitar lima menit lagi. Apa kamu sudah mempersiapkan diri, Rose? Aku yakin lagu Vivaldi tidak sulit untukmu.""Iya, saya sudah berlatih semalam. Semoga penampilan saya tidak mengecewakan."Tak berselang lama, dewan juri duduk di kursi masing-masing. Pembawa acara mulai memanggil peserta audisi untuk bersiap di belakang panggung. Anneth bisa menangkap bias k
Rose mendengarkan musik klasik dengan earphone sepanjang perjalanan menuju kantor. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang akan menyinggung Denzel. Rose ingin hubungannya dengan pria itu tetap hangat layaknya kakak dan adik.Sementara Denzel lebih memilih fokus pada kemudinya. Ia berusaha mempercepat laju mobil agar segera tiba di tempat tujuan. Sungguh baru kali ini suasana terasa sangat canggung bagi mereka berdua."Nona kita sudah sampai," kata Denzel masuk ke area parkir.Rose mengangguk kecil sambil melepas earphone dari telinganya. Ia menunggu Denzel selesai memarkirkan mobil lalu mereka keluar bersama."Daddy, nanti tolong bawakan laporan perkembangan proyek apartemen Raffles Tower. Aku ingin memeriksanya.""Baik, Nona."Sebenarnya Rose ingin sesekali mengunjungi lokasi proyek untuk melakukan peninjauan secara langsung, namun Denzel melarangnya. Ia tidak ingin kehadiran Rose terlalu mencolok dan mengundang kecurigaan di kalangan pekerja.Rose memakai kaca mata minusnya lalu meng
Di dalam hati Rose panik, namun ia tidak memperlihatkannya secara terang-terangan. Rose sudah berlatih sekian tahun untuk menyamar. Dan mengatasi Luke seharusnya bukan hal yang sulit. Ini adalah ujian pertama yang harus dilaluinya sebagai calon pemimpin perusahaan."Tuan, saya minta maaf. Saya membuatkan teh itu untuk Tuan Denzel tapi saya meminumnya karena Tuan Denzel pergi meeting. Maafkan kelancangan saya," jawab Rose dengan kepala tertunduk.Luke maju mendekat sambil memicingkan mata."Lain kali jangan coba berbohong padaku. Itu tidak akan berhasil.""Sekali lagi saya minta maaf, Tuan," jawab Rose tanpa memandang Luke."Kenapa Denzel mempekerjakan gadis muda yang suka berbohong sepertimu? Atau mungkin dia memilihmu karena kamu dan Miss Black punya sifat yang sama. Sama-sama pintar berbohong," tukas Luke.Perkataan pedas Luke membuat panas telinga Rose. Entah mengapa lelaki ini membenci Miss Black dan berani menuduhnya sebagai pembohong padahal mereka tidak saling kenal. Apakah mun
"Daddy, saat aku bertemu Luke, aku merasa dia sangat membenci Miss Black. Apa Daddy tahu kenapa dia tidak suka padaku?"Denzel mengedikkan bahunya."Saya tidak tahu banyak tentang masa lalu Tuan Louis dan Tuan Luke. Tuan Louis hanya bercerita kalau dia memiliki seorang anak angkat. Tapi putranya itu pergi bersama istrinya ketika mereka bercerai.""Mungkinkah dia membenciku karena aku anak haram?" pikir Rose sedih.Sudah lama Rose menduga bahwa ibunya adalah orang ketiga dalam pernikahan Louis dan Jessica Brown. Inilah yang menyebabkan ayahnya tidak bisa mengakuinya sebagai anak di hadapan publik. Ia adalah anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan, bukan dari pernikahan yang sah."Jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya bagian dari masa lalu," ucap Denzel menghibur Rose."Daddy, apa perlu aku mengaku pada Luke dan meminta maaf atas nama ibuku? Aku ingin menghapus kesalahpahaman dan luka yang pernah ditorehkan ibuku terhadap Nyonya Jessica."Raut wajah Denzel berubah tidak senang saat
Wajah Denzel mengetat. Salah satu tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Jangan ikut campur urusanku! Aku tidak akan membiarkan Papa merusak pondasi yang sudah aku bangun dengan susah payah. Tinggal selangkah lagi dan aku aku akan berhasil," sembur Denzel dengan mata memerah. Terdengar suara tawa membahana Tuan X dari seberang sana. "Ini yang kusuka, mendengarmu meluapkan semua amarahmu. Penerusku harus garang dan penuh ambisi. Tidak ada tempat untuk pria lemah lembut yang mengutamakan perasaan," ujar Tuan X bersemangat. Berikutnya dia sengaja mencela sepak terjang Denzel. "Aku kira kamu sudah melupakan rencana besar kita karena jatuh cinta pada gadis ingusan itu." Denzel mendengus kasar sebelum memberikan responnya. "Aku sudah bersumpah di hadapan Papa, tentu saja aku tidak akan mengingkarinya. Cinta tidak masuk dalam prioritasku. Lihat saja bagaimana aku menguasai semua yang dimiliki Louis Brown, terutama putri tunggalnya." "Hmmmmm, aku tidak sabar menunggu sa
Luke tersenyum secerah mentari kepada para mahasiswa di dalam kelas. Sikapnya ini sungguh berbanding terbalik dengan keangkuhan yang ditunjukkannya saat berada di kantor Brown Group. Bahkan ia tampil santai dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, dipadu celana jeans berwarna biru tua.Rose segera menyembunyikan wajahnya. Ia berharap Luke tidak akan mengenalinya di antara dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut."Selamat pagi. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya diundang ke kelas melukis oleh Mr. Zack. Jujur saya masih pemula dalam bidang seni lukis. Saya tidak menyangka akan diberi kehormatan sebesar ini," ucap Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati. Ia menganggap Luke sebagai manusia munafik yang berakting rendah hati agar menerima banyak pujian."Anda tidak bisa dikatakan sebagai pemula. Lukisan Anda yang bertajuk Woman In The Rain sangat terkenal. Begitu juga dengan lukisan kedua Anda The Snowy Mansion yang menjadi trend baru di kalangan anak muda. Lukisan itu a
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams