"Bu... Mm ...." Suara tangis Salma terdengar sampai di telinga Rendi yang asyik bermain bersama Salwa.
Rendi tengah bermain kuda-kudaan bersama Salma. Lelaki berambut ikal itu merangkak dan Salwa duduk di punggungnya. Sudah persis seperti kuda. Tak ia hiraukan tangis sang buang hati. Ia tahu Naya pasti akan menenangkan tangis Salwa. Namun tangis itu tidak kunjung berhenti. Rendi mulai tersulut emosi. Ia mengira Naya tak becus mengurus anak. Dengan langkah kesal Rendi berjalan menuju kamar. Salwa masih menangis sesegukkan. Rendi melihat sekeliling, tak ia temukan sosok yang diharapkan bisa menenangkan Salwa. Kemana dia pergi, anak menangis dibiarkan saja. "Apa telinga Naya tuli hingga tak mendengar tangis Salwa. Keterlaluan! Kalau marah denganku jangan lapiaskan pada anak. Kasihan mereka tak tahu apa-apa tapi kena imbasnya," batin Rendi kesal. Rendi segera menggendong Salwa. Ditenangkannya sang buah hati. Tangan kanan menepuk pundak Salwa pelan. Memberi pengertian agar ia segera diam. Tak berapa lama tangis Salwa berhenti dengan sendirinya. "Naya! Naya!" teriak Rendi memanggil sang istri. Berulang kali ia berteriak memanggil nama ibu dari kedua anaknya. Namun tetap saja tak ada jawaban. Naya seakan hilang ditelan bumi. "Yah, inum!" pinta Salwa sambil memegangi lehernya. Rendi mengangguk lalu berjalan menuju dapur sambil menggendong Salwa. Salma berjalan mengekor sang ayah. Rendi terus berjalan sambil menahan emosi.Berkali-kali memaki sang istri. Rendi mengira Naya pergi tanpa menyiapkan keperluan anaknya. Si kembar pun belum mandi tapi Naya sudah pergi tak tahu ke mana. "Astagfirullah ...," teriak Rendi saat tiba di dapur. Naya tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Rendi segera menurunkan Salwa dari gendongan. Menepuk pelan pipi sang istri tapi nihil, tak ada reaksi dari Naya. Sekuat tenaga Rendi membopong tubuh Naya ke dalam kamar. Tubuh sang istri terasa semakin kurus. Padahal ia tak melakukan program diet. "Kenapa kamu,Nay?" batin Rendi. Kedua buah hati Naya mengikuti langkah sang ayah. Tangis mewarnai langkah mereka. Kedua anak yang memiliki wajah bak pinang di belah dua itu menangis melihat sang ibu tak sadarkan diri. Salwa dan Salma memang belum mengerti apa-apa dengan keadaan sang ibu. Namun melihat ibunya tak menjawab saat dipanggil membuat dua anak kembar itu kian menangis. Tangis yang kencang mampu membangunkan sang nenek. Dengan muka di tekuk Yanti keluar dari kamar lalu menuju sumber keributan. "Ada apa ini? Kenapa Salwa dan Salma nangis?" Yanti mendekap kedua cucunya yang menangis di depan kamar mereka. Dilihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, kedua cucunya masih berantakan. Kotoran mata masih menempel dan rambut acak-acakan. "Apa yang dilakukan Naya dari tadi? Anak sampai tak terurus. Punya anak dua saja sudah kewalahan dan sekarang hamil lagi. Memang keterlaluan dia!" batin Yanti kesal. Yanti menuntun kedua anak kecil ke dalam kamar. Dalam hati ia ingin memaki sang menantu yang sudah menelantarkan kedua cucunya. Yanti memang tak suka dengan Naya tapi dia menyayangi si kembar. Ini salah satu alasan dia menginginkan Naya menggugurkan kandungannya yang belum ada dua bulan. Bagi Yanti kehamilan Naya akan membuat si kembar tidak terurus dengan baik. "Naya!" teriak Yanti di muka pintu. Pundak Yanti naik turun melihat Naya yang tidur di atas kasur. Sementara Rendi mengobrak-abrik benda di atas meja, mencari minyak kayu putih yang biasanya ada di sana. "Istri kamu memang keterlaluan Ren, jam segini tidur. Sementara anak tidak terurus. Jam segini Salwa dan Salma belum mandi. Sarapan belum tertata di meja makan. Apa sih yang dia lakukan dari tadi?" omel Yanti seperti rel kereta api. Panjang. Rendi tak menghiraukan omelan ibunya. Dia masih mencari benda kecil berwarna hijau itu. Dan akhirnya Rendi menemukan benda kecil itu jatuh di bawah meja. Segera ia mendekat ke kasur. Mengoleskan minyak kayu putih di bawah lubang hidung Naya. "Istri kamu suruh bangun. Pekerjaan rumah masih banyak!"Rendi mengelus dada. Dalam hati kesal dengan ucapan Yanti. Di saat ia sibuk menyadarkan Naya yang pingsan, sang ibu justru bicara tak ada hentinya. "Naya pingsan, Bu! Dia tergeletak di lantai dapur. Sampai sekarang belum sadarkan diri!" ucap Rendi memberi pengertian pada ibunya. Yanti mencebik. Tak ada rasa khawatir pada menantu. Ia justru semakin kesal karena pekerjaan rumah akan ia kerjakan seorang diri. "Apa gunanya punya menantu jika pekerjaan rumah aku sendiri yang mengerjakan?" gumamnya. Yanti mengambil pakaian Salwa dan Salma di lemari plastik berwarna merah muda di sudut kamar. Wanita yang memakai daster berwarna kuning itu menggandeng Salwa dan Salma ke kamar mandi. Yanti meletakkan pakaian ganti si kembar di atas sofa ruang keluarga lalu segera memandikan cucu-cucuya. Satu ember besar berisi air telah disiapkan Yanti di kamar mandi. Kedua bocah itu segera masuk ke dalam ember berisi air. Kedua anak kembar itu asyik bermain air sambil tertawa. Yanti menyabun tubuh Salwa dan Salma secara bergantian. Kehangatan hubungan cucu dan nenek terlihat jelas di sana. Sementara di kamar, Rendi berusaha menyadarkan Naya. Dua kali mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung sang istri. Berharap Naya segera membuka mata. Dalam hati ia menyesali sikap dinginnya semalam. Bukan salah Naya jika sampai hamil karena dirinya turut ikut andil hingga akhirnya istrinya hamil. Naya membuka mata secara perlahan. Sudut bibir Rendi ditarik ke atas saat melihat Naya membuka mata. Rasa cemas di hatinya perlahan sirna. "Kamu kenapa,Nay?" tanya Rendi sambil membantu Naya bersandar ditembok. "Pusing Mas." Naya memegangi kepala yang masih terasa berdenyut. Benda-benda yang ia lihat seperti berputar-putar. "Tunggu sebentar, Mas buatkan teh hangat dulu." Rendi segera berjalan menuju dapur, membuatkan teh hangat untuk Naya. Tak berapa lama Rendi datang dengan membawa secangkir teh hangat. Dengan telaten Rendi membantu Naya untuk meminum tehnya. "Sekarang bagaimana, Nay? Masih pusing?" tanya Rendi setelah meletakkan cangkir teh di atas meja. "Masih, Mas." Rendi kebingungan harus bagaimana, tak mungkin ia memberi Naya obat sakit kepala yang dijual di warung. Naya tengah hamil tidak boleh minum sembarang obat. Ingin membawa Naya ke dokter tapi ia tak memiliki uang. Uang gajian telah habis untuk kebutuhan sehari-hari sedang gajian masih tiga hari lagi. "Periksa ke bidan ya, Nay. Mas antar!" ucapku walau hati bingung mendapatkan uang dari mana. "Apa Mas punya uang?" tanya Naya pelan. Sebenarnya Naya tak kuasa menanyakan hal itu. Ia takut menyinggung perasaan Rendi. "Mas akan cari uangnya. Kamu tunggu sebentar." Tanpa menunggu jawaban Naya, Rendi berlalu pergi meninggalkan Naya. Rendi sudah berdiri di samping Yanti yang sedang menyisir rambut Salma. Rambut lurus sang cucu ia kunci satu. Sudah seperti air mancur di taman kota. Salwa sendiri asyik bermain lego di depan televisi yang menyala. "Bu ...," panggil Rendi pelan. Ada rasa keraguan yang muncul di hatinya. Apa Yanti bersedia meminjamkan uang untuk biaya berobat Naya. "Ada apa Ren? Istriku masih pingsan?" tanya Yanti datar. "Em ... Itu ...," Mulut Rendi tiba-tiba kelu. Bingung harus memulai dari mana. "Ngomong yang jelas!" "Rendi mau pinjam uang untuk memeriksakan Naya ke bidan. Kasihan Naya, bu, dia dari tadi menahan sakit kepala. Rendi tak tega melihatnya. Tak mungkin kan, Rendi memberikan obat warung."Yanti menghembuskan nafas kasar. Menatap tajam Rendi yang berdiri di samping sofa. "Ini yang ibu tak suka, ngurus dua anak saja kerepotan tapi pakai hamil segala. Giliran periksa minta ke ibu! Harusnya istrimu itu menuruti perkataan ibu kamarin. Tak mudah mengurus anak dengan jarak usia yang dekat." "Tolong bu, kasihan Naya," ucap Rendi mengiba. "Bagus digugurin saja biar tidak bikin repot!" omel Yanti. Nyeri yang kini dirasakan Rendi. Tak menyangka jika ibu kandungnya bisa berkata demikian. "Maksud ibu apa? Menggugurkan kandungan Naya?""Bukan, maksud ibu itu repot kalau punya anak dengan jarak yang dekat," kilah Yanti. Yanti merogoh saku dasternya. Mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan lalu memberikannya pada Rendi meski dengan rasa kesal. Ia tak mau Rendi terus bertanya maksud perkataannya tadi. Jangan lupa tinggalkan jejak.Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun. "Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi."Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. "Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. "Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak cocok dengan daster lengan panjangku. Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri."Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. Ku jatuhkan
Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. Kemana perginya ibu dan anak-anak? Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tub
Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku bangun perlahan, kepalaku memang tak sepusing kemarin tapi tubuh masih lemas karena memang belum ada makan yang masuk. Setiap kali makan selalu keluar. Itu yang membuat tubuhku lemas. "Bangun, Mas!" Kusentuh pipi Mas Rendi. Suamiku menggeliat lalu membuka mata meski masih terasa berat. Melihatnya kelelahan dan kurang tidur membuatku kasihan. Salma dan Salwa semalam sedikit rewel,pasti kecapekan. Kalau seperti ini biasanya aku memijat kaki dan tangan menggunakan minyak zaitun hingga akhirnya mereka terlelap kembali. "Sudah bangun,Nay?" tanyanya sambil mengucek mata dengan kedua tangan. Aku tersenyum tipis. Ini kali pertama aku bangun sendiri setelah sakit beberapa hari yang lalu. "Shalat bareng yuk, dek. Sudah lama kita tidak shalat berjamaah bersama." Kuanggukan kepala. Lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi diikuti Mas Rendi dari belakang.Mas Rendi sudah berada di mushola kecil tak jauh dari dapur. Sementara aku baru selesai
Aku dan Mas Rendi berjalan beriringan masuk ke rumah. Ransel dan tas di letakkan di samping kursi kami. Emak dan Bapak tak luput memperhatikan tas yang baru saja di letakkan suamiku. "Kenapa membawa ransel dan tas, Ren?" tanya bapak dengan mata masih memperhatikan tas. Aku dan Mas Rendi saling pandang, bingung harus menjawab apa? "Em, itu Mak, Pak ...." Mas Rendi diam. Bingung mau menjawab apa? Tak mungkin jika ia menjelekkan ibunya. Meski kenyataannya benar. Sejelek-jeleknya seorang ibu, seorang anak tak akan menjelekkan keburukan di depan orang lain. Apa lagi di depan mertuanya. Dan begitulah sifat Mas Rendi. "Naya mau tinggal di sini, Pak." Bapak menyatukan dua alis, nampak tak mengerti dengan ucapanku. "Maksudnya apa ini?" Kuhembuskan nafas pelan. Mencoba menetralisir gejolak yang ada di dalam dada. Tak mungkin ku jelaskan jika di rumah Mas Rendi aku diperlakukan buruk. Bahkan mertuaku ingin membunuh janin yang aku kandung. Mas Rendi nampak semakin gelisah. Lelaki bertubuh
[Ingat ya, Ren. Setelah kamu antar Naya, kamu harus cepat pulang!]Aku telan saliva dengan susah payah. Pesan ibu membuatku susah bernafas. Tidak sopan jika aku mengantar dan tidak ikut menginap. Apa kata emak dan bapak nanti? [Rendi menginap di sini beberapa hari ya, bu. Tidak enak dengan emak dan bapak.]Aku harap ibu mengerti dengan keputusanku. Sebagai menantu yang baik. Aku harus tinggal di sini beberapa hari. Bukan mengantarkan Naya lalu kembali pulang. Nanti mereka pikir aku suami yang tidak bertanggung jawab. Lagi pula belum ada alasan yang tepat untuk berpamitan dengan mereka. Pabrik tempatku bekerja terletak di antara rumah emak dan rumahku. Mau berangkat dari mana pun jaraknya tetap sama. Jadi aku tinggal di sini pun tak masalah. Ting... Ponselku berbunyi lagi. Pasti pesan dari ibu. Kunyalakan benda pipih milikku. Jantungku berdetak saat hendak membaca pesan itu. Bukan deg-degan di SMS pacar tapi jantungan kena marah ibu. [PULANG SEKARANG ATAU KUCORET DARI DAFTAR ANAK]
Semalaman aku menangis. Bayang Mas Rendi pergi terus saja menari-nari dalam angan. Apa aku tak berarti hingga dengan tega ia memilih pulang? Memilih menuruti keinginan ibu dibanding aku, istrinya. Aku tahu, surga seorang lelaki ada di telapak kaki ibunya. Namun tak begini juga. Dia tega menitipkan aku dan kedua putrinya di rumah mertua, sedangkan dia tinggal di rumah ibunya. Apakah seperti ini berumah tangga. Tinggal terpisah. Kalau aku tahu akan seperti ini, lebih baik tak menikah sekalian. Toh, menikah atau tidak sama saja. Semua kulakukan sendiri. "Salwa, Salma, nenek bawakan cokelat." Suara emak terdengar kian mendekat. Lekas kuhapus bulir bening yang sempat menetes. Jangan sampai emak melihat aku menangis. Kedua putriku segera berlari ke arah emak. Dua gadis kecil yang wajahnya bak pinang dibelah dua itu meraih cokelat yang ada di tangan emak. Senyum bahagia tergambar jelas di sana. "Kamu sudah makan, nduk?" tanya wanita yang sudah melahirkanku itu. "Belum mak, Naya gak naf
"Assalamu'alaikum ...," salam Rendi seraya masuk ke dalam. Tatapan tajam dihadiahkan kepada Rendi. Bahkan sang ayah mertua bak serigala yang akan menelan mangsanya. Rendi menelan ludah, tatapan tak bersahabat membuatnya gugup dan bingung. Apa salahnya hingga ia diberi sambutan seperti itu? Kenapa juga Naya menangis? Kalimat itu menari-nari di kepala bapak beranak dua itu. "Untuk apa kamu datang lagi ke sini?" Suara Ahmad menggelegar bagai halilintar yang menyambar. Rendi terdiam, masih tak tahu dengan maksud sang ayah mertua. Sedikit ragu ia letakkan tas di atas kursi tamu. Lalu segera berjalan mendekat ke arah Naya. Dia masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Ahmad. Bukankah kemarin Ahmad memintanya tinggal di sini? Namun kenapa sekarang justru memintanya pergi dari sini? "Ada apa ini, Pak? Kenapa bapak meminta saya pergi? Bukankah kemarin bapak yang meminta saya untuk tinggal di sini?" ucap Rendi pelan. Dada Ahmad naik turun, emosi sudah memenuhi hati lelaki berkulit
Pov RendiAku mengerjapkan mata perlahan. Sorot lampu begitu menyilaukan netra ini. Kembali ku tutup sepasang indera pengelihatan yang Allah berikan. Lalu membukanya sedikit demi sedikit.Ku pindai setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Bau obat-obatan tercium saat pintu kamar di buka. Seorang wanita berambut sebahu berjalan mendekati ku. Dari penampilan dia bukan suster atau pun dokter. Lalu dia siapa? "Mas, sudah siuman? Saya panggilkan dokter. Tunggu sebentar, Mas!" Wanita itu kembali ke luar dari ruang rawat inapku. Tak berselang lama pintu kembali terbuka. Wanita tadi datang bersama seorang dokter dan seorang suster. Suster berpakaian serba putih dengan sigap mengukur tekanan darahku. Aku hanya diam meski banyak tanda tanya dalam kepala ini. "Masih pusing, Pak?" tanya dokter setelah memeriksaku menggunakan stetoskop. "Masih dok," ucapku pelan. "Ini karena benturan di kepala, Bapak. Tapi tidak ada luka yang berat. Kalau sudah tidak pusing,besok pagi bapak boleh pulang."
Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang
Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in
Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki
Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen
Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p
"A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki
"Maaf, ya, Rif," ucapku seraya berdiri."Gak apa-apa, Mbak. Mbak Naya jalannya hati-hati. Mau Arif bantu ke kamar mandi?" Aku menggeleng. Rasanya tak pantas jika harus diantar oleh adik ipar, aku malu.Aku segera melangkah meninggalkan Arif dan ibu, berjalan perlahan menyusul Mas Rendi. Entah kenapa, aku merasa Arif memperhatikan diri ini sejak tadi. Ah, mungkin hanya perasaanku saja."Kok lama, Nay?" tanya Mas Rendi saat aku masuk mushola."Tadi hampir jatuh, Mas." Aku mulai mengenakan mukena putih lalu duduk di samping Salma dan Salwa."Kamu tidak kenapa-napa, kan?""Aku baik-baik saja, Mas. Kita mulai salatnya, tapi Naya duduk, ya." Mas Rendi mengangguk lalu mulai mengimami kami.Aku menengadahkan tangan, meminta Illahi Robbi untuk memberi kesabaran dalam menerima cobaan hidup. Dan berharap semoga Allah melunakkan hati ibu dan Mbak Ambar. Seperti karang yang terkikis oleh ombak lautan.***"Mas berangkat, ya, Nay. Kamu tidak apa-apa, kan? Kalau butuh sesuatu minta bantuan ke ibu at
Kriingg....Ponsel di saku celana Rendi menjerit-jerit tanpa henti. Dia lupa mengubah mode di ponselnya.Dia melihat nomor istrinya di layar ponsel. Perasaannya mendadak tak enak. "Kenapa Naya menghubungiku disaat jam kerja? Jangan-jangan ada hal buruk yang terjadi?" batin Rendi penuh tanda tanya. Belum sempat Rendi menggeser gambar telepon, panggilan itu seketika berhenti. Rendi segera berjalan cepat ke kamar mandi. Di dalam toilet dia memencet dua belas digit nomor Naya. "Kamu kenapa, Nay?" tanya Rendi ketika teleponnya diangkat. "Maaf, Pak. Pemilik ponsel ini sedang berada di rumah sakit. Tolong segera ke mari.""Apa!" Rendi terkejut mendengar ucapan wanita di seberang sana."Bagaimana mungkin Naya di rumah sakit sementara ibu atau Mbak Ambar tak memberi kabar sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku?" batin Rendi bertanya-tanya. "Hallo ... Bapak masih di sana?" tanya wanita yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. "I-iya Sus.""Tolong segera ke rumah sakit
Naya sudah duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Netranya menatap lurus ke depan. Dia menunggu kedatangan Rendi untuk menjemputnya. Barang-baramg miliknya sudah tertata rapi di kursi ruang tamu.“Lho kok banyak sekali?” tanya Naya kala Salma dan Salwa membawa satu kantung plastik bening berisi makanan ringan. Dari biskuit,susu kotak, dan lain sebagainya. Semua jenis jajanan itu terbuat dari tepung. Naya memang melarang kedua putrinya makan ciki dan juga permen. “Tidak beli ciki kan?” Kedua anak perempuan berwajah mirip itu kompak menggelengkan kepala.“Makasih,ya,mak.” “Halah gitu aja makasih. Emak senang bisa membelikan jajanan untuk kedua cucuk emak.” Surti mengelus pucuk kepala Salma dan Salwa secara bergantian.“Rendi belum sampai?”“Sebentar lagi,Mak.”Surti mengajak kedua cucunya masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga bercanda sambil menyaksikan acara kartun kesukaannya. Kartun dengan bocah kembar menjadi serial televisi kesukaan mereka. Mereka bisa tertawa kala melihat