Share

Bab 6

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun. 

"Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi.

"Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. 

"Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. 

Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. 

"Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak  cocok dengan daster lengan panjangku. 

Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri.

"Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. 

Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. 

Ku jatuhkan tubuh di jok motor. Mas Rendi mulai menyalakan mesin motor. 

"Ibu... itut!" teriak Salwa dan Salma serentak. Kedua putriku segera berlari menuju motor metik yang ku naiki. 

Aku turun dengan hati-hati, aku berjongkok tepat di depan Salwa dan Salma. Kedua putriku justru bergelayut di pundak. Si kembar masih saja merengek agar di ajak ke bidan. Namun tubuh ini tak sanggup. 

"Salwa dan Salma ikut nenek dulu ya, ibu mau diperiksa." Kedua anak itu tak menggubris. Justru tangis mereka kian keras dan menyayat hati. 

"Salwa dan Salma ikut nenek yuk! Kita jajan es kirim," rayu ibu. Sejak kapan ibu berdiri di belakang Salwa dan Salma. Tahu-tahu ibu sudah berada di sana. 

"Mau itut ibu," rengek Salwa lagi. 

"Kita beli es krim pelangi yuk! Sama biskut rasa coklat."

"Ama mau itut nenek. Ama mau beli es tim," ucap Salma dengan logat anak kecil. 

Salwa diam, bingung harus ikut aku atau ibu. Namun akhrinya ia memilih ikut adik kembarnya untuk membeli es krim di warung tak jauh dari sini. 

Aku mulai duduk di jok motor. Kedua anakku melambaikan tangan saat motor perlahan meninggalkan halaman rumah. Ibu menatapku sinis saat tak sengaja mata kami saling bertemu. Ibu memang tak pernah menyukaiku. Namun beliau sangat menyayangi kedua putriku. 

Satu pertanyaan yang hingga kini aku belum menemukan jawabannya. Jika menyayangi kedua putriku, lalu kenapa beliau ingin menggugurkan janin yang tengah ku kandung? 

Ya Allah, Ya Robb... 

Selalu ada rasa sesak setiap mengingat perkataan ibu. 

"Belum ada nyawanya kan?"

Ucapan ibu selalu terngiang di telinga. Seakan kata-kata itu menempel di gendang telinga. Pipi terasa hangat saat air mata keluar dengan sendirinya. Sesak memenuhi rongga dada. 

"Kamu kuat, nak!" Ku elus perut yang masih datar. 

Mas Rendi melajukan motor dengan kecepatan rendah. Jarak rumah dengan klinik bu bidan tak terlalu jauh. Hanya beda desa saja. Namun laku kendaraan yang pelan membuat jarak terasa begitu jauh. 

Kami berhenti di depan rumah dengan cat berwarna hijau muda. Klinik Bu Bidan memang berada di kediamannya. Bagian barat untuk klinik dan bagian timur adalah rumah Bu Bidan Rahayu. 

Klinik Rahayu tertulis besar di depan rumah. Selain bidan ada juga dokter kandungan dan dokter umum. Namun berhubung ini hari minggu, hanya bu bidan saja yang ada. 

Suasana klinik terbilang sepi. Tak ada balita yang antri imunisasi. Mungkin sudah pulang. Ya, karena ini sudah pukul sembilan. 

Mas Rendi berjalan sambil merangkul pundakku agar tidak terjatuh karena kepalaku masih terasa pusing. 

Kami masuk ke ruang pendaftaran. Perawat sudah menyambut kedatangan kami. Perawat yang memakai baju berwarna pink itu  mulai mengukur tekanan darahku. Menanyakan keluhan yang ku rasakan. Setelah selesai aku di persilahkan menunggu tak jauh dari ruang pendaftaran. 

"Ibu Naya!"  panggil perawat yang tadi mengukur tekanan darahku. 

Aku berjalan sambil di gandeng Mas Rendi. Ku rebahkan perlahan tubuh ini di atas ranjang khas klinik. 

Bu bidan bernama Rahayu segera memeriksa dengan stetoskop. Perutku di tekan secara perlahan. 

"Bagaimana keadaan istri saya, bu?" tanya Mas Rendi. 

"Ibu hanya kelelahan, pak. Maklum usia kandungan yang baru lima minggu  membuat tubuh Bu Naya mudah lelah. Saya akan memberikan vitamin dan obat untuk mengurangi rasa mual dan pusing. Kalau pusingnya belum juga mereda. Periksa ke dokter kandungan ya, Pak." Bu Rahayu menuliskan resep di secarik kertas lalu memberikan kepadaku. 

"Terima kasih, bu."

"Semoga lekas sembuh, bu." Ku anggukan kepala lalu berjalan meninggalkan ruangan Bu Bidan Rahayu. 

***

"Kamu tiduran dulu, Nay! Mas ambilkan makan dulu." Ku anggukkan kepala. 

Ku pejamkan mata tapi kepala masih berputar-putar. Terdengar suara langkah kaki menuju ka kamar. Aku yakin itu Mas Rendi. 

Kreeekk.... 

Suara pintu di buka. Tak ada suara langkah kaki yang mendekat. Langkah itu berhenti tepat saat terdengar suara pintu dibuka. 

Perlahan ku buka mata. Siapa yang masuk, Mas Rendi ataukah si kembar? 

Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat ibu sudah berkacak pinggang di depan pintu. Matanya tajam saat menatapku. Terlihat amarah di sorot mata itu. Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Semoga saja ibu tidak menarik rambutku seperti kemarin. Membayangkan saja rasa sakitnya masih terasa. Apa lagi jika itu menjadi kenyataan. 

"Ayo bangun! Jangan bersandiwara di depan Rendi." Ibu mendekat ke arahku. Aku hanya diam membisu. Tak berani menjawab apalagi berpindah tempat. Kepala yang berdenyut membutku hanya bisa diam. 

"Jangan manja! Urus si kembar, jangan bisanya hamil dan hamil."

Aku masih diam dengan air mata membasahi pipi. Ucapan ibu bagai belati yang menyayat kulitku.

 Apa aku tak pernah mengurus si kembar? 

Apa kehamilan ini salahku?

Ya Allah, kuatkan aku saat mendengar caci dan maki dari mulut wanita bergelar ibu mertua. 

"Jadi pengangguran jangan manja! Kerja! Jangan bisanya hanya menghabiskan yang suami!" ucapnya lalu pergi dari kamarku. 

Apa ibu rumah tangga itu seorang pengangguran yang kerjanya menghabiskan uang suami? Lalu pekerjaan rumah tangga yang ku kerjakan dari membuka mata hinga tidur itu di sebut apa? 

Kalau bisa memilih, aku ingin bekerja di pabrik dan menghasilkan uang. Aku lelah dipanggil pengangguran yang suka menghabiskan gaji suami. 

Mas Rendi datang dengan membawa piring berisi nasi dan segelas air putih. Segera ku hapus bekas air mata. Aku tak ingin suamiku khawatir dan sedih. Biarlah kutahan luka ini sampai aku benar-benar tak sanggup lagi. 

"Makan dulu, Mas suapin setelah itu minum obat ya." Mas Rendi menyuapiku dengan nasi dan telur ceplok. Ku kunyah makanan yang terasa begitu pahit di lidah.

Aku harus cepat sembuh demi anak-anakku. 

***

Dua hari hanya bisa tidur di atas ranjang. Setiap kali ku paksa bangun. Lantai yang ku pijak seakan ingin menenggelamkan ku. Tak hanya pusing, mual dan muntah telah menemaniku dua hari ini. Rasanya sungguh luar biasa. 

"Maaf ya Mas, gara-gara aku Mas Rendi jadi izin kerja." 

Mas Rendi mengelus puncuk kepalaku dengan lembut. Rasa sayang yang tak pernah luntur dari awal menikah hingga saat ini. Dialah lelaki penyabar meski kadang lebih membela ibunya dari pada aku. Aku tahu, Mas Rendi tak ingin menjadi anak durhaka. 

"Mas yang harusnya minta maaf, gara-gara Mas, kamu jadi seperti ini. Baru dua hari saja badan kamu sudah semakin terlihat kurus, Nay."

"Tak apa, Allah akan mengantikan dengan pahala. Memang beginilah wanita yang sedang mengandung, Mas." Mas Rendi mencium kening ku. Hingga akhirnya terlelap di sampingku... 

Ku elus perlahan pipinya. Rasanya bersalah menyusup dalam sanubari. Karena aku sakit, Mas Rendi jadi melakukan apa pun sendiri. Dari menjaga Salwa dan Salma hingga mencuci pakaian kami. 

Ting... 

Satu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. 

[Woy pengangguran jangan manja. Tak usah bersandiwara dengan pura-pura sakit untuk menarik simpati Rendi.]

Bulir bening mengalir dari sudut netra membaca pesan itu. Begitu tak berartikah diriku ini? 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen. 

Bab terkait

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 7

    Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. Kemana perginya ibu dan anak-anak? Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tub

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 8

    Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku bangun perlahan, kepalaku memang tak sepusing kemarin tapi tubuh masih lemas karena memang belum ada makan yang masuk. Setiap kali makan selalu keluar. Itu yang membuat tubuhku lemas. "Bangun, Mas!" Kusentuh pipi Mas Rendi. Suamiku menggeliat lalu membuka mata meski masih terasa berat. Melihatnya kelelahan dan kurang tidur membuatku kasihan. Salma dan Salwa semalam sedikit rewel,pasti kecapekan. Kalau seperti ini biasanya aku memijat kaki dan tangan menggunakan minyak zaitun hingga akhirnya mereka terlelap kembali. "Sudah bangun,Nay?" tanyanya sambil mengucek mata dengan kedua tangan. Aku tersenyum tipis. Ini kali pertama aku bangun sendiri setelah sakit beberapa hari yang lalu. "Shalat bareng yuk, dek. Sudah lama kita tidak shalat berjamaah bersama." Kuanggukan kepala. Lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi diikuti Mas Rendi dari belakang.Mas Rendi sudah berada di mushola kecil tak jauh dari dapur. Sementara aku baru selesai

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 9

    Aku dan Mas Rendi berjalan beriringan masuk ke rumah. Ransel dan tas di letakkan di samping kursi kami. Emak dan Bapak tak luput memperhatikan tas yang baru saja di letakkan suamiku. "Kenapa membawa ransel dan tas, Ren?" tanya bapak dengan mata masih memperhatikan tas. Aku dan Mas Rendi saling pandang, bingung harus menjawab apa? "Em, itu Mak, Pak ...." Mas Rendi diam. Bingung mau menjawab apa? Tak mungkin jika ia menjelekkan ibunya. Meski kenyataannya benar. Sejelek-jeleknya seorang ibu, seorang anak tak akan menjelekkan keburukan di depan orang lain. Apa lagi di depan mertuanya. Dan begitulah sifat Mas Rendi. "Naya mau tinggal di sini, Pak." Bapak menyatukan dua alis, nampak tak mengerti dengan ucapanku. "Maksudnya apa ini?" Kuhembuskan nafas pelan. Mencoba menetralisir gejolak yang ada di dalam dada. Tak mungkin ku jelaskan jika di rumah Mas Rendi aku diperlakukan buruk. Bahkan mertuaku ingin membunuh janin yang aku kandung. Mas Rendi nampak semakin gelisah. Lelaki bertubuh

  • Petaka Dua Garis Merah   Pov Rendi

    [Ingat ya, Ren. Setelah kamu antar Naya, kamu harus cepat pulang!]Aku telan saliva dengan susah payah. Pesan ibu membuatku susah bernafas. Tidak sopan jika aku mengantar dan tidak ikut menginap. Apa kata emak dan bapak nanti? [Rendi menginap di sini beberapa hari ya, bu. Tidak enak dengan emak dan bapak.]Aku harap ibu mengerti dengan keputusanku. Sebagai menantu yang baik. Aku harus tinggal di sini beberapa hari. Bukan mengantarkan Naya lalu kembali pulang. Nanti mereka pikir aku suami yang tidak bertanggung jawab. Lagi pula belum ada alasan yang tepat untuk berpamitan dengan mereka. Pabrik tempatku bekerja terletak di antara rumah emak dan rumahku. Mau berangkat dari mana pun jaraknya tetap sama. Jadi aku tinggal di sini pun tak masalah. Ting... Ponselku berbunyi lagi. Pasti pesan dari ibu. Kunyalakan benda pipih milikku. Jantungku berdetak saat hendak membaca pesan itu. Bukan deg-degan di SMS pacar tapi jantungan kena marah ibu. [PULANG SEKARANG ATAU KUCORET DARI DAFTAR ANAK]

  • Petaka Dua Garis Merah   Bapak Murka

    Semalaman aku menangis. Bayang Mas Rendi pergi terus saja menari-nari dalam angan. Apa aku tak berarti hingga dengan tega ia memilih pulang? Memilih menuruti keinginan ibu dibanding aku, istrinya. Aku tahu, surga seorang lelaki ada di telapak kaki ibunya. Namun tak begini juga. Dia tega menitipkan aku dan kedua putrinya di rumah mertua, sedangkan dia tinggal di rumah ibunya. Apakah seperti ini berumah tangga. Tinggal terpisah. Kalau aku tahu akan seperti ini, lebih baik tak menikah sekalian. Toh, menikah atau tidak sama saja. Semua kulakukan sendiri. "Salwa, Salma, nenek bawakan cokelat." Suara emak terdengar kian mendekat. Lekas kuhapus bulir bening yang sempat menetes. Jangan sampai emak melihat aku menangis. Kedua putriku segera berlari ke arah emak. Dua gadis kecil yang wajahnya bak pinang dibelah dua itu meraih cokelat yang ada di tangan emak. Senyum bahagia tergambar jelas di sana. "Kamu sudah makan, nduk?" tanya wanita yang sudah melahirkanku itu. "Belum mak, Naya gak naf

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 12

    "Assalamu'alaikum ...," salam Rendi seraya masuk ke dalam. Tatapan tajam dihadiahkan kepada Rendi. Bahkan sang ayah mertua bak serigala yang akan menelan mangsanya. Rendi menelan ludah, tatapan tak bersahabat membuatnya gugup dan bingung. Apa salahnya hingga ia diberi sambutan seperti itu? Kenapa juga Naya menangis? Kalimat itu menari-nari di kepala bapak beranak dua itu. "Untuk apa kamu datang lagi ke sini?" Suara Ahmad menggelegar bagai halilintar yang menyambar. Rendi terdiam, masih tak tahu dengan maksud sang ayah mertua. Sedikit ragu ia letakkan tas di atas kursi tamu. Lalu segera berjalan mendekat ke arah Naya. Dia masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Ahmad. Bukankah kemarin Ahmad memintanya tinggal di sini? Namun kenapa sekarang justru memintanya pergi dari sini? "Ada apa ini, Pak? Kenapa bapak meminta saya pergi? Bukankah kemarin bapak yang meminta saya untuk tinggal di sini?" ucap Rendi pelan. Dada Ahmad naik turun, emosi sudah memenuhi hati lelaki berkulit

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 13

    Pov RendiAku mengerjapkan mata perlahan. Sorot lampu begitu menyilaukan netra ini. Kembali ku tutup sepasang indera pengelihatan yang Allah berikan. Lalu membukanya sedikit demi sedikit.Ku pindai setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Bau obat-obatan tercium saat pintu kamar di buka. Seorang wanita berambut sebahu berjalan mendekati ku. Dari penampilan dia bukan suster atau pun dokter. Lalu dia siapa? "Mas, sudah siuman? Saya panggilkan dokter. Tunggu sebentar, Mas!" Wanita itu kembali ke luar dari ruang rawat inapku. Tak berselang lama pintu kembali terbuka. Wanita tadi datang bersama seorang dokter dan seorang suster. Suster berpakaian serba putih dengan sigap mengukur tekanan darahku. Aku hanya diam meski banyak tanda tanya dalam kepala ini. "Masih pusing, Pak?" tanya dokter setelah memeriksaku menggunakan stetoskop. "Masih dok," ucapku pelan. "Ini karena benturan di kepala, Bapak. Tapi tidak ada luka yang berat. Kalau sudah tidak pusing,besok pagi bapak boleh pulang."

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 14

    Aku kembali merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku tutup wajahku dengan bantal yang sudah terasa keras. Sengaja ku lakukan agar tangis ini tak terdengar emak atau pun bapak. Aku tidak mau bapak semakin membenci Mas Rendi. Ingin aku bercerita pada siapa saja agar beban yang ku pikul sedikit berkurang. Namun lagi dan lagi aku harus menjadi istri yang mampu menutup aib suami. Sekali pun itu sangat menyakitkan. Sikap ibu mertua yang kejam memang menyakitkan. Namun jauh lebih menyakitkan saat melihat suami berduaan dengan wanita lain. Berkali-kali aku beristighfar dalam hati. Mencoba menahan gejolak rasa yang menyesakkan rongga dada. Aku harus menghubungi Mas Rendi. Aku butuh penjelasan darinya. Segera ku ambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas ranjang. Ku pencet dua belas digit nomor suamiku. Namun nomor Mas Rendi tidak aktif? Apa dia sengaja bersenang-senang dengan wanita itu? Ya Allah.... Di saat aku hamil seperti ini justru Mas Rendi tengah asyik bersama wanita lain.

Bab terbaru

  • Petaka Dua Garis Merah   Ending

    Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang

  • Petaka Dua Garis Merah   Telepon Rendi

    Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in

  • Petaka Dua Garis Merah   Kehilangan Hak Asuh Anak

    Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 27

    Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 26

    Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p

  • Petaka Dua Garis Merah   Keguguran

    "A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki

  • Petaka Dua Garis Merah   Naya Diusir

    "Maaf, ya, Rif," ucapku seraya berdiri."Gak apa-apa, Mbak. Mbak Naya jalannya hati-hati. Mau Arif bantu ke kamar mandi?" Aku menggeleng. Rasanya tak pantas jika harus diantar oleh adik ipar, aku malu.Aku segera melangkah meninggalkan Arif dan ibu, berjalan perlahan menyusul Mas Rendi. Entah kenapa, aku merasa Arif memperhatikan diri ini sejak tadi. Ah, mungkin hanya perasaanku saja."Kok lama, Nay?" tanya Mas Rendi saat aku masuk mushola."Tadi hampir jatuh, Mas." Aku mulai mengenakan mukena putih lalu duduk di samping Salma dan Salwa."Kamu tidak kenapa-napa, kan?""Aku baik-baik saja, Mas. Kita mulai salatnya, tapi Naya duduk, ya." Mas Rendi mengangguk lalu mulai mengimami kami.Aku menengadahkan tangan, meminta Illahi Robbi untuk memberi kesabaran dalam menerima cobaan hidup. Dan berharap semoga Allah melunakkan hati ibu dan Mbak Ambar. Seperti karang yang terkikis oleh ombak lautan.***"Mas berangkat, ya, Nay. Kamu tidak apa-apa, kan? Kalau butuh sesuatu minta bantuan ke ibu at

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 23

    Kriingg....Ponsel di saku celana Rendi menjerit-jerit tanpa henti. Dia lupa mengubah mode di ponselnya.Dia melihat nomor istrinya di layar ponsel. Perasaannya mendadak tak enak. "Kenapa Naya menghubungiku disaat jam kerja? Jangan-jangan ada hal buruk yang terjadi?" batin Rendi penuh tanda tanya. Belum sempat Rendi menggeser gambar telepon, panggilan itu seketika berhenti. Rendi segera berjalan cepat ke kamar mandi. Di dalam toilet dia memencet dua belas digit nomor Naya. "Kamu kenapa, Nay?" tanya Rendi ketika teleponnya diangkat. "Maaf, Pak. Pemilik ponsel ini sedang berada di rumah sakit. Tolong segera ke mari.""Apa!" Rendi terkejut mendengar ucapan wanita di seberang sana."Bagaimana mungkin Naya di rumah sakit sementara ibu atau Mbak Ambar tak memberi kabar sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku?" batin Rendi bertanya-tanya. "Hallo ... Bapak masih di sana?" tanya wanita yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. "I-iya Sus.""Tolong segera ke rumah sakit

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 22

    Naya sudah duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Netranya menatap lurus ke depan. Dia menunggu kedatangan Rendi untuk menjemputnya. Barang-baramg miliknya sudah tertata rapi di kursi ruang tamu.“Lho kok banyak sekali?” tanya Naya kala Salma dan Salwa membawa satu kantung plastik bening berisi makanan ringan. Dari biskuit,susu kotak, dan lain sebagainya. Semua jenis jajanan itu terbuat dari tepung. Naya memang melarang kedua putrinya makan ciki dan juga permen. “Tidak beli ciki kan?” Kedua anak perempuan berwajah mirip itu kompak menggelengkan kepala.“Makasih,ya,mak.” “Halah gitu aja makasih. Emak senang bisa membelikan jajanan untuk kedua cucuk emak.” Surti mengelus pucuk kepala Salma dan Salwa secara bergantian.“Rendi belum sampai?”“Sebentar lagi,Mak.”Surti mengajak kedua cucunya masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga bercanda sambil menyaksikan acara kartun kesukaannya. Kartun dengan bocah kembar menjadi serial televisi kesukaan mereka. Mereka bisa tertawa kala melihat

DMCA.com Protection Status