Aku kembali merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku tutup wajahku dengan bantal yang sudah terasa keras. Sengaja ku lakukan agar tangis ini tak terdengar emak atau pun bapak. Aku tidak mau bapak semakin membenci Mas Rendi. Ingin aku bercerita pada siapa saja agar beban yang ku pikul sedikit berkurang. Namun lagi dan lagi aku harus menjadi istri yang mampu menutup aib suami. Sekali pun itu sangat menyakitkan. Sikap ibu mertua yang kejam memang menyakitkan. Namun jauh lebih menyakitkan saat melihat suami berduaan dengan wanita lain. Berkali-kali aku beristighfar dalam hati. Mencoba menahan gejolak rasa yang menyesakkan rongga dada. Aku harus menghubungi Mas Rendi. Aku butuh penjelasan darinya. Segera ku ambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas ranjang. Ku pencet dua belas digit nomor suamiku. Namun nomor Mas Rendi tidak aktif? Apa dia sengaja bersenang-senang dengan wanita itu? Ya Allah.... Di saat aku hamil seperti ini justru Mas Rendi tengah asyik bersama wanita lain.
"Ehem...." Suara deheman membuat Naya dan Rendi saling menjauh. Seketika wajah suami istri itu memerah. Mereka malu dilihat Ahmad tengah bermesraan meluapkan rasa rindu yang beberapa hari membelenggu. "Sudah lama kamu di sini, Ren?" tanya Ahmad datar. Rasa marah dan kecewa masih singgah di dalam hatinya. Saat Ahmad melihat Rendi luka itu kembali terbuka lebar. Ucapan sang besan kembali terngiang di telinga. Sungguh Naya tak pernah ada artinya di mata keluarga besar Rendi terutama Yanti. Namun sekuat tenaga Ahmad menekan perasaan itu. Ahmad takut Naya mengetahui luka di hatinya. Ahmad kembali menurunkan ego. Di tatapnya wajah putri satu-satunya itu. Senyum merekah tergambar jelas di wajah pucatnya. Jauh berbeda saat Rendi tak ada di sini. Empat hari ia lewati dengan murung dan menangis. Mana mungkin Ahmad tega melihat putrinya menangis lagi. "Motor kamu mana, Ren?" tanya Ahmad masih dengan suara datar. Rendi menelan saliva dengan susah payah. Nada bicara Ahmad membuat Rendi keta
Pov Rendi"Gak boleh! Ibu tidak mengizinkan kamu tinggal di sana!" ucap ibu lantang seraya menatapku tajam. "Kenapa ibu tak mengizinkanku tinggal untuk beberapa bulan di sana? Rendi janji akan sering ke sini. Lagi pula ada Mbak Ambar juga kan? Kasihan istri dan anak Rendi, Bu," ucapku pelan. Aku ingin ibu mengerti dan mengizinkanku. Bagaimana pun aku seorang ayah dan suami. Sudah pasti istri dan anak harus ku utamakan. "Pokonya ibu tidak mengizinkan, titik!" Ibu meninggalkan kamar sambil menghentak-hentakkan kaki. Sudah persis anak kecil yang merajuk saat keinginannya tidak dituruti. Aku menjatuhkan tubuh di atas kasur. Ku tinggalkan seragam kerja yang belum ku masukkan semuanya. Ucapan ibu mengusik hati dan pikiranku. Hingga aku engan memasukkan pakaian ke dalam ransel. Sebagai seorang anak, aku tak ingin membantah perkataan ibu. Namun aku juga tidak mungkin meninggalkan istri dan anak-anakku.Ku tatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Tangis Naya tiba-tiba ada di sana. La
Sudah tiga minggu Rendi tinggal di rumah Ahmad. Sampai hari ini Rendi belum menghubungi Yanti. Rasa kecewa dan marah membuatnya memilih menghindar da ri keluarga yang membesarkannya itu. Sebagai seorang suami ia wajib melindungi istri dan anak-anaknya meski dari keluarganya sendiri.Sengaja Rendi memilih menghindari Yanti dan Ambar. Dia ingin ibu dan kakaknya menyadari kesalahan yang mereka perbuat. Meski justru kebalikannya. Sikap Rendi yang cuek membuat Yanti kian marah dan benci kepada Naya dan keluarganya.“Mas,kamu tidak ke rumah ibu?” tanya Naya saat mereka berada di dalam kamar.Rendi membalikkan badan,ditatap lekat manik bening sang istri. Dia ingin menyelami apa maksud perkataan Naya. Tak ada sorot keterpaksaan dalam matanya. “Mas belum ingin bertemu ibu,” ucap Rendi seraya menatap genting yang terdapat sarang laba-laba.Rumah Ahmad tidak memiliki internit,setiap kali menatap atas akan terlihat jelas kayu dan genting. Bahkan warna genting mulai menghitam. Ya,semenjak ruma
"Semua gara-gara pecahan kaca itu! Kaki Alisa jadi seperti ini!" pekik Ambar setelah sampai di rumahnya. Yanti diam bingung harus mengatakan apa? Sejujurnya dia merasa bersalah kepada sang cucu. Karena emosi membuat cucunya menderita seperti itu. Namun Yanti enggan untuk mengakui kesalahan. Apa lagi di depan anak dan cucunya. Dia tidak mau harga dirinya turun karena sebuah kata maaf."Ibu sih main pecahin vas bunga sembarangan. Alisa jadi korbannya kan?" ucap Ambar lantang seraya menatap tajam manik bening sang ibu. Lagi dan lagi Yanti hanya bisa diam. Toh apa yang dikatakan Ambar memang benar. Semua karena kecerobohan yang ia lakukan. Kalau saja dia tak melempar vas, mungkin semua tak akan seperti ini. Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Peribahasa itu yang cocok disematkan kepada Yanti dan Ambar. "Semua salah Naya. Kalau Rendi mau memberi jatah bulanan, pasti semua tak akan seperti ini," kilah Yanti. Dia mengkambing hitamkan Naya atas kesalahan yang ia lakukan. Amb
Pov Rendi"Senyum muluk, Ren. Bahagia banget kayaknya. Habis dapat jatah ya?" ledek Jalu sambil tersenyum cekikikan."Libur dulu," jawabku lalu memasukkan nasi ke dalam mulut."Kasihan dianggurin, Ren!" ledek Jalu lagi."Gak apa-apa, yang terpenting istri dan janin di dalam perut sehat. Tak masalah jika suami harus puasa berbulan-bulan.""Hahaha...." Jalu semakin tertawa terbahak-bahak. Bahkan kini kami menjadi pusat perhatian satu kantin."Diem, Jal!" Ku tendang kakinya yang ada di bawah meja. Seketika Jalu meringis kesakitan. Sakit kan! Siapa suruh berisik terus!"Sakit, Ren!" protesnya seraya memegangi kaki yang terkena tendanganku.Aku diam, memilih melanjutkan makan siangku yang tinggal beberapa suap. Jalu menghembuskan nafas kasar melihat aku cuek dan tidak memperhatikan ucapannya."Tapi benar deh, Ren. Akhir-akhir ini kamu terlihat sangat bahagia. Tak seperti biasanya yang selalu masam." Jalu menatapku lekat.Tidak bisa dipungkiri semenjak tinggal bersama Emak dan Bapak hidupku
Aku diam, tak mampu menjawab pertanyaan Mbak Ambar. Aku tak habis pikir dengan ucapannya barusan. Untuk apa dia meminta maaf dan mengajakku kembali ke rumah ibu, bukankah aku sudah diusir karena hamil lagi? "Hallo... Hallo...." Suara Mbak Ambar kembali terdengar. Aku tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku tak ingin kembali ke rumah itu. Aku diam, mulut ini mendadak kelu. Bahkan kepalaku terasa berdenyut,pusing. "Naya, kamu masih di situ, sayang?" Kini suara Mas Rendi yang terdengar. "Masih, Mas," jawabku singkat dan padat. "Ibu sakit, Nay. Em... Kalau kita tinggal lagi di rumah ibu, apa kamu mau?"Sudah bisa ku tebak. Pertanyaan itu yang akan keluar dari mulut suamiku. Dia memang berbakti kepada ibunya tapi terkadang lupa jika sudah memiliki anak dan istri. Aku saja masih dalam masa pemulihan tapi Mas Rendi memintaku kembali ke sana. Apa dia tak memikirkan keadaanku? Selalu saja mementingkan ibu dibanding aku dan anak-anak. Kenapa harus Mas Rendi yang ke sana? Bukankah suda
Naya duduk di kursi kayu dengan pandangan lurus ke depan. Matanya awas memperhatikan Salma dan Salwa yang asyik bermain di depan televisi. Dua buah boneka dengan model dan warna sama berada di tangan masing-masing. Boneka dengan bentuk marsha pemberian Ahmad beberapa hari lalu. Salma dan Salwa tanpa bahagia, sesaat mereka bisa melupakan Rendi. Ya, semenjak Rendi pergi dari rumah Ahmad, belum pernah sekali pun dia menginjakkan kaki di rumah orang tua Naya.Yanti selalu mencari beribu cara agar Rendi tak datang ke sana. Entah pura-pura pusing, terpeleset dan lain sebagainya. Dia benar-benar bertekad memisahkan Naya dengan putranya. Sayang Rendi tak pernah bisa menolak permintaan Yanti.Bulir bening nan hangat tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Naya terisak mengingat saat kedua putrinya merengek meminta bertemu Rendi. Berulang kali Naya meminta Rendi datang. Namun ada saja alasan yang Rendi berikan. Lama-lama Naya enggan meminta Rendi menemuinya. Dia ingin tahu seberapa besar rasa sayang Re
Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang
Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in
Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki
Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen
Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p
"A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki
"Maaf, ya, Rif," ucapku seraya berdiri."Gak apa-apa, Mbak. Mbak Naya jalannya hati-hati. Mau Arif bantu ke kamar mandi?" Aku menggeleng. Rasanya tak pantas jika harus diantar oleh adik ipar, aku malu.Aku segera melangkah meninggalkan Arif dan ibu, berjalan perlahan menyusul Mas Rendi. Entah kenapa, aku merasa Arif memperhatikan diri ini sejak tadi. Ah, mungkin hanya perasaanku saja."Kok lama, Nay?" tanya Mas Rendi saat aku masuk mushola."Tadi hampir jatuh, Mas." Aku mulai mengenakan mukena putih lalu duduk di samping Salma dan Salwa."Kamu tidak kenapa-napa, kan?""Aku baik-baik saja, Mas. Kita mulai salatnya, tapi Naya duduk, ya." Mas Rendi mengangguk lalu mulai mengimami kami.Aku menengadahkan tangan, meminta Illahi Robbi untuk memberi kesabaran dalam menerima cobaan hidup. Dan berharap semoga Allah melunakkan hati ibu dan Mbak Ambar. Seperti karang yang terkikis oleh ombak lautan.***"Mas berangkat, ya, Nay. Kamu tidak apa-apa, kan? Kalau butuh sesuatu minta bantuan ke ibu at
Kriingg....Ponsel di saku celana Rendi menjerit-jerit tanpa henti. Dia lupa mengubah mode di ponselnya.Dia melihat nomor istrinya di layar ponsel. Perasaannya mendadak tak enak. "Kenapa Naya menghubungiku disaat jam kerja? Jangan-jangan ada hal buruk yang terjadi?" batin Rendi penuh tanda tanya. Belum sempat Rendi menggeser gambar telepon, panggilan itu seketika berhenti. Rendi segera berjalan cepat ke kamar mandi. Di dalam toilet dia memencet dua belas digit nomor Naya. "Kamu kenapa, Nay?" tanya Rendi ketika teleponnya diangkat. "Maaf, Pak. Pemilik ponsel ini sedang berada di rumah sakit. Tolong segera ke mari.""Apa!" Rendi terkejut mendengar ucapan wanita di seberang sana."Bagaimana mungkin Naya di rumah sakit sementara ibu atau Mbak Ambar tak memberi kabar sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku?" batin Rendi bertanya-tanya. "Hallo ... Bapak masih di sana?" tanya wanita yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. "I-iya Sus.""Tolong segera ke rumah sakit
Naya sudah duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Netranya menatap lurus ke depan. Dia menunggu kedatangan Rendi untuk menjemputnya. Barang-baramg miliknya sudah tertata rapi di kursi ruang tamu.“Lho kok banyak sekali?” tanya Naya kala Salma dan Salwa membawa satu kantung plastik bening berisi makanan ringan. Dari biskuit,susu kotak, dan lain sebagainya. Semua jenis jajanan itu terbuat dari tepung. Naya memang melarang kedua putrinya makan ciki dan juga permen. “Tidak beli ciki kan?” Kedua anak perempuan berwajah mirip itu kompak menggelengkan kepala.“Makasih,ya,mak.” “Halah gitu aja makasih. Emak senang bisa membelikan jajanan untuk kedua cucuk emak.” Surti mengelus pucuk kepala Salma dan Salwa secara bergantian.“Rendi belum sampai?”“Sebentar lagi,Mak.”Surti mengajak kedua cucunya masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga bercanda sambil menyaksikan acara kartun kesukaannya. Kartun dengan bocah kembar menjadi serial televisi kesukaan mereka. Mereka bisa tertawa kala melihat