Aku pergi ke rumah sakit yang disebutkan Mela bersama Dina dengan menggunakan motor yang biasa dipakai Dina kuliah. Sepanjang perjalanan aku benar-benar cemas tapi tetap berusaha untuk bersikap waras sementara Dina terus saja menangis dan menambah kekalutan.
Jujur, jauh di dalam hati aku pun merasa sangat kalut setelah mendengar Mamah kecelakaan tapi sebagai kakak sulung aku harus bisa lebih tenang dibanding adikku. Walau benak ini terus saja mempertanyakan.Bagaimana ini bisa terjadi pada Mamah? Kenapa Mamah bisa kecelakaan? Kenapa ujian ini gak berhenti melingkupi kami? Kenapa Mamah harus terluka di saat aku sedang berjuang untuk perceraianku?"Ya Allah! Tolonglah kami," desahku di antara suara bising kendaraan.Saat ini meski perasaanku campur aduk yang bisa kulakukan hanya terus berdoa agar mamah gak kenapa-kenapa walau kuakui aku terlalu takut kehilangan Mamah. Tidak perlu waktu lama, akhirnya kami sampai di rumah sakit, kulangkahkan kedua kakiku secara cepat menyusuri ruangan yang mengarah ke UGD sementara Dina dari belakang mengikuti. Tadinya aku ingin menelepon Mela karena sepertinya dia tahu keberadaan Mamah sekaligus meminta bantuannya tapi setelah di lobby kurasa itu tidak perlu.Aku tidak mau mengganggu Mela karena dia juga pasti sedang sibuk dengan tugasnya sebagai perawat."Maaf Sus, korban kecelakaan yang masuk siang ini di rawat di mana ya?" tanyaku pada salah satu perawat yang berjaga di meja informasi.Perawat itu gegas berdiri. "Korban kecelakaan? Atas nama siapa ya Mbak?" tanyanya bingung."Liana Marina, Sus. Katanya dia mengalami kecelakaan dan dirujuk ke sini." Aku menyebutkan nama Mamah dengan bibir gemetar saking cemasnya. "Oh sebentar." Suster itu lalu mengotak-ngatik komputernya untuk memeriksa data. "Oh ya ada Mbak, sekarang pasien lagi di ruang HCU, Mbak.""Hah? Ruang HCU?" Aku reflek memekik setelah tahu kalau Mamah dirawat di HCU. Setahuku ruang HCU adalah ruangan khusus yang diperuntukan untuk pasien yang perlu penjagaan ekstra, satu tingkat di bawah ICU.Suster itu mengangguk. "Iya dan hanya satu orang keluarga yang diperkenankan masuk. Mamah Anda cukup terluka parah dan baru saja menjalani operasi."Sungguh, ingin rasanya aku menangis sekencangnya tapi aku harus menenangkan Dina yang menjerit lebih dulu. Aku tidak mau menarik perhatian dan mengganggu orang lain dengan tangisan kami."Ya Allah Teh, gimana atuh Teh? Mamah di HCU! Mamah ya Allah!" Tangisan Dina meledak dan aku hanya bisa menangis sambil memeluknya."Tenang-tenang Din, insya Allah mamah gak kenapa-kenapa."Di titik ini, aku berusaha untuk tegar dan tidak boleh kalah oleh emosi. Dengan kekuatan yang masih tersisa, setelah mengucapkan terima kasih pada suster aku mengajak Dina untuk mencari ruang HCU.Butuh lima menit waktuku untuk menemukan ruangan Mamah. Namun, ketika aku sudah tiba di depannya langkahku seketika terhenti karena mataku tiba-tiba saja menangkap seorang suster tiba-tiba berjan cepat keluar dari ruangan menghampiri seorang lelaki berjas putih yang tengah berdiri membelakangi kami."Dokter! Dok! Pasien Liana kritis!"Pasien Liana? Itukan ... MAMAH?(***)Aku menyandarkan diri di dinding rumah sakit yang dingin. Mamah sudah dipindahkan ke ruang ICU. Kata dokter Aldo yang menangani Mamah, selain karena benturan yang menyebabkan pembuluh darah di otak Mamah menggumpal ternyata Mamah memiliki penyakit lain yaitu Mamah mengidap kanker paru-paru.Takut, cemas dan gelisah. Mungkin itulah yang sedang aku rasakan sekarang. Aku sungguh gak ingin terjadi hal buruk pada Mamah dan aku merutuki kebodohanku yang sampai tidak mengetahui kalau Mamah menderita. Mendengar itu tentu saja kami syok, selama ini Mamah gak pernah cerita kalau punya penyakit itu. Sekali pun Mamah terlihat lemah dan batuk terus menerus Mamah bilang itu karena dia kedinginan dan dia gak mau dibawa ke dokter karena gak mau menyusahkan kami.Ah, Mamah memang ibu terbaik untukku dan Dina. Sayangnya aku yang terlalu bodoh dan baik."Maafin Mona Mah, maafin."Aku mengusap buliran air mata yang terus mengalir ke pipi seraya berdoa. Aku merutuki diri sendiri yang terlalu sibuk pada masalah pribadi hingga lupa kesehatan ibu kandung sendiri. Padahal selama ini hanya Mamah yang membuatku tegar dan mampu melalui hal apa pun. Tidak terbayang jika aku harus kehilangannya. Apa jadinya aku dan Dina nanti jika hidup tanpa Mamah? Apakah kami harus jadi yatim piatu? Allahu Akbar! Aku tidak sanggup membayangkannya. Aku terlalu menyayangi Mamah. "Mbak, maaf! Mbak ini namanya Mbak Mona, kan? Keluarga Bu Liana?" panggil seseorang membuyarkan lamunanku. "Iya, Sus? Ada apa?" Aku terperanjat dan menoleh pada sosok wanita berpakaian serba putih tersebut. "Maaf Mbak, sekarang Mbak diminta ke ruangan Dokter Aldo," ujar Suster itu agak keras membuat Dina langsung beranjak dari pangkuanku. Dia menatapku dan Suster itu bergantian. "Do-dokter Aldo? Sekarang?" tanyaku gagap.Suster berwajah agak judes itu mengangguk. "Ya. Dokter Aldo sekarang juga. Oh. ya, ruangannya di lantai tiga paling ujung, ya?" "Baik Sus." Setelah berkomunikasi dengan Dina dan memintanya menunggu di depan ruang operasi, aku bergegas mencari di mana ruangan dokter Aldo. Tiba di ruangan yang ditunjukkan oleh Suster, aku menarik napas dalam. Kuakui hatiku kebat-kebit karena tidak tahu apa yang akan dibahas di dalam sana. Aku takut ada hal buruk yang akan disampaikan oleh dokter Aldo mengenai kondisi Mamah.Selepas menghembuskan napas dalam, aku mulai mendekatkan diri tepat di depan pintu ruang dokter Aldo dan mengetuknya sampai terdengar sahutan dari dalam."Silahkan masuk," ujar dokter Aldo. Aku kenal betul suara dokter Aldo karena kami sempat bercakap-cakap sebelum Mamah dipindahkan ke ruang ICU.Secara perlahan aku pun membuka pintu lalu berjalan mendekati meja dokter Aldo."Maaf Dok, dokter mencari saya?" tanyaku to the point karena pikiranku sudah penuh dengan berbagai praduga.Dokter Aldo yang sepertinya lebih tua dariku itu tersenyum tapi anehnya sama sekali gak menenangkan. Sebaliknya aku malah takut karena di ruangan ini hanya ada kami, perawat yang biasa hilir mudik pun tak ada."Iya saya nyari kamu. Ayo, silahkan duduk dan tutup pintunya!" ujar dokter Aldo.Aku mengangguk patuh dan lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan dokter Aldo. "Mona, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya kamu tahu kan kalau kondisi mamah kamu sangat parah. Perlu penanganan khusus yang mungkin membutuhkan biaya dan saya kira kamu harus mulai mempertimbangkan matang-matang karena selain biaya saat operasi, hemat saya biaya pasca operasinya pun akan besar," jelas dokter Aldo seraya menatapku lekat. Aku tercekat. "Kira-kira berapa biayanya Dok?" tanyaku cemas sekaligus bingung. Otakku rasanya terlalu buntu. "Biayanya sekitar puluhan juta.""Apa? Puluhan juta?" tanyaku seraya menutup mulut yang menganga. Dalam posisi ini kondisi keuangan kami sangat sulit, selain karena hutang pada Bang Ramdan aku pun bingung bagaimana membayar tagihan rumah sakit Mamah yang cukup besar. Apalagi asuransi BPJS kami sudah lama menunggak. Ya Allah! Apa yang harus kulakukan?"Iya puluhan juta. Tapi tenang Mon, saya pikir saya bisa membantu kamu dan saya juga tahu kondisi kamu yang gak mungkin membayar tagihan rumah sakit sekarang karena keluarga kamu sedang kekurangan terutama kamu dalam masa perceraian." Melihat aku yang kehilangan kata-kata, Dokter Aldo tiba-tiba mengatakan hal yang menurutku di luar dugaan.Aku menelengkan kepala. "Ma-makdunya dokter apa? Kenapa dokter tahu saya dalam masa perceraian?" Suaraku agak bergetar karena tidak menyangka dokter Aldo akan membawa ranah pribadiku dalam percakapan kami. Dokter Aldo sedikit menyeringai. "Maaf jika gak nyaman tapi saya gak sengaja melihat berkas perceraian dalam tas kamu saat kita berbicara. Jadi, saya kira kamu akan single sebentar lagi dan apa salahnya jika saya menawarkan bantuan," ucap dokter berparas oriental itu santai tapi tak begitu denganku.Aku tercengang. Tak kusangka dokter Aldo mengamatiku sedetail itu. Memang tadi saat kami berbicara tentang kondisi Mamah aku membawa berkas perceraianku serta karena berkas itu bercampur dengan berkas penting lainnya."Bantuan? Bantuan seperti apa yang dokter maksud?" tanyaku tak sabar. Dokter Aldo menarik napas dalam. "Mon, saya akan membayarkan semua tagihan Mamah kamu sampai memastikannya sembuh tapi ada satu syarat.""Syarat? Syarat apa itu?" "Jadilah simpanan saya. Saya tertarik sama kamu Mon saat kita bicara. Kamu mau kan?" "Apa? Dokter mau saya jadi simpanan dokter? GILA!" Mataku seketika membulat tak percaya. "Anda ini berengsek atau apa Dok? Masa Anda memanfaatkan saya yang merupakan keluarga pasien Anda sendiri? Saya gak mau!" tegasku penuh emosi sambil berdiri.Sungguh, aku marah karena mendengar permintaan dokter Aldo yang terkesan merendahkanku dan itu membuat rasa hormatku pdanya runtuh. Tapi, dokter Aldo bukannya sadar dia malah mencekal lenganku hingga aku meringis. "Eh, Mon! Jangan bilang saya berengsek. Saya jatuh cinta sama kamu di pandangan pertama kita. Ayolah, saya akan membahagiakanmu, lagipula mamahmu akan tertolong jika kamu mau jadi simpanan saya!" pungkasnya lagi dengan sorot mata bernafsu. Aku terus melepaskan tangannya. "Enggak! Sekali lagi enggak! Lepaskan saya dok! Saya akan bayar tagihan rumah sakit sendiri! Tolong lepaskan saya!""Dari mana kamu akan mendapatkan itu Mon? Dari mana? Kamu itu miskin! Jang--"BRAK!"Lepaskan dia!" Mendengar suara bariton yang gak asing sontak aku dan dokter Aldo melihat ke samping dan seketika mataku membelalak karena kulihat Mas Satria tengah melotot ke arah dokter Aldo, tajam.Bagaimana Mas Satria bisa ada di sini? Apa Dina yang memberitahunya?"Ma-Mas Satria?" teriakku tercekat. "Dokter Satria ngapain an--""Saya ke sini untuk membayar tagihan Mona karena itu lepaskan dia! Dia adalah keluarga saya!" putus Mas Satria membuat dokter Aldo seketika melepaskan cengkramannya dariku dan mundur beberapa langkah."Apa? Keluarga?"Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Perasaanku kini cukup lega karena biaya rumah sakit Mamah tertangani tanpa harus menjadi simpanan dokter Aldo.Aku tidak terbayang kalau Mas Satria telat datang ke ruangan dokter Aldo, aku pasti akan terjebak dan terpaksa mengambil jalan yang salah. Menurut info dari Mas Satria, ternyata dokter Aldo yang menangani Mamah emang sudah dicurigai suka memeras pasiennya. Jadi, gak heran kalau dia memanfaatkan kondisiku yang miskin demi keuntungannya.Sekarang pertanyaannya, kenapa Mas Satria bilang aku keluarganya? Kalau pun kami pernah satu mertua tapi kan sekarang kami sama-sama mantan keluarga? Lalu kenapa dia mau membantuku?Atau ... agh! Sudahlah mengingat ucapan tegas Mas Satria yang seperti membelaku tadi di depan dokter Aldo membuat aku berharap lebih. "Aww!"Aku mengerang seraya memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat sejenak, lagipula ketika tadi kuc
"Mon, Mona?" Panggilan lirih seorang lelaki membuat aku terbangun dari lena.Aku mengerjapkan kedua mataku dengan hati-hati. Saat ini pusing di kepalaku mulai agak berkurang hanya mualnya saja yang masih terasa. Aku terkesiap ketika melihat Mas Satria ada di samping bed tempat aku dibaringkan.Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Mon, kamu sudah bangun?" Mas Satria menatapku cemas. Dia memegang tanganku untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku melirik ke arahnya. "Ehm ... iya Mas. Ini di mana Mas? Saya pingsan, ya?"Dia tersenyum simpul. "Iya kamu pingsan. Sepertinya kamu kekurangan nutrisi. Ayo, diminum dulu, " ujar Mas Yuga sambil membawa segelas air putih dari atas nakas. Dengan perlahan dan lembut, dia membantuku duduk bersandar ke ranjang.Aku meminum air itu hingga tandas di bawah pandangan Mas Satria yang masih terlihat khawatir."Gimana rasany
"Awas saja kalau kamu menggoda Mas Satria! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" Lagi. Ancaman Yuli terngiang-ngiang bagaikan peluru yang terus memborbardir kepalaku dengan ucapannya. Beruntung, beberapa waktu lalu obrolan dengan Mbak Yuli tak berlangsung lama karena perawat langsung datang dan membolehkan aku untuk keluar dari IGD. "Hah ...." Aku menghela napas seraya duduk termangu di depan ruang rawat Mamah. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya Mamah dirawat, semenjak itu juga aku bertekad menjaga Mamah dan gak mau pingsan lagi di IGD seperti sebelumnya. Alhamdullilah, berkat usaha semuanya Mamah berangsur pulih.Gumpalan darah di otak Mamah syukurnya bisa disembuhkan dengan operasi yang dilakukan oleh Mas Satria. Aku bersyukur bisa bertemu dengan pria itu, dia mengawasi kesehatan Mamah hingga Mamah siuman dan berpindah dari ICU ke ruang rawat biasa. Sekarang tinggal penyakit kanker Mamah yang harus terus menjalani pengobatan.Ini keajaiban. Alhamdullilah. Namun, t
"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i
"Mona! Hey, tunggu! Kita perlu bicara!"Aku tidak lagi menoleh ke belakang dan hanya bisa berjalan secepat aku bisa. Perasaanku mengatakan untuk terus menghindari kejaran Bang Ramdan, aku harus pergi dari sini.Kupikir sudah saatnya aku mengambil tindakan. Sudah lelah bertengkar dengan Bang Ramdan dan sudah saatnya melarikan diri demi ketentraman hati. "Mona!" Panggilan keras Bang Satria kembali menyapa telinga tapi aku tidak perduli. Lelaki itu mengejarku tapi kakiku tak mau kalah langkah."Apa sih, Bang? Sudah ya, aku gak mau mengobrol lagi!""Tapi aku ingin bicara!""Gak! Saya gak mau!" tolakku sambil berteriak. "Diam di situ atau gak saya tendang lagi!" Aku semakin berlari menuju ke arah luar pagar rumah sakit, aku gegas menyetop taksi yang melintas di depan rumah sakit dan masuk ke dalamnya.Ya, kupikir ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri. Aku tidak ingin berurusan dengan keluarga Bang Ramdan. Tidak dengan anaknya apalagi ibunya.Stop! Aku lelah. Aku hanya ingin be
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Sebulan berlalu pasca kami melakukan wikwik. Entah mengapa aku jadi sering pusing, rasanya badanku sangat lemas. Pagi ini saja aku keluar kamar dengan berat jika bukan karena ingin mengantar Mas Satria pergi kerja.Jujur, perutku saat ini seperti diaduk-aduk padahal maghku sudah lama gak kambuh. Aku ingin sekali menahan Mas Satria tapi aku tidak mau merepotkannya. Aku harus berpura-pura baik-baik saja, selama masih bisa aku tangani sendiri.“Kamu, tunggu di rumah, ya? Jangan ke mana-mana, ya?” ujar Mas Satria sambil mengelus puncak kepalaku.Aku mengangguk. “Iya Mas, tapi—“ Belum juga aku sempat menyelesaikan kalimatku tiba-tiba kepalaku rasanya berputar dan pandanganku menggelap.Reflek aku memegang kepalaku“Auw!”“Mon, kamu kenapa? Apa kamu pusing lagi?” tanya Mas Satria.“Iya, nih Mas saya ….”BRUK.Dan aku pun tak ingat apa-apa lagi.(***)Aku terbangun lagi ketika sentuhan lembut mengenai pipiku. Meski masih pusing, aku mencoba membuka mata dan berusaha bangkit karena perutku sep
Tiba di hotel, Mas Satria sudah semangat menebar senyuman khasnya pada siapa saja. Aneh banget sih, lelaki satu ini padahal kami juga baru melakukannya beberapa hari lalu tapi masih aja semangat buat ngejar setoran. Saking semangatnya, dia bahkan bersikap baik pada semua orang yang berpapasan bersama kami sampai si Mbak-Mbak resepsionis salah paham dan bisik-bisik tetangga.Sampai di kamar, aku lebih dulu masuk ke kamar mandi.Bukan. Bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi dan aku pun kebelet pipis.Dalam proses acara mandi, aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Mas Satria merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan dan tergoda mencium aroma sampo yang kupakai.Tak kupungkiri, aku juga sangat menantikan saat-saat ini. Di mana kami hanya berdua saja tanpa ada pengganggu.Senyuman tak henti merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditione
POV Satria Aku tersenyum saat melihat Mona dengan gembira menapaki pasir yang terbentang di salah satu pantai yang ada di Garut. Setelah permintaannya yang membuatku bahagia aku berencana membuat honeymoon untuknya. Seperti pagi ini, aku sengaja membawa Mona melarikan diri sebentar saja dari aktivitas menyesakkan yang menimpa kami. Sebenarnya, ide ini kulakukan secara spontan akibat kasian kepada Mona yang akhir-akhir ini sering terlihat sakit dan depresi.Tanpa siapa pun tahu, sebenarnya aku seringkali memergoki Mona menangis diam-diam dan melamun terutama setelah kami menikah.Entah ini perasaanku saja atau bagaimana, yang jelas Mona tetaplah Mona. Seorang wanita yang akan berpura-pura kuat padahal hatinya sangat rapuh."Ya ampun Mas, lihat deh karangnya cantik banget," seru Mona seraya menunjuk karang yang berbaris teratur di bibir pantai.Jilbab panjang Mona yang bergoyang tertiup angin dan pipinya yang kemerahan ketika diterpa matahari membuat mataku tak ingin beralih dari sos
Air wudhu dan suasana masjid yang damai telah berhasil membuat kepala dan jiwaku kembali mendingin. Tadi setelah memberi Bang Ramdan pelajaran, aku memutuskan untuk tidak langsung ke klinik menjemput Gaza tapi belok dulu ke masjid yang ada di pinggir jaLan untuk berwudhu, dan mengaji karena waktu shalat masih lama. Beruntung Mbok Nah mau memahami meski aku telat menjemput tapi dia gak masalah.Sebagai sosok seorang ibu, aku tak mau datang menemui dengan Gaza dengan suasana hati yang kacau karena khawatir malah masih terbawa suasana. Apalagi jika Gaza tahu kalau ibu sambungnya senang mengumpat jika sedang emosi seperti tadi, bisa runtuh citra yang kubangun selama ini.Agh, aku memang bukan contoh yang baik! Kenapa aku bisa mempermalukan diri sendiri?Penat. Sejenak aku menyandarkan diri ke tembok masjid usai menyelesaikan membaca satu surat dalam alquran. Kuarahkan mataku memandang taman masjid yang sejuk sambil memikirkan tentang apa yang aku sampaikan pada Bang Ramdan ketika tadi b
Beberapa minggu jadi istri, aku sama sekali tidak bisa beristirahat karena tugas rumah tanggaku menumpuk. Semenjak aku menikah, Mbok Nah ditugaskan untuk mengurus semua perlengkapan sementara aku hanya focus pada Gaza dan pekerjaan baruku sebagai perawat di klinik Mas Satria, biat aku ada kegiatan.Sementara untuk di rumah sini, sesuai kesepakatan pernikahan kami, mulai saat ini akulah yang mengatur semua urusan rumah Mas Satria dari mulai isi kulkas sampai ke kartu ATM, Mas Satria benar-benar mempercayakannya padaku.Karena itulah, pagi-pagi ini aku harus bangun untuk membuat sarapan, bersih-bersih rumah dan menyiapkan keperluan Gaza selama dititip di Mbok Nah nanti, setelah itu barulah setelah itu mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolahLelah. Ya, sangat melelahkan.Namun, untunglah di antara hectic-nya peran baru ada Mamah dan Dina yang setia membantu, jika aku sedang kerepotan Mamah bisa datang buat mengurus Gaza. Sebenarnya ide bahwa Mamah dan aku bergantian mengurus Gaza datan
Acara sakral pernikahanku telah lama selesai, kini saatnya aku beristirahat. Mungkin dikarenakan pernikahan ini termasuk rahasia jadi tidak banyak tamu yang datang dan tak banyak juga yang dijamu kecuali sahabat-sahabat Mas Satria dan sahabatku. Aku yang sudah lelah dan letih pun ijin langsung masuk kamar setelah menyerahkan Gaca pada Dina dan Mamah karena sejak tadi mereka berdua memintaku untuk bisa beristirahat. "Haaah."Aku menarik napas dalam sambil merebahkan diri ke atas tempat tidur. Dalam keheningan kamar pengantin yang ada di rumah Mas Satria aku merenung.Baru kusadari ternyata kini aku memiliki dua anak dan dua-duanya bukan berasal dari rahimku. Yang satu adalah bawaan suami dan yang satu peninggalan adikku.Sedihkah aku? Jawabannya tidak!Jujur, aku merasa ikatan batinku dengan Gaza bukan tanpa sebab. Ternyata jika diingat lagi kami punya satu kesamaan yaitu pernah merasa kehilangan kasih sayang. Gaza kehilangan kasih sayang ibunya sementara aku kehilangan kasih sayang
Mas Satria melamarku, katanya dia meminta ini karena demi Gaza dan lagi pula masa iddahku sudah selesai. Tiga minggu pasca kesepakatan akhirnya aku dan Mas Satria sepakat untuk melaksanakan akad nikah di rumah Mas Satria dengan hanya mengundang sahabat dan perwakilan keluarga.Dari pihak Mas Satria ternyata pria itu menghadirkan keluarga lengkapnya. Nenek dari Gaza yang merupakan ibu dari pihak Mas Satria pun datang untuk merestui kami. Sebelum akad, kami pernah bertemu, ibunya bilang kalau dia setuju aku menikahi putraya karena selama ini bagi mereka Yuli bukanlah menantu dan istri yang baik. Dan yang paling mengagetkan si ibu tahu kalau Yuli sudah berselingkuh sejak lama. Sangat miris. Aku yang semula menikah hanya karena Gaza menjadi kasian sama Mas Satria. Aku bisa melihat keputusasaan di binar matanya."Mon, alasan saya ingin menikahimu karena Gaza. Semenjak kecil perhatian Yuli kurang sekali, dia selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan dia punya trauma karena melihat perselingkuha
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir