"Awas saja kalau kamu menggoda Mas Satria! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" Lagi. Ancaman Yuli terngiang-ngiang bagaikan peluru yang terus memborbardir kepalaku dengan ucapannya. Beruntung, beberapa waktu lalu obrolan dengan Mbak Yuli tak berlangsung lama karena perawat langsung datang dan membolehkan aku untuk keluar dari IGD. "Hah ...." Aku menghela napas seraya duduk termangu di depan ruang rawat Mamah. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya Mamah dirawat, semenjak itu juga aku bertekad menjaga Mamah dan gak mau pingsan lagi di IGD seperti sebelumnya. Alhamdullilah, berkat usaha semuanya Mamah berangsur pulih.Gumpalan darah di otak Mamah syukurnya bisa disembuhkan dengan operasi yang dilakukan oleh Mas Satria. Aku bersyukur bisa bertemu dengan pria itu, dia mengawasi kesehatan Mamah hingga Mamah siuman dan berpindah dari ICU ke ruang rawat biasa. Sekarang tinggal penyakit kanker Mamah yang harus terus menjalani pengobatan.Ini keajaiban. Alhamdullilah. Namun, t
"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i
"Mona! Hey, tunggu! Kita perlu bicara!"Aku tidak lagi menoleh ke belakang dan hanya bisa berjalan secepat aku bisa. Perasaanku mengatakan untuk terus menghindari kejaran Bang Ramdan, aku harus pergi dari sini.Kupikir sudah saatnya aku mengambil tindakan. Sudah lelah bertengkar dengan Bang Ramdan dan sudah saatnya melarikan diri demi ketentraman hati. "Mona!" Panggilan keras Bang Satria kembali menyapa telinga tapi aku tidak perduli. Lelaki itu mengejarku tapi kakiku tak mau kalah langkah."Apa sih, Bang? Sudah ya, aku gak mau mengobrol lagi!""Tapi aku ingin bicara!""Gak! Saya gak mau!" tolakku sambil berteriak. "Diam di situ atau gak saya tendang lagi!" Aku semakin berlari menuju ke arah luar pagar rumah sakit, aku gegas menyetop taksi yang melintas di depan rumah sakit dan masuk ke dalamnya.Ya, kupikir ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri. Aku tidak ingin berurusan dengan keluarga Bang Ramdan. Tidak dengan anaknya apalagi ibunya.Stop! Aku lelah. Aku hanya ingin be
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Mas Satria melamarku, katanya dia meminta ini karena demi Gaza dan lagi pula masa iddahku sudah selesai. Tiga minggu pasca kesepakatan akhirnya aku dan Mas Satria sepakat untuk melaksanakan akad nikah di rumah Mas Satria dengan hanya mengundang sahabat dan perwakilan keluarga.Dari pihak Mas Satria ternyata pria itu menghadirkan keluarga lengkapnya. Nenek dari Gaza yang merupakan ibu dari pihak Mas Satria pun datang untuk merestui kami. Sebelum akad, kami pernah bertemu, ibunya bilang kalau dia setuju aku menikahi putraya karena selama ini bagi mereka Yuli bukanlah menantu dan istri yang baik. Dan yang paling mengagetkan si ibu tahu kalau Yuli sudah berselingkuh sejak lama. Sangat miris. Aku yang semula menikah hanya karena Gaza menjadi kasian sama Mas Satria. Aku bisa melihat keputusasaan di binar matanya."Mon, alasan saya ingin menikahimu karena Gaza. Semenjak kecil perhatian Yuli kurang sekali, dia selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan dia punya trauma karena melihat perselingkuha
Acara sakral pernikahanku telah lama selesai, kini saatnya aku beristirahat. Mungkin dikarenakan pernikahan ini termasuk rahasia jadi tidak banyak tamu yang datang dan tak banyak juga yang dijamu kecuali sahabat-sahabat Mas Satria dan sahabatku. Aku yang sudah lelah dan letih pun ijin langsung masuk kamar setelah menyerahkan Gaca pada Dina dan Mamah karena sejak tadi mereka berdua memintaku untuk bisa beristirahat. "Haaah."Aku menarik napas dalam sambil merebahkan diri ke atas tempat tidur. Dalam keheningan kamar pengantin yang ada di rumah Mas Satria aku merenung.Baru kusadari ternyata kini aku memiliki dua anak dan dua-duanya bukan berasal dari rahimku. Yang satu adalah bawaan suami dan yang satu peninggalan adikku.Sedihkah aku? Jawabannya tidak!Jujur, aku merasa ikatan batinku dengan Gaza bukan tanpa sebab. Ternyata jika diingat lagi kami punya satu kesamaan yaitu pernah merasa kehilangan kasih sayang. Gaza kehilangan kasih sayang ibunya sementara aku kehilangan kasih sayang
Sebulan berlalu pasca kami melakukan wikwik. Entah mengapa aku jadi sering pusing, rasanya badanku sangat lemas. Pagi ini saja aku keluar kamar dengan berat jika bukan karena ingin mengantar Mas Satria pergi kerja.Jujur, perutku saat ini seperti diaduk-aduk padahal maghku sudah lama gak kambuh. Aku ingin sekali menahan Mas Satria tapi aku tidak mau merepotkannya. Aku harus berpura-pura baik-baik saja, selama masih bisa aku tangani sendiri.“Kamu, tunggu di rumah, ya? Jangan ke mana-mana, ya?” ujar Mas Satria sambil mengelus puncak kepalaku.Aku mengangguk. “Iya Mas, tapi—“ Belum juga aku sempat menyelesaikan kalimatku tiba-tiba kepalaku rasanya berputar dan pandanganku menggelap.Reflek aku memegang kepalaku“Auw!”“Mon, kamu kenapa? Apa kamu pusing lagi?” tanya Mas Satria.“Iya, nih Mas saya ….”BRUK.Dan aku pun tak ingat apa-apa lagi.(***)Aku terbangun lagi ketika sentuhan lembut mengenai pipiku. Meski masih pusing, aku mencoba membuka mata dan berusaha bangkit karena perutku sep
Tiba di hotel, Mas Satria sudah semangat menebar senyuman khasnya pada siapa saja. Aneh banget sih, lelaki satu ini padahal kami juga baru melakukannya beberapa hari lalu tapi masih aja semangat buat ngejar setoran. Saking semangatnya, dia bahkan bersikap baik pada semua orang yang berpapasan bersama kami sampai si Mbak-Mbak resepsionis salah paham dan bisik-bisik tetangga.Sampai di kamar, aku lebih dulu masuk ke kamar mandi.Bukan. Bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi dan aku pun kebelet pipis.Dalam proses acara mandi, aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Mas Satria merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan dan tergoda mencium aroma sampo yang kupakai.Tak kupungkiri, aku juga sangat menantikan saat-saat ini. Di mana kami hanya berdua saja tanpa ada pengganggu.Senyuman tak henti merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditione
POV Satria Aku tersenyum saat melihat Mona dengan gembira menapaki pasir yang terbentang di salah satu pantai yang ada di Garut. Setelah permintaannya yang membuatku bahagia aku berencana membuat honeymoon untuknya. Seperti pagi ini, aku sengaja membawa Mona melarikan diri sebentar saja dari aktivitas menyesakkan yang menimpa kami. Sebenarnya, ide ini kulakukan secara spontan akibat kasian kepada Mona yang akhir-akhir ini sering terlihat sakit dan depresi.Tanpa siapa pun tahu, sebenarnya aku seringkali memergoki Mona menangis diam-diam dan melamun terutama setelah kami menikah.Entah ini perasaanku saja atau bagaimana, yang jelas Mona tetaplah Mona. Seorang wanita yang akan berpura-pura kuat padahal hatinya sangat rapuh."Ya ampun Mas, lihat deh karangnya cantik banget," seru Mona seraya menunjuk karang yang berbaris teratur di bibir pantai.Jilbab panjang Mona yang bergoyang tertiup angin dan pipinya yang kemerahan ketika diterpa matahari membuat mataku tak ingin beralih dari sos
Air wudhu dan suasana masjid yang damai telah berhasil membuat kepala dan jiwaku kembali mendingin. Tadi setelah memberi Bang Ramdan pelajaran, aku memutuskan untuk tidak langsung ke klinik menjemput Gaza tapi belok dulu ke masjid yang ada di pinggir jaLan untuk berwudhu, dan mengaji karena waktu shalat masih lama. Beruntung Mbok Nah mau memahami meski aku telat menjemput tapi dia gak masalah.Sebagai sosok seorang ibu, aku tak mau datang menemui dengan Gaza dengan suasana hati yang kacau karena khawatir malah masih terbawa suasana. Apalagi jika Gaza tahu kalau ibu sambungnya senang mengumpat jika sedang emosi seperti tadi, bisa runtuh citra yang kubangun selama ini.Agh, aku memang bukan contoh yang baik! Kenapa aku bisa mempermalukan diri sendiri?Penat. Sejenak aku menyandarkan diri ke tembok masjid usai menyelesaikan membaca satu surat dalam alquran. Kuarahkan mataku memandang taman masjid yang sejuk sambil memikirkan tentang apa yang aku sampaikan pada Bang Ramdan ketika tadi b
Beberapa minggu jadi istri, aku sama sekali tidak bisa beristirahat karena tugas rumah tanggaku menumpuk. Semenjak aku menikah, Mbok Nah ditugaskan untuk mengurus semua perlengkapan sementara aku hanya focus pada Gaza dan pekerjaan baruku sebagai perawat di klinik Mas Satria, biat aku ada kegiatan.Sementara untuk di rumah sini, sesuai kesepakatan pernikahan kami, mulai saat ini akulah yang mengatur semua urusan rumah Mas Satria dari mulai isi kulkas sampai ke kartu ATM, Mas Satria benar-benar mempercayakannya padaku.Karena itulah, pagi-pagi ini aku harus bangun untuk membuat sarapan, bersih-bersih rumah dan menyiapkan keperluan Gaza selama dititip di Mbok Nah nanti, setelah itu barulah setelah itu mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolahLelah. Ya, sangat melelahkan.Namun, untunglah di antara hectic-nya peran baru ada Mamah dan Dina yang setia membantu, jika aku sedang kerepotan Mamah bisa datang buat mengurus Gaza. Sebenarnya ide bahwa Mamah dan aku bergantian mengurus Gaza datan
Acara sakral pernikahanku telah lama selesai, kini saatnya aku beristirahat. Mungkin dikarenakan pernikahan ini termasuk rahasia jadi tidak banyak tamu yang datang dan tak banyak juga yang dijamu kecuali sahabat-sahabat Mas Satria dan sahabatku. Aku yang sudah lelah dan letih pun ijin langsung masuk kamar setelah menyerahkan Gaca pada Dina dan Mamah karena sejak tadi mereka berdua memintaku untuk bisa beristirahat. "Haaah."Aku menarik napas dalam sambil merebahkan diri ke atas tempat tidur. Dalam keheningan kamar pengantin yang ada di rumah Mas Satria aku merenung.Baru kusadari ternyata kini aku memiliki dua anak dan dua-duanya bukan berasal dari rahimku. Yang satu adalah bawaan suami dan yang satu peninggalan adikku.Sedihkah aku? Jawabannya tidak!Jujur, aku merasa ikatan batinku dengan Gaza bukan tanpa sebab. Ternyata jika diingat lagi kami punya satu kesamaan yaitu pernah merasa kehilangan kasih sayang. Gaza kehilangan kasih sayang ibunya sementara aku kehilangan kasih sayang
Mas Satria melamarku, katanya dia meminta ini karena demi Gaza dan lagi pula masa iddahku sudah selesai. Tiga minggu pasca kesepakatan akhirnya aku dan Mas Satria sepakat untuk melaksanakan akad nikah di rumah Mas Satria dengan hanya mengundang sahabat dan perwakilan keluarga.Dari pihak Mas Satria ternyata pria itu menghadirkan keluarga lengkapnya. Nenek dari Gaza yang merupakan ibu dari pihak Mas Satria pun datang untuk merestui kami. Sebelum akad, kami pernah bertemu, ibunya bilang kalau dia setuju aku menikahi putraya karena selama ini bagi mereka Yuli bukanlah menantu dan istri yang baik. Dan yang paling mengagetkan si ibu tahu kalau Yuli sudah berselingkuh sejak lama. Sangat miris. Aku yang semula menikah hanya karena Gaza menjadi kasian sama Mas Satria. Aku bisa melihat keputusasaan di binar matanya."Mon, alasan saya ingin menikahimu karena Gaza. Semenjak kecil perhatian Yuli kurang sekali, dia selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan dia punya trauma karena melihat perselingkuha
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir