Mas Satria terlihat menajamkan matanya sambil memegang tangan Mbak Yuli dengan kuat. Lelaki itu terlihat sangat marah karena kelakuan Mbak Yuli yang di luar dugaan. Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, ingin rasanya marah tapi ada Mas Satria yang lebih berhak untuk mengurus Mbak Yuli karena aku terlalu lelah.
Dalam kemarahan, aku hanya bisa bertanya-tanya. Kenapa Mbak Yuli bisa ada di sini? Kenapa dia tiba-tiba mau menamparku?"Mas, Mas, lepasin! Kenapa Mas membela jal*ng ini? Kenapa Mas? Apa mungkin sebenarnya Mas it--""Diam kamu Yuli! Berhenti bermain playing victim! Jangan menghina hati wanita yang sudah kamu rebut suaminya! Ingat kamu sudah banyak berhutang sama dia, seharusnya kamu malu!" Mas Satria tiba-tiba memotong teriakan Mbak Yuli secara membabi-buta.Mbak Yuli sejenak membeku, mungkin dia tidak menyangka kalau Mas Satria malah membelaku.Mbak Yuli, terimalah karmamu!"Ja-jadi, Mas tahu kalau aku berhutang sama Mona?" tanya Mbak Yuli terbata.Mas Yuga mendesis miris. "Ya. Karena itulah aku di sini. Aku mau membayar hutangmu yang menggunung itu. Seharusnya kamu malu Yul! Malu! Aku heran, apa gak cukup semua uang yang kuberikan sama kamu? Bahkan kamu memegang atmku!"Mbak Yuli tercengang mendengar ocehan tajam Mas Satria. Dengan gemetar, dia berusaha meraih tangan Mas Satria tapi pria tampan yang sedang murka itu langsung menepis tangan istrinya kasar."Maafkan aku Mas, aku ....""Jangan pegang aku, Yuli! Aku sudah selesai sama kamu semenjak kamu mengkhianati pernikahan kita dan memilih berselingkuh dengan Ramdan! Mulai sekarang aku harap kamu gak usah menunjukan wajah di depanku lagi atau Galang! Dan sekarang lebih baik kamu pergi! PAHAM?" bentak Mas Satria tepat di depan wajah Mbak Yuli yang pucat bak tidak dialiri darah.Aku melongo hebat. Wow! Galak juga kalau Mas Satria marah begini, pantas Bang Ramdan saja sampai babak belur.Jika dia murka, sudah bisa dipastikan semua apa yang ada di depannya dipastikan akan dilibas habis tanpa terkecuali. Bagaikan membangunkan singa yang tidur, Mas Satria yang terbiasa datar dan menyembunyikan kesedihannya kini terlihat sangat mengerikan. Kakiku saja sampai gemetar mendengar gema dari setiap kalimatnya.Namun, meski begitu, jauh di dalam hati aku merasa bersyukur, akhirnya Mas Satria bisa menentukan sikapnya pada Mbak Yuli. Sekarang, aku tidak takut lagi untuk melawan dua orang yang gemar bermain playing victim ini.Mbak Yuli terus merengek."Mas tolong, Mas! Jangan begini! Maaf, Mas aku hanya khilaf! Aku dipaksa Mas! Aku masih cinta kamu, Mas! Aku gak cinta Ramdan!" rengek Mbak Yuli meminta pengampunan tapi lelaki itu bergeming. Gigi Mas Satria bergemeletuk seakan menahan panas yang membara dalam dirinya."No, I dont need your explanation! Mulai sekarang kita gak ada hubungan lagi, aku muak! Bilang sama ibu angkat kamu itu, surat perceraian akan segera datang dan jangan pernah berharap kita rujuk! Maaf Mon, maaf jika membuat keributan, saya pamit pergi!"Secara tiba-tiba, Mas Satria tiba-tiba beralih ke arahku. Aku yang sedang berdiri bingung hanya bisa mengerjap gagap."I-iya Mas," jawabku.Setelah memberi kode pamit, Mas Satria gegas pergi melintasi Mbak Yuli yang langsung mengejarnya."Mas please dengerin aku! Mas aku gak mau cerai! Mas, aku gak mau kamu jadi milik orang lain, Mas!"Ancaman Hana yang bagaikan orang gila sama sekali tak ditanggapi Mas Satria lelaki itu hanya berjalan terus hingga ke dalam mobilnya. Meninggalkan Mbak Yuli yang meraung di halaman rumahku, sementara aku hanya bisa tersenyum sinis dan lalu pergi ke dalam rumah.BRAK.Aku gegas membanting dan mengunci pintu. Takut Mbak Yuli akan melampiaskan kemarahannya dan menggila.Sumpah! Aku muak!Namun, baru saja aku selesai terdengar teriakan disertai gedoran."Mona! Mau ke mana kamu? Obrolan kita belum selesai! Buka!" teriak Mba Yuli gak menyerah sementara aku meringis sambil meninggalkan ruang tamu.Si Yuli itu emang bandit! Dia gak mau menyerah juga!Kacau.(***)"Mon, maafin. Aku gak bisa bantu. Maaf ya Mon. Makanya Mon, kalau punya utang tuh jangan gede-gede. Orang miskin kayak kita mah susah Mon buat bayarnya. Hem ... oh atau aku punya ide biar kamu dapat duit banyak.""Apa?""Jual diri aja. Biar kayak kupu-kupu malam.""Astaghfirullah Mel, nggaklah! Mana mungkin aku melakukan itu.""Iya maaf, hehehe ... aku bercanda. Aku doain moga ada pangeran berkuda putih yang mau bayarin, oke? Mon, jangan takut ya. Pasti ada jalan. Kamu harus bercerai dari lelaki macam begitu, janji ya Mon? Gak akan balikan sama dia?""Ya, Mel. Aku gak akan balikan, haram Mel bagi aku menerima dia kembali. Pengkhianatan tetap pengkhianatan gak ada toleransi.""Bagus itu, sweeety. Oke, aku kerja dulu ya? Lagi ganti shift nih. Dah Mona. Kalau ada info kabar-kabarin, ya? Oh ya, betewe di klinik aku ada dokter baru ganteng banget, entar aku cerita ya."Tut.Dan sambungan telepon pun terputus.Aku menghembuskan napas berat, sebenarnya Mela bukan orang pertama yang kuhubungi guna meminjam uang. Aku sudah melakukannya ke semua teman terdekat bahkan saudara tapi tidak ada yang bersedia meminjamkan. Aku tahu yang kulakukan itu konyol. Tak mungkin juga mereka mau meminjamkan itu, aku hanya mempermalukan diriku sendiri. Meski aku berjanji mau bekerja di mereka tanpa dibayar sampai hutangku lunas tetap saja semua tak mungkin.Kini, di antara semua usaha yang telah kulakukan dari kemarin sampai sekarang tinggal satu nama yang belum kuhubungi.Mas Satria.Mengingat nama itu, entah mengapa jantungku suka mendadak berdenyut ngilu.Haruskah aku menghubunginya? Haruskah aku menceritakan kegalauanku? Di antara orang yang kukenal hanya Mas Satria yang memungkinkan karena dia memang anak orang kaya.Ish! Ya Allah kenapa aku bingung sekali? Jujur, kalau aku menghubungi Mas Satria, aku takut dikira cari kesempatan dalam kesempitan."Ah, pusing! Ke mana lagi aku harus mencari duit pinjaman? Hem ...."Entah berapa kali, hari ini aku bergumam frustasi seraya merutukk diri yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah utang-piutang ini. Andai dulu aku gak bucin sama Mas Ramdan bisa jadi ini gak akan kualami.Tak kuduga akibat emosi semua jadi kacau begini.Drrt."Ih, siapa lagi yang hubungin aku? Jangan bilang kalau ... Bang Ramdan?"Badanku yang semula duduk reflek berdiri dan mataku membelalak melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselku.[Menyerahlah Mon, kamu gak akan dapat uang 200 juta itu dan kembalilah padaku. Aku janji gak akan membandingkan kamu sama Yuli lagi. Aku juga akan menganggap lunas hutang almarhum bapakmu.]"Dasar jahat!"Aku menggeram seraya mengepalkan tangan ketika membaca pesan dari Bang Ramdan yang tidak punya pri ke-istrian. Rasanya ada yang sakit di dalam sini, melihat suami yang dulu kucintai bertindak sangat pongah seolah kesakitan yang ia berikan sangat kecil.Tok. Tok. Tok."Teh Mon, gimana? Apa ada yang mau bantu?" Dina melongokan kepala, penuh harap.Aku menjawab pertanyaan adikku dengan gelengan kepala lemah lalu menghempaskan bokong di ranjang dengan pasrah.Melihat kakaknya bertingkah putus asa, Dina masuk ke dalam kamar lalu duduk di dekatku. Sesaat kami diliputi hening karena sibuk dengan pikiran masing-masing.Tidak dapat dinafikan, bukan hanya aku yang berusaha mencari uang itu sekarang. Bahkan gara-gara hutang pada Bang Ramdan sekarang kami benar- benar kelimpungan."Teh, apa harus Dina berhenti kuliah?" celetuk Dina tiba-tiba membuatku terperanjat bangun dan menatapnya lebar. "Heh? Apa kamu bilang? Berhenti?" tanyaku memastikan yang langsung disambut anggukan sedih dari Dina. Sebagai kakak aku tahu sekali kalau Dina sangat ingin membantu keluarga ini tapi di satu sisi tentu saja dia tidak mungkin berhenti. Aku menggeleng tak setuju. "Jangan atuh. Din! Kamu tahu kan Mamah ingin banget kamu sarjana.""Tapi Teh ....""Udah Din, masalah hutang kamu gak usah khawatir Teteh akan cari jalan keluarnya," ujarku seraya menggenggam tangan Dina--adik semata wayangku.Di tengah obrolan kami tiba-tiba ponselku bergetar di atas tempat tidur.Awalnya mengabaikan karena takutnya itu dari Bang Ramdan yang menelepon hanya untuk menerorku tapi anehnya deringan ponsel itu terus menerus berulang hingga akhirnya mengganggu. Terpaksa, aku melepaskan tangan Dina dan menyetop pembicaraan kami untuk mengangkat telepon. Mataku memicing ketika melihat kalau nama Mela, tertera di layar ponslku. Sungguh membingungkan melihat dia mendadak meneleponku. Bukannya dia bilang mau kerja? "Halo ... assalammu'alaikum," sapaku. "Ada apa?" "Wa'alaikumsalam, Mon," jawab Mela dengan suara yang sedikit bergetar. "Iya, Mel, gimana?" tanyaku agak khawatir karena mendadak diserang firasat buruk. "Maaf Mon aku harus mengabarkan ini tapi mamahmu barusan ...."Aku tak bisa mendengar dengan pasti apa yang diucapkan Mela secara lengkap. Tubuhku langsung lemas dan ponsel di tanganku jatuh begitu saja hingga Dina langsung menatapku."Ada apa Teh?" tanyanya panik.Aku tak bisa menjawab karena lidahku terlalu kelu. "Teh!" Dina mendesak dan aku pun menjerit."MAMAH! Mamah kecelakaan DIN! KECELAKAAN!" "APA?!"Aku pergi ke rumah sakit yang disebutkan Mela bersama Dina dengan menggunakan motor yang biasa dipakai Dina kuliah. Sepanjang perjalanan aku benar-benar cemas tapi tetap berusaha untuk bersikap waras sementara Dina terus saja menangis dan menambah kekalutan. Jujur, jauh di dalam hati aku pun merasa sangat kalut setelah mendengar Mamah kecelakaan tapi sebagai kakak sulung aku harus bisa lebih tenang dibanding adikku. Walau benak ini terus saja mempertanyakan.Bagaimana ini bisa terjadi pada Mamah? Kenapa Mamah bisa kecelakaan? Kenapa ujian ini gak berhenti melingkupi kami? Kenapa Mamah harus terluka di saat aku sedang berjuang untuk perceraianku?"Ya Allah! Tolonglah kami," desahku di antara suara bising kendaraan.Saat ini meski perasaanku campur aduk yang bisa kulakukan hanya terus berdoa agar mamah gak kenapa-kenapa walau kuakui aku terlalu takut kehilangan Mamah. Tidak perlu waktu lama, akhirnya kami sampai di rumah sakit, kulangkahkan kedua kakiku secara cepat menyusuri ruangan
Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Perasaanku kini cukup lega karena biaya rumah sakit Mamah tertangani tanpa harus menjadi simpanan dokter Aldo.Aku tidak terbayang kalau Mas Satria telat datang ke ruangan dokter Aldo, aku pasti akan terjebak dan terpaksa mengambil jalan yang salah. Menurut info dari Mas Satria, ternyata dokter Aldo yang menangani Mamah emang sudah dicurigai suka memeras pasiennya. Jadi, gak heran kalau dia memanfaatkan kondisiku yang miskin demi keuntungannya.Sekarang pertanyaannya, kenapa Mas Satria bilang aku keluarganya? Kalau pun kami pernah satu mertua tapi kan sekarang kami sama-sama mantan keluarga? Lalu kenapa dia mau membantuku?Atau ... agh! Sudahlah mengingat ucapan tegas Mas Satria yang seperti membelaku tadi di depan dokter Aldo membuat aku berharap lebih. "Aww!"Aku mengerang seraya memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat sejenak, lagipula ketika tadi kuc
"Mon, Mona?" Panggilan lirih seorang lelaki membuat aku terbangun dari lena.Aku mengerjapkan kedua mataku dengan hati-hati. Saat ini pusing di kepalaku mulai agak berkurang hanya mualnya saja yang masih terasa. Aku terkesiap ketika melihat Mas Satria ada di samping bed tempat aku dibaringkan.Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Mon, kamu sudah bangun?" Mas Satria menatapku cemas. Dia memegang tanganku untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku melirik ke arahnya. "Ehm ... iya Mas. Ini di mana Mas? Saya pingsan, ya?"Dia tersenyum simpul. "Iya kamu pingsan. Sepertinya kamu kekurangan nutrisi. Ayo, diminum dulu, " ujar Mas Yuga sambil membawa segelas air putih dari atas nakas. Dengan perlahan dan lembut, dia membantuku duduk bersandar ke ranjang.Aku meminum air itu hingga tandas di bawah pandangan Mas Satria yang masih terlihat khawatir."Gimana rasany
"Awas saja kalau kamu menggoda Mas Satria! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" Lagi. Ancaman Yuli terngiang-ngiang bagaikan peluru yang terus memborbardir kepalaku dengan ucapannya. Beruntung, beberapa waktu lalu obrolan dengan Mbak Yuli tak berlangsung lama karena perawat langsung datang dan membolehkan aku untuk keluar dari IGD. "Hah ...." Aku menghela napas seraya duduk termangu di depan ruang rawat Mamah. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya Mamah dirawat, semenjak itu juga aku bertekad menjaga Mamah dan gak mau pingsan lagi di IGD seperti sebelumnya. Alhamdullilah, berkat usaha semuanya Mamah berangsur pulih.Gumpalan darah di otak Mamah syukurnya bisa disembuhkan dengan operasi yang dilakukan oleh Mas Satria. Aku bersyukur bisa bertemu dengan pria itu, dia mengawasi kesehatan Mamah hingga Mamah siuman dan berpindah dari ICU ke ruang rawat biasa. Sekarang tinggal penyakit kanker Mamah yang harus terus menjalani pengobatan.Ini keajaiban. Alhamdullilah. Namun, t
"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i
"Mona! Hey, tunggu! Kita perlu bicara!"Aku tidak lagi menoleh ke belakang dan hanya bisa berjalan secepat aku bisa. Perasaanku mengatakan untuk terus menghindari kejaran Bang Ramdan, aku harus pergi dari sini.Kupikir sudah saatnya aku mengambil tindakan. Sudah lelah bertengkar dengan Bang Ramdan dan sudah saatnya melarikan diri demi ketentraman hati. "Mona!" Panggilan keras Bang Satria kembali menyapa telinga tapi aku tidak perduli. Lelaki itu mengejarku tapi kakiku tak mau kalah langkah."Apa sih, Bang? Sudah ya, aku gak mau mengobrol lagi!""Tapi aku ingin bicara!""Gak! Saya gak mau!" tolakku sambil berteriak. "Diam di situ atau gak saya tendang lagi!" Aku semakin berlari menuju ke arah luar pagar rumah sakit, aku gegas menyetop taksi yang melintas di depan rumah sakit dan masuk ke dalamnya.Ya, kupikir ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri. Aku tidak ingin berurusan dengan keluarga Bang Ramdan. Tidak dengan anaknya apalagi ibunya.Stop! Aku lelah. Aku hanya ingin be
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir
Sebulan berlalu pasca kami melakukan wikwik. Entah mengapa aku jadi sering pusing, rasanya badanku sangat lemas. Pagi ini saja aku keluar kamar dengan berat jika bukan karena ingin mengantar Mas Satria pergi kerja.Jujur, perutku saat ini seperti diaduk-aduk padahal maghku sudah lama gak kambuh. Aku ingin sekali menahan Mas Satria tapi aku tidak mau merepotkannya. Aku harus berpura-pura baik-baik saja, selama masih bisa aku tangani sendiri.“Kamu, tunggu di rumah, ya? Jangan ke mana-mana, ya?” ujar Mas Satria sambil mengelus puncak kepalaku.Aku mengangguk. “Iya Mas, tapi—“ Belum juga aku sempat menyelesaikan kalimatku tiba-tiba kepalaku rasanya berputar dan pandanganku menggelap.Reflek aku memegang kepalaku“Auw!”“Mon, kamu kenapa? Apa kamu pusing lagi?” tanya Mas Satria.“Iya, nih Mas saya ….”BRUK.Dan aku pun tak ingat apa-apa lagi.(***)Aku terbangun lagi ketika sentuhan lembut mengenai pipiku. Meski masih pusing, aku mencoba membuka mata dan berusaha bangkit karena perutku sep
Tiba di hotel, Mas Satria sudah semangat menebar senyuman khasnya pada siapa saja. Aneh banget sih, lelaki satu ini padahal kami juga baru melakukannya beberapa hari lalu tapi masih aja semangat buat ngejar setoran. Saking semangatnya, dia bahkan bersikap baik pada semua orang yang berpapasan bersama kami sampai si Mbak-Mbak resepsionis salah paham dan bisik-bisik tetangga.Sampai di kamar, aku lebih dulu masuk ke kamar mandi.Bukan. Bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi dan aku pun kebelet pipis.Dalam proses acara mandi, aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Mas Satria merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan dan tergoda mencium aroma sampo yang kupakai.Tak kupungkiri, aku juga sangat menantikan saat-saat ini. Di mana kami hanya berdua saja tanpa ada pengganggu.Senyuman tak henti merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditione
POV Satria Aku tersenyum saat melihat Mona dengan gembira menapaki pasir yang terbentang di salah satu pantai yang ada di Garut. Setelah permintaannya yang membuatku bahagia aku berencana membuat honeymoon untuknya. Seperti pagi ini, aku sengaja membawa Mona melarikan diri sebentar saja dari aktivitas menyesakkan yang menimpa kami. Sebenarnya, ide ini kulakukan secara spontan akibat kasian kepada Mona yang akhir-akhir ini sering terlihat sakit dan depresi.Tanpa siapa pun tahu, sebenarnya aku seringkali memergoki Mona menangis diam-diam dan melamun terutama setelah kami menikah.Entah ini perasaanku saja atau bagaimana, yang jelas Mona tetaplah Mona. Seorang wanita yang akan berpura-pura kuat padahal hatinya sangat rapuh."Ya ampun Mas, lihat deh karangnya cantik banget," seru Mona seraya menunjuk karang yang berbaris teratur di bibir pantai.Jilbab panjang Mona yang bergoyang tertiup angin dan pipinya yang kemerahan ketika diterpa matahari membuat mataku tak ingin beralih dari sos
Air wudhu dan suasana masjid yang damai telah berhasil membuat kepala dan jiwaku kembali mendingin. Tadi setelah memberi Bang Ramdan pelajaran, aku memutuskan untuk tidak langsung ke klinik menjemput Gaza tapi belok dulu ke masjid yang ada di pinggir jaLan untuk berwudhu, dan mengaji karena waktu shalat masih lama. Beruntung Mbok Nah mau memahami meski aku telat menjemput tapi dia gak masalah.Sebagai sosok seorang ibu, aku tak mau datang menemui dengan Gaza dengan suasana hati yang kacau karena khawatir malah masih terbawa suasana. Apalagi jika Gaza tahu kalau ibu sambungnya senang mengumpat jika sedang emosi seperti tadi, bisa runtuh citra yang kubangun selama ini.Agh, aku memang bukan contoh yang baik! Kenapa aku bisa mempermalukan diri sendiri?Penat. Sejenak aku menyandarkan diri ke tembok masjid usai menyelesaikan membaca satu surat dalam alquran. Kuarahkan mataku memandang taman masjid yang sejuk sambil memikirkan tentang apa yang aku sampaikan pada Bang Ramdan ketika tadi b
Beberapa minggu jadi istri, aku sama sekali tidak bisa beristirahat karena tugas rumah tanggaku menumpuk. Semenjak aku menikah, Mbok Nah ditugaskan untuk mengurus semua perlengkapan sementara aku hanya focus pada Gaza dan pekerjaan baruku sebagai perawat di klinik Mas Satria, biat aku ada kegiatan.Sementara untuk di rumah sini, sesuai kesepakatan pernikahan kami, mulai saat ini akulah yang mengatur semua urusan rumah Mas Satria dari mulai isi kulkas sampai ke kartu ATM, Mas Satria benar-benar mempercayakannya padaku.Karena itulah, pagi-pagi ini aku harus bangun untuk membuat sarapan, bersih-bersih rumah dan menyiapkan keperluan Gaza selama dititip di Mbok Nah nanti, setelah itu barulah setelah itu mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolahLelah. Ya, sangat melelahkan.Namun, untunglah di antara hectic-nya peran baru ada Mamah dan Dina yang setia membantu, jika aku sedang kerepotan Mamah bisa datang buat mengurus Gaza. Sebenarnya ide bahwa Mamah dan aku bergantian mengurus Gaza datan
Acara sakral pernikahanku telah lama selesai, kini saatnya aku beristirahat. Mungkin dikarenakan pernikahan ini termasuk rahasia jadi tidak banyak tamu yang datang dan tak banyak juga yang dijamu kecuali sahabat-sahabat Mas Satria dan sahabatku. Aku yang sudah lelah dan letih pun ijin langsung masuk kamar setelah menyerahkan Gaca pada Dina dan Mamah karena sejak tadi mereka berdua memintaku untuk bisa beristirahat. "Haaah."Aku menarik napas dalam sambil merebahkan diri ke atas tempat tidur. Dalam keheningan kamar pengantin yang ada di rumah Mas Satria aku merenung.Baru kusadari ternyata kini aku memiliki dua anak dan dua-duanya bukan berasal dari rahimku. Yang satu adalah bawaan suami dan yang satu peninggalan adikku.Sedihkah aku? Jawabannya tidak!Jujur, aku merasa ikatan batinku dengan Gaza bukan tanpa sebab. Ternyata jika diingat lagi kami punya satu kesamaan yaitu pernah merasa kehilangan kasih sayang. Gaza kehilangan kasih sayang ibunya sementara aku kehilangan kasih sayang
Mas Satria melamarku, katanya dia meminta ini karena demi Gaza dan lagi pula masa iddahku sudah selesai. Tiga minggu pasca kesepakatan akhirnya aku dan Mas Satria sepakat untuk melaksanakan akad nikah di rumah Mas Satria dengan hanya mengundang sahabat dan perwakilan keluarga.Dari pihak Mas Satria ternyata pria itu menghadirkan keluarga lengkapnya. Nenek dari Gaza yang merupakan ibu dari pihak Mas Satria pun datang untuk merestui kami. Sebelum akad, kami pernah bertemu, ibunya bilang kalau dia setuju aku menikahi putraya karena selama ini bagi mereka Yuli bukanlah menantu dan istri yang baik. Dan yang paling mengagetkan si ibu tahu kalau Yuli sudah berselingkuh sejak lama. Sangat miris. Aku yang semula menikah hanya karena Gaza menjadi kasian sama Mas Satria. Aku bisa melihat keputusasaan di binar matanya."Mon, alasan saya ingin menikahimu karena Gaza. Semenjak kecil perhatian Yuli kurang sekali, dia selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan dia punya trauma karena melihat perselingkuha
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir