Udara malam terasa lebih berat, seolah menekan dada mereka dengan beban yang tak kasat mata. Kata-kata Arif masih menggantung di udara, mengendap dalam pikiran mereka.“Kalau begitu, bersiaplah. Karena perjalanan kalian baru saja dimulai.”Lila menatap tanah dengan pikiran yang berkecamuk. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri akibat luka di bahunya, tapi rasa takut dan penasaran yang menguasai pikirannya lebih besar daripada rasa sakit itu.Jatinegara berdiri dengan tubuh sedikit limbung, darah yang mengering di sudut bibirnya adalah bukti bahwa ia masih kesakitan setelah dihantam genderuwo. Namun, matanya tetap menyala penuh tekad.“Kalau gerbang Kandang Bubrah akan menemukan kita, itu berarti kita tidak punya pilihan selain menunggu?” tanya Wina, suaranya terdengar datar tapi penuh kewaspadaan.Arif menatapnya sejenak sebelum menggeleng pelan. “Menunggu bukan pilihan. Kalian tidak punya banyak waktu.”Ustadz Harman menarik napas panjang. “Jadi bagaimana kita menemukannya?”Arif menat
Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di tanah kosong yang dulu merupakan hutan Srengege. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan langit tampak lebih gelap, meskipun bulan masih bersinar redup di atas kepala mereka.Arif berlutut, menempelkan tangannya ke tanah, lalu memejamkan mata.Lila, Jatinegara, Wina, dan Ustadz Harman hanya bisa menunggu dalam diam.Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergetar pelan.Lila menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat.Dan kemudian…Dari dalam tanah, muncul sesuatu.Bukan pepohonan, bukan kabut seperti sebelumnya. Tapi pintu kayu tua, setengah terkubur di dalam tanah.Ustadz Harman menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa ini…?”Arif membuka matanya dan menatap mereka. “Gerbang Kandang Bubrah.”
Arif menatap sekeliling dengan tatapan tajam. “Setiap tempat seperti ini selalu memiliki kelemahan. Kita harus menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pola yang diciptakan oleh tempat ini.”Wina berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Jadi kita mencari sesuatu yang aneh? Sesuatu yang berbeda?”Arif tersenyum tipis. “Tepat.”Jatinegara menghela napas. “Baiklah. Daripada kita diam di sini, lebih baik kita mulai mencari.”Lila mengumpulkan tenaga yang tersisa dan mulai berjalan bersama mereka.Mereka tidak tahu apakah ini akan berhasil. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.Langkah mereka berat, tubuh mereka lelah dan kepala terasa pening karena kekurangan makanan dan air. Namun, mereka tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.Lila berjalan di samping Jatinegara, merasakan dinginnya udara yang semakin menusuk kulit. Kabut di
Crack...Semua orang menoleh. Boneka jerami yang tertancap paku di kepalanya kini bergerak sendiri. Seperti ada sesuatu yang merayap di dalamnya.Crack. Crack.Tangan Lila gemetar. Ada sesuatu di dalam boneka itu. Kemudian, sebelum mereka sempat bereaksi.Boneka itu bergerak, lengan jeraminya terangkat sendiri. Jatinegara mundur selangkah, wajahnya menegang. “Sial… benda itu hidup?”Kemudian, suara lain mulai terdengar dari dalam kabut. Suara tawa pelan, bukan tawa manusia biasa. Itu suara yang terlalu dalam, terlalu parau, seperti sesuatu yang pernah menjadi manusia tetapi tidak lagi.“Kalian… tidak seharusnya… berada di sini.” Lila merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.Bayangan-bayangan tinggi di balik kabut mulai bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang
pikirannya kalut, dan rasa perih di perutnya semakin menjadi-jadi. Lila merasakan hal yang sama. Aromanya begitu menggoda, begitu nyata. Air liurnya hampir menetes saat ia melihat daging panggang yang tampak begitu renyah dan beraroma harum.Tanpa sadar, Jatinegara melangkah mendekati meja itu.Namun, sebelum tangannya sempat meraih makanan, Arif menepisnya keras.Plak!Jatinegara tersentak, menoleh marah. “Sialan, Ayah Arif! Kau kenapa?!”Arif tidak menjawab. Tatapannya penuh dengan ketegangan, seolah ia melihat sesuatu yang mereka tidak bisa lihat.“Kalian tidak boleh menyentuh makanan ini.”Ustadz Harman, yang sejak tadi membaca situasi dengan hati-hati, langsung waspada. Wina menatap ke arah Arif dengan curiga.Lila yang masih terpengaruh aroma makanan mencoba mengabaikan peringatan Arif. “Tapi&hel
“Lila! Jangan berhenti!” teriak Jatinegara, meraih tangannya.Lila tersentak, lalu kembali berlari meskipun seluruh tubuhnya terasa berat.Mereka akhirnya mencapai sebuah tanah lapang di tengah hutan. Tempat itu kosong, tidak ada pohon, hanya hamparan tanah kering yang retak-retak, seolah sesuatu pernah terbakar di sini.Tapi anehnya… begitu mereka sampai di tempat itu, suara gamelan mendadak berhenti.Sunyi.Tak ada suara burung malam, tak ada angin yang berhembus.Lila berusaha mengatur napasnya. Dadanya naik turun, jantungnya masih berdetak kencang.Jatinegara menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Arif dengan tajam. “Apa yang barusan itu? Mereka hampir membuat kita gila!”Arif tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap tanah di bawah kakinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.Ustadz Harman melangkah maju, matanya menyipit. “Tempat ini… terasa berbeda.”Wina
Lila merasakan tubuhnya jatuh ke dalam kegelapan yang seolah tidak berujung. Udara di sekitarnya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Rasanya seperti ditarik ke dalam kehampaan yang tidak memiliki dasar.Suara berbisik terus terdengar di telinganya."Kau telah menyerahkan sesuatu...""Kau tidak bisa kembali dengan utuh...""Kalian semua adalah bagian dari kami sekarang..."Lila berusaha berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam pusaran suara yang tidak henti-hentinya berputar di kepalanya. Matanya terbuka, namun yang ia lihat hanya bayangan hitam yang berkedip-kedip seperti ilusi.Brak!Tubuhnya menghantam sesuatu yang keras. Lila terbatuk, merasakan rasa sakit menjalar di punggungnya. Ia mencoba mengatur napas, tetapi paru-parunya terasa sesak, seperti udara di tempat ini lebih berat dari biasanya.Lila mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling.Ia tidak lagi berada di tanah kosong itu.Sebaliknya, ia kini b
Lila menjerit. “LARI!!!”Mereka semua berbalik dan berlari secepat mungkin, menerobos jalanan berbatu yang penuh dengan reruntuhan.Di belakang mereka, suara langkah kaki yang patah-patah terdengar semakin dekat.Suara tulang-tulang yang berderak.Suara erangan dan jeritan yang bukan berasal dari manusia.Lila hampir terjatuh, tapi Jatinegara menarik tangannya, menyeretnya agar terus berlari.Arif berlari di depan mereka, menuntun jalan. “Kita harus sampai ke menara itu! Itu satu-satunya tempat yang cukup kuat untuk melindungi kita!”Wina menoleh ke belakang, wajahnya tegang. “Mereka semakin dekat!”Lila mengerahkan semua tenaga yang tersisa. Paru-parunya terasa terbakar, otot-ototnya menjerit meminta istirahat.Tapi ia tahu, jika mereka berhenti, mereka tidak akan pernah bisa keluar dari sini.Mereka akhirnya sampai di tangga batu yang mengarah ke menara tinggi di tengah kota.
Lila menjerit. “LARI!!!”Mereka semua berbalik dan berlari secepat mungkin, menerobos jalanan berbatu yang penuh dengan reruntuhan.Di belakang mereka, suara langkah kaki yang patah-patah terdengar semakin dekat.Suara tulang-tulang yang berderak.Suara erangan dan jeritan yang bukan berasal dari manusia.Lila hampir terjatuh, tapi Jatinegara menarik tangannya, menyeretnya agar terus berlari.Arif berlari di depan mereka, menuntun jalan. “Kita harus sampai ke menara itu! Itu satu-satunya tempat yang cukup kuat untuk melindungi kita!”Wina menoleh ke belakang, wajahnya tegang. “Mereka semakin dekat!”Lila mengerahkan semua tenaga yang tersisa. Paru-parunya terasa terbakar, otot-ototnya menjerit meminta istirahat.Tapi ia tahu, jika mereka berhenti, mereka tidak akan pernah bisa keluar dari sini.Mereka akhirnya sampai di tangga batu yang mengarah ke menara tinggi di tengah kota.
Lila merasakan tubuhnya jatuh ke dalam kegelapan yang seolah tidak berujung. Udara di sekitarnya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Rasanya seperti ditarik ke dalam kehampaan yang tidak memiliki dasar.Suara berbisik terus terdengar di telinganya."Kau telah menyerahkan sesuatu...""Kau tidak bisa kembali dengan utuh...""Kalian semua adalah bagian dari kami sekarang..."Lila berusaha berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam pusaran suara yang tidak henti-hentinya berputar di kepalanya. Matanya terbuka, namun yang ia lihat hanya bayangan hitam yang berkedip-kedip seperti ilusi.Brak!Tubuhnya menghantam sesuatu yang keras. Lila terbatuk, merasakan rasa sakit menjalar di punggungnya. Ia mencoba mengatur napas, tetapi paru-parunya terasa sesak, seperti udara di tempat ini lebih berat dari biasanya.Lila mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling.Ia tidak lagi berada di tanah kosong itu.Sebaliknya, ia kini b
“Lila! Jangan berhenti!” teriak Jatinegara, meraih tangannya.Lila tersentak, lalu kembali berlari meskipun seluruh tubuhnya terasa berat.Mereka akhirnya mencapai sebuah tanah lapang di tengah hutan. Tempat itu kosong, tidak ada pohon, hanya hamparan tanah kering yang retak-retak, seolah sesuatu pernah terbakar di sini.Tapi anehnya… begitu mereka sampai di tempat itu, suara gamelan mendadak berhenti.Sunyi.Tak ada suara burung malam, tak ada angin yang berhembus.Lila berusaha mengatur napasnya. Dadanya naik turun, jantungnya masih berdetak kencang.Jatinegara menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Arif dengan tajam. “Apa yang barusan itu? Mereka hampir membuat kita gila!”Arif tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap tanah di bawah kakinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.Ustadz Harman melangkah maju, matanya menyipit. “Tempat ini… terasa berbeda.”Wina
pikirannya kalut, dan rasa perih di perutnya semakin menjadi-jadi. Lila merasakan hal yang sama. Aromanya begitu menggoda, begitu nyata. Air liurnya hampir menetes saat ia melihat daging panggang yang tampak begitu renyah dan beraroma harum.Tanpa sadar, Jatinegara melangkah mendekati meja itu.Namun, sebelum tangannya sempat meraih makanan, Arif menepisnya keras.Plak!Jatinegara tersentak, menoleh marah. “Sialan, Ayah Arif! Kau kenapa?!”Arif tidak menjawab. Tatapannya penuh dengan ketegangan, seolah ia melihat sesuatu yang mereka tidak bisa lihat.“Kalian tidak boleh menyentuh makanan ini.”Ustadz Harman, yang sejak tadi membaca situasi dengan hati-hati, langsung waspada. Wina menatap ke arah Arif dengan curiga.Lila yang masih terpengaruh aroma makanan mencoba mengabaikan peringatan Arif. “Tapi&hel
Crack...Semua orang menoleh. Boneka jerami yang tertancap paku di kepalanya kini bergerak sendiri. Seperti ada sesuatu yang merayap di dalamnya.Crack. Crack.Tangan Lila gemetar. Ada sesuatu di dalam boneka itu. Kemudian, sebelum mereka sempat bereaksi.Boneka itu bergerak, lengan jeraminya terangkat sendiri. Jatinegara mundur selangkah, wajahnya menegang. “Sial… benda itu hidup?”Kemudian, suara lain mulai terdengar dari dalam kabut. Suara tawa pelan, bukan tawa manusia biasa. Itu suara yang terlalu dalam, terlalu parau, seperti sesuatu yang pernah menjadi manusia tetapi tidak lagi.“Kalian… tidak seharusnya… berada di sini.” Lila merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.Bayangan-bayangan tinggi di balik kabut mulai bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang
Arif menatap sekeliling dengan tatapan tajam. “Setiap tempat seperti ini selalu memiliki kelemahan. Kita harus menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pola yang diciptakan oleh tempat ini.”Wina berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Jadi kita mencari sesuatu yang aneh? Sesuatu yang berbeda?”Arif tersenyum tipis. “Tepat.”Jatinegara menghela napas. “Baiklah. Daripada kita diam di sini, lebih baik kita mulai mencari.”Lila mengumpulkan tenaga yang tersisa dan mulai berjalan bersama mereka.Mereka tidak tahu apakah ini akan berhasil. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.Langkah mereka berat, tubuh mereka lelah dan kepala terasa pening karena kekurangan makanan dan air. Namun, mereka tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.Lila berjalan di samping Jatinegara, merasakan dinginnya udara yang semakin menusuk kulit. Kabut di
Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di tanah kosong yang dulu merupakan hutan Srengege. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan langit tampak lebih gelap, meskipun bulan masih bersinar redup di atas kepala mereka.Arif berlutut, menempelkan tangannya ke tanah, lalu memejamkan mata.Lila, Jatinegara, Wina, dan Ustadz Harman hanya bisa menunggu dalam diam.Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergetar pelan.Lila menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat.Dan kemudian…Dari dalam tanah, muncul sesuatu.Bukan pepohonan, bukan kabut seperti sebelumnya. Tapi pintu kayu tua, setengah terkubur di dalam tanah.Ustadz Harman menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa ini…?”Arif membuka matanya dan menatap mereka. “Gerbang Kandang Bubrah.”
Udara malam terasa lebih berat, seolah menekan dada mereka dengan beban yang tak kasat mata. Kata-kata Arif masih menggantung di udara, mengendap dalam pikiran mereka.“Kalau begitu, bersiaplah. Karena perjalanan kalian baru saja dimulai.”Lila menatap tanah dengan pikiran yang berkecamuk. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri akibat luka di bahunya, tapi rasa takut dan penasaran yang menguasai pikirannya lebih besar daripada rasa sakit itu.Jatinegara berdiri dengan tubuh sedikit limbung, darah yang mengering di sudut bibirnya adalah bukti bahwa ia masih kesakitan setelah dihantam genderuwo. Namun, matanya tetap menyala penuh tekad.“Kalau gerbang Kandang Bubrah akan menemukan kita, itu berarti kita tidak punya pilihan selain menunggu?” tanya Wina, suaranya terdengar datar tapi penuh kewaspadaan.Arif menatapnya sejenak sebelum menggeleng pelan. “Menunggu bukan pilihan. Kalian tidak punya banyak waktu.”Ustadz Harman menarik napas panjang. “Jadi bagaimana kita menemukannya?”Arif menat
Jatinegara yang masih kesakitan setelah dihantam genderuwo, mencoba berdiri lebih tegap. Wina membantu menopangnya, meski sorot mata wanita itu masih penuh waspada.Sementara Ustadz Harman berdiri dengan tangan menggenggam tasbihnya erat-erat.Arif menatap mereka satu per satu. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya—sesuatu yang belum ia ungkapkan.“Kau seharusnya sudah hilang,” kata Jatinegara akhirnya, suaranya serak karena rasa sakit.Arif tersenyum tipis. “Memang.”“Lalu kenapa kau di sini?” tanya Wina, matanya penuh selidik.Arif menghela napas sebelum menjawab, “Karena kalian masih belum keluar dari lingkaran ini.”Lila menegang. “Apa maksudmu?”Arif menatapnya dalam-dalam, seolah menimbang kata-katanya. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, ia berkata, “Ini belum selesai.”Kata-kata itu membuat bulu kuduk Lila meremang.Ustadz Harman mengernyit. “Kami sudah menghancurkan hutan Srengege. Kami menghapus namamu, menutup gerbangnya. Kenapa ini belum sel