Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di tanah kosong yang dulu merupakan hutan Srengege. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan langit tampak lebih gelap, meskipun bulan masih bersinar redup di atas kepala mereka.
Arif berlutut, menempelkan tangannya ke tanah, lalu memejamkan mata.
Lila, Jatinegara, Wina, dan Ustadz Harman hanya bisa menunggu dalam diam.
Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergetar pelan.
Lila menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Dan kemudian…
Dari dalam tanah, muncul sesuatu.
Bukan pepohonan, bukan kabut seperti sebelumnya. Tapi pintu kayu tua, setengah terkubur di dalam tanah.
Ustadz Harman menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa ini…?”
Arif membuka matanya dan menatap mereka. “Gerbang Kandang Bubrah.”
Arif menatap sekeliling dengan tatapan tajam. “Setiap tempat seperti ini selalu memiliki kelemahan. Kita harus menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pola yang diciptakan oleh tempat ini.”Wina berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Jadi kita mencari sesuatu yang aneh? Sesuatu yang berbeda?”Arif tersenyum tipis. “Tepat.”Jatinegara menghela napas. “Baiklah. Daripada kita diam di sini, lebih baik kita mulai mencari.”Lila mengumpulkan tenaga yang tersisa dan mulai berjalan bersama mereka.Mereka tidak tahu apakah ini akan berhasil. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.Langkah mereka berat, tubuh mereka lelah dan kepala terasa pening karena kekurangan makanan dan air. Namun, mereka tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.Lila berjalan di samping Jatinegara, merasakan dinginnya udara yang semakin menusuk kulit. Kabut di
Crack...Semua orang menoleh. Boneka jerami yang tertancap paku di kepalanya kini bergerak sendiri. Seperti ada sesuatu yang merayap di dalamnya.Crack. Crack.Tangan Lila gemetar. Ada sesuatu di dalam boneka itu. Kemudian, sebelum mereka sempat bereaksi.Boneka itu bergerak, lengan jeraminya terangkat sendiri. Jatinegara mundur selangkah, wajahnya menegang. “Sial… benda itu hidup?”Kemudian, suara lain mulai terdengar dari dalam kabut. Suara tawa pelan, bukan tawa manusia biasa. Itu suara yang terlalu dalam, terlalu parau, seperti sesuatu yang pernah menjadi manusia tetapi tidak lagi.“Kalian… tidak seharusnya… berada di sini.” Lila merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.Bayangan-bayangan tinggi di balik kabut mulai bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang
pikirannya kalut, dan rasa perih di perutnya semakin menjadi-jadi. Lila merasakan hal yang sama. Aromanya begitu menggoda, begitu nyata. Air liurnya hampir menetes saat ia melihat daging panggang yang tampak begitu renyah dan beraroma harum.Tanpa sadar, Jatinegara melangkah mendekati meja itu.Namun, sebelum tangannya sempat meraih makanan, Arif menepisnya keras.Plak!Jatinegara tersentak, menoleh marah. “Sialan, Ayah Arif! Kau kenapa?!”Arif tidak menjawab. Tatapannya penuh dengan ketegangan, seolah ia melihat sesuatu yang mereka tidak bisa lihat.“Kalian tidak boleh menyentuh makanan ini.”Ustadz Harman, yang sejak tadi membaca situasi dengan hati-hati, langsung waspada. Wina menatap ke arah Arif dengan curiga.Lila yang masih terpengaruh aroma makanan mencoba mengabaikan peringatan Arif. “Tapi&hel
“Lila! Jangan berhenti!” teriak Jatinegara, meraih tangannya.Lila tersentak, lalu kembali berlari meskipun seluruh tubuhnya terasa berat.Mereka akhirnya mencapai sebuah tanah lapang di tengah hutan. Tempat itu kosong, tidak ada pohon, hanya hamparan tanah kering yang retak-retak, seolah sesuatu pernah terbakar di sini.Tapi anehnya… begitu mereka sampai di tempat itu, suara gamelan mendadak berhenti.Sunyi.Tak ada suara burung malam, tak ada angin yang berhembus.Lila berusaha mengatur napasnya. Dadanya naik turun, jantungnya masih berdetak kencang.Jatinegara menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Arif dengan tajam. “Apa yang barusan itu? Mereka hampir membuat kita gila!”Arif tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap tanah di bawah kakinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.Ustadz Harman melangkah maju, matanya menyipit. “Tempat ini… terasa berbeda.”Wina
Lila merasakan tubuhnya jatuh ke dalam kegelapan yang seolah tidak berujung. Udara di sekitarnya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Rasanya seperti ditarik ke dalam kehampaan yang tidak memiliki dasar.Suara berbisik terus terdengar di telinganya."Kau telah menyerahkan sesuatu...""Kau tidak bisa kembali dengan utuh...""Kalian semua adalah bagian dari kami sekarang..."Lila berusaha berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam pusaran suara yang tidak henti-hentinya berputar di kepalanya. Matanya terbuka, namun yang ia lihat hanya bayangan hitam yang berkedip-kedip seperti ilusi.Brak!Tubuhnya menghantam sesuatu yang keras. Lila terbatuk, merasakan rasa sakit menjalar di punggungnya. Ia mencoba mengatur napas, tetapi paru-parunya terasa sesak, seperti udara di tempat ini lebih berat dari biasanya.Lila mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling.Ia tidak lagi berada di tanah kosong itu.Sebaliknya, ia kini b
Lila menjerit. “LARI!!!”Mereka semua berbalik dan berlari secepat mungkin, menerobos jalanan berbatu yang penuh dengan reruntuhan.Di belakang mereka, suara langkah kaki yang patah-patah terdengar semakin dekat.Suara tulang-tulang yang berderak.Suara erangan dan jeritan yang bukan berasal dari manusia.Lila hampir terjatuh, tapi Jatinegara menarik tangannya, menyeretnya agar terus berlari.Arif berlari di depan mereka, menuntun jalan. “Kita harus sampai ke menara itu! Itu satu-satunya tempat yang cukup kuat untuk melindungi kita!”Wina menoleh ke belakang, wajahnya tegang. “Mereka semakin dekat!”Lila mengerahkan semua tenaga yang tersisa. Paru-parunya terasa terbakar, otot-ototnya menjerit meminta istirahat.Tapi ia tahu, jika mereka berhenti, mereka tidak akan pernah bisa keluar dari sini.Mereka akhirnya sampai di tangga batu yang mengarah ke menara tinggi di tengah kota.
Arif langsung berbisik, “Jangan bergerak.”Lila menahan napas.Makhluk itu terus merayap, perlahan, lalu berhenti tepat di depan mereka.Meski tidak memiliki mata, mereka semua bisa merasakan bahwa ia sedang memperhatikan mereka.Jatinegara mencengkeram pisaunya lebih erat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Ustadz Harman melanjutkan doanya, suara lirihnya bergema di ruangan sempit itu.Lalu…Makhluk itu menelengkan kepalanya.Crack.Lehernya patah ke satu sisi, dan suara seperti tawa pelan terdengar… meskipun ia tidak memiliki mulut.“Kalian… tidak akan pernah keluar…”Lalu, dengan gerakan yang tiba-tiba, makhluk itu melesat ke arah mereka!Lila menjerit, tapi Arif langsung mendorongnya ke samping.Ctar!Wina melemparkan garam ke arah makhluk itu, membuatnya menjerit kesakitan. Tubuhnya berkedut, seolah garam itu membakar kulitny
Ustadz Harman maju selangkah, menggenggam tasbihnya erat-erat. “Astaghfirullah… Jadi inilah akar dari semuanya?”Pria itu tertawa pelan. “Kalian pikir pesugihan ini hanya sebatas hutan Srengege? Hanya sesajen dan tumbal yang biasa? Tidak.”Ia menatap Arif dengan tajam. “Kau tahu betul, kan, Arif?”Arif mengepalkan tangannya lebih erat. Ia baru sadar… mengapa ia bisa melewati gerbang-gerbang mistis dengan mudah. Mengapa perjalanannya ke hutan Srengege, bertemu Mbah Mijan di hutan Misahaan, dan Mbah Niah di hutan ghaib Srengege terasa begitu lancar.Karena dirinya sendiri adalah kunci.Darah Mahoni mengalir dalam dirinya.Lila menatapnya dengan kaget. “Arif… kau juga Mahoni?”Arif mengangguk pelan, matanya masih penuh amarah.“Ayahku…” suara Arif bergetar, “… memilih untuk hidup miskin. Ia tahu apa yang terjadi jika pesugihan ini
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si
Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny
Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh
Lila dan Dimas kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jatinegara tidur dengan tenang, wajahnya damai, tanpa bayangan ketakutan sedikit pun.Lila menatap anaknya lama. Ia mencoba mengingat semua kenangan, semua momen kecil yang mereka bagi.Beberapa sudah kabur. Beberapa masih tersisa, menggantung tipis di benak mereka.Tapi satu hal pasti: cinta itu tetap ada. Lebih kuat dari kenangan apa pun.Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tidur dalam damai, tanpa ketakutan akan bayangan dari balik pohon.Langit kelabu menaungi Desa Misahan ketika Lila berdiri di dekat nisan sederhana yang terbuat dari batu sungai. Nama "Arif Mahoni" terpahat samar di atasnya. Angin berhembus pelan, membawa suara desir daun kering.Dalam diam, Dimas berdiri di samping Lila, menggenggam erat tangan kecil Jatinegara yang kini berusia lima tahun.Mereka mengenang hari itu.Hari ketika Arif menghilang.***Malam itu
"Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan
Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek
Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem
Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka
Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah