“Ah, Bapak bisa saja,” elak Kenzie.
Pria paruh baya itu terkekeh pelan. “Jangan diambil hati kalau Kiya bersikap seperti itu, ya, Den. Kiya sebenarnya anak yang baik. Dia juga sangat ramah dan disayangi oleh orang-orang di desa ini. Terutama anak-anak. Dulu, Kiya sangat aktif di mushola dekat rumahnya. Dia selalu membantu mengajar ngaji di sana.”
“Tapi kenapa sekarang saya tidak pernah lihat dia datang ke mushola, Pak? Padahal jarak mushola dan rumahnya sangat dekat,” tanya Kenzie.
Kedua orang itu sedang duduk mengawasi para pekerja. Pak Min sendiri adalah pemborong yang Kenzie percaya untuk membangun penginapan tersebut. Pria paruh baya itu mulai bercerita sedikit tentang Kiya.
Kenzie cukup terkejut mendengar cerita Pak Min. Ia tidak menyangka jika wanita dingin yang selama ini membuatnya penasaran itu memiliki sebuah masa lalu yang menyakitkan.
“Apa sampai sekarang tidak ada yang tahu pelakunya, Pak?” tanya Kenzie setelah mendengar cerita Pak Min.
“Tidak. Kami menemukan Kiya di pos ronda saat hujan deras. Pakaiannya berantakan dan dia juga tidak mengenakan jilbab. Kami menemukan Kiya sudah tidak sadarkan diri di sana. Kiya juga tidak bisa mengingat siapa pria yang tega merenggut kesuciannya. Itu menjadi trauma yang mendalam bagi Kiya. Sebelumnya kakaknya juga mengalami nasib yang sama dengannya,” tutut Pak Min. Ada sebuah kesedihan yang terpancar di mata pria paruh baya tersebut.
“Kakaknya? Tapi saya tidak pernah melihatnya? Atau mungkin dia tidak tinggal di desa ini?” tanya Kenzie yang semakin penasaran.
Pak Min menggeleng dan tersenyum getir. “Andin memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dan … Kiya menjadi orang pertama yang melihat mayat itu tergantung di dalam kamar kakaknya sendiri. Sejak saat itu ayahnya sering sakit-sakitan. Keluarga mereka terus mencari pelaku pemerkosaan itu, tetapi tidak menemukan titik terang. Sampai kondisi kesehatan ayah mereka semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia.”
Satu lagi fakta yang berhasil membuat Kenzie tercengang. Pantas saja Kiya menjadi wanita yang sangat dingin dan jutek.
Pasti dia sudah melalui hari yang sangat berat. Kenzie membatin.
“Apa tidak ada pihak yang membantu untuk mengusut kejadian itu, Pak?” tanya Kenzie lagi. Ia ingin tahu lebih banyak lagi tentang kejadian tersebut.
“Sudah, tetapi tiba-tiba saja pihak kepolisian menghentikan penyidikan. Tidak ada alasan pasti kenapa mereka melakukan itu. Menurut bapak, memang ada pihak yang sengaja membungkam pihak berwajib. Mungkin mereka takut jika sampai pelakunya tertangkap. Kemungkinan juga pelaku adalah orang yang cukup penting di desa ini. Maaf, Den. Bapak tidak bisa bercerita lebih jauh lagi,” imbuh Pak Min. Ia menghela napas berat dan melihat ke sekeliling seolah-olah sedang memastikan sesuatu. Pria paruh baya itu kemudian beranjak dari duduknya. “Jika kamu benar-benar serius dengan Kiya. Temui ibunya dan sampaikan niat baikmu itu. Jika kamu mempunyai kekuasaan, tolong bantu keluarganya untuk mendapatkan keadilan dan bantu Kiya untuk sembuh dari traumanya.”
Pak Min menepuk bahu Kenzie sebelum ia benar-benar beranjak dari sana.
Entah kenapa pria paruh baya itu merasa jika Kenzie adalah orang baik dan berharap pria itu bisa membantu Kiya dan Ibunya.
Gigi Kenzie mengerat dan rahangnya mengeras. Sorot matanya berubah tajam menatap apa pun yang ditangkap oleh indera penglihatan. Tangannya mengepal. Amarah itu menghampiri begitu saja saat ia mendengar cerita Pak Min. Ada rasa ingin melindungi yang terselit dalam hati pria berparas tampan tersebut.
Bayangan wanita kedua yang sangat penting dalam hidupnya tergambar jelas sekarang. Bagaimana dulu wanita itu mengalami nasib yang sama dengan Kiya dan berusaha mengakhiri hidupnya. Beruntung, keluarga Kenzie bisa menangkap pelaku.
Kenzie tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Kiya selama ini. Mencari keadilan yang sengaja ditutupi.
Apa itu alasan kenapa dia ingin bunuh diri? Dan dia sangat marah padaku karena aku menyelamatkannya?
Kenzie menarik satu sudut bibirnya. Kini bayangan wajah Kiya yang selalu jutek tergambar jelas.
Apa aku salah jika aku mencari tahu lebih dalam lagi tentang kamu, Ky.
***
Warna jingga di langit menjadi jejak indah yang ditinggalkan oleh sang mentari sebagai tanda perpisahan. Esok tidak ada yang tahu apakah sang mentari akan menyapa pagi atau akan bersembunyi dibalik awan mendung yang menghalangi.
Pukul empat sore, para pekerja sudah kembali ke rumah masing-masing. Setelah mengawasi, Kenzie memilih untuk menikmati perpisahannya dengan sang mentari.
Seulas senyum getir terulas di sudut bibirnya saat menatap tempat di mana dulu ia bertemu dengan Kiya. Bagaimana dulu ia rela menunggu wanita itu menangis dan enggan beranjak tanpa alasan yang pasti. Padahal Kenzie sebelumnya tidak pernah mau terlibat urusan dengan wanita manapun jika tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Dering di ponsel menyadarkan Kenzie dari lamunannya.
Itu panggilan dari sang papa. Kenzie lekas menerima panggilan itu.
'Siapa wanita yang sedang diselidiki oleh Hamish, Kenzie? Apa wanita itu yang menjadi alasan kenapa kamu tidak mau ikut pulang bersamanya dan memilih mengawasi pembangunan itu sendiri?'
Radit langsung memberondong putranya dengan pertanyaan setelah menjawab salam dari Kenzie, setelah panggilan terhubung.
"Aku belum bisa cerita sekarang, Pa."
'Jangan main-main dengan wanita, Kenzie. Jangan pernah memberi harapan pada mereka jika kamu tidak serius. Kamu sudah dewasa dan kamu pasti paham. Jika ada wanita yang kamu sukai, datangi orang tuanya. Ingat, ibu dan kakakmu adalah seorang wanita. Kamu paham apa maksud papa, 'kan?'
"Iya, Pa. Aku paham. Aku akan jelaskan nanti."
'Papa tunggu kamu besok. Besok pagi, papa akan minta Hamish untuk menjemputmu!'
Radit bicara dengan tegas. Bukan tanpa alasan pria itu memberi peringatan pada putranya. Dia tidak mau sampai anaknya terlena dengan cinta sesaat yang berujung akan menyakiti atau tersakiti.
"Baik, Pa."
Kenzie menghela napas pasrah setelah sambungan telepon itu terputus. Ia tidak bisa membantah apa yang papanya minta. Kenzie juga paham kenapa papanya bersikap seperti itu.
Kenzie kembali menatap langit senja. Pria itu sedang bertanya pada diri sendiri
Apakah dia sudah yakin dengan hatinya atau perasaannya saat ini hanya sekadar rasa penasaran?
"Ah, Hamish sialan. Kenapa juga dia harus cerita sama Papa. Aku 'kan memintanya untuk merahasiakan ini dulu sampai aku benar-benar yakin." Kenzie menggerutu.
Padahal baru saja dia menelpon pria itu beberapa jam lalu. Belum juga dia mendapat kabar lagi dari pria itu.
Kenzie beranjak dari kenyamanan menikmati senja di tepi pantai. Sebentar lagi azan maghrib akan berkumandang dan ia harus segera membersihkan diri, bersiap ke mushola.
*
Baju koko dan sarung juga peci sudah menempel di tubuh dan kepala Kenzie. Kehadirannya di mushola dekat rumah Kiya cukup menyita perhatian para remaja mushola itu.
Siapa pria berparas tampan yang sedang duduk di barisan jamaah laki-laki itu?
Itulah kira-kira pertanyaan yang muncul di benak mereka. Para remaja putri juga terlihat saling berbisik penasaran. Yang ditatap hanya diam dan tidak menyadari jika dia sudah menjadi pusat perhatian.
"Nak Kenzie?"
Pak Min menyapa pria itu usai sholat maghrib. Mengajak ngobrol sembari menunggu azan isya. Kenzie bisa melihat jika para remaja di desa itu memang aktif dalam mengisi kegiatan masjid dengan mengaji.
Usai sholat isya, Kenzie tidak langsung kembali ke penginapannya. Dia sengaja mampir lebih dulu ke rumah Kiya. Kenzie baru tahu kalau rumah Pak Min ternyata hanya terhalang dua rumah dari rumah Kiya. Pria itu juga merupakan teman dekat almarhum ayah Kiya.
“Saya belum tahu berapa lama di Jakarta, Pak. Ada urusan yang harus saya selesaikan di sana. Semoga saja tidak akan lama. Saya minta bantuan Pak Min selama saya tidak ada di sana untuk mengawasi para pekerja.” Itulah jawaban Kenzie dari pria paruh baya yang sedang berjalan di sampingnya.
“Baik, Den. Nanti bapak akan kirim laporan setiap hari.”
“Terima kasih, Pak.”
Obrolan keduanya harus terhenti karena Pak Min lebih dulu sampai di rumahnya. Ia sempat menawarkan pada Kenzie untuk mampir dulu, tetapi pria itu menolak dengan halus. Bukan tidak ingin mampir, tetapi Kenzie harus segera ke rumah Kiya karena ia takut kemalaman.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu sembari menjawab salam dari Kenzie. Wanita berwajah teduh itu menanyakan maksud kedatangan Kenzie ke rumah mereka. Kenzie pun mengatakan jika dia teman Kiya dan ingin bicara sebentar dengan Kiya. Ratna pamit ke dalam dan meminta Kenzie untuk menunggu di kursi teras.
“Mau apa kamu kesini?” tanya Kiya, membuat Kenzie yang sedang menatap tanaman di depannya, menjadi tersentak kaget dan menoleh ke arah wanita itu.
“Hei.” Kenzie masih seperti biasa, menyapa dengan ramah. Ia bisa melihat wajah tidak suka wanita yang sedang berdiri di depannya.
“Tidak usah mengaku-ngaku kamu temanku. Kita bukan teman dan aku tidak mengenalmu,” ketus Kiya.
“Aku hanya ingin memberi tahu kalau besok aku akan pulang ke Jakarta.”
“Bukan urusanku!” balas Kiya masih dengan nada ketusnya.
“Aku hanya memberi tahu, takut kamu nanti kangen sama aku.”
“Apa dia yang membuatmu menolakku kembali dan tidak mau meneruskan hubungan kita, Ky?”
Kiya tersentak saat mendengar suara pria yang sangat dia kenal. Entah sejak kapan pria itu ada di sana. Kiya yang sangat kesal dengan Kenzie sampai tidak menyadari keberadaan pria itu yang sudah berdiri di halam rumahnya.
Kiya masuk ke dalam setelah Kenzie pergi dari rumahnya. Ia juga bahkan membiarkan satu pria lain salah paham dengan sikapnya. “Kenapa kamu bersikap seolah membenarkan dugaan Nak Amar, Nak?” Ibu mendekati putrinya dan mengusap tangan wanita itu. “Lebih baik seperti itu, Bu. Biar A Amar tidak berharap apa pun dari Kiya dan dia bisa mencari wanita lain.” Kiya mengusap sudut matanya yang sudah basah. “Kiya tidak mau dia berharap lagi sama Kiya, Bu.”“Tapi kamu akan membuat pria lain salah sangka dengan sikap kamu, Nak. Apalagi kalau sampai dia memiliki perasaan pada kamu, dia akan mengira kamu mempunyai perasaan yang sama.” Ibu menatap khawatir pada putrinya. Kiya tersenyum sembari menggeleng. “Nggak mungkin, Bu. Aku nggak kenal siapa dia dan aku sangat membencinya” sanggah Kiya dengan cepat. “Tapi kamu akan membuat Nak Amar semakin salah paham dan menilai buruk kamu, Nak.”“Lebih baik seperti itu, Bu. Kalau dengan membenciku bisa membuat dia cepat melupakan aku, biarkan saja. Itu ja
Kenzie menatap lurus ke depan, fokus mengemudi. Sedangkan pria yang duduk di sampingnya sudah terlelap. Rencana awal, Kenzie akan menyuruh Hamish untuk tidur dulu beberapa jam sebelum mereka kembali ke Jakarta. Namun, apa daya. Raditya sudah menelpon dan meminta mereka untuk cepat kembali ke Jakarta. Hamish bangun saat mobil yang dikendarai Kenzie berhenti di rest area untuk mengisi bahan bakar sekaligus beristirahat sebentar. Pria itu melipir ke sebuah minimarket untuk membeli minum. “Aku ingin ke toilet dulu,” imbuh Hamish setelah Kenzie kembali ke mobil. “Hem.” Kenzie menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil, mengatur posisi senyaman mungkin. Baru saja bersandar beberapa menit, ponsel miliknya berdering dan ia mendesah berat karena itu adalah panggilan dari sang papa. ‘Apa kalian sudah jalan pulang, Kenzie?’“Kami sedang istirahat sebentar di rest area, Pa.”‘Baiklah, kami akan menunggumu.’Radit mematikan sambungan teleponnya. Kening Kenzie mengernyit. “Kami? Papa sed
Kenzie sudah duduk bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga saat tamunya sudah pulang. “Kenapa Papa nggak bicarakan dulu sama Kenzie tentang Shanum yang akan menggantikan Sesil di kantor? Dia akan bekerja denganku, Pa.” Kenzie sedang melayangkan protes pada sang papa. “Bukankah kamu senang kalau Shanum yang akan menggantikan Sesil jadi sekretaris kamu?“ Radit memicing menatap putranya. “Nak, Shanum itu masih menyimpan perasaannya untukmu dari dulu. Bukankah selama ini kamu tidak mau terlibat hubungan dengan wanita lain karena kamu juga sedang menunggunya?” Amelia mengusap tangan putranya. “Awalnya Kenzie juga berpikir begitu, Ma. Tidak ada wanita yang bisa menggetarkan Kenzie selama ini dan Kenzie masih berharap bisa bertemu lagi dengan Shanum, tapi semuanya sudah berbeda sekarang.” “Apa ada wanita lain yang kamu sukai, Kenzie?” tanya sang papa. Sorot matanya berubah tegas saat menatap putranya. Kenzie mengangguk. “Tapi Kenzie masih ragu dengan perasaan Kenzie, Pa. Kenzie
Pagi ini Kenzie sudah mengenakan pakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Mama dan papanya menyapa saat mereka sarapan bersama. “Hari ini adalah hari pertama Shanum bekerja, Kenz. Bantu dia dan bersikap baiklah padanya. Jangan memberi harapan atau menunjukkan penolakan yang terlalu terlihat. Bicara pelan-pelan jika kamu sudah yakin dengan perasaanmu sendiri.” Radit memberikan nasihat pada putranya. “Baik, Pa. Kenzie akan berusaha menjaga perasaan Shanum.” Kenzie melanjutkan sarapannya. “Papa akan pergi ke Surabaya selama beberapa hari. Tolong bekerjalah dengan baik dan jangan tinggalkan perusahaan.”“Baik, Pa.” Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara ayah dan anak tersebut. Mereka kembali fokus pada sarapan masing-masing dan berangkat menuju kantor. “Mama akan ikut Papa?” tanya Kenzie pada sang mama saat wanita paruh baya itu mengantar putra dan suaminya ke depan. "Iya, Nak. Mama harus nemenin Papa. Sekalian menghadiri undangan salah satu kolega papa kamu di acara pernika
“Ibu, Ayah. Amar sudah bilang nggak perlu datang ke sini. Ini bukan salah Kiya, Bu, Yah.” Amar berdiri di ambang pintu. Napasnya tersengal, terlihat jika pria itu habis berlari. “ Bu, Kiya, Maafkan kedua orang tua saya.” Amar menatap tidak enak hati pada pemilik rumah. “Sebaiknya kamu bawa orang tua kamu pergi dari sini, Nak Amar. Tolong katakan pada mereka untuk berhenti menyalahkan Kiya dan jangan mengait-ngaitkan lagi dengan kehidupanmu saat ini. Bukankah pembicaraan kita saat itu sudah sangat jelas?” Ratna menatap Amar. “Maafkan saya, Bu,” ucap Amar. “Ayah, Ibu, Amar sudah jelaskan kepada kalian jika keputusan yang Amar ambil tidak ada hubungannya dengan Kiya. Ini murni keinginan Amar. Kiya meminta Amar untuk berhenti mengejar dan mengharapkan Kiya lagi, Bu. Amar sudah berusaha, tetapi ternyata Amar memang belum bisa melupakan Kiya. Bahkan, disaat Kiya sudah mendapatkan pengganti Amar pun masih menampik kenyataan itu.” “Kamu sudah gila, Amar. Apa kurangnya Zahra? Kamu bahkan
Tiga minggu sudah berlalu. Semua berjalan lancar. Pekerjaan di kantor sang papa berhasil Kenzie tangani seperti biasa. Namun, pria tampan itu belum bisa menata hatinya dengan benar. Hubungannya dengan Shanum juga berjalan layaknya atasan dan sekretaris saja. Ada sebuah perasaan yang berhasil menggelitik dan mengusik hati Kenzie. Rindu. Dia benar-benar rindu pada sosok wanita asing yang berhasil mengacak-ngacak hatinya. Berulang kali menepis dengan membalas pesan Shanum dan berkomunikasi dengan wanita itu seperti permintaan kedua orang tuanya, tetapi wajah Kiya semakin jelas berkelebatan dan menghantui setiap waktu. Seperti pagi itu, saat Shanum sedang menunggunya selesai menandatangani beberapa berkas penting. Pikiran Kenzie sedang berkelana dan tiba-tiba saja wajah Amar melintas dan semakin membuatnya merasa tidak tenang. Ia gelisah dan takut pria itu akan mendatangi Kiya. Dia belum mencari tahu siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Kiya. "Maaf, Pak. Apa ada masalah dengan
Kiya masih menunggu Amar melanjutkan ucapannya. Membiarkan suara angin yang menerpa pepohonan di sekitar mereka mendominasi suasana yang terasa canggung. “Apa pria itu adalah pilihan kamu, Ky? Apa kamu benar-benar mempunyai hubungan dengannya?” Amar bertanya dan ingin memastikan untuk terakhir kalinya. “Kenapa kamu bertanya hal yang akan menyakiti diri kamu sendiri, A? Bukannya sudah cukup tahu dan tidak perlu mencari tahu kejelasan hubunganku dengan siapapun? Bukti seperti apalagi yang kamu inginkan?” Kiya balik bertanya. Ia beranikan diri untuk menatap Amar berusaha mengendalikan diri. “Aku hanya ingin memastikan, Ky. Kalau kamu benar-benar mencintai pria itu, maka aku akan melepaskanmu dan menjalani kehidupanku yang baru. Jika dia benar-benar pilihanmu, sekeras apa pun aku memberi makan egoku, maka aku akan kalah. Aku bisa bersaing dengan puluhan laki-laki yang mencintai dan mengejarmu, tapi aku tidak akan mampu bersaing dengan satu pria yang kamu cintai.” Kalimat Amar terdenga
Obrolan kedua anak manusia itu masih berlanjut. "Aku sudah siap dengan semua resikonya, Kak. Boleh aku bertemu dengannya?" pinta Shanum dan mendapat gelengan dari Kenzie. "Dia tidak akan bisa menerima orang baru, Num. Aku tidak yakin dia mau bertemu dengan kamu." Shanum hanya menghela napas berat mendengar jawaban Kenzie. Dia tidak ingin memaksa pria itu lagi. "Sudah malam, Num. Sebaiknya kita kembali ke dalam." Kenzie berdiri dari duduknya dan berjalan lebih dulu, diikuti Shanum di belakangnya. Obrolan mereka memang sudah selesai, tetapi tidak dengan perasaan Shanum untuk Kenzie. Ia memutuskan untuk menunggu. Orang tua mereka tersenyum menyambut anak-anak mereka yang sudah datang dan ikut bergabung bersama mereka. Tidak ada yang membahas seputar hubungan antara Shanum dan Kenzie. Mereka seolah tahu dan tidak ingin membahas apa pun untuk menghargai perasaan anak-anak mereka. Mereka hanya membahas seputar pekerjaan Shanum di kantor. “Sejauh ini Shanum bekerja dengan sangat baik
Kiya tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Kenzie. Ia pikir, pria itu tidak akan pernah kembali lagi ke desa. Kiya merutuki dirinya sendiri yang tidak berani mengucapkan kata maaf pada pria itu. Padahal, rangkaian kata maaf sudah ia susun sebaik mungkin, nyatanya ia membisu saat di depan pria itu. “Kamu kenapa, Nak?” Ratna mengerutkan kening saat melihat Kiya yang langsung masuk ke dalam kamar. Kiya duduk di sisi tempat tidur dan mengatur napasnya. Beberapa kali ia menarik napas dan mengembuskan perlahan. “Argh!” Kiya frustasi sendiri dengan perasaannya. Ia paling tidak suka dengan rasa bersalah yang terus memenuhi benaknya. “Mau ke mana lagi, Nak?” tanya Ratna saat melihat Kiya kembali ke luar dari kamar.“Ada urusan yang harus Kiya selesaikan, Bu,” jawab Kiya. Ratna tidak bisa bertanya lagi karena Kiya sudah menghilang di balik pintu yang sudah kembali tertutup. Motor Kiya kembali terparkir di tempat biasa. Ia melirik mobil di sampingnya. seharusnya ia bisa langsung turun
Obrolan kedua anak manusia itu masih berlanjut. "Aku sudah siap dengan semua resikonya, Kak. Boleh aku bertemu dengannya?" pinta Shanum dan mendapat gelengan dari Kenzie. "Dia tidak akan bisa menerima orang baru, Num. Aku tidak yakin dia mau bertemu dengan kamu." Shanum hanya menghela napas berat mendengar jawaban Kenzie. Dia tidak ingin memaksa pria itu lagi. "Sudah malam, Num. Sebaiknya kita kembali ke dalam." Kenzie berdiri dari duduknya dan berjalan lebih dulu, diikuti Shanum di belakangnya. Obrolan mereka memang sudah selesai, tetapi tidak dengan perasaan Shanum untuk Kenzie. Ia memutuskan untuk menunggu. Orang tua mereka tersenyum menyambut anak-anak mereka yang sudah datang dan ikut bergabung bersama mereka. Tidak ada yang membahas seputar hubungan antara Shanum dan Kenzie. Mereka seolah tahu dan tidak ingin membahas apa pun untuk menghargai perasaan anak-anak mereka. Mereka hanya membahas seputar pekerjaan Shanum di kantor. “Sejauh ini Shanum bekerja dengan sangat baik
Kiya masih menunggu Amar melanjutkan ucapannya. Membiarkan suara angin yang menerpa pepohonan di sekitar mereka mendominasi suasana yang terasa canggung. “Apa pria itu adalah pilihan kamu, Ky? Apa kamu benar-benar mempunyai hubungan dengannya?” Amar bertanya dan ingin memastikan untuk terakhir kalinya. “Kenapa kamu bertanya hal yang akan menyakiti diri kamu sendiri, A? Bukannya sudah cukup tahu dan tidak perlu mencari tahu kejelasan hubunganku dengan siapapun? Bukti seperti apalagi yang kamu inginkan?” Kiya balik bertanya. Ia beranikan diri untuk menatap Amar berusaha mengendalikan diri. “Aku hanya ingin memastikan, Ky. Kalau kamu benar-benar mencintai pria itu, maka aku akan melepaskanmu dan menjalani kehidupanku yang baru. Jika dia benar-benar pilihanmu, sekeras apa pun aku memberi makan egoku, maka aku akan kalah. Aku bisa bersaing dengan puluhan laki-laki yang mencintai dan mengejarmu, tapi aku tidak akan mampu bersaing dengan satu pria yang kamu cintai.” Kalimat Amar terdenga
Tiga minggu sudah berlalu. Semua berjalan lancar. Pekerjaan di kantor sang papa berhasil Kenzie tangani seperti biasa. Namun, pria tampan itu belum bisa menata hatinya dengan benar. Hubungannya dengan Shanum juga berjalan layaknya atasan dan sekretaris saja. Ada sebuah perasaan yang berhasil menggelitik dan mengusik hati Kenzie. Rindu. Dia benar-benar rindu pada sosok wanita asing yang berhasil mengacak-ngacak hatinya. Berulang kali menepis dengan membalas pesan Shanum dan berkomunikasi dengan wanita itu seperti permintaan kedua orang tuanya, tetapi wajah Kiya semakin jelas berkelebatan dan menghantui setiap waktu. Seperti pagi itu, saat Shanum sedang menunggunya selesai menandatangani beberapa berkas penting. Pikiran Kenzie sedang berkelana dan tiba-tiba saja wajah Amar melintas dan semakin membuatnya merasa tidak tenang. Ia gelisah dan takut pria itu akan mendatangi Kiya. Dia belum mencari tahu siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Kiya. "Maaf, Pak. Apa ada masalah dengan
“Ibu, Ayah. Amar sudah bilang nggak perlu datang ke sini. Ini bukan salah Kiya, Bu, Yah.” Amar berdiri di ambang pintu. Napasnya tersengal, terlihat jika pria itu habis berlari. “ Bu, Kiya, Maafkan kedua orang tua saya.” Amar menatap tidak enak hati pada pemilik rumah. “Sebaiknya kamu bawa orang tua kamu pergi dari sini, Nak Amar. Tolong katakan pada mereka untuk berhenti menyalahkan Kiya dan jangan mengait-ngaitkan lagi dengan kehidupanmu saat ini. Bukankah pembicaraan kita saat itu sudah sangat jelas?” Ratna menatap Amar. “Maafkan saya, Bu,” ucap Amar. “Ayah, Ibu, Amar sudah jelaskan kepada kalian jika keputusan yang Amar ambil tidak ada hubungannya dengan Kiya. Ini murni keinginan Amar. Kiya meminta Amar untuk berhenti mengejar dan mengharapkan Kiya lagi, Bu. Amar sudah berusaha, tetapi ternyata Amar memang belum bisa melupakan Kiya. Bahkan, disaat Kiya sudah mendapatkan pengganti Amar pun masih menampik kenyataan itu.” “Kamu sudah gila, Amar. Apa kurangnya Zahra? Kamu bahkan
Pagi ini Kenzie sudah mengenakan pakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Mama dan papanya menyapa saat mereka sarapan bersama. “Hari ini adalah hari pertama Shanum bekerja, Kenz. Bantu dia dan bersikap baiklah padanya. Jangan memberi harapan atau menunjukkan penolakan yang terlalu terlihat. Bicara pelan-pelan jika kamu sudah yakin dengan perasaanmu sendiri.” Radit memberikan nasihat pada putranya. “Baik, Pa. Kenzie akan berusaha menjaga perasaan Shanum.” Kenzie melanjutkan sarapannya. “Papa akan pergi ke Surabaya selama beberapa hari. Tolong bekerjalah dengan baik dan jangan tinggalkan perusahaan.”“Baik, Pa.” Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara ayah dan anak tersebut. Mereka kembali fokus pada sarapan masing-masing dan berangkat menuju kantor. “Mama akan ikut Papa?” tanya Kenzie pada sang mama saat wanita paruh baya itu mengantar putra dan suaminya ke depan. "Iya, Nak. Mama harus nemenin Papa. Sekalian menghadiri undangan salah satu kolega papa kamu di acara pernika
Kenzie sudah duduk bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga saat tamunya sudah pulang. “Kenapa Papa nggak bicarakan dulu sama Kenzie tentang Shanum yang akan menggantikan Sesil di kantor? Dia akan bekerja denganku, Pa.” Kenzie sedang melayangkan protes pada sang papa. “Bukankah kamu senang kalau Shanum yang akan menggantikan Sesil jadi sekretaris kamu?“ Radit memicing menatap putranya. “Nak, Shanum itu masih menyimpan perasaannya untukmu dari dulu. Bukankah selama ini kamu tidak mau terlibat hubungan dengan wanita lain karena kamu juga sedang menunggunya?” Amelia mengusap tangan putranya. “Awalnya Kenzie juga berpikir begitu, Ma. Tidak ada wanita yang bisa menggetarkan Kenzie selama ini dan Kenzie masih berharap bisa bertemu lagi dengan Shanum, tapi semuanya sudah berbeda sekarang.” “Apa ada wanita lain yang kamu sukai, Kenzie?” tanya sang papa. Sorot matanya berubah tegas saat menatap putranya. Kenzie mengangguk. “Tapi Kenzie masih ragu dengan perasaan Kenzie, Pa. Kenzie
Kenzie menatap lurus ke depan, fokus mengemudi. Sedangkan pria yang duduk di sampingnya sudah terlelap. Rencana awal, Kenzie akan menyuruh Hamish untuk tidur dulu beberapa jam sebelum mereka kembali ke Jakarta. Namun, apa daya. Raditya sudah menelpon dan meminta mereka untuk cepat kembali ke Jakarta. Hamish bangun saat mobil yang dikendarai Kenzie berhenti di rest area untuk mengisi bahan bakar sekaligus beristirahat sebentar. Pria itu melipir ke sebuah minimarket untuk membeli minum. “Aku ingin ke toilet dulu,” imbuh Hamish setelah Kenzie kembali ke mobil. “Hem.” Kenzie menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil, mengatur posisi senyaman mungkin. Baru saja bersandar beberapa menit, ponsel miliknya berdering dan ia mendesah berat karena itu adalah panggilan dari sang papa. ‘Apa kalian sudah jalan pulang, Kenzie?’“Kami sedang istirahat sebentar di rest area, Pa.”‘Baiklah, kami akan menunggumu.’Radit mematikan sambungan teleponnya. Kening Kenzie mengernyit. “Kami? Papa sed
Kiya masuk ke dalam setelah Kenzie pergi dari rumahnya. Ia juga bahkan membiarkan satu pria lain salah paham dengan sikapnya. “Kenapa kamu bersikap seolah membenarkan dugaan Nak Amar, Nak?” Ibu mendekati putrinya dan mengusap tangan wanita itu. “Lebih baik seperti itu, Bu. Biar A Amar tidak berharap apa pun dari Kiya dan dia bisa mencari wanita lain.” Kiya mengusap sudut matanya yang sudah basah. “Kiya tidak mau dia berharap lagi sama Kiya, Bu.”“Tapi kamu akan membuat pria lain salah sangka dengan sikap kamu, Nak. Apalagi kalau sampai dia memiliki perasaan pada kamu, dia akan mengira kamu mempunyai perasaan yang sama.” Ibu menatap khawatir pada putrinya. Kiya tersenyum sembari menggeleng. “Nggak mungkin, Bu. Aku nggak kenal siapa dia dan aku sangat membencinya” sanggah Kiya dengan cepat. “Tapi kamu akan membuat Nak Amar semakin salah paham dan menilai buruk kamu, Nak.”“Lebih baik seperti itu, Bu. Kalau dengan membenciku bisa membuat dia cepat melupakan aku, biarkan saja. Itu ja