Sang mentari masih belum menampakkan sinarnya meskipun jam yang menempel di dinding rumah sederhana itu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi.
Suasana dingin masih menyelimuti desa. Gumpalan awan bertengger menutup langit biru. Seolah-olah sengaja menyembunyikan sang mentari.
Kiya duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya mengikuti setiap gerakan sang ibu yang sedang merapikan kamarnya.
"Biar Kiya saja, Bu," ucapnya dan mendapat senyum lembut dari sang ibu.
"Tidak apa. Ibu hari ini sedang tidak ada pesanan. Jadi, punya banyak waktu," jawab sang ibu.
Kiya tersenyum getir mendengar jawaban wanita paruh baya yang sedang membersihkan pecahan kaca meja rias miliknya.
Kiya tahu, ibunya tidak akan membiarkan ia menyentuh pecahan kaca itu. Bukan hanya takut akan melukai tangan atau anggota tubuh Kiya yang lain, tetapi sang ibu lebih takut jika putrinya sengaja akan melukai diri sendiri dengan pecahan kaca tersebut.
Bukan tanpa alasan kekhawatiran itu muncul. Kiya sudah sering melukai diri sendiri. Bahkan ia beberapa kali mencoba menghilangkan nyawanya sendiri. Namun, Tuhan masih menginginkan wanita itu untuk tetap hidup. Itu juga yang membuat wanita muda berusia 22 tahun itu benci dengan takdir hidupnya. Jilbab memang menutupi kepalanya dan pakaian syar'i selalu membungkus tubuhnya, tetapi ia tidak pernah menjalankan kewajibannya pada Tuhan.
Kejadian pahit yang menimpa, membuat Kiya kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Namun, ia tetap mengenakan pakaian muslimah itu untuk menutupi luka di tubuhnya.
“Hari ini mau pergi ke luar atau di rumah saja?” tanya sang ibu. Wanita paruh baya itu sudah selesai membersihkan kamar putrinya. Ia duduk di samping Kiya dan meraih tangan sang putri.
“Masih pendek, Bu!” protes Kiya saat sang ibu akan memotong kukunya. Ia menarik tangannya dan menyembunyikan di balik punggung.
“Tetapi ibu tidak suka. Itu akan kembali melukai tubuhmu, Nak,” balas sang ibu. Wanita paruh baya itu menatap lembut putrinya. Kiya bisa melihat kesedihan di balik tatapan tersebut.
Kiya mendengkus pasrah. Ia kemudian meletakkan tangannya di pangkuan sang ibu. Membuat wanita paruh baya itu tersenyum senang.
“Terima kasih sudah mau mendengarkan ibu,” ucap sang ibu dan mulai memotong kuku putrinya.
Sekeras apa pun Kiya, ia akan berpikir ulang untuk membantah dan menyakiti hati ibunya. Itu juga yang membuat wanita paruh baya tersebut hanya mengawasi Kiya dari balik pintu kamar saat kemarahan putrinya sedang kambuh.
Kiya pernah menyakiti sang ibu saat wanita paruh baya itu mencoba menenangkannya. Membuat Kiya menyesal dan semakin menyalahkan diri sendiri. Karena itu, sang ibu menjauhkan semua benda tajam dan berbahaya dari Kiya.
Setelah memotong kuku jari putrinya yang sudah sedikit panjang, Ratna mulai mengobati luka yang memenuhi leher dan lengan sang putri. Kiya meringis merasakan perih, tetapi tidak ada rintihan yang keluar dari mulut wanita berparas ayu tersebut.
“Setelah ini kamu istirahat saja, ya. Jangan ke mana-mana,” pinta sang ibu dan mendapat anggukan dari Kiya.
Suara salam di depan pintu menghentikan pergerakan Ratna. Wanita paruh baya itu merapikan potongan kuku yang ia kumpulkan dan membuangnya bersama pecahan kaca yang sudah terkumpul. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu depan sembari menjawab salam.
“Bu, Kiya ….” Wanita cantik berkaus biru tersebut menatap khawatir pada Ratna.
“Kiya ada di kamarnya. Kamu tolong temani dia, ya. Ibu mau ke luar sebentar,” pinta Ratna dan mendapat anggukan dari wanita cantik yang sedang berdiri di ambang pintu. “Ayo masuk,” ajak Ratna.
Kedua wanita itu masuk. Ratna masuk ke sisi lain ruangan, sedangkan wanita muda itu masuk ke kamar Kiya.
“Kiya,” panggilnya dan berhasil mengalihkan perhatian wanita yang sedang duduk sembari memperhatikan sebuah foto di tangannya.
“Hem.” Kiya melirik sebentar sahabatnya, kemudian kembali menatap foto di tangannya. “Aku baik-baik saja, El,” lanjutnya.
“Tetapi aku tidak percaya,” tukas Elena. Wanita itu naik ke atas tempat tidur dan duduk bersila menghadap Kiya. “Ini apa? Ini, ini, ini ….” Ia menunjuk beberapa luka baru di lengan dan leher sahabatnya.
Elena sudah paham apa yang terjadi dengan sahabatnya itu setiap kali hujan deras turun bersamaan dengan kilat dan petir yang saling bersahutan.
“Hanya luka kecil,” balas Kiya dengan santai. Ia kemudian meletakkan foto dalam pigura di tangannya ke atas meja di sisi tempat tidur. “Antar aku ke rumah Ayah dan Kak Andin, yuk,” ucapnya lagi.
“Serius?” Mata Elena membulat sempurna. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya tersebut. “Kapan?” tanyanya.
“Sekarang. Tapi aku izin sama Ibu dulu,” jawab Kiya dan mendapat anggukan dari Elena. Kiya beranjak dari duduknya dan menemui ibunya di kamar sebelah untuk meminta izin.
Elena adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengan Kiya. Bukan hal yang mudah meyakinkan Kiya jika dia memang tulus ingin berteman dengan wanita itu.
Setelah kejadian buruk yang menimpanya, Kiya benar-benar menutup diri dari orang lain. Ia hanya mau bicara dengan ibunya. Kiya benci setiap melihat orang-orang yang menatap iba dan jijik padanya. Namun, hati Kiya luluh oleh ketulusan Elena.
Mereka memang sudah berteman sejak SD. Namun, setelah lulu SMP, Elena melanjutkan sekolah di kampung halaman ibunya di Bandung. Kedua orang tua Elena berpisah saat ia duduk di kelas 3 SMP. Elena baru kembali ke desa kelahirannya setelah lulus SMA. Niatnya memang ingin bertemu dengan Kiya dan mengajak sahabatnya itu untuk bekerja di kota. Ia juga mempunyai maksud lain. Elena ingin menyampaikan sebuah rahasia yang selama ini disimpan seorang diri. Ia ingin Kiya menjadi orang pertama yang tahu tentang perasaannya pada seorang pria yang sudah sejak lama ia sukai.
Kiya tidak bisa menerima tawaran Elena. Seorang pemuda telah mengikat Kiya dengan sebuah lamaran. Mereka akan melangsungkan pernikahan setelah pria itu menyelesaikan kuliahnya di kota. Pernikahan itu telah disetujui oleh kedua keluarga. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
Elena ikut bahagia mendengar kabar tersebut meskipun tidak bisa bekerja bersama Kiya di kota. Elena memutuskan untuk tinggal beberapa bulan di sana sembari melepas rindu dengan sang ayah yang memilih untuk hidup sendiri setelah bercerai dengan ibunya. Namun, sebuah kejadian tak terduga menimpa Kiya dan membuat Elena urung untuk meninggalkan desa. Ia memilih menemani sahabatnya di sana.
“Biar aku aja yang bawa motornya. Kamu suka ngebut, aku takut.” Elena meringis, menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi.
“Biar aku saja. Gantian, nanti pulangnya kamu yang bawa. Jangan protes atau aku pergi sendiri saja,” tolak Kiya dan membuat bibir Elena mengerucut. “Cepat naik!” titah Kiya saat Elena hanya berdiri di samping motor.
“Iya, iya.” Elena segera naik ke atas motor. “ Kiya!” Elena memekik dan memukul punggung sahabatnya itu.
Kiya sudah duduk di tengah dua gundukan tanah yang bersebelahan. Nisan kayu bertuliskan nama dua orang yang ia sayangi tertancap di bagian atas tanah. Helaan napas berat terdengar dari wanita itu. Sudah sangat lama ia tidak pernah berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir ayah dan kakaknya. “Kenapa kalian bisa pergi dengan mudahnya. Sedangkan aku? Rasanya tidak adil saat aku selalu saja gagal melakukan itu. Kalian tahu, dunia ini sangat kejam. Entah kenapa keadilan tidak berpihak pada orang kecil seperti kita.” Kiya menatap sebuah gundukan tanah di samping kirinya. “Kak, apa kamu tahu? Rasanya begitu berat untuk tetap bertahan. Aku sekarang tahu, kenapa kamu dulu memilih untuk meninggalkan dunia ini. Tetapi, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama sepertimu? Rasanya sangat tidak adil. Kak.”Setetes air mata jatuh saat Kiya memejamkan mata. Ia beralih menatap gundukan tanah di sisi kanannya. “Yah, Ayah pernah berjanji akan menjaga aku dan Ibu setelah Kakak pergi, bukan? Tetap
Sementara itu, di tempat lain di desa yang sama. Kiya sedang membantu ibunya menyiapkan pesanan dadakan untuk makan siang dari salah satu pemilik homestay di sana. Ibu Kiya sendiri membuka usaha katering tersebut setelah kepergian suaminya, tepat tiga bulan setelah kepergian kakak perempuan Kiya.Setelah kepergian suami tercinta, Ratna harus tetap memutar otak untuk membiayai kebutuhan sehari-hari mereka dan juga biaya sekolah Kiya yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Tawaran dari salah seorang tetangga menjadi awal mula usahanya. Merambat dari informasi mulut ke mulut, usaha katering Ratna semakin berkembang. Dia rutin menyiapkan pesanan untuk wisatawan yang datang setiap minggu di beberapa penginapan yang ada di sana.Dari hasil katering itu, Ratna juga sudah mempersiapkan tabungan untuk biaya kuliah putri bungsunya. Namun, impian itu harus terkubur bersama dengan luka yang putrinya rasakan. Tidak putus asa, Ratna tetap berdoa. Semoga suatu saat Tuhan akan mendengarkan
“Sorry, sengaja,” balas pria itu tanpa dosa. Ia bahkan mengulas senyum yang begitu menyebalkan. “Aku mau mengembalikan ini,” sambungnya sambil menyodorkan uang pada Kiya.“Minggir!” teriak Kiya. Ia mengabaikan pria itu.“Temanmu bilang, bensin itu dibeli pakai uang milikmu. Aku tidak mau punya hutang. Jadi, ambil ini.” Pria itu masih belum menyerah.Kiya menatap marah pria di depannya. “Kembalikan saja pada temanku!”“Ck! Apa susahnya, sih, ambil saja,” decak pria itu.“Kenzie … lo ngapain di situ?” teriak teman Kenzie berhasil mengalihkan perhatian pria itu.“Sebentar,” balasnya sambil menoleh ke arah temannya.Kiya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menarik tuas gas motornya dan melajukan kendaraan roda dua tersebut.“Argh!” erang Kenzie saat stang motor Kiya menabrak lengannya. “Cewek si … astagfirullah al-adzim,” imbuhnya yang meralat kalimat yang belum ia lanjutkan. Ia tersenyum miring mantap motor milik Kiya yang menghilang di tikungan.Kiya yang sudah memarkirkan motornya
Ratna menatap wajah putrinya. Mata berhias bulu lentik itu masih terpejam. “Kiya.” Ratna segera menggenggam tangan putrinya saat melihat mata putrinya mengerjap. Dita menoleh menatap ibunya setelah mata itu terbuka lebar dan kesadarannya kembali sepenuhnya. “Kiya baik-baik saja, Bu. Kiya hanya kecapean,” imbuhnya berusaha meyakinkan sang ibu yang menatap khawatir padanya. Ratna hanya mengganggu bersamaan dengan air mata yang menetes. “Jangan buat ibu khawatir, Nak. Istirahatlah kalau kamu merasa badanmu sudah lelah.” Ratna mengusap kepala putrinya dan mendapat anggukan dai wanita itu. Ratna tahu jika putrinya sedang berdusta. Pun dengan Kiya yang tahu jika ibunya pasti tahu alasan sebenarnya kenapa dia bisa pingsan. Namun, keduanya memilih untuk tidak membahas apa pun. Ratna tidak ingin putrinya semakin sedih dan membuat Kiya kembali mengingat hal menyedihkan itu lagi. Karena itu dia memilih mengiyakan alasan putrinya dan menyimpannya dengan rapat. “Kamu istirahat saja, ya. Untuk b
Sebuah penginapan sudah dipesan oleh Hamish untuk mereka menginap beberapa hari di sana. Keduanya hanya istirahat sebentar karena mereka sudah ada janji dengan pemilik tanah yang akan mereka beli. Obrolan itu berlangsung cukup lama. Sampai kesepakatan tentang harga di dapat oleh kedua belah pihak.Hamish dan Kenzie kembali ke penginapan untuk beristirahat. Mereka juga mendapatkan informasi tentang tukang yang akan bertanggung jawab untuk pembangunan penginapan milik Kenzie. Dan yang membuat Hamish heran adalah, Kenzie ingin mengawasi sendiri pembangunan itu sampai selesai. Tentu saja hal itu semakin membuat pria super teliti itu merasa curiga. Kenzie biasa tidak akan turun tangan sendiri. Dia biasanya hanya akan terlibat di awal dan menerima laporan dari kantor saja. Tapi, kali ini berbeda. “Minta mereka untuk mengurus semuanya, Ham,” titah Kenzie pada asistennya dan mendapat anggukan dari pria itu. Ia menghampiri asistennya tersebut dan menepuk pundak Hamish. “Kau istirahat saja. A
Kenzie tidak menyerah begitu saja meskipun mendapat penolakan dari Kiya beberapa kali. Pria itu tetap menyapa Kiya. Dia akan menunggu wanita berparas ayu itu setiap hari saat mengantar makan siang ke tempatnya. “Bukankah kamu bisa membayar beberapa pekerja tambahan agar proyek pembangunan penginapan itu bisa selesai lebih cepat, Kenzie?” tanya sang papa lewat sambungan telepon. “Pekerja yang saat ini saja sudah cukup, Pa. Aku juga tidak ingin buru-buru.” Hanya jawaban itu yang Kenzie berikan pada sang papa. Bukan tanpa alasan Radit bertanya seperti itu pada putranya. Pasalnya Kenzie tidak bersikap seperti biasanya. Bertanya pada Hamish pun pria paruh baya itu tidak mendapat jawaban yang memuaskan. “Saya tidak menemukan bukti apa-apa yang bisa menjawab kecurigaan Anda, Tuan.” Hanya jawaban itu yang bisa Hamish berikan saat Radit meminta penjelasan kenapa putranya tidak ikut pulang bersamanya dan apakah ada yang hal lain yang sedang direncanakan oleh Kenzie tanpa sepengetahuannya
“Ah, Bapak bisa saja,” elak Kenzie.Pria paruh baya itu terkekeh pelan. “Jangan diambil hati kalau Kiya bersikap seperti itu, ya, Den. Kiya sebenarnya anak yang baik. Dia juga sangat ramah dan disayangi oleh orang-orang di desa ini. Terutama anak-anak. Dulu, Kiya sangat aktif di mushola dekat rumahnya. Dia selalu membantu mengajar ngaji di sana.”“Tapi kenapa sekarang saya tidak pernah lihat dia datang ke mushola, Pak? Padahal jarak mushola dan rumahnya sangat dekat,” tanya Kenzie. Kedua orang itu sedang duduk mengawasi para pekerja. Pak Min sendiri adalah pemborong yang Kenzie percaya untuk membangun penginapan tersebut. Pria paruh baya itu mulai bercerita sedikit tentang Kiya.Kenzie cukup terkejut mendengar cerita Pak Min. Ia tidak menyangka jika wanita dingin yang selama ini membuatnya penasaran itu memiliki sebuah masa lalu yang menyakitkan.“Apa sampai sekarang tidak ada yang tahu pelakunya, Pak?” tanya Kenzie setelah mendengar cerita Pak Min.“Tidak. Kami menemukan Kiya di pos
Kiya masuk ke dalam setelah Kenzie pergi dari rumahnya. Ia juga bahkan membiarkan satu pria lain salah paham dengan sikapnya. “Kenapa kamu bersikap seolah membenarkan dugaan Nak Amar, Nak?” Ibu mendekati putrinya dan mengusap tangan wanita itu. “Lebih baik seperti itu, Bu. Biar A Amar tidak berharap apa pun dari Kiya dan dia bisa mencari wanita lain.” Kiya mengusap sudut matanya yang sudah basah. “Kiya tidak mau dia berharap lagi sama Kiya, Bu.”“Tapi kamu akan membuat pria lain salah sangka dengan sikap kamu, Nak. Apalagi kalau sampai dia memiliki perasaan pada kamu, dia akan mengira kamu mempunyai perasaan yang sama.” Ibu menatap khawatir pada putrinya. Kiya tersenyum sembari menggeleng. “Nggak mungkin, Bu. Aku nggak kenal siapa dia dan aku sangat membencinya” sanggah Kiya dengan cepat. “Tapi kamu akan membuat Nak Amar semakin salah paham dan menilai buruk kamu, Nak.”“Lebih baik seperti itu, Bu. Kalau dengan membenciku bisa membuat dia cepat melupakan aku, biarkan saja. Itu ja
Kiya tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Kenzie. Ia pikir, pria itu tidak akan pernah kembali lagi ke desa. Kiya merutuki dirinya sendiri yang tidak berani mengucapkan kata maaf pada pria itu. Padahal, rangkaian kata maaf sudah ia susun sebaik mungkin, nyatanya ia membisu saat di depan pria itu. “Kamu kenapa, Nak?” Ratna mengerutkan kening saat melihat Kiya yang langsung masuk ke dalam kamar. Kiya duduk di sisi tempat tidur dan mengatur napasnya. Beberapa kali ia menarik napas dan mengembuskan perlahan. “Argh!” Kiya frustasi sendiri dengan perasaannya. Ia paling tidak suka dengan rasa bersalah yang terus memenuhi benaknya. “Mau ke mana lagi, Nak?” tanya Ratna saat melihat Kiya kembali ke luar dari kamar.“Ada urusan yang harus Kiya selesaikan, Bu,” jawab Kiya. Ratna tidak bisa bertanya lagi karena Kiya sudah menghilang di balik pintu yang sudah kembali tertutup. Motor Kiya kembali terparkir di tempat biasa. Ia melirik mobil di sampingnya. seharusnya ia bisa langsung turun
Obrolan kedua anak manusia itu masih berlanjut. "Aku sudah siap dengan semua resikonya, Kak. Boleh aku bertemu dengannya?" pinta Shanum dan mendapat gelengan dari Kenzie. "Dia tidak akan bisa menerima orang baru, Num. Aku tidak yakin dia mau bertemu dengan kamu." Shanum hanya menghela napas berat mendengar jawaban Kenzie. Dia tidak ingin memaksa pria itu lagi. "Sudah malam, Num. Sebaiknya kita kembali ke dalam." Kenzie berdiri dari duduknya dan berjalan lebih dulu, diikuti Shanum di belakangnya. Obrolan mereka memang sudah selesai, tetapi tidak dengan perasaan Shanum untuk Kenzie. Ia memutuskan untuk menunggu. Orang tua mereka tersenyum menyambut anak-anak mereka yang sudah datang dan ikut bergabung bersama mereka. Tidak ada yang membahas seputar hubungan antara Shanum dan Kenzie. Mereka seolah tahu dan tidak ingin membahas apa pun untuk menghargai perasaan anak-anak mereka. Mereka hanya membahas seputar pekerjaan Shanum di kantor. “Sejauh ini Shanum bekerja dengan sangat baik
Kiya masih menunggu Amar melanjutkan ucapannya. Membiarkan suara angin yang menerpa pepohonan di sekitar mereka mendominasi suasana yang terasa canggung. “Apa pria itu adalah pilihan kamu, Ky? Apa kamu benar-benar mempunyai hubungan dengannya?” Amar bertanya dan ingin memastikan untuk terakhir kalinya. “Kenapa kamu bertanya hal yang akan menyakiti diri kamu sendiri, A? Bukannya sudah cukup tahu dan tidak perlu mencari tahu kejelasan hubunganku dengan siapapun? Bukti seperti apalagi yang kamu inginkan?” Kiya balik bertanya. Ia beranikan diri untuk menatap Amar berusaha mengendalikan diri. “Aku hanya ingin memastikan, Ky. Kalau kamu benar-benar mencintai pria itu, maka aku akan melepaskanmu dan menjalani kehidupanku yang baru. Jika dia benar-benar pilihanmu, sekeras apa pun aku memberi makan egoku, maka aku akan kalah. Aku bisa bersaing dengan puluhan laki-laki yang mencintai dan mengejarmu, tapi aku tidak akan mampu bersaing dengan satu pria yang kamu cintai.” Kalimat Amar terdenga
Tiga minggu sudah berlalu. Semua berjalan lancar. Pekerjaan di kantor sang papa berhasil Kenzie tangani seperti biasa. Namun, pria tampan itu belum bisa menata hatinya dengan benar. Hubungannya dengan Shanum juga berjalan layaknya atasan dan sekretaris saja. Ada sebuah perasaan yang berhasil menggelitik dan mengusik hati Kenzie. Rindu. Dia benar-benar rindu pada sosok wanita asing yang berhasil mengacak-ngacak hatinya. Berulang kali menepis dengan membalas pesan Shanum dan berkomunikasi dengan wanita itu seperti permintaan kedua orang tuanya, tetapi wajah Kiya semakin jelas berkelebatan dan menghantui setiap waktu. Seperti pagi itu, saat Shanum sedang menunggunya selesai menandatangani beberapa berkas penting. Pikiran Kenzie sedang berkelana dan tiba-tiba saja wajah Amar melintas dan semakin membuatnya merasa tidak tenang. Ia gelisah dan takut pria itu akan mendatangi Kiya. Dia belum mencari tahu siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Kiya. "Maaf, Pak. Apa ada masalah dengan
“Ibu, Ayah. Amar sudah bilang nggak perlu datang ke sini. Ini bukan salah Kiya, Bu, Yah.” Amar berdiri di ambang pintu. Napasnya tersengal, terlihat jika pria itu habis berlari. “ Bu, Kiya, Maafkan kedua orang tua saya.” Amar menatap tidak enak hati pada pemilik rumah. “Sebaiknya kamu bawa orang tua kamu pergi dari sini, Nak Amar. Tolong katakan pada mereka untuk berhenti menyalahkan Kiya dan jangan mengait-ngaitkan lagi dengan kehidupanmu saat ini. Bukankah pembicaraan kita saat itu sudah sangat jelas?” Ratna menatap Amar. “Maafkan saya, Bu,” ucap Amar. “Ayah, Ibu, Amar sudah jelaskan kepada kalian jika keputusan yang Amar ambil tidak ada hubungannya dengan Kiya. Ini murni keinginan Amar. Kiya meminta Amar untuk berhenti mengejar dan mengharapkan Kiya lagi, Bu. Amar sudah berusaha, tetapi ternyata Amar memang belum bisa melupakan Kiya. Bahkan, disaat Kiya sudah mendapatkan pengganti Amar pun masih menampik kenyataan itu.” “Kamu sudah gila, Amar. Apa kurangnya Zahra? Kamu bahkan
Pagi ini Kenzie sudah mengenakan pakaian rapi dan bersiap untuk ke kantor. Mama dan papanya menyapa saat mereka sarapan bersama. “Hari ini adalah hari pertama Shanum bekerja, Kenz. Bantu dia dan bersikap baiklah padanya. Jangan memberi harapan atau menunjukkan penolakan yang terlalu terlihat. Bicara pelan-pelan jika kamu sudah yakin dengan perasaanmu sendiri.” Radit memberikan nasihat pada putranya. “Baik, Pa. Kenzie akan berusaha menjaga perasaan Shanum.” Kenzie melanjutkan sarapannya. “Papa akan pergi ke Surabaya selama beberapa hari. Tolong bekerjalah dengan baik dan jangan tinggalkan perusahaan.”“Baik, Pa.” Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan antara ayah dan anak tersebut. Mereka kembali fokus pada sarapan masing-masing dan berangkat menuju kantor. “Mama akan ikut Papa?” tanya Kenzie pada sang mama saat wanita paruh baya itu mengantar putra dan suaminya ke depan. "Iya, Nak. Mama harus nemenin Papa. Sekalian menghadiri undangan salah satu kolega papa kamu di acara pernika
Kenzie sudah duduk bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga saat tamunya sudah pulang. “Kenapa Papa nggak bicarakan dulu sama Kenzie tentang Shanum yang akan menggantikan Sesil di kantor? Dia akan bekerja denganku, Pa.” Kenzie sedang melayangkan protes pada sang papa. “Bukankah kamu senang kalau Shanum yang akan menggantikan Sesil jadi sekretaris kamu?“ Radit memicing menatap putranya. “Nak, Shanum itu masih menyimpan perasaannya untukmu dari dulu. Bukankah selama ini kamu tidak mau terlibat hubungan dengan wanita lain karena kamu juga sedang menunggunya?” Amelia mengusap tangan putranya. “Awalnya Kenzie juga berpikir begitu, Ma. Tidak ada wanita yang bisa menggetarkan Kenzie selama ini dan Kenzie masih berharap bisa bertemu lagi dengan Shanum, tapi semuanya sudah berbeda sekarang.” “Apa ada wanita lain yang kamu sukai, Kenzie?” tanya sang papa. Sorot matanya berubah tegas saat menatap putranya. Kenzie mengangguk. “Tapi Kenzie masih ragu dengan perasaan Kenzie, Pa. Kenzie
Kenzie menatap lurus ke depan, fokus mengemudi. Sedangkan pria yang duduk di sampingnya sudah terlelap. Rencana awal, Kenzie akan menyuruh Hamish untuk tidur dulu beberapa jam sebelum mereka kembali ke Jakarta. Namun, apa daya. Raditya sudah menelpon dan meminta mereka untuk cepat kembali ke Jakarta. Hamish bangun saat mobil yang dikendarai Kenzie berhenti di rest area untuk mengisi bahan bakar sekaligus beristirahat sebentar. Pria itu melipir ke sebuah minimarket untuk membeli minum. “Aku ingin ke toilet dulu,” imbuh Hamish setelah Kenzie kembali ke mobil. “Hem.” Kenzie menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil, mengatur posisi senyaman mungkin. Baru saja bersandar beberapa menit, ponsel miliknya berdering dan ia mendesah berat karena itu adalah panggilan dari sang papa. ‘Apa kalian sudah jalan pulang, Kenzie?’“Kami sedang istirahat sebentar di rest area, Pa.”‘Baiklah, kami akan menunggumu.’Radit mematikan sambungan teleponnya. Kening Kenzie mengernyit. “Kami? Papa sed
Kiya masuk ke dalam setelah Kenzie pergi dari rumahnya. Ia juga bahkan membiarkan satu pria lain salah paham dengan sikapnya. “Kenapa kamu bersikap seolah membenarkan dugaan Nak Amar, Nak?” Ibu mendekati putrinya dan mengusap tangan wanita itu. “Lebih baik seperti itu, Bu. Biar A Amar tidak berharap apa pun dari Kiya dan dia bisa mencari wanita lain.” Kiya mengusap sudut matanya yang sudah basah. “Kiya tidak mau dia berharap lagi sama Kiya, Bu.”“Tapi kamu akan membuat pria lain salah sangka dengan sikap kamu, Nak. Apalagi kalau sampai dia memiliki perasaan pada kamu, dia akan mengira kamu mempunyai perasaan yang sama.” Ibu menatap khawatir pada putrinya. Kiya tersenyum sembari menggeleng. “Nggak mungkin, Bu. Aku nggak kenal siapa dia dan aku sangat membencinya” sanggah Kiya dengan cepat. “Tapi kamu akan membuat Nak Amar semakin salah paham dan menilai buruk kamu, Nak.”“Lebih baik seperti itu, Bu. Kalau dengan membenciku bisa membuat dia cepat melupakan aku, biarkan saja. Itu ja