Tiba-tiba, hunusan pedang kasar pun diarahkan ke Lucius. “Ugh!” geram sang pemuda akibat serangan yang menekan.“Berani-beraninya kau membunuh komandan, Bocah!” hardik Kaizer.Tapi justru seringai yang diberikan Lucius. “Selamat tinggal, Pangeran,” ia pun memutar tubuh dan memberikan tendangan ke perut lawan.“Yang Mulia!” teriak prajurit lainnya.Dan tanpa keraguan Lucius menarik lengan Lucia. Mengejutkan gadis itu juga musuh-musuhnya.“Berhenti!” teriak sosok yang memakai zirah putih tadi.Tapi terlambat. Lucius juga Lucia, melompati tebing yang ternyata aliran sungai menantinya. Sungguh mereka tak bisa berkata-kata akibat keberanian keduanya.“Mereka kabur,” Kaizer berujar santai.“Terus? Apa yang harus kita katakan pada Raja? Pembunuh tangan kirinya kabur. Begitu?” sosok berzirah putih menatap jengkel lawan bicara. Laki-laki yang beradu pedang dengan Lucius tadi hanya diam. Sorot matanya, masih memandangi aliran sungai di bawah sana. Deras, namun ia yakin dua orang itu baik-bai
“Darkas?”Lucius hanya tersenyum menanggapi keheranan sang kakak. Wajar jika Evelin bingung. Jika Darkas kerajaan musuh, kenapa adik anehnya itu setuju menjalankan misi darinya? Padahal saat membahas Orion, ucapannya seolah-olah ingin menguliti mereka.“Jika mereka yang menghancurkan Tenebris, kenapa kam—”“Karena kita miskin,” potongnya tiba-tiba. “Tak peduli gelar apa yang kita miliki, itu tidak menolak kenyataan kalau sekarang kita cuma dua bersaudara miskin. Apa yang bisa diharapkan? Bahkan singgasana ayah untuk dipamerkan juga tidak ada. Jika bisa menjilati salah satu dari mereka dan mendapatkan uang, apa salahnya? Kita juga bisa mengadu domba lainnya.”Evelin terdiam. Ucapan Lucius memang mengejutkan tapi ada benarnya. Di posisi mereka, yang bisa dilakukan hanya menerima semua uluran di depan mata. Entah itu pekerjaan berdarah atau bantuan kemiskinan.Tapi saat mendengarnya langsung, aneh tetap merasuki hati. Mungkin Evelin sudah menerima kenyataan yang ada. Di mana sosoknya mer
“Serang!” teriak laki-laki itu.Dan puluhan prajurit Orion yang bersamanya pun langsung bergerak maju dengan beringas.“Sial, Luc!” gadis itu menoleh pada saudaranya. “Ayo kita bantai mereka,” seringai Lucius tiba-tiba.Sang pemuda pun maju sambil menarik salah satu pedang di pinggang. Evelin yang menyaksikan itu terperangah. Masih ragu dengan keputusan gila adiknya.“Dasar!” umpatnya.Tak ada pilihan, mereka diserang. Bertarung atau mati musuh-musuhnya pasti takkan memberikan ampunan. Tanpa keraguan pedang yang tak bersegel pun ditariknya. Sepertinya, keputusan akhir memang hanya mengamuk saja.Lucius sudah duluan melancarkan serangan brutal pada lawan. Pola bertarung serampangan miliknya, jelas mengusik Atlea. Ini pertama kali baginya melihat ksatria asing terlebih pembunuh bayaran bergerak seperti itu.Tak begitu menarik untuk ditiru namun berhasil membunuh lawan dalam sekali tebasan. Membuatnya yakin kalau rumor eksekutor berdarah tanah gelap pantas disandang dua orang di depannya
Hening.Semua berisik seolah ditelan penampakan di luar dugaan. Mata merah layaknya ukiran berlian abadi, merona di netra seorang Lucius.Semua pandangan yang menyaksikan, merasakan desiran aneh ketika menatapnya. Seakan tersihir agar mendekat pada sosoknya.Sayangnya raut berbeda ditampilkan Atlea. Bahkan jika dia terpengaruh, tapi fokusnya luar biasa. Segera ia alihkan pandangan sekilas dan melirik dingin musuhnya.“Jadi mata aneh itulah yang ada di balik penutup. Kau, apa kau seorang penyihir? Menilik kemampuanmu, aku tak yakin kau sekadar pembunuh bayaran biasa. Kau bangsawan bukan?” Perlahan Lucius mengangkat tangannya. Menyisir poni yang menutupi mata kanan sehingga semakin angkuh perawakan.Segaris lekukan tipis membentuk senyuman. Dan suaranya mendingin berbeda dengan sebelumnya. Lucia yang masih setia memandangi, merasakan hawa tak biasa. Seakan kematian berdiri tepat di depannya.“Luc—”“Siapa pun aku, apa pedulimu?” Lucius malah memotong ucapan Lucia. “Bahkan kalau pun k
Senyum merekah terpatri. Begitu indah rasanya, sangat pantas dipamerkan laki-laki bermata aquamarine itu. Rambut perak dengan poni menyentuh alis rapi membingkai wajah, ditambah ukiran rupa selayaknya dewa, sungguh menggoda untuk mencuci mata.Namun sorot mata sayu yang menajam itu mengernyitkan dahi penontonnya. Merasa penasaran akan jawaban karena tak kunjung dilontarkan.“Pangeran?”“Aku menginginkan utusan itu.” Behella Nel Markaz terdiam. “Aku menginginkan utusan itu, Paman. Bisakah kau bawakan padaku?” sorot matanya memancarkan ambisi.Sang wakil Raja hanya terkekeh menanggapi. Mendekat, namun langkahnya tertuju pada kuda di belakang sana. Di mana hewan itu sibuk mencari makan di dekat pinggiran sungai.“Apa yang kamu inginkan? Mereka cuma pembunuh pinggiran.”Siez berpaling, melirik Behella lewat sudut mata. Seringai melebar di bibirnya dan itu jelas tak terlihat di pandangan adik ayahnya.Lagi pula, cerita yang dilantunkan wakil raja Darkas menjadi hiburan tersendiri baginya.
Entah bagaimana bisa ksatria elit itu juga muncul di sana. Namun kehadirannya bersama Kaizer tidak mengganggu fokus sang singa. Selain tangannya terus menerus membalik buku-buku tentang kutukan di dunia.“Walau kudengar kau sudah kembali, tak kusangka kau akan ke sini. Apa yang sedang kau cari?” Raygan menyandarkan tubuhnya di salah satu lemari.“Buku kutukan.”“Untuk apa?” dahi berkerut menghiasi sosok Raygan.Helaan napas kasar tersembur dari mulut Atlea Bartodon. Segera ia taruh buku di tangan, di mana benda itu menuliskan hal sia-sia. Cuma tentang kutukan hewan di dalamnya, semakin menyulut emosi karena apa yang dicari tak berjumpa.Lambat laun ia lepaskan zirah di badan. Mengundang tatapan bingung dua kenalannya.“Kamu mau apa?” bingung Kaizer.Tapi tak ada suara yang pecah dari mulut Atlea. Tangannya terus bergerak sehingga sekarang ia pun bertelanjang dada.Akan tetapi, sang pangeran juga ksatria elit kerajaan Orion terbelalak melihatnya. Tak bisa berkata-kata setelah mendapati
“Luc!” panggilnya.Bahkan dua orang di seberang mereka ikut memamerkan tampang waspada.“Lucia!” hardik Lucius sekali lagi. Bagaimanapun ia jelas terkejut melihat kecepatan tangan kakaknya. Di mana sang gadis muda langsung menarik pedang yang masih diselimuti segel. Tersentak tentunya. Napas terengah langsung menghiasi diri Evelin. Seketika ditatapnya sosok di samping, terlebih tangan adiknya mencengkeram erat lengan ramping miliknya. “Mau apa kau?!”“A-aku ...” Evelin terbata-bata.Mungkin kesadarannya untuk tak mengamuk berhasil dikontrol, tapi ketika bertemu pandang dengan rupa di seberang, gemuruh di dada kembali terbakar. Dia benar-benar ingin membunuh sosok brengsek di pandangan.“Apa nona itu ada dendam padaku?” Siez bersuara.Lucius dan Behella meliriknya. Tiba-tiba pemuda dari Tenebris itu berdiri di hadapan sang kakak. Menghalangi jarak pandang Lucia untuk tak lagi melihat orang yang memicu kemarahan.“Siapa kau?”Tawa pelan pecah di mulut pangeran itu. Perlahan ia miringkan
Ah, sepertinya memang susah bersikap pura-pura. Jujur saja, Evelin sangat ingin mengatakan kebenaran pada pemuda di depannya. Meneriakkan fakta kalau dia bukanlah Lucia.Tapi, akankah semua baik-baik saja?Bisakah dia percaya nantinya?Mengingat sudut hati Evelin juga membisikkan ketakutan sekarang. Ia tidak bodoh, dirinya sadar kalau Lucius ini mengerikan.Walau sosok yang memiliki rupa Robert telah muncul, tapi tak terelakkan jika auranya juga dimiliki Lucius. Evelin memang takut padanya, sebab ia yakin kalau sosoknya bisa saja mati jika macam-macam dengan adik dunia baru di depan mata.Lain pula dengan Kaizer. Tak tahu kenapa, semenjak melihat lebam aneh di bahu Atlea, pikirannya mendadak kacau. Cenderung merasa bersalah karena tidak serius melawan dua sosok asing yang sudah membunuh komandan ksatria.Seharusnya hari itu ia ikut mengejar Lucius dan Lucia dengan melompat ke sungai. Tapi berandai-andai seperti apa pun semua sudah terlanjur terjadi.Sampai akhirnya fokusnya teralihkan
“Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi. “Kau takut?” Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya. “Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?” “Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.” Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.” “Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan o
Hempasan angin kasar menghantam mereka. Semua disebabkan oleh senjata Haina dan juga Lucius yang beradu. Rantai berduri ataupun pedang terselubung itu tampak seimbang. "Kau Tenebris. Kenapa menyerang?" Mendengar itu Haina menyentak rantainya. Memaksa Lucius mundur beberapa langkah. Walau sosoknya terluka namun tak meruntuhkan kekuatan Haina. Selain tampang angkuh yang sekarang melekat di muka. "Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membasmi kalian." Seketika mata Lucius menyipit tajam. Jawaban konyol barusan jelas bukanlah yang ia harapkan. Sementara di satu sisi, Hion sekarang sedang berhadapan dengan dua Darkas. "Hati-hati. Dia sepertinya menguasai beberapa aliran pedang." Tentu saja penjelasan Bharicgos menyentak pendengaran rekan-rekannya. "Sepertinya Ignatius memang terlahir luar biasa ya," Siez menggeleng pelan. Teringat kembali dengan sosok Lucius di seberang. Pemuda delapan belas tahun itu pun juga serupa. Dilihat dari keahlian berpedangnya bisa dipastikan ia memaka
Sorot mata tenang sosok berambut perak itu, terus saja memandangi pemuda bersurai coklat. Bahkan setelah pertemuan para utusan delapan kerajaan berakhir dengan ketegangan, Lucius tak terlihat menyesal. Ia bahkan sempat menatap remeh pada laki-laki di depan mata. Siez Nel Armarkaz. Penolongnya yang sudah membuat mereka bisa pergi dari sana. Andai Lucius tetap gigih memprovokasi Orion, mungkin saja beberapa orang yang menganggapnya ancaman akan segera membantainya. Terlihat dari tatapan tajam ratu Virgo kepadanya. "Darkas, apa kalian berkhianat?" pertanyaan Raja Aquarius saat Siez dan pamannya maju untuk menengahi keadaan memantik sebuah kenyataan. "Berkhianat?" Siez tersenyum hangat. "Dia rekan kami. Tak peduli siapa sosoknya, sudah tugas Darkas untuk melindungi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Bukankah begitu? Pangeran Kaizer." Tapi tak ada tanggapan dari laki-laki yang diajak bicara. Selain tatapan tajam memenuhi suasana. Tanpa kata Lucius berlalu dari sana dan diiri
Pertarungan antara Kaizer atau pun Eran Lybria dengan para pengganggu memang telah selesai. Tapi tidak dengan Fabina, pedang di tangan pun diarahkan pada leher Lucius yang sudah tak lagi menyerangnya. "Hei! Apa yang kau lakukan?" Dusk Teriel masih bingung dengan mereka. "Musuh memang sudah tak ada. Tapi kita tak bisa menutup kemungkinan akan Tenebris yang tersisa." Orang-orang di sana pun kembali terhenyak. Dan menatap tak percaya pada sosok yang berbicara. "Ada bukti?" Lucius menyeringai. "Tutup mulutmu, hanya karena matamu sekarang tidak merah lagi bukan berarti kau bisa menipuku. Kau sendiri bukan yang mengatakan akan perperangan itu." Dan tak disangka, sebuah hempasan kasar pun menghantam Fabina. Tubuhnya langsung menghantam tanah akibat ulah perempuan yang menatap murka. "Yang Mulia!" Agrios syok melihatnya. Karena bagaimanapun juga dirinya jelas tak mengira kalau sang ratu akan menyerang kerajaan rekan mereka. "Fabina!" Kaizer pun menghampirinya. "Kau baik-baik saja?!"
Kehadiran pria itu sontak membuat para utusan Libra murka. Tanpa ragu Tarbias dan juga Eran menarik pedang mereka. Berbeda dengan seseorang yang hanya bersikap waspada pada pembantai kerajaannya. Prizia D'Librias. Sosoknya justru tak terlihat marah. "Siapa kau?!" Dusk Teriel jelas terkejut melihat respons para utusan Libra. "Tel Avir Ignatius. Jadi, apa kalian juga ingin bertarung denganku?" Ignatius.Nama belakang itu menyentak Lucius. Ia menatap tak percaya pada laki-laki yang bisa dipastikan berasal dari kerajaannya. Namun rupa asing Tel Avir membuatnya waspada. Karena bagaimana pun tak semua Ignatius sejalan dengan prinsip Tenebris. Apa lagi orang asing di depan mata tak pernah tampak di kerajaan semasa hidupnya. "Berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini!" suara senjata yang beradu pun melukiskan suasana. Pedang sang komandan Eran Lybria, dan juga pisau panjang tamu tak diundang itu saling bertemu dengan percikan di mata bilah keduanya. Seolah tak peduli lagi pada
Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam. Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka. Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima. Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran. "Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti." Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya. "Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana. Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian. Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan. "Juj
Rambut pirang sepinggang itu bergerak indah saat disapu angin. Mata ambernya, sosok tenang nan berwibawa, dialah Ratu Ariena Vergiva yang baru saja turun dari kereta kuda. Kerajaan Aries. Dialah pemimpinnya sekaligus utusan yang hadir di sana. Di sisi wanita itu turut hadir seorang pemuda yang tampak pemalu. Surai blonde dengan mata emerald nan sesekali melirik sekitarnya. Walau dirinya lebih banyak menunduk di samping sang ratu. Dusk Teriel. Komandan utama kerajaan Aries itu sesekali melempar senyum pada sosok yang ditemuinya. Pria 40 tahun dengan rambut, netra, dan juga kulit serba coklat. Walau begitu ia cukup menawan, apa lagi fisik kokoh miliknya, akan sangat menyenangkan bagi para pemuja untuk bersandar di dadanya. "Selamat datang di tanah Hades, Yang Mulia Ratu, suatu kehormatan bagi keluarga kami bisa menyambut anda di sini," begitulah sambutan dari kepala keluarga Hadesia. "Terima kasih, Tuan. Seharusnya aku yang berterima kasih karena kalian sudah memberikan izin bagi
Haina Ver Ignatius. 23 tahun, sosok yang memiliki tato di bahu kanan dan juga paha itu menggerutu pelan. Memakai pakaiannya yang cukup menggoda. Belahan dada yang terpamer nyata, atau keindahan pahanya menjadi sensasi tersendiri untuk cuci mata. Hanya saja ada satu orang yang selalu mengganggap badannya tak lebih dari sekadar buah busuk di dekatnya. Siapa lagi kalau bukan sang kembaran, Hion Ver Ignatius. Entah kenapa dia selalu menatap dingin pada wanita. Terkadang tatapan muak seakan ingin mengenyahkan mereka dari pandangan juga ikut tampil di mukanya. Satu hal yang menjadi keuntungan bagi Haina agar tak ditendang dari sisinya, cuma ikatan darah sebagai saudara kembar. "Hion, aku masih belum mandi," lirihnya manja. Tapi sosok itu mengabaikan, langkahnya terus menapaki jalanan ke arah hutan. Membuat sang kembaran menyorot sinis dirinya. "Lihat saja, suatu saat aku pasti akan membunuhmu." "Jika kau benar-benar leluhur pertama, kenapa kau tidak mati?" pertanyaan yang dilontark
"Kau-" ucap Lucia akhirnya. Bahkan pelukan dilepas secara tergesa-gesa. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kurang ajar padaku!" Sosok itu tertawa remeh. Pandangannya menyapu Lucia, seakan ada yang salah dengan penampilannya. "Bukankah kita sudah bertemu? Di istana agung Tenebris." Gadis itu terkesiap. Pikirannya melalang buana pada ingatan sebelumnya. Anehnya ia mendadak lupa. Dan begitu tangan kokoh sang lelaki menyentuh pipinya, dirinya tersadar seketika. Akan pertemuan yang dimaksudkan. "K-kau-" "Bharicgos Vez Ignatius. Leluhurmu, sayang." Lucia pun memandang jijik padanya. Tak habis pikir dengan sifat orang di depan mata. "Kenapa kau bisa ada di sini?" "Memangnya kenapa?" "Bukankah kau-" kalimat tak lagi dilanjutkan. Ia menengadah karena gemuruh di atas sana kembali berteriak. Menyampaikan insting yang berbahaya akan suasana sekitarnya. Tiba-tiba Bharicgos menunjuk keningnya. "Trucar en absència (memanggil dalam ketiadaan)" selesai mengatakan itu, penutup mata Lu