“Anaknya temen mama ini tampan loh, Gin. Sudah mapan. Dia baik kok. Ramah.” Een mengoleskan selai stroberi pada selembar roti tawar. Ia dan putrinya makan pagi bersama.Gina baru saja pulang dari rumah sebelah. Rumahnya Nayya. Ia menginap di sana semalam. Susu yang dihisapnya jadi terasa hambar, setiap mendengar sang mama mengatakan hal tersebut. Rupanya Een belum menyerah untuk menjodohkan Gina dengan anak sahabatnya.“Gin, tanggepin dong. Masa mama dicuekin.” Wajah Gina tampak layu. Seperti bunga yang tak tersentuh air. “Kayaknya udah dua puluh kali Mama bahas itu deh.”“Tapi mama belum dapet jawabannya,” tuntut Een.“Ma, jawaban aku tetep NO!” “Gin ….”“Ma!”Wajah Een nelangsa. Nasihatnya tak bersambut baik. Ia menjatuhkan roti tawarnya ke piring. Tidak bergairah untuk menelan.“Ma, dimakan dong rotinya,” bujuk Gina. Ia merasa khawatir. Sang ibu sedang kebanjiran pesanan. Jadi harus makan banyak.Een mematung. Menatap roti berselai dalam piringnya tak berdaya. “Kamu enggak penge
“Kayaknya ada yang lupa sama janjinya.” Nayya melipat kedua tangan. Rafan baru pulang dari Bandung kemarin sore. Kini ia sibuk membersihkan lendir dari hidungnya. Dari semalam bersin-bersin terus. Suaranya juga sedikit serak. Sudah berkali-kali ia diomeli sama sang istri. Namun, tampaknya yang bisa dilakukannya hanya menghela napas pelan.Sudah beberapa kali Nayya berganti gaya. Mulai dari menopang dagu. Memonyongkan bibir. Cemberut. Dan pastinya mengomel. Akan tetapi, wanita berdagu terbelah itu belum mendengar sepotong kata pun dari bibir suaminya. Ia menjadi semakin kesal.“Sayang, aku kan lagi kurang fit. Bisa enggak, janji itu diundur dulu. Kamu kan istriku yang paling pengertian. Iya, kan?” rayunya.“Iih malah ngegodain. Jadi hari ini batal?” Nayya merajuk manja.Rafan mengangguk pelan. “Terpaksa, Sayang. Insyaa Allah kalau udah sehat lagi, kita jalan-jalan.“Lagian pulang dari Bandung bawa oleh-olehnya malah penyakit.” Untuk ke sekian kalinya Nayya mengatakan hal yang sama.“I
Sepanjang perjalanan dari Depok menuju Dufan, Nayya banyak termenung. Ia malu sekali atas kejadian tadi. Membuat Mas Rafannya menunggu lama. Padahal mereka tadi sudah rapi dan siap berangkat.“Kok diem?” Rafan yang mengemudikan Honda Jazz berwarna merah itu menoleh ke istrinya.Nayya menggeleng. “Istriku sepertinya bukan pendiam.” Rafan masih berusaha untuk menarik perhatian Nayya. Wanita itu malah menghadap ke jendela. “Sayang, kenapa?” tanya Rafan lagi.“Aku tuh malu tahu.” Nayya memainkan jari-jarinya yang lentik. Memainkan bibir dan mengembungkan kedua pipinya. Bagaimana tidak malu, harusnya bersama Rafan yang terjadi adalah hal romantis. Namun, gara-gara datangnya sembelit yang tidak diharapkan, kelakuannya malah jadi memalukan di hadapan pria yang dicintainya.“Malu?” Nayya mengangguk-anggukkan kepala. Ia menoleh ke Rafan. Menatap wajah tampannya. Kalau dilihat-lihat dari samping, hidung sang suami ternyata amat panjang. Rafan balik menoleh. Nayya salah tingkah. Ia buru-buru
Sudah lebih dari sepuluh menit Nayya menunggu Rafan. Sang suami sedang salat Dhuha di musala. Tak habis pikir, di manapun tempatnya Rafan tidak meninggalkan ibadah sunahnya. “Mas, sudah selesai?” Senyum merekah di bibir Nayya cukup menghipnotis Rafan sejenak. “Ya. Maaf kamu jadi harus nunggu lama.” Lelaki berambut nyaris botak itu duduk di samping istrinya. “Perutmu sudah enakan?”Nayya mengangguk. “Udah jauh lebih baik. Aku enggak habis pikir deh sama kamu, Mas. Biasanya orang-orang kalau berpergian bawaannya makanan sama baju ganti. Kamu malah bawa sarung, koko, peci sama Al-Qur’an.”“Buat persiapan kalau tiba waktunya salat. Kan kalau mau ketemu sama Allah harus berpenampilan sebaik mungkin. Enggak mungkin aku datang ke Allah dengan pakaian seperti ini, bukan?” Rafan tersenyum tulus.Perkataan Rafan barusan agaknya menyentuh bagian sensitif di dalam hati Nayya. Terkadang, ia merasa tak pantas menjadi pendamping Rafan. Ia seharusnya sadar, Rafan siapa dirinya siapa.“Kenapa? Kok m
“Kenapa lagi, Sayang? Aku perhatiin, sejak kita pulang dari dufan kamu kelihatan enggak happy. Apa aku bikin salah?” Rafan baru saja pulang dari masjid melaksanakan salat Magrib. Nayya tak bergeming. Ia duduk menekuk kedua lututnya. Bibirnya merengat-merengut tidak jelas. “Sayang.” Rafan mencoba merayu dengan memegang dagu terbelah milik sang pujaan hati. Namun, tidak biasanya sang istri malah menolaknya. Gawat kuadrat kalau sudah ngambek begini.Napas panjang lolos dari mulut Rafan. Kali ini, lelaki itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana. “Aku minta maaf kalau punya salah, ya.” Tetap tidak diacuhkan permintaan maafnya. Rafan tidak berhenti. Ia terus mencoba.“Kamu udah salat?”Nayya menggeleng. “Loh, magrib kan waktunya pendek. Salat dulu, Sayang. Biar hati tenang. Selesai salat, nanti kita ngobrol baik-baik. Dari hati ke hati.” Suara Rafan dibuat sehalus mungkin. Mengingat Nayya hanyalah tulang rusuk yang bengkok. Ia sedang berusaha meluruskannya. Dengan cara yang amat halu
“Bagaimana kalau kita mampir ke pasantren dulu aja? Soalnya sebelum ke tempat ummi, kita bakal ngelewatin ponpesnya kakakku.” Rafan ingin menarik tangan sang istri dan menggenggamnya. Namun, ia menyadari ada Gina yang sedang duduk di kursi belakang.Nayya menikmati setiap perjalanan yang dilaluinya. Mengamati pemandangan hijau yang telah banyak mencuri perhatiannya. Sudah banyak gunung-gunung dan sawah yang ia lihat. Panorama yang musykil ditemukan di daerah Depok sana. Tempat tinggalnya.“Terserah Mas Rafan aja.” Wanita pemilik dagu terbelah itu kembali asyik menatap luar jendela. Berburu orang-orang yang membawa alat tempurnya. Ada yang membawa cangkul, parang dan beberapa membawa keranjang. Hampir semua petani itu memakai caping gunung di kepala.Sementara itu, gadis yang mendapat julukan Perawan Depok terlelap di belakang. Perutnya kenyang. Tadi di Brebes, mereka mampir ke rumah makan.Gelombang dengkura
“Halo, apa kabar, Bos Muda?” Seorang pria berkulit gelap. Kira-kira usianya sekitaran setengah abad. Menyambangi mobil Rafan. “Alhamdulillah semakin baik dan bahagia. Pak Kardi apa kabar nih?” Rafan bertanya balik. Keduanya saling bertegur sapa. Seperti dua sahabat yang sewindu lamanya tidak bertemu. “Apa ini dua-duanya istri panjenengan?” bisik Kardi pada tuan mudanya. “Ah, Pak Kardi ini bisa aja. Makanya waktu acara walimahan saya di Depok dateng.” Rafan terpaksa mengungkit absennya sang sopir saat pernikahannya dengan Nayya. “Bos kan tahu sendiri, Bos tua ngasih perintah buat jagain pesantren.” Kardi sibuk mengangkat koper-koper yang ia ambil dari dalam bagasi. Nayya tersenyum ramah pada lelaki berkulit gelap, berambut agak ikal itu. Kardi pun membalasnya jauh lebih ramah. Saat melewati tempat Gina berdiri, senyum ramah Kardi mendadak punah. Ia memberi tatapan sedikit tidak suka pada wanita berkerudung abu-a
Gina memandangi layar HP-nya. Sudah lebih dari dua jam sang ibu belum juga membalas pesan yang ia kirimkan. Gina mengabarkan kalau dirinya sudah sampai. Sekarang ia sedang beristirahat di sebuah kamar tamu. Kamar yang menurutnya cukup luas kalau hanya ditinggali seorang diri.Gina merasa amat khawatir. “Mama keteteran enggak, ya, sama orderan?” Pikiran Gina melambung tinggi. Menembus langit-langit kamar. Sang ibu pasti sedang sangat sibuk. Ia menyingkirkan bantal yang menjadi sandaran kepala. Beranjak ke dekat jendela. Rupanya hari mulai petang. Ketika gadis itu hendak menutup jendela, di luar ada dua mata tajam yang memperhatikannya. Gina tersontak kaget. Kakinya sampai mundur dua langkah. Kardi sedang menatapnya tanpa jeda di luar kamarnya.Bersamaan dengan jantungnya yang berdegup kencang, suara ketukan pintu terdengar. Lelaki misterius dengan tatapan setajam pedang itu masih berdiri di luar. Jujur, sekarang Gina memiliki sedikit rasa takut. Awalnya ia cuek-cuek saja dengan tatapa
Matahari belum terlalu tinggi ketika Gina, Nayya dan Rafan tiba di pendopo berarsitektur Jawa klasik itu. Jantung Gina sudah berdetak tak menentu sejak pagi. Setiap langkah kaki serasa membawa beban yang semakin berat, bukan karena jalan setapak menuju pendopo yang panjang, tapi karena hari ini akan menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Ayahnya, Pak Kardi, menampar bahunya dengan lembut. “Tenang saja, Gina. Bapak yakin semua akan berjalan dengan lancar." Gina tipis tersenyum, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia tak bisa berhenti memikirkan perasaan yang mendesaknya sejak mengetahui siapa calon yang akan menemuinya hari ini, Furqon. Nama itu menggetarkan jantung, dan semakin mendekati pertemuan ini, rasa tegang melumuri perasaannya. Gina tak pernah menyangka kalau lelaki yang dicintainya itu juga mencintainya. Hari ini, ia seperti sedang memimpikan hal besar dan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Langkahnya sempat berhenti di depan pintu. Seketika jantungnya berdet
Gina dan Pak Kardi baru saja sampai di halaman pondok setelah perjalanan panjang dari Semarang. Matahari senja memancarkan hangat, mengingatkan keduanya dengan cahaya oranye yang lembut. Udara desa yang segar menyambut mereka setelah beberapa hari berkelana di kota besar, membawa kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata."Capek juga ya, Gin?" tanya Pak Kardi sambil melepaskan topinya dan mengibaskannya ke wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Ia tersenyum kecil meski jelas lelah.Gina mengangguk, matanya menerawang ke arah taman yang ada di halaman pondok. "Iya, Pak. Alhamdulillah perjalanan tadi lancar. Nggak seperti yang kita bayangkan," jawab Gina, suaranya lembut, menggambarkan kelegaan yang juga dirasakannya.Malam itu, setelah beristirahat panjang di kamar, Gina memutuskan untuk menemui Nayya. Mereka sudah lama bersahabat, dan bagi Gina, Nayya adalah seseorang yang selalu bisa mendengar cerita-ceritanya dengan penuh perhatian. Dengan perasa
Rafan berdiri dengan tenang di ambang pintu, memperhatikan kedua kakaknya, Ibrahim dan Furqon yang duduk di ruang tamu rumah orang tua mereka. Suasana terasa tegang, meski tak ada kata yang terucap. Di sudut ruangan, Abah dan Ummi duduk dengan wajah yang penuh pertimbangan. Pembicaraan tentang pernikahan Furqon dan Gina semakin memanas di dalam keluarga mereka, dan kali ini, Rafan berhasil membawa semua orang yang terlibat ke meja perundingan.Nayya memilih untuk tidak hadir. Ia merasa sudah terlalu lelah dengan segala ketegangan ini. Ia memilih menghabiskan waktu di pondok."Aku sudah mendengar semuanya." Abah memulai pembicaraan, suaranya berat dan penuh dengan perasaan. "Tentang niatmu yang ingin meminang Nak Gina."Furqon mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Abah. "Ya, Bah. Aku sudah memantapkan niat. Aku jatuh cinta padanya."Ibrahim, yang duduk di sebelah Furqon, menghela napas panjang. Dia adalah kakak tertua, yang selama ini selalu menjadi panutan. Namun, d
Nayya duduk diam di kursi penumpang, menatap kosong ke luar. Hujan turun dengan pelan, membentuk tetesan air yang perlahan mengalir di kaca jendela, seakan mengikuti derasnya perasaannya. Hatinya masih terasa berat setelah kejadian di rumah mertuanya tadi. Perasaan terluka dan kesal bercampur menjadi satu, membuat perjalanannya jadi tidak nyaman.Di sebelahnya, Rafan yang sejak tadi juga diam, sesekali melirik ke arah Nayya. Ia tahu betul bahwa Nayya terluka karena perlakuan Ummi tadi. Ucapan-ucapan keras yang terlontar dari mulut Ummi, meski niatnya untuk mengingatkan, telah melukai hati Nayya."Aku minta maaf atas perkataan Ummi."Nayya masih diam. Bukan karena ia tidak mendengar, tapi karena ada gumpalan emosi yang masih tersulut di hatinya. Sejak kejadian di rumah Ummi tadi, ucapan-ucapan itu terus terngiang di pikiran, seolah menambah beban yang sudah ia pikul. Akan tetapi, ia juga tahu bahwa Rafan ada di tengah-tengah semua ini, terjepit antara dua cinta: cinta seorang anak pada
"Abah," Rafan memulai dengan hati-hati, "Kami datang untuk membicarakan sesuatu yang penting. Ini tentang Mas Furqon."Abah mengangkat kelopak mata, tapi tetap tenang. "Apa yang terjadi dengan Furqon?"Rafan menelan ludah, lalu menatap ke Nayya. Furqon ingin meminang Gina, Abah. Dia berharap Abah bisa merestui niatnya."Sejenak suasana menjadi hening. Abah menatap Rafan dan Nayya bergantian, seolah mencoba mencari jawaban di balik wajah mereka. Dia meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kayu yang sudah mulai usang."Maksudmu, Nak Gina sahabat Nak Nayya?" "Betul, Abah." Rafan menjawab.“Furqon anak yang baik dan penurut. Aku tahu dia serius. Tapi kau harus tahu, Rafan, bahwa menikah bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, bukan hanya cinta."Nayya yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara, "Abah, kami paham. Mas Furqon bukan hanya mencintai Gina, tapi dia juga siap untuk bertanggung jawab dan membahagiakannya. Kami y
Nayya menghela napas panjang. Meskipun sudah sering ke rumah mertua, tetap ada rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Ia ingin semua berjalan lancar, tetapi perasaan itu tak mudah diabaikan. Terlebih lagi, hubungan dengan mertua, khususnya Ummi, masih terasa kaku. Rafan menggenggam erat tangan Nayya. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan. Nayya tersenyum lemah, menyembunyikan kegelisahan yang bergemuruh di hatinya."Assalamualaikum, Ummi," ucap Nayya, mencoba mencairkan suasana.Ummi menjawab salamnya dengan nada datar, tanpa senyuman. "Waalaikumussalam."Rafan, yang menyadari perubahan sikap ibunya, berusaha bersikap biasa. "Ummi, apa kabar?" tanyanya sambil mendekat untuk mencium tangan ibunya."Baik," jawab Ummi singkat, lalu menoleh ke arah Nayya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.Ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah, suasana terasa berbeda dari biasanya. Udara yang biasanya hangat, kini terasa berat. Ummi yang biasanya menyambut putra
Seperti biasa menjelang tidur, sepasang suami istri itu deep talk terlebih dahulu, bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama satu hari ini. "Kenapa melamun, Sayang?" tanya Rafan menarik selimut. Di sampingnya, duduk sang istri yang sedang menopang dagu menggunakan tangan sambil menggembungkan pipi. "Gina minta pulang ke Depok, Mas." "Tapi aku masih ada beberapa jadwal mengisi pengajian di beberapa tempat. Apa nggak sebaiknya nunggu dulu, biar bisa pulang sama-sama?""Maunya aku juga gitu.""Sebentar, aku mau cek jadwal dulu," ucap Rafan yang hendak mengambil buku agenda hitamnya. "Aku udah cek. Masih dua minggu lagi, Mas." Rafan tidak tahu ternyata sang istri begitu paham dengan jadwal kegiatannya. "Terus apa rencanamu?" Nayya mengedikkan bahu. "Sebenarnya aku juga ingin pulang. Kangen sama Ibu dan Ayah." Rafan termenung. Ia menyadari, sudah lama mereka tidak pulang ke Depok. "Kalau begitu, aku akan coba diskusikan terlebih dahulu dengan pihak penyelenggara dan pon
"Sorry, Nay. Pikiran gue lagi kalut. Gue nggak bermaksud bikin lo sedih." Gina jelas merasa bersalah. Kalimat yang diucapkannya tadi bisa saja menjadi bumerang. Ia setuju dengan Nayya dan menganggap dirinya keliru.Nayya berjalan selangkah demi selangkah mendekat kepada sang sahabat. Tatap memelas yang ditujukan untuk sang sahabat sedikit mencairkan hati Gina. Di bawah langit yang cukup cerah dengan gumpalan awan indah mereka saling berpelukan. Mata-mata telanjang para santri yang tidak sengaja melihat adegan itu langsung tertunduk. Tidak ada yang kepo dengan urusan orang lain. Terlebih orang itu merupakan orang terdekat Ustaz."Lo ngerasa kita itu lucu nggak, sih, Gin?"Masih dengan pelukan yang tidak seerat tadi, Gina menjawab iya. Perlahan, dilepaskan tangan sang sahabat dari pinggang. "Lebih ke aneh kali, ya," sangkal Gina kemudian."Yups. Kita sama-sama aneh dan lucu." Nayya meringis. Seketika tangan jahil sang sahabat mendorong tubuhnya yang sedang lengah. "Aish, gila!" prote
Rafan tentu saja senang mendengarnya. Bukankah baru kemarin istrinya itu bilang kalau Gina menaruh hati pada Furqon. Tidak. Bukan sekarang waktunya. Rafan akan memendamnya sendiri dulu. Hingga suasana hati Ibrahim membaik. Baru nanti ia akan bicara kepada istrinya lagi. Kalau sebenarnya, Furqon jatuh hati kepada Gina. "Aku khawatir kalau Mas Aim tahu malah akan bertambah marah," ujar Furqon."Tidak apa-apa. Kita bisa menunggu Mas Aim membaik suasana hatinya. Aku dukung Mas Furqon. Gina adalah sahabat Nayya dari kecil. Insya Allah Gina wanita yang baik." Rafan tersenyum.Alih-alih merasa senang, raut muka Furqon justru terlihat sedih. "Kau dengar sendiri Mas Aim menyuruhku mencari wanita yang sekufu.""Mintalah petunjuk sama Allah, Mas. Dengan hati penuh ikhlas seperti yang dikatakan guru kita. Jangan lupa pula meminta pendapat kepada Ummi dan Abah."Di lain tempat, Nayya melamunkan tentang perasaan Gina terhadap Furqon. Bukan hal mustahil kalau orang biasa bisa menikah dengan seora