Sudah ada Dave di bawah saat Delotta turun. Lelaki itu mengenakan pakaian rapi layaknya eksekutif muda. Dave langsung berdiri saat melihatnya menuruni tangga. Hari ini ada jadwal fitting baju pengantin. Tidak seperti layaknya calon pengantin pada umumnya Delotta tampak tidak antusias melakukan beberapa rangkaian persiapan pra nikah. Khususnya fitting baju. "Tante Luna dan Ina udah berangkat duluan," beritahu Dave saat Delotta berada di depannya. Gadis itu hanya mengangguk. Dia melirik pergelangan tangan. "Mau berangkat sekarang?" "Kamu udah makan?" Dave malah bertanya lain. "Udah." "Aku belum."Delotta menghela napas. Rasanya malas harus berlama-lama dengan Dave, tapi tidak mungkin membiarkan lelaki itu kelaparan. "Bi Sari masak enggak?" tanya lelaki itu seraya menengok ke arah dapur. "Bi Sari nggak di rumah. Ada keperluan. Aku tadi juga pesen gofood. Mau pesen apa gimana?" Delotta sudah siap-siap mengeluarkan ponsel untuk membuka aplikasi. "Uhm, kamu masakin aja gimana biar
"Apa kita perlu membawa Otta ke rumah sakit?" tanya Luna terlihat panik melihat kondisi Delotta yang lemah. Saat Delotta pingsan suasana butik agak gaduh. Beberapa menekin berjatuhan mengenai menekin lain. Dave yang tidak menduga Delotta akan jatuh terkesiap dan langsung bergerak cepat menangkap gadis itu. Namun, tindakannya kurang cepat sehingga Delotta jatuh menindih menekin. Beruntung tidak ada kerusakan akibat insiden itu. "Ya, Tante. Kita bawa Otta ke rumah sakit saja. Tante sudah menghubungi Om Ricko?""Udah. Katanya dia akan segera menyusul."Delotta yang baru saja meminum air yang Dave berikan menggeleng. "Aku nggak apa-apa kok. Ini cuma pusing.""Kamu belum makan?" tanya Luna menyentuh tangan Delotta yang terasa dingin. "Aku udah makan. Ini akan membaik kalau dibawa istirahat. Biasanya begitu."Luna mengangguk. "Mungkin sebaiknya fittingnya kita tunda.""Nggak, Tante. Tanggung. Aku cuma perlu memakai gaun yang udah jadi kan?" tanya Delotta menatap Luna, lalu Lalita. "Iya
Daniel berusaha tetap tenang meskipun hatinya tidak karuan bentuknya. Rasa cemas terus bergelayut sejak tiba-tiba melihat Delotta jatuh pingsan di salah satu gerai di mal. Dia terpaksa meminta wanita yang bersamanya untuk pulang sendiri, sementara dirinya dan Tya langsung melarikan Delotta ke rumah sakit terdekat. Saat ini Delotta masih ada di ruang tindakan. Beberapa kali Daniel menghela napas panjang. Rasa bersalahnya menyergap seketika melihat kondisi gadis yang masih sangat dia cintai itu. "Otta sakit apa, Ty?" tanya Daniel membuka suara. Tya di sebelahnya menoleh malas. Rasa kesalnya bercokol pada pria matang itu. "Otta nggak apa-apa. Gara-gara ketemu Om tuh, dia jadi begitu," sahutnya ketus. Beberapa saat lalu dia baru saja menghubungi Dave, memberi tahu keadaan Delotta. "Ya, aku banyak salah sama dia." "Bagus deh kalau Om sadar. Sumpah ya, Om. Kalau ini bukan rumah sakit dan kalau nggak ingat Om usianya jauh lebih tua, Om udah aku maki-maki. Gatel banget nih mulut." Dani
Delotta melengos ketika Dave melihatnya. Saat ini dirinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ada rasa bersalah yang menyusup di hatinya kepada lelaki itu. Tapi siapa yang menginginkan semua ini? Pertunangan dan pernikahan itu tidak pernah Delotta inginkan. "Ta?" Suara Dave bergetar memanggil. Delotta bisa merasakan lelaki itu menarik sebuah kursi dan duduk di sisi bed-nya. Ada desah napas kencang yang terdengar lelah. "Gimana keadaan kamu?" tanya Dave pelan. Sebenarnya pertanyaan itu berlaku juga untuk dirinya sendiri. Gimana keadaan Dave? Jelas hancur dan kecewa. "Baik," sahut Delotta masih memalingkan muka. Kembali Dave menghela napas panjang. Tangannya lantas terjulur dan meraih tangan Delotta, tapi gadis itu secara refleks menariknya. "Kamu bisa pulang, Dave," ucap Delotta lagi. Tatapannya terasa jauh. Dia tidak ingin melihat wajah Dave lalu disalahkan. Tidak mau."Aku belum bisa pergi sebelum Om Ricko dan Tante Luna datang." Papa. Delotta memejamkan mata. Dia berharap
Sandra terperanjat dan melangkah cepat keluar dari balik meja melihat Ricko melintas dan langsung mendobrak pintu ruang kerja Daniel. "Pak Ricko, tunggu, Pak!" seru sekretaris itu mengejar langkah Ricko. "Pak Daniel sedang ada tamu." Tidak peduli seruan sekretaris itu, Ricko merangsek dan memaksa masuk. Daniel sedang berjabat tangan dengan tamunya ketika Ricko menyelinap masuk. Dia dan tamunya menoleh seketika saat mendengar kegaduhan itu. Ada tatap terkejut di mata birunya melihat kedatangan Ricko. Namun, lantaran tamu itu masih ada di hadapannya sebisa mungkin Daniel bersikap tenang. Beruntung pertemuan itu telah berakhir. Dia mengantar tamunya keluar dan meminta Sandra lanjut mengantar sampai lobi. Baru kemudian menghadapi Ricko yang wajahnya tampak merah padam. "Bisa bisanya kamu masih berbisnis dengan tenang seperti ini?" desis Ricko dengan tatapan menghujam. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya menonjol. Lalu satu pukulan dengan cepat melayang mengenai tepat ke waj
Ina terkejut ketika membuka pintu dan langsung menemukan sosok Daniel tersenyum padanya. Refleks dia menoleh ke belakang dengan wajah panik. "Pak Ricko ada di rumah, Pak," ujar asisten rumah tangga itu. "Aku tau, Ina." Masih dengan senyum lelaki bermata biru itu menyelinap masuk. Mengabaikan wajah cemas Ina. "Kamu nggak akan dimarahi hanya karena membuka pintu, Ina. Jadi santai saja."Ina hanya meringis dan mengikuti langkah Daniel memasuki ruang tengah. Bukan hanya Ina, Luna yang pertama melihat Daniel masuk pun terkejut. Dia langsung menoleh kepada suaminya yang belum menyadari kedatangan lelaki itu. "Selamat malam," sapa Daniel, membuat Ricko yang tengah sibuk dengan tabletnya mengangkat wajah. Alis tebal Ricko kontan menukik tajam. "Beraninya kamu datang ke rumahku," desis Ricko. Rahangnya mengetat, hingga bibirnya membentuk garis lurus dan rapat. "Aku datang menjemput Otta. Kami akan makan malam." Serta-merta Ricko berdiri dengan emosi yang menggelegak. "Mimpi kamu! Kamu p
"Aku akan menikahi Delotta secepatnya." Daniel dengan lantang memberi pengumuman itu di depan seluruh keluarganya yang sengaja dia kumpulkan. Wajah tegang langsung menghiasi orang-orang yang ada di sana. Khususnya Margaretha dan Regio—ayah Dave. Dave sendiri sudah memasang wajah keras sejak kedatangan Daniel ke rumah orang tuanya. Dia sudah tahu tujuan pamannya itu. Apalagi kalau bukan untuk menghancurkan semua rencananya? "Bagaimana bisa?!" Margaretha yang pertama bereaksi. Dua tangannya meremas lengan sofa yang dia duduki. Daniel melirik Dave, Marlin yang menunduk, dan juga Regio yang memasang wajah tidak habis mengerti. "Delotta hamil anakku." Pupil mata Margaretha membesar seketika begitu pun Regio. Marlin bahkan sampai mengangkat wajah. Sementara Prisca dengan santai memakan cemilan sambil menonton pertunjukan itu. "Kamu!" Margaretha mengacungkan tongkatnya. Dadanya naik turun menahan emosi yang siap tumpah. "Kapan kamu tobat menjadi bajingan, Anak Jagland?!" Mata tuanya be
Dua sahabat seusia itu saling tatap dalam jarak beberapa meter. Rahang keduanya sama-sama mengetat. Alis salah satu dari mereka menukik, sementara yang lain terangkat. Keduanya berdiri di dekat kolam renang di teras lantai dua yang memanjang. Daniel Jagland dan Ricko Armisen. Teman satu angkatan yang dulu terkenal akrab itu saling berhadapan. Ada api yang berkobar dari mata Ricko, sangat kontras dengan iris setenang lautan milik Daniel. Yang membuat Ricko serasa ingin mencekik temannya itu hanya ada satu alasan. Yaitu keinginan Daniel yang bersikeras menikahi Delotta. "Meskipun Otta gagal menikah dengan Dave, bukan berarti kamu bisa menikahi dia," ucap Ricko tak terbantahkan. Sorot matanya tajam menghujam. Daniel berdecak bosan. "Mau sampai kapan kamu bersikap egois begini? Apa peringatanku kemarin belum cukup?""Apa orang-orang sepertimu memang sering menjatuhkan lawan dengan cara licik begitu?" "Kamu tahu pasti aku tidak pernah menganggapmu sebagai lawan. Aku berniat mengeratka