Delotta tidak tahu kapan Daniel sampai rumah. Saat tiba-tiba terjaga, waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Pekerjaan yang hectic membuat niatnya menunggu Daniel pulang malah berakhir dengan ketiduran. "Kenapa aku ada di tempat tidur?" gumamnya saat menemukan dirinya berbaring nyaman di atas ranjang. Delotta masih ingat dia tengah menunggu Daniel di family room sambil menonton acara TV lokal. Bergegas dia turun dari ranjang dan bergerak keluar kamar. Kaki telanjangnya melangkah pelan di atas lantai yang terasa dingin. Dia melihat Pintu serupa dinding akses ke kamar Daniel tertutup rapat. Dia mendekat, lalu tangannya terangkat menekan sebuah tombol yang ada di sana. Dan dengan otomatis pintu itu terbuka. Delotta menyelinap masuk melewati satu set sofa lalu berbelok menuruni tangga landai. Dari sini dia bisa menemukan Daniel yang masih duduk bersandar pada headboard ranjang. Di pangkuannya terdapat sebuah laptop yang masih menyala. Bahkan sampai rumah pun dia masih memegang pekerja
Daniel menelan ludah kepayahan. Hasrat ingin menyentuh Delotta begitu besar, tapi lagi-lagi akal sehatnya menolak. Punggung tangan yang sedari tadi menelusuri kulit lengan Delotta menggantung di udara. Perlu usaha yang sangat keras untuk mengontrol dirinya dan dia merasa tak sanggup lagi saat melihat mata sayu Delotta yang dipenuhi kabut gairah. "Om?" panggil Delotta, menyaksikan Daniel malah mematung selama beberapa saat. "Kenapa?" Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Daniel menjatuhkan wajah ke ceruk leher Delotta. Menghirup dalam-dalam aroma vanila di sana. Memabukkan, tapi dia harus menahan. "Om ragu lagi melakukannya?" tanya Delotta sambil mengusap punggung lelaki itu. "Kamu anak Ricko," desah Daniel. Lantas beranjak dari atas Delotta dan berguling di sisi gadis itu. Keduanya lantas berbaring miring saling berhadapan. "Aku nggak bisa melakukan ini. Setiap kali ingin, ada yang berbisik padaku, Otta. Kamu jahat, kamu menodai gadis yang saat kecil pernah kamu timang. Lantas ak
Tangan Delotta merambat menyentuh dada bidang Daniel. Membuka satu per satu kancing kemeja pria itu. Namun di tengah usahanya itu Daniel meraih tangannya. Lantas ciuman mereka terurai. "Not now, Baby. Aku ada meeting pagi ini. Dan kamu harus mengejar deadline akhir bulan kalau nggak mau kena omelan ketua tim kamu." Bibir Delotta kontan maju. Dia berdecap lirih. "Nggak asik banget sih." Daniel terkekeh seraya mengacak rambut gadis itu. "Sekarang kamu siap-siap, aku tunggu kamu di meja makan dalam 15 menit atau kalau enggak kamu terpaksa berangkat dengan supir." Dia berdiri lalu meraih sebuah dasi. Dengan terpaksa Delotta beranjak berdiri. Hari ini pasti akan melelahkan karena semalam dia kurang tidur. "Aku nggak boleh cuti, Om?" tanya Delotta dengan wajah memelas. "Nggak, Sayang. Kantor membutuhkan kamu," sahut Daniel seraya menyimpul dasinya. Dengan langkah gontai Delotta akhirnya keluar dari kamar Daniel. Gerakan menyimpul dasi terhenti begitu gadis itu hilang dari pandangan.
Dahi Ricko mengernyit menyaksikan Delotta makin akrab dengan Daniel. Dia melonggarkan dasi ketika melihat mereka turun dari mobil. Ini hari pertama dia kembali, tapi rupanya putrinya itu tidak menyambut seperti yang sudah-sudah ketika dia baru pulang dari perjalanan bisnis. Bahkan Delotta baru muncul saat petang menjelang. "Papa!" seru Delotta ketika melihat Ricko berdiri di teras rumah. Dia berlari-lari kecil menyongsong papanya itu dan langsung memeluk begitu sampai di depan Ricko. "I'm sorry, Papa. Kantor lagi sibuk banget jadi aku telat pulang." Ricko pura-pura cemberut. Mata legamnya melirik sengit ke arah Daniel yang memasang tampang sok cool. "Ya sekarang papa disisihkan setelah kamu bekerja.""Papa lebay." Delotta tertawa lalu menggamit lengan sang papa."Bagaimana kabarmu selama papa tinggal? Daniel menjagamu dengan baik?" "Yes, sure. Tidak ada penjaga sebaik Om Daniel," sahut Delotta seraya mengerling kepada Daniel yang kali ini menyambut dengan senyum manis. "Dia ber
Tawa Delotta mengudara sampai dia harus menengadahkan wajah saat Daniel menggelitiki lehernya yang basah. Daniel sudah membuatnya kuyup beserta pakaian-pakaiannya. Dan cumbuan lelaki itu seakan tidak ingin berhenti sampai di sana. "Om Daniel datang ke sini belum mandi ya?" tanya Delotta dengan nada gurauan yang kental ketika cumbuan Daniel terlepas. Keduanya masih di air dengan setengah badan terendam di dalam. "Iya, kok kamu tau?" "Datang-datang langsung basah-basahan gini." "Yang basah kan enak."Delotta melotot seraya memukul pundak lelaki itu. "Kue basah maksudnya," koreksi Daniel terkekeh, tapi—"seperti apem kamu," bisikan itu lewat. Daniel dengan cepat mundur lalu berenang menjauhi Delotta dengan tawa yang berderai. Sementara itu di posisinya pipi Delotta bersemu hangat. Apa tadi? Apem lelaki itu bilang? Delotta memutuskan mengejar Daniel yang sudah dulu berenang ke ujung. Tangan dan kakinya bergerak, sesekali kepalanya muncul ke permukaan air, lalu tenggelam lagi. Meskipu
Dua kepala orang yang duduk di atas sofa menunduk. Lantai rumah sepertinya menjadi pemandangan paling menarik dari apa pun. Sementara dua orang lainnya yang duduk di seberang mereka, tampak gelisah dan tak nyaman. Delotta salah satu dari empat manusia yang duduk di sana dengan wajah gelisah. Pasalnya, Ina—asisten rumah tangganya—tanpa sengaja sudah melihatnya bermesraan dengan Daniel di tepian kolam, saat wanita muda itu tengah mengantarkan kudapan untuk majikannya tersebut. Nampan yang Ina bawa terjatuh dan isinya berhamburan ke lantai, sementara dirinya berdiri dengan wajah luar biasa syok saat melihat adegan itu. Suara bising itu bukan hanya mengagetkan Daniel dan Delotta, tapi juga Bi Sari, salah satu asisten rumah tangga lain yang sekaligus ibu dari Ina. "Ada apa ini?!" teriak Bi Sari lari tergopoh ketika mendengar bunyi-bunyian piring terbang. Delotta refleks turun ke kolam renang, merendam dirinya ke dalam air karena sadar tidak mengenakan apa pun selain celana dalam. "As
[Gue nggak sengaja lihat bokap lo pas nemenin bos gue main golf kemarin. Dia sama cewek.] Berbekal info itu pagi ini Delotta menggeret Daniel untuk menemaninya ke apartemen Tya selepas jogging di car free day. Daniel sebenarnya tidak terlalu setuju. Dia lebih ingin menghabiskan waktu weekend hanya berduaan saja. Pintu apartemen Tya baru kebuka ketika dengan brutal Delotta menekan bel. Tya muncul dengan rambut awut-awutan seperti habis diamuk badai. Wajah mengantuk dengan gugusan kepulauan ada di mana-mana. "Lo tau! Bertamu di Minggu pagi itu hal yang sangat diharamkan?!" sembur Tya dengan ludah yang menciprat. Delotta memundurkan badan sambil mengibaskan tangan di depan wajah. "Mulut lo bau, Ty." "Mulut siapa yang wangi kalau baru bangun tidur?!" Delotta nyengir lalu meletakkan telunjuk ke depan bibir. "Jangan keras-keras nanti tetangga lo keganggu. Dan ...." Dia menunjuk ke arah sebelah kanan pintu.Pandangan Tya perlahan mengikuti arah telunjuk Delotta. Dan ketika kepalanya i
Tidak ada perubahan yang berarti. Semua aktivitas sang papa berjalan seperti biasanya. Delotta sampai harus terus memelototi Ricko, mencoba mencari tahu sesuatu yang sedang berusaha pria itu sembunyikan. Delotta menyatukan alis, lalu matanya menyipit, rahangnya sesekali bergerak. Saat ini dia sedang memperhatikan Ricko yang tengah bicara di telepon dengan seseorang, entah siapa. Yang jelas ketika menerima panggilan itu, lelaki itu menyingkir dari Delotta. Sesuatu rahasia. Iya, pasti. Dengan rasa kepo luar biasa, gadis itu menempelkan telinga ke permukaan pintu ruang kerja Ricko. Menajamkan telinga semampunya. Hingga suara Ricko yang samar-samar terdengar. "Syukurlah, jadi kamu bisa pulang kapan?" Suara Ricko berhasil Delotta tangkap. "Tolong jaga pola makan. Aku akan makin bersalah kalau kamu sakit begini." Kerutan di dahi Delotta makin terlihat jelas. Bibirnya yang mengerucut bergerak-gerak : siapa yang sakit? "Nanti, jika momennya pas. Yang penting kamu banyakin istirahat dan