[Gue nggak sengaja lihat bokap lo pas nemenin bos gue main golf kemarin. Dia sama cewek.] Berbekal info itu pagi ini Delotta menggeret Daniel untuk menemaninya ke apartemen Tya selepas jogging di car free day. Daniel sebenarnya tidak terlalu setuju. Dia lebih ingin menghabiskan waktu weekend hanya berduaan saja. Pintu apartemen Tya baru kebuka ketika dengan brutal Delotta menekan bel. Tya muncul dengan rambut awut-awutan seperti habis diamuk badai. Wajah mengantuk dengan gugusan kepulauan ada di mana-mana. "Lo tau! Bertamu di Minggu pagi itu hal yang sangat diharamkan?!" sembur Tya dengan ludah yang menciprat. Delotta memundurkan badan sambil mengibaskan tangan di depan wajah. "Mulut lo bau, Ty." "Mulut siapa yang wangi kalau baru bangun tidur?!" Delotta nyengir lalu meletakkan telunjuk ke depan bibir. "Jangan keras-keras nanti tetangga lo keganggu. Dan ...." Dia menunjuk ke arah sebelah kanan pintu.Pandangan Tya perlahan mengikuti arah telunjuk Delotta. Dan ketika kepalanya i
Tidak ada perubahan yang berarti. Semua aktivitas sang papa berjalan seperti biasanya. Delotta sampai harus terus memelototi Ricko, mencoba mencari tahu sesuatu yang sedang berusaha pria itu sembunyikan. Delotta menyatukan alis, lalu matanya menyipit, rahangnya sesekali bergerak. Saat ini dia sedang memperhatikan Ricko yang tengah bicara di telepon dengan seseorang, entah siapa. Yang jelas ketika menerima panggilan itu, lelaki itu menyingkir dari Delotta. Sesuatu rahasia. Iya, pasti. Dengan rasa kepo luar biasa, gadis itu menempelkan telinga ke permukaan pintu ruang kerja Ricko. Menajamkan telinga semampunya. Hingga suara Ricko yang samar-samar terdengar. "Syukurlah, jadi kamu bisa pulang kapan?" Suara Ricko berhasil Delotta tangkap. "Tolong jaga pola makan. Aku akan makin bersalah kalau kamu sakit begini." Kerutan di dahi Delotta makin terlihat jelas. Bibirnya yang mengerucut bergerak-gerak : siapa yang sakit? "Nanti, jika momennya pas. Yang penting kamu banyakin istirahat dan
Mata Delotta bergeser dari layar PC saat kehadiran Daniel bisa dia rasakan. Suasana yang tadi agak riuh mendadak senyap. Delotta sampai harus memutar kepala untuk melihat apa yang terjadi. Imel segera bangkit, mengambil beberapa berkas di atas meja sebelum beranjak mendekati Daniel yang berdiri menjulang di tengah workstation. Dia lantas menyodorkan berkas tersebut kepada pria itu. Tidak lama dari itu Delotta melirik ke arah pintu saat seseorang tampak masuk dengan tergesa. Dave terlihat melangkah cepat menuju mejanya menutup laptop yang terbuka sebelum menjinjingnya. "Suruh semua staf kamu lembur. Semua deadline harus selesai hari ini juga," ujar Daniel, tegas. Wajah ramah yang biasa dia umbar tidak ada. Delotta melihat teman-temannya seperti tengah menahan napas melihat aura si bos hari ini. Bukannya mau GR, tapi Delotta merasa kalau yang terjadi pada Daniel saat ini tak lain karena ulahnya.Kemarin Daniel tidak bicara atau menanyakan apa pun tentang Dave. Padahal Delotta sangat
Wajah Daniel cukup syok. Jadi, dalam rentang waktu dua tahun itu Delotta sudah pindah hati selama empat kali termasuk ke dirinya? Hebat, bahkan Daniel yang dikenal sebagai Don Juan merasa kalah sekarang. Tubuh Daniel yang sempat menegak kembali jatuh terhempas di sandaran kursi. Lalu kekehan lirihnya mengudara. "Kamu benar-benar sudah dewasa, Otta," katanya bergumam, seolah mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Delotta yang ikut-ikutan syok karena ucapan sendiri meringis. Beberapa saat lalu waktu seakan menjeda semua gerakannya hingga dirinya merasa kaku bak patung. "Udah beberapa kali aku bilang kan?" Delotta meringis lagi, lalu bibirnya membentuk sebuah garis ketika Daniel menatapnya tajam. "Tapi, Om sejauh ini cuma Om yang bikin aku merasa dicintai, kalau yang lain kayak cuma main-main aja." Di ujung kalimat kepala Delotta menunduk. "Main-main gimana? Dave saja nggak bisa move on dari kamu masa kamu bilang main-main? Aku curiga kamu bakal mencampakkan aku juga seperti kamu me
Hanya ada kafe kecil yang dekat dengan perumahan ini. Ricko memutuskan membawa mereka semua ke kafe itu. Dia tidak menduga kemunculan Delotta yang tiba-tiba. Tidak ada persiapan apa pun dan bukan dengan cara seperti ini yang lelaki itu harapkan.Sesungguhnya Ricko sudah menyiapkan waktu yang tepat. Tapi jika sudah terlanjur begini, tidak ada yang bisa dia lakukan lagi selain menjelaskan semuanya. Di hadapannya, Delotta masih menatap dengan pandangan menghunus. Tatapan yang menuntut penjelasan. Empat cangkir teh dan beberapa kudapan yang Ricko pesan sedikit terabaikan. "Otta...." Suara berat Ricko terdengar. "Sebelumnya papa minta maaf karena tidak langsung memberitahu semuanya sama kamu." Ada helaan napas yang terdengar berat di ujung kalimat. Ricko mendadak ragu ketika melihat wajah putrinya yang mengeras. "Mas, biar aku saja yang menjelaskan," sela wanita di sebelah Ricko, membuat Delotta serta-merta mendelik ke arahnya. Ricko menggeleng. "Itu tugasku."Delotta memutar bola mata
Delotta berdiri seraya bersedekap tangan. Bersandar pada bingkai sliding door yang terbuka. Tatapnya menerawang entah memandang apa. Seolah di depan sana ada pemandangan luar biasa yang menarik perhatian. Daniel yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil menemukan gadis itu. Tengah melamun di pintu balkon unit apartemennya. Tiga puluh menit lalu saat mereka sampai unit, Delotta beranjak mandi terlebih dulu. Dia memilih kaus milik Daniel yang kebesaran di badannya. Hingga tubuhnya seperti tenggelam. Daniel yang sudah mengenakan kaus santai dan celana pendek mendekat. Dia menunduk, dan bibirnya mencium tengkuk Delotta sekilas, sebelum berdiri di sisi gadis itu. "Sudah merasa nyaman?" tanya Daniel dengan tangan yang masih mengusap-usap rambut.Tanpa melepas pandang dari gelapnya malam ibukota, Delotta mengangguk. "Sedikit lebih baik." Desah napas Delotta terdengar berat. "Kita pernah mendiskusikan ini sebelumnya. Aku nggak bermaksud
Suara tawa seorang perempuan terdengar ketika kaki Delotta menginjak ruang tamu rumahnya. Langkahnya melambat, sedikit memiringkan kepala untuk mendengar lebih seksama. Selain tawa perempuan, dia juga mendengar suara Ricko. Baik, sekarang Delotta tahu siapa yang ada di dalam. Delluna. Bahkan papanya sudah berani membawa wanita itu ke rumah. Delotta menarik napas panjang sebelum kembali melangkah memasuki ruang keluarga. Matanya melihat mereka sekilas berdiri di dekat pintu teras samping sambil memegang gelas minum. Tawa lebar Luna perlahan memudar ketika lebih dulu menyadari kemunculan Delotta. Ricko yang berdiri di hadapannya kontan memutar kepala dan tatapnya langsung bersirobok dengan mata putrinya. "Otta? Kamu pulang?" Ricko bergerak hendak menghampiri putrinya itu. Namun dengan cepat, Delotta berjalan menuju tangga. Dia tidak mau mendengar apa pun saat ini. Perasaannya sudah membaik ketika dia memutuskan pulang, tapi begitu melihat dua orang itu mood-nya kembali memburuk.
Bola mata Daniel bergerak ketika mendengar suara pintu dibuka dari luar. Tidak lama pria yang kemarin matanya dicolok Delotta muncul. Dave tersenyum seraya mendekat. Kemeja abunya terlihat licin dan sangat pas di badannya, disambung pantalon hitam yang tak kalah licin, lengkap dengan pantofel hitam yang membungkus kakinya. "Selamat siang, Pak," sapanya formal sambil sedikit menganggukan kepala. "Siang, Dave. Silakan duduk." Sejujurnya, Daniel masih tidak menyangka bahwa Dave ternyata mantan kekasih Delotta. Terlebih lagi sikap Delotta yang sepertinya sangat tidak menyukai lelaki itu. Kenapa harus ada kebetulan seperti ini? "Terima kasih." Dave menarik kursi dan duduk berhadapan dengan bos sekaligus pamannya itu. Hanya meja kerja Daniel yang menghalangi jarak keduanya. "Apa mata kamu sudah membaik?" tanya Daniel menutup dokumen dan fokus memperhatikan keponakannya itu.Dave mengangguk. "Aku sudah baik, Om." Dia kembali bicara santai. "Terlalu berlebihan nggak sih kalau Delotta sa
"Adik bayi itu dari angsa terbang, Mam?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada khas balita itu membuat Dellota dan Daniel terkekeh. Kavia masih penasaran dengan kemunculan adik bayi. Gyan di sisi gadis kecil itu menarik napas panjang. "Bukan Kavia, kan aku udah bilang itu mitos." "Aku nggak tau mitos itu apa." Kavia tidak peduli dan meloncat ke bed ibunya. Seketika Daniel memekik tertahan. "Hati-hati, My Princess. Kamu bisa jatuh," ucapnya dengan dada yang masih berdebar kencang. "Aku cuma mau lihat adik bayi." Kavia bergerak ke sisi ibunya yang tengah menyusui adik barunya. "Mami, boleh aku ikut nenen juga sama mami?" Lagi-lagi Delotta terkekeh. Tangannya terjulur mengusap kepala Kavia dengan lembut. "Kavia kan udah jadi kakak, masa masih mau nenen ke mami?" "Kavia, nenen itu cuma buat bayi. Kita udah jadi kakak, udah besar. Kamu mau diejek sama teman-teman kalau masih nenen sama mami?" Gyan menggeleng tak habis pikir dengan keinginan adiknya. Namun Kavia lagi-lagi tak peduli
Tangan Daniel menggenggam kemudi dengan erat. Gigi-gigi dalam rongga mulutnya gemeretakan menahan kesal. Beberapa kali dia menghela napas panjang untuk menghalau amarah akibat tingkah sekretarisnya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang sekretaris baru seberani itu? Kepalanya penuh dengan Delotta sekarang. Beberapa hari belakangan wanita itu sering uring-uringan perkara sekretaris baru Daniel. Dan malam ini kekhawatiran Delotta terbukti. Daniel membelokkan kemudi ke kawasan rumah mewahnya. Pintu gerbang rumah terbuka saat sensor di sana mengenali mobilnya. Dia bergerak masuk melewati halaman taman yang luas, mengitari tugu air mancur warna-warni hingga mobilnya tepat berhenti di depan teras rumah. Dia turun begitu saja dari mobil dan memasuki rumah yang pintunya otomatis terbuka. Langkahnya berbelok ke kanan menuju jalan alternatif yang akan langsung menuju kamar pribadinya. Ketika tangannya menyentuh sebuah dinding berlapis marmer, dinding itu lantas bergerak terbuka. Danie
Pekerjaan membuat Daniel harus tinggal lebih lama di kantor. Beberapa saat lalu dia baru saja mengakhiri panggilan video dengan istri dan anak-anaknya yang tengah bersiap tidur. Ini menjadi hal yang sulit untuknya. Dellota tengah hamil anak ketiga, tapi pekerjaan malah makin membuat pria itu sibuk. Tak jarang dia meninggalkan istri dan anak-anak keluar kota. Blue Jagland Indonesia makin melebarkan sayap. Bisnisnya mulai menggurita di beberapa sektor. Itu yang membuat Daniel makin sibuk. Sampai-sampai Gyan dan Kavia protes karena waktu bermain mereka dengan sang papi jadi berkurang. Tidak jarang weekend pun Daniel tetap bekerja."I'm sorry, Baby. Tapi semua ini memang sulit ditinggal," ucap Daniel suatu kali ketika Delotta protes tentang jam kerjanya yang makin tak masuk akal."Tapi kami juga butuh waktu kamu. Lima hari kerja memangnya nggak cukup? Kalau majunya perusahaan malah bikin kamu nggak punya waktu buat kami lebih baik perusahaan nggak usah maju aja." Delotta bersedekap tangan
Delotta terkikik geli saat melihat Kavia tidur di lengan Daniel—yang juga ikutan tidur dengan lelap. Batita itu terlihat begitu nyaman tidur sambil memegangi lengan Daniel. Dalam keadaan begitu, keduanya tampak begitu mirip. Lima belas menit lalu Delotta sengaja menitipkan putrinya yang sudah dia dandani kepada Daniel. Bahkan dia juga berpesan untuk membawa Kavia jalan-jalan. Dan ternyata jalan-jalan mereka ke pulau kapuk. Delotta bersandar pada kusen pintu menatap mereka. Untuk semua alasan dia sangat bersyukur dengan keadaannya yang sudah sampai sejauh ini.Kepala Delotta menggeleng pelan sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Tidak mau mengganggu, dia pun keluar. "Adek mana, Mam?" tanya Gyan saat melihat ibunya berjalan sendiri tanpa Kavia di gendongannya. "Lagi tidur sama papi," ujar Delotta pelan. "Kok tidur sih? Ini kan udah sore? Papi juga janji mau main bola sama aku." Wajah Gyan cemberut, pipi chubby-nya memerah. "Iya maafin, Papi. Nanti kalau Papi udah bangun kamu b
"Boleh satu lagi?" Delotta berjengit ketika Daniel mencium perutnya. Dia kaget dengan permintaan Daniel. Demi Tuhan! Kavia baru lepas dari asi eksklusif bisa-bisanya Daniel memintanya untuk memberi anak lagi. "Aku masih capek. Tenagaku masih perlu dipulihkan. Ya aku tau kamu memberiku bala bantuan. Tapi paling enggak tunggu sampai Kavia usia dua tahun?""Dua tahun? Bahkan hamil kedua saat Gyan umur satu tahun. Ayolah Sayang, kamu menikah bukan sama pria muda.""Ya, lalu?" Daniel menggigit bibir, tapi lantas menundukkan kepala sambil melukis gerakan abstrak dengan ujung jari di atas lengan Delotta. Mirip sekali dengan Gyan saat merajuk. "Kalau dilama-lamain lagi aku takut dikira sedang menggendong cucu nanti," ujar pria itu, yang mau tak mau membuat Delotta menyemburkan tawa. Daniel berdecak malas melihat reaksi istrinya. "Apanya yang lucu coba?"Delotta mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah untuk meredakan tawa. "Maaf, Sayang." Segera mungkin Delotta mendekat dan menyelipkan t
"Ah!" Delotta menengadah sambil menggigit bibir. Rintihan lirihnya membuat suasana di sekitar makin panas. Peluh membanjiri kulit tubuhnya yang seputih susu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan tempo sedang. Di bawahnya, Daniel mengerang. Dua tangannya merangkum dada Delotta. Sesekali jarinya menjepit gemas dua puncak dada itu yang kadang mengeluarkan cairan asi. "Sayang, ini perlu dipumping lagi kayaknya deh," ucap Daniel saat jarinya merasakan basah ketika menekan puncak dada istrinya. "Sebentar lagi," sahut Delotta agak terbata. Melihat wajah memerah Delotta, Daniel tersenyum. Dia segera mengambil alih permainan. Ditariknya tubuh gadis itu sampai jatuh ke pelukannya. Lantas dari bawah pinggulnya bergerak menghantamkan miliknya lebih keras dan dalam sampai-sampai membuat Delotta terpekik. "Aku bantu," ucap pria itu memberikan hujaman demi hujaman. Erangan dan desahan Delotta makin menjadi. Dirinya yang memang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan cepat meraih kep
Daniel mencium pipi Delotta yang sedang mengoles selai pada sehelai roti. Dia lantas beranjak duduk di kursi makan paling ujung. Tepat di depannya ada satu tangkup sandwich segitiga dengan isian sayur. Tangannya meraih gelas panjang berisi air putih dan meneguknya hinga isinya tersisa setengah. Perlahan Delotta duduk di kursi. Perutnya yang sudah membesar membuatnya agak kesulitan bergerak. "Yakin bukan hari ini lahirannya?" tanya Daniel yang selalu seperti menahan sesuatu ketika Delotta bergerak. Ada rasa khawatir tiap kali melihat Delotta tampak kesusahan dengan perutnya yang makin besar. "Yakinlah. Masih sepuluh hari lagi kata dokter." Delotta menggigit roti selai cokelat yang dia buat tadi. "Tapi perut kamu kayak mau jatuh gitu aku liatnya." Delotta memutar bola mata. "Memang Om nggak pernah liat orang hamil sebelumnya?" "Ya, ya liat sih, tapi kan baru sekarang liat istri hamil." "Ya terus apa bedanya? Orang hamil ya begini, namanya juga udah bulannya. Wajar dong kalau peru
Belum lengkap rasanya ke Santorini tanpa menikmati Oia sunset di atas ketinggian kota kecil di ujung utara pulau ini. Delotta merasa beruntung karena dia bisa melihat gradasi jingga yang memendar di langit dan bangunan-bangunan unik khas Cyclades berwarna putih bersama orang yang dia cintai. Delotta bisa merasakan kehangatan udaranya. Ditambah pelukan lengan kokoh Daniel di balik punggungnya. Senja terasa sempurna berkat itu. "Are you happy?" "Sure because of you." Tangan Delotta terulur menggapai wajah Daniel yang bersandar di bahunya. "Dia pasti senang juga," ucap Daniel sambil meraba perut Delotta. "Iya dong pasti. Kalau dia lahir kita bakal ke sini lagi kan, Om?" "Ke mana pun kamu mau. Tapi sekarang kita harus pulang ke hotel. Jalan-jalan hari ini cukup. Kamu butuh istirahat." Lelah, tapi cukup terbayarkan semuanya. Seharian ini Daniel menuruti semua keinginan istrinya untuk menjelajah pulau. Dimulai dari Desa Wisata Pygros—yang memiliki jalan-jalan sempit berliku, tembok b
Tya memandang takjub potrait foto Daniel dan Delotta yang dipajang secara estetik di pintu masuk menuju ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka diadakan. Ukiran inisial huruf D ganda bertinta emas di keramik berbentuk persegi panjang, terpasang cantik di sebelah foto itu dengan hiasan tabung panjang berisi lilin buatan dan segerombolan bunga mawar peony. Di foto itu, Daniel yang terlihat tampan tengah tertawa sambil menatap Delotta yang juga tengah tertawa lebar. Hanya melihat dari foto saja kebahagiaan mereka lantas menular. Di sepanjang dinding koridor setelah melewati petugas keamanan, foto mereka juga dipasang setiap jarak dua meter. "Ini kapan mereka foto beginian sih?" gumam Tya masih dengan tatap takjub. Beberapa tamu sudah melewatinya, meninggalkan gadis itu yang tampak masih mengamati pameran foto prewed ala-ala Daniel Delotta. "Lo mau di sini terus?" Pertanyaan itu membuat Tya menoleh. Dia menemukan Dave dengan setelan jas kupu-kupu berada di sebelahnya. "Dave