Malam sudah berganti siang. Satu hari lagi sudah terlewati. Seluruh penjuru negeri sudah ia datangi, namun sang kekasih tak juga ditemukan. Barrant menghela napasnya panjang. Ia tengah berada di atas celah tembok tempat yang sering ia datangi dulu bersama Fjola. Ia merindukan gadis itu.Meskipun demikian, ada perasaan bersalah setiap kali ia mengingat sang kekasih. Betapa tidak? Tanpa sengaja ia telah mengirim ayahnya ke alam keabadian. Dulu, sewaktu ia meminta Jon mengakui tuduhan itu, ia menduga Jon hanya akan dihukum penjara. Namun, ia terkejut ketika ayahnya malah mengeksekusinya. Ia sempat memprotes keputusan sang ayah, memintanya untuk menangguhkan hukuman. Sebab, mereka berdua tahu bahwa bukan Jon yang bersalah."Aku tahu, tapi kita butuh kambing hitam," jawab Raja Valdimar ketika itu. "Para petinggi negeri mendesakku. Maafkan aku, Barrant, aku tak memiliki pilihan."Seorang prajurit menghampirinya. Hal itu membuat lamunannya berakhir. Prajurit itu merupakan prajurit terlatih.
“Di mana Tuan Putri Lilija berada?” tanya Barrant melewati celah yang rumit di antara dua bangunan besar. Prajurit yang ditanyanya mengekor.“Sebenarnya, beliau ingin menemui Anda di sini. Beliau sedang menuju kemari.”Barrant menggeleng. Ia tidak bisa menemui Lilija di tempat penuh kenangan itu. “Kalau begitu, katakan padanya bahwa aku akan menemuinya di istana.” Ia mempersilakan sang prajurit jalan terlebih dahulu dengan berhenti dan memiringkan tubuhnya.“Tapi, Yang Mulia, beliau—““Katakan saja aku akan menemuinya selepas memeriksa gerbang,” kata sang pangeran mendesak. Prajurit itu tidak memiliki pilihan. Sembari menggerutu, ia melewati sang pangeran untuk menyampaikan pesan. Akhir-akhir ini ia tahu suasana hati puteri itu memburuk. Setiap pesan yang disampaikan olehnya selalu diabaikan sang pangeran. Jadi, ketika prajurit itu kembali tanpa membawa balasan, Lilija akan murka. Ia bahkan mengamuk. Dan, prajurit itu yang akhirnya menjadi sasaran kemarahan Lilija.Awal mula ia dipan
“Kumohon, jangan tembak aku!” Fjola keluar dari ilalang dengan tangan terangkat ke atas. Prajurit yang melihatnya pun menyiagakan panahnya. Matanya memicing, menilai dengan saksama sosok di depannya itu. Pakaian yang dipakai sang gadis membuatnya yakin bahwa dia adalah pemburu. Ia berniat melepas anak panahnya sebelum gadis itu berkata lagi, “AKu bukan pemburu. Aku manusia.”Perlahan, Fjola mendekat. Sang prajurit pun mampu melihatnya lebih jelas. Rambut gadis itu yang acak-acakan, beserta beberapa kotoran yang menempel di sana membuatnya tidak yakin dengan pengakuan tadi. “Siapa kau?” tanyanya kemudian.Prajurit itu masih terhitung prajurit baru. Sebelumnya, ia bertugas di istana. Ketika komandan dari luar tembok meminta sejumlah prajurit lagi untuk berpatroli di sana, ia menyambar kesempatan itu sebagai berkah. Ia merupakan anak sulung. Jadi, dengan menjadi ‘pahlawan tembok’ ia mampu memberi kehidupan yang layak untuk adik-adiknya yang masih sangat muda. Baru beberapa hari dia berg
Rasanya, Fjola sudah tak memiliki harapan lagi. Ia juga tak memiliki daya. Ketika prajurit tadi menyeretnya kembali ke dalam hutan, ia tak kuasa memberontak. Prajurit lain yang berjaga di sana menurunkan panahnya. Mereka tahu pilihan sang komandan yang memerintahkan untuk membunuh gadis itu di hutan tak lain supaya mereka tidak perlu menyingkirkan mayatnya. “Aku masih percaya kalau kau adalah puteri dari Negeri Haust,” bisik prajurit yang menyeretnya. “Tetapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku.” Fjola tak menanggapinya. Rasanya ia benar-benar ingin menyerah saja. Ia sudah lelah. Gerbang semakin mengecil di belakangnya. Fjola hanya mampu menatapnya. Dia tak bisa melewatinya. “Apa kau—Anda ingin melewati gerbang itu dan kembali ke negeri Anda?” tanya sang prajurit lagi. Mereka kini sudah memasuki hutan. Kepala Fjola menoleh. Ia memandang sang prajurit dengan tertarik. “Apa kau tahu caranya?” Prajurit muda itu pun menggeleng. “Tidak. Setahuku, siapa pun orang yang sudah kel
Amarah Lilija menggelegak bagai magma di dalam perut gunung berapi. Ia siap meledak ketika prajurit pembawa pesan kembali menghentikan laju keretanya. Padahal, kurang sedikit lagi mereka sampai ke tempat Barrant biasanya berada.“Maaf, Yang Mulia, Pangeran sudah kembali ke istana,” lapor prajurit itu. “Anda sudah ditunggu di ruang minum teh.”Lilija menggigit giginya kuat-kuat, tangannya terkepal untuk menahan emosi. Batinnya menyumpah. Dengan susah payah, ia berkata, “Bawa aku ke sana.”“Kau harus bersikap lebih bijak, Tuan Putri,” kata Helga, pelayannya.Lilija menoleh ke arah pelayannya. Matanya menatap Helga dengan nanar. Ia benci kepada wanita tua berwajah dingin itu. Rambutnya yang dicepol ke belakang, dagunya yang terangkat ke atas, sikapnya yang kaku membuatnya ingin mengenyahkan segera. Tetapi, ia tak bisa melakukan hal itu. Lilija benci kepadanya karena sering mengatur dan mengkangnya. Dia mengharapkan Lilija bersikap selayaknya putri yang anggun, baik hati, ramah, dan sempu
“Sandiwara?” tanya Fjola mengernyit. Setelah memutuskan untuk ke celah rahasia, gadis itu duduk di punggung Sifhty bersama Arnor. Seberti biasa, ia duduk di belakang peri itu. Matahari sudah tergelincir dari singgasananya. Awan mendung yang mungkin membawa jutaan butir salju tampak menggantung. Meski begitu, mereka belum mau berhenti. Langkah kuda itu juga pelan karena jalan yang dilewatinya tidak semulus biasanya. Jalan yang dilaluinya kini tertutup salju setinggi lima belas centi meter. Tapalnya sampai terbenam karenanya.“Iya. Sandiwara. Kita harus bersandiwara.” Arnor memandang ke depan dengan mata perinya. Jauh di depan tampak gunung yang sangat besar. Di kaki gunung itu terlihat beberapa buah batu raksasa yang mulai bergerak-gerak.“Tapi, kenapa kita harus bersandiwara?” tanya gadis itu penasaran.Arnor mengehentikan kudanya. “Itu … nanti saja aku menjawabnya. Sekarang lebih baik kita mendirikan kemah di sini. Lagi pula, salju akan turun.” Ia lantas turun.Fjola mengikuti peri
Seperti yang sudah bisa diperkirakan, hujan salju datang menjelang malam. Awalnya, Fjola menolak untuk masuk ke tenda kecil itu bersama Arnor. Ia tak dapat membayangkan bagaimana sesaknya di dalam sana nanti. Tak bakal ada ruang yang cukup di antara mereka. Sementara, Fjola tak mau dekat-dekat dengan peri itu semalam penuh. “Ya sudah, silakan mati kedinginan di luar. Aku akan senang hati menyerahkan tubuhmu kepada para pemburu nanti sebagai tanda perdamaian,” kata Arnor masuk ke dalam tendanya.Fjola memutar bola matanya. Mau tak mau, ia mengikuti peri itu ke dalam tenda. Ia takjub ketika kakinya melangkah, melewati pintu tenda yang tersibak. Matanya terbelalak menatap isi tenda yang ternyata cukup luas. Bahkan, ketika masuk, dia merasa oleh menjadi kecil. Atap tenda yang tadinya sejajar dengan kepalanya kini tampak jauh di atas. Lebar pintu tempatnya masuk yang tadi dia kira hanya sepanjang bahu terasa lebih lapang. Bahkan, Fjola dapat merentangkan tangannya, dan ujung jarinya tida
FannarSudah seminggu Fannar bergabung denga kelompok pemberontak namun ia belum pernah keluar dari tempat persembunyian mereka. Setiap tiga hari sekali seseorang memasok kebutuhan pokok untuk mereka. Dari Luke, ia tahu bahwa Garda memiliki anggota yang besar. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok-kelompok itu pasti memiliki satu pemimpin, dan pemimpin itulah yang menghubungkan informasi kelompok satu dengan yang lain. Jadi, anggota kelompok satu tidak mengenal anggota kelompok yang lain. Hal itu dilakukan supaya apabila salah seorang tertangkap, yang lain akan selamat.Untuk misi pun demikian. Semua kelompok memiliki tugas masing-masing. Seperti kemarin, kelompok Luke bertugas menyusup ke rumah bangsawan yang sudah ditentukan dan mencuri emas. Namun, kelompok lain yang memindahkannya ke para pemimpin kemudian membaginya.Setelah diterima menjadi anggota Garda, Fannar diharuskan mengubah namanya. Rupanya, Luke, Zoe, dan Rowan bukan nama asli mereka.“Luke itu nama tokoh dal
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem