Jari-jari Matthew yang panjang terlihat kesulitan menarik tali celana karena satu tangannya dibalut gips. Itu sebabnya, susah baginya untuk mengikat simpul. Kalau saja dia belum selesai memakai celana, mungkin aku benar-benar akan melihat sesuatu yang tak seharusnya kulihat.Dalam sekejap, aku merasa wajahku memanas dan memerah seperti udang yang baru direbus. "Kamu ...." Aku ingin memarahi dia, tetapi rasa malu membuatku tak sanggup melanjutkan.Aku langsung berbalik dan berlari keluar kamar mandi. Sial, kenapa Matthew begitu menyebalkan? Berdiri di depan pintu kamar mandi, jantungku berdegup kencang.Wajahku makin memerah, bahkan terasa seperti terbakar. Napasku mulai tersengal-sengal, seperti kehabisan udara.Aku coba menenangkan diri dengan memejamkan mata, tetapi bayangan tangan panjangnya yang memegang tali celana terus berputar-putar di pikiranku.Melihat selimut di ranjang yang belum selesai dilipat, aku memutuskan untuk melampiaskan kegugupanku dengan melipatnya berulang kali
Napasnya yang hangat menyapu lembut di sekitar telingaku dan pipiku. Aku memang orang yang sangat peka, apalagi jika seseorang berbicara begitu dekat di telingaku. Rasanya seluruh wajahku langsung memerah, bahkan sampai ke ujung telinga.Matthew tiba-tiba mengulurkan tangan dan menarikku ke dalam pelukannya, lalu menunduk. Bibir tipisnya menyentuh pipiku dengan lembut, nyaris seperti belaian.Tatapan matanya yang dalam dan penuh misteri seolah mengandung seluruh galaksi. Itu memancarkan daya tarik yang tak terelakkan. Hanya dengan satu pandangan, siapa pun bisa jatuh terperangkap dan tak mampu keluar lagi.Ketika bibir Matthew mulai mendekat ke bibirku, aku merasa seperti tubuhku terpaku di tempat. Kedua tanganku yang masih memegang tali celananya gemetar. Napasku bahkan berhenti, seolah paru-paruku lupa cara bekerja.Bagaimana mungkin aku tidak jatuh hati lagi untuk kedua kalinya saat bertemu pria yang pernah membuat hidupku begitu memesona?Sewaktu muda, bertemu seseorang yang begitu
Setelah Yuna selesai bicara, aku tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar. Dia mendekat dan meraih tanganku, lalu bertanya dengan tatapan penuh ketulusan, "Leila, kamu pasti akan memberikan restumu untukku dan Matt, 'kan?"Aku memandang Yuna yang terlihat penuh harap, lalu menarik kembali tanganku. Aku membalas, "Maaf, aku rasa kalian nggak membutuhkan restuku untuk hidup bahagia bersama.""Tapi, bukannya kita teman baik?" tanya Yuna. Aku hampir ingin tertawa mendengarnya. Apakah Yuna menganggapku bodoh?Perubahan Matthew belakangan ini sebenarnya tidak luput dari perhatianku, tetapi luka lama membuatku sulit untuk benar-benar percaya lagi.Sekarang, aku punya mimpi yang ingin kucapai dan hidup yang ingin kumiliki. Masa lalu yang penuh luka itu hanya ingin kujauhi sejauh mungkin."Yuna." Aku menatapnya dingin, lalu bertanya sambil tersenyum, "Bukannya yang paling penting adalah kamu akan segera menjadi menantu Keluarga Sanjaya dan tunangan Matthew? Kenapa aku bisa melihat ketakutan di m
Aku menurunkan tangannya dan menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma merasa agak lelah hari ini. Yang lain pada ke mana?"Aurel menjawab, "Nggak tahu. Sepertinya mereka akan segera pulang. Mereka pergi jalan-jalan, aku nggak ikut. Aku cuma jalan-jalan sebentar di lapangan."Aku pun memberi tahu, "Ya sudah, aku mau mandi dulu.""Pergilah. Kalau merasa nggak enak badan, istirahat saja lebih awal," ucap Aurel.Ketika keluar dari kamar mandi, teman-teman sekamar yang lain sudah kembali. Setelah mengobrol dan bercanda sebentar, aku naik ke ranjang.Sekitar pukul 10 malam, Matthew mengirim pesan. Dia menyuruhku datang lebih pagi ke rumah sakit besok karena perawat yang biasa membantu ada urusan mendadak.Aku melihat rangkaian kata di layar ponsel, lalu tiba-tiba merasa lucu. Matthew akan segera bertunangan dengan Yuna, tetapi masih saja menggangguku. Apa maksudnya?Aku membalik ponselku, menyelipkannya di bawah bantal, dan memejamkan mata. Aku mencoba memaksakan diri untuk segera tidur.Pukul
Punggung tanganku terkepal di belakang dan suaraku terdengar datar, "Seperti yang kamu lihat.""Kamu memblokirku?"Aku menatap Matthew, menampilkan sebuah senyuman, "Jelas sekali."Wajah Matthew berubah menjadi suram. Sepasang matanya menatapku dengan intens. Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Matanya hampir mengeluarkan api, sementara tangannya yang tergantung di sisi tubuh mengepal hingga urat-uratnya menonjol.Secara naluriah, aku merasa agak takut hingga mundur selangkah. Di saat berikutnya, bahuku dipegang oleh sepasang tangan yang besar. Aku menoleh, Keegan menatapku dengan mata sipitnya yang menawan."Pagi, sayangku."Aku mengabaikan panggilannya dan memberi isyarat dengan tatapan agar dia melepaskan bahuku. Dia malah mengangkat alisnya, seakan-akan sengaja tidak mau melepaskannya. Perseteruan di antara kami berdua malah tampak seperti adegan saling merayu di mata Matthew.Dengan tangan yang tidak dipasangi gips, Matthew berusaha menarik pergelangan tanganku. Di
Aku berjalan sebentar di bawah naungan pepohonan, tubuh dan pikiranku menjadi tenang dalam aroma dedaunan."Hari ini kamu ada kelas nggak?" Keegan menyusulku dari belakang. "Aku traktir kamu makan enak."Beberapa waktu ini, hubunganku dengan Keegan menjadi agak ambigu. Seperti teman, tapi juga bukan. Aku masih ingat luka yang dia berikan padaku di kehidupan sebelumnya. Namun di saat bersamaan, aku juga bisa melihat bagaimana dia membantuku di kehidupan ini."Aku nggak mau makan sama kamu." Aku berhenti, menunggu dia sampai di depanku. "Satu lagi, aku nggak suka Matthew, apalagi kamu. Jadi, kalau aku ketemu masalah, anggap saja kamu nggak kenal aku."Setelah berkata demikian, aku tidak peduli bagaimana ekspresi Keegan dan langsung beranjak pergi.Jadwal kuliah jurusan desain tidak terlalu padat, kebanyakan kegiatan bahkan tidak dilakukan di dalam kelas. Pagi ini, kami pergi ke tempat produksi kain untuk melihat proses dasar pembuatan kain dan baru kembali menjelang siang.Saat kembali k
Malam penuh mimpi buruk.Saat bangun pagi, kepalaku pusing dan berat, tubuhku terasa lemas, dan kondisiku benar-benar tidak baik. Dengan linglung, aku mencuci muka, berganti pakaian, lalu mengambil tas dan bersiap pergi ke kampus.Cynthia yang sedang duduk di tempat tidur, memanggilku, "Leila, kamu mau pergi?""Aku mau ke kelas." Aku menoleh, melihat mereka masih memakai baju tidur, dan merasa bingung. "Sudah hampir jam sembilan, kenapa kalian belum bangun? Nggak takut terlambat?"Aurel dan Cynthia saling memandang dan tertawa kecil.Cynthia memakai sandal rumah dan berjalan mendekat, lalu menyentuh dahiku. "Anak ini nggak demam, kok."Aurel berkata, "Leila, ini hari Minggu."Aku tertegun sesaat, baru sadar kalau hari ini memang akhir pekan. Aku langsung menggantung tasku, berlari kecil ke tempat tidurku sambil berseru, "Bagus! Aku mau tidur lagi."Kali ini, aku tertidur dengan cepat dan tidak bermimpi buruk.Aku terbangun karena suara ponsel yang berdering. Itu telepon dari ketua klub
Tak lama kemudian, aku mendengar suara Matthew yang dingin, tetapi terdengar agak lembut, "Kamu bisa minum?"Yuna tersenyum tipis, menengadahkan kepala memandang Matthew dengan wajah penuh kebahagiaan yang begitu jelas, "Bisa minum sedikit."Setelah itu, Yuna mengangkat gelasnya dan bersulang dengan semua orang. Ketika sampai giliranku, senyum Yuna terlihat sedikit menyiratkan rasa puas, "Leila."Aku hanya menatapnya. Aku benar-benar malas pura-pura bersikap ramah dengannya. Hanya saja, ada terlalu banyak orang di sini. Kalaupun ingin membalasnya, aku harus melakukannya secara pribadi.Aku berdiri dan mengangkat gelas kecil berisi yogurt, lalu bersulang secara formal di udara dan minum seteguk sebagai tanda sopan.Acara selesai sekitar pukul sembilan. Karena akhir pekan, beberapa mahasiswa lokal pulang ke rumah, sementara beberapa lainnya memutuskan pergi ke warnet untuk bergadang. Akhirnya hanya tersisa aku, Matthew, Yuna, dan seorang fotografer dari bagian perencanaan.Aku mengeluark
Makanya, meskipun Felly memberiku obat dan ingin membuatku malu di hadapan semua orang, aku tidak ingin menggunakan cara yang sama untuk membalasnya."Aku bisa bantu." Matthew berkata, "Latar belakang Keluarga Hutama nggak termasuk buruk. Ini termasuk pilihan bagus untuk Santos."Aku menoleh, melihat Matthew memandang ke luar jendela. Malam ini terasa sangat panjang.Saat kapal berlabuh, Santos membawa sekelompok orang masuk. Mereka langsung menuju ke kamar Matthew. Dari kejauhan, terdengar suara Madhu yang berpura-pura menenangkan, "Santos, jangan marah. Semua bisa dibicarakan baik-baik."Segera, mereka mendorong pintu dan masuk. "Matthew, Leila bukan wanita sembarangan. Dia ...."Santos seketika tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Aku berdiri di belakangnya, berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. "Ada apa ini?"Matthew yang memakai pakaian serba hitam pun berjalan keluar. "Apa maksudmu, Pak?" Matthew melirik sekeliling. "Selain itu, ngapain kamu membawa begitu banyak orang kemari
Matthew membawaku ke kamarnya. Aku berpura-pura merasa tidak nyaman. Segera, dia menurunkanku ke ranjang.Aku mengepalkan tanganku, merasakan Matthew perlahan-lahan mendekat. Ketika bernapas, aku merasakan aroma kayu yang semakin kuat.Aku menjulurkan tangan ke nakas untuk mengambil lampu. Aku ingin menghantamkannya ke kepala Matthew. Namun, Matthew tiba-tiba menahan tanganku dan berujar, "Jangan bergerak."Suaranya terdengar rendah. Aku memelotot. Dia memiringkan kepalanya dan mencium telingaku. "Felly lagi mengawasi kita di luar."Setelah mendengarnya, aku tanpa sadar menatap Matthew. Dia menggenggam tanganku, sesekali mencium leherku. "Sabar sedikit. Saat aku memberi keluargamu proyek hari itu, Santos bisa melihat aku menyukaimu.""Belakangan ini, Keluarga Sanjaya punya proyek baru lagi. Santos meneleponku dan bilang kondisi kesehatan nenekmu buruk, jadi menyuruhku membawamu keluar bermain."Ciuman Matthew makin liar. Aku kesulitan bertahan. Entah dari mana tenagaku, aku sontak mend
"Wow!" Cassey berseru dengan kagum, "Leila, mereka lucu sekali. Aku hampir meleleh dibuat mereka!"Ketika melihat Cassey seperti ini, suasana hatiku menjadi lebih rileks.Sekitar 20 menit kemudian, rombongan lumba-lumba pergi dan tak terlihat lagi. Cassey merasa agak kecewa, tetapi aku merasa sangat puas.Yosef menghampiri untuk menggoda Cassey. Aku menatap keduanya, merasa ada yang aneh dari mereka.Pada akhirnya, aku pergi. Ketika aku mengambil jus, Matthew tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku. Aku mendongak menatapnya. Dia menyuruhku memandang ke arah matahari terbit.Aku mengikuti instruksinya, lalu melihat lumba-lumba pink mengapung di permukaan laut. Aku terkejut hingga menutup mulutku. Matthew bertanya, "Cantik nggak?"Aku mengangguk. Matthew berbisik di samping telingaku. "Dia punya nama."Aku menoleh. Matthew tersenyum dan meneruskan, "Namanya Pangsit."Pangsit .... Aku tiba-tiba teringat saat aku SMA 2, aku bersikeras makan bersama Matthew. Karena terlambat, yang tersis
Aku bergegas mundur dan menaruh tanganku di belakang punggung. Tangan Matthew sontak terbuka karena penolakanku yang terlalu besar. Pada akhirnya, dia menarik tangannya kembali dan berkata, "Tanganmu berdarah."Aku menggigit bibir tanpa menyahut. Saat ini, Cassey dan lainnya datang. Cassey membawa ember dan berlari menghampiri, lalu menunjukkan isinya kepadaku. "Leila, aku tangkap ubur-ubur. Yosef bilang ubur-uburnya akan bersinar di malam hari.""Serius?" Aku merasa lega. Aku menatap ubur-ubur setengah transparan di dalam ember. "Kita cari akuarium saja supaya dia punya tempat."Usai mengatakan itu, aku menarik Cassey ke kamar tanpa peduli pada Matthew. Tidak ada tempat untuk menaruh ubur-ubur. Pada akhirnya, Cassey mencari Yosef. Yosef memberikannya vas bunga transparan.Setelah memasukkan ubur-ubur ke vas, Cassey baru menyadari tanganku berdarah. Dia menarik tanganku dan berkata dengan alis berkerut, "Tanganmu ....""Nggak apa-apa." Aku melirik sekilas punggung tanganku yang berdara
Aku merasa sangat panas. Sekujur tubuhku seolah-olah dibakar api. Aku ingin menghindar, tetapi tidak tahu caranya.Mimpi buruk terus bermunculan. Aku bermimpi tentang kehidupan lampau saat Matthew pergi setelah menerima telepon dari Yuna, juga bermimpi saat Matthew memohon kepadaku untuk melepaskan Yuna di ruang privat.Pada akhirnya, adegan mimpiku berhenti. Saat itu, kami selesai berhubungan badan. Matthew menatapku layaknya sampah. "Leila, kamu menjijikkan sekali.""Bu ... bukan aku ...." Aku sontak membuka mata dan memandang langit-langit."Sudah bangun?" Terdengar suara Matthew di samping telingaku. Aku perlahan-lahan menoleh.Wajah Matthew agak berkumis. Dia terlihat sangat lelah. Entah berapa lama aku tertidur. Aku ingin mengambil ponsel, tetapi Matthew menahan tanganku."Jangan sembarangan gerak. Kamu lagi diinfus." Setelah mendengarnya, aku baru menyadari ada beberapa kantong cairan infus yang digantung."Berapa lama aku tidur?" tanyaku dengan susah payah. Tenggorokanku terasa
Pagi hari, aku dibangunkan oleh Cassey. Aku bersembunyi di dalam selimut. Dia menarikku dan bertanya, "Leila, kami mau pergi snorkeling. Kamu mau ikut nggak?""Nggak mau." Aku masih sangat ngantuk. Aku menunjukkan tanganku yang terluka kepadanya dan meneruskan, "Dokter bilang tanganku nggak boleh kena air."Setelah mendengarnya, Cassey baru ingat. Dia tidak membangunkanku lagi dan hanya berpesan beberapa hal sebelum pergi.Sekitar 5 menit kemudian, rasa kantukku malah hilang. Aku pun terpaksa bangkit dari ranjang. Selesai mandi, aku mencari baju di koper.Begitu koper dibuka, ternyata semua isinya adalah terusan. Aku mengambil sebuah terusan berwarna putih, lalu membentangkannya dan mendapati terusan itu hanya mencapai bagian atas pahaku.Aku mengernyit, lalu mengambil terusan berwarna biru lagi. Yang ini lebih panjang, tetapi ada lubang di punggung dan di pinggang. Pada akhirnya, aku memilih terusan berwarna hitam dengan garis leher V yang sangat ketat.Setelah mandi dan berganti paka
Aku melihat jam di ponsel. Ternyata baru pukul 3 subuh lewat. Karena tidak ingin mengganggu Cassey, aku mengambil selimut dari lemari dan menaruhnya di bahuku. Kemudian, aku keluar untuk melihat bintang.Mungkin ada yang salah dengan cuaca tahun ini. Aku merasa angin yang bertiup agak panas.Setelah jauh dari kota, bintang di langit menjadi lebih terang. Pemandangan seperti ini tidak bisa dilihat di kota.Sesaat setelah aku duduk bersila, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Aku menoleh. Ternyata Matthew keluar dari pintu lain dan berdiri di depan pagar pembatas.Matthew masih mengenakan pakaian sebelumnya. Ketika dia melangkah keluar dari kegelapan, entah mengapa aku merasa dia terlihat seperti orang yang kesepian.Aku menggeleng, merasa pemikiranku ini agak konyol. Matthew selalu disanjung oleh orang-orang. Bagaimana mungkin orang seperti ini merasa kesepian?Ketika aku hendak kembali, tiba-tiba Matthew mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya. Asap mengepul. Aku melihat Ma
Entah mengapa, aku merasa agak malu. Aku yang ingin menghindar lagi sontak mematung. Matthew memanggil, "Hm?"Aku menggigit bibirku, lalu sengaja menyahut dengan tidak acuh, "Aku nggak ingin lihat."Senyuman di bibir Matthew menjadi makin jelas. Dengan suara rendah, dia bertanya, "Gimana kalau aku ingin kamu lihat?"Seketika, telingaku merasa geli. Aku sontak memalingkan wajah. Matthew juga menoleh untuk melihatku. Tiba-tiba, jarak di antara kami pun menjadi sangat dekat. Dekat sampai aku bisa mencium aroma krim cukurnya."Sudah selesai." Terdengar suara dokter. Aku sontak tersadar kembali, lalu menyingkirkan tangan Matthew yang menutup mataku.Dokter sudah melepaskan sarung tangannya. Dia menginstruksi, "Tanganmu nggak boleh kena air selama tiga hari. Jangan sering digerakkan juga. Aku akan membantumu mengganti perban setiap hari.""Setengah bulan juga sembuh." Dokter sedang membereskan kotak P3K. Dia menambahkan, "Oh ya, benang yang kupakai untuk kecantikan. Jadi, nggak usah khawatir
Para pria di tempat juga tidak sempat bereaksi. Aku hanya bisa menyaksikan Prilly melemparkan pecahan gelas kepadaku. Aku tanpa sadar menjulurkan tangan. Saat berikutnya, pecahan gelas menggores punggung tanganku.Seketika, pecahan gelas yang ternodai darahku pun terjatuh ke lantai. Aku kesakitan hingga berjongkok.Cassey segera maju untuk memapahku. "Leila ...."Matthew dan Yosef buru-buru menghampiri dari dek. Ketika melihat tanganku berdarah, wajah Matthew menjadi suram. Dia mendekatiku, lalu mengambil kain bersih untuk menekan tanganku. "Sakit sekali ya?"Aku sangat takut sakit, tetapi juga sangat pintar menahan sakit. Sebelumnya saat demam tinggi, Aku sama sekali tidak menangis. Namun, kali ini mataku malah berkaca-kaca. Aku mendongak menatap Matthew, melihat kecemasan pada tatapannya."Ya, sakit ...." Setelah mendengar jawabanku, Matthew menjadi panik. Dia menyuruh Yosef memanggil dokter yang mengikuti perjalanan ini, lalu menggendongku ke kamar."Nggak apa-apa, dokter akan seger