Titik terang-nya 1 part lagi, abis itu udahh. Harusnya aku taro ini setelah bab 'Titik Terang Part 2' tapi aku belom menemukan titik terangnya waktu itu. So sadd, aku ngerasa terpental dan terlempar dari universe Ryuga-Claudia :") Nanti aku update lagi, tapi jam-nya belom tau pasti yakkk. Makasih dah nunggu{}
Baru saja Ryuga hendak mencari kamar mandi yang Claudia pakai–instingnya mengatakan tata letak kamar mandi masih ada di lantai bawah dan kebetulan manik hitam Ryuga tertuju pada satu pintu di bawah tangga.Namun, langkahnya tertahan setelah mendengar pintu masuk rumah dibuka dari luar. Alis Ryuga naik sebelah, dia baru menyadari sesuatu: kemana perginya anggota keluarga Claudia yang lain dan yang terpenting … di mana Aruna?Kedua alis Ryuga langsung menukik tajam. Apakah sosok yang membuka pintu adalah Aruna?“Aru–Ucapan Ryuga terputus sendiri sebab sosok dibalik pintu bukanlah berwujud Aruna, melainkan sosok wanita tambatan hatinya.“Claudia …,” panggil Ryuga menggeram tertahan.Tubuh Claudia mematung. Dia memandangi Ryuga lamat-lamat. "Ryuga ...," batinnya berbisik lirih.Wajah Claudia tampak jauh lebih murung dibandingkan ketika dirinya ada di kamar tamu tadi. Netra matanya langsung bersinggungan dengan Ryuga.Claudia menggigit bibir bawah bagian dalamnya tanpa bisa mengatakan se
Sebelum menjawab pertanyaan Ryuga, Claudia ikut jatuh berlutut seperti apa yang Ryuga lakukan. Wanita itu mencoba bersikap tegar. “Ini juga sulit bagiku, Ryuga,” ungkap Claudia seraya melarikan satu tangannya untuk menyentuh sisi wajah kanan Ryuga. Lamat-lamat Claudia memandangi wajah pria yang akan sangat dirindukannya. Netra mata Claudia menelusuri dahi Ryuga lalu jatuh pada kedua alis tebalnya yang seringkali menukik tajam. Tanpa sadar, Claudia tersenyum lemah. Pandangannya jatuh pada manik hitam Ryuga yang sekarang tengah menyorotnya dalam. Claudia bersumpah, tidak ada pria lain yang menatapnya sedalam Ryuga menatapnya. ‘Aku mencintaimu, Ryuga,’ akui Claudia dalam hati kecilnya. Buliran bening menetes begitu Claudia mengedipkan matanya. Namun, cepat-cepat Claudia mengendalikan diri. Perlahan, air wajah Claudia berubah datar. Sorot matanya tampak dingin saat bersinggungan dengan manik hitam Ryuga dan suaranya juga tidak kalah dingin, “Tidak ada cara lain yang lebih baik de
"Ekhem." Dehaman sosok di belakang Emma–yang itu berarti dapat dilihat Claudia membuat wanita itu harus melerai pelukan keduanya. "Tante Yuli," gumam Claudia merasa tidak enak. Mendengar Claudia menyebutkan nama Yuli, Emma pun langsung memutar tubuhnya agar bisa melihat eksistensi Dekan Fakultas Seni Rupa tersebut. "Kamu datang lebih awal dari jam yang dimajukan, Clau. Apa urusannya sudah selesai?" Bu Yuli bertanya karena penasaran. Claudia membasahi bibir bawahnya. Dia jadi teringat Aruna. "Sudah, Tante. Jadi, aku memutuskan langsung menuju ke sini dan kebetulan ketemu Tante Emma," jelasnya sambil menolehkan wajah ke arah Emma.Seketika Claudia berpikir, 'Apa jadinya Tante Emma tahu jika aku baru saja bersama putra dan cucunya?' "Bukan kebetulan dong namanya," ucap Bu Yuli lagi disertai kekehan. Dia menunjuk Emma dengan sopan. "Tante Emma ini yang Tante bilang, ada tamu penting yang ingin bertemu langsung denganmu, Claudia." Mendengar penjelasan itu, Claudia mengernyitkan
“Mbak dimana?”Begitu Claudia mengangkat telepon Dirga, pemuda itu langsung menodongkan pertanyaan. Nada suaranya yang datar dapat memvisualisasikan bagaimana raut wajah pemuda itu di seberang sana.“Mbak di pameran seni-lah, Dir,” jawab Claudia sambil menghela napas. Wanita itu langsung berucap lagi, “Kenapa? Kamu mau datang?” tanya Claudia balik dengan antusias.Hari kedua pameran seni dibuka, belum ada tanda-tanda baik Dirga, Aruna maupun Aland datang berkunjung. Claudia berharap ketiganya bisa datang bersamaan di lain hari. Karena sekarang, Claudia sedang bersama Emma. Dan ada beberapa hal yang ingin Claudia beritahukan padanya.Alih-alih menjawab pertanyaan Claudia yang satu itu, Dirga melemparkan pertanyaan lain. “Pulang jam berapa, Mbak?”Seketika Claudia memutar tubuhnya untuk melihat Emma. Dia melemparkan senyum ke arah wanita paruh baya tersebut sebelum kembali membalikkan tubuhnya.Kepala Claudia menggeleng pelan. “Belum tahu, Dir. Kenapa memangnya?”Seingat Claudia, pertem
Selama menjalin hubungan dengan Aruna, ini pertama kalinya Dirga memasuki rumah gadis itu setelah berstatus sebagai mantan kekasih. Terlambat? Memang. Tanpa sepengetahuan Aruna, Dirga masih menyimpan ketidakrelaan atas selesainya hubungan keduanya. Hal itu ternyata menyakiti Dirga. “Jadi, mau bicara apa?” tanya Aruna the point. Mata besar gadis itu menatap lurus-lurus Dirga yang duduk di sofa hadapannya. Sementara beberapa saat lalu, Ryuga pergi ke ruang kerja meninggalkan keduanya yang berada di ruang tamu depan. Pria itu berpesan, ‘Aruna butuh istirahat. Jadi, bicaranya dipersingkat saja.’ Dirga belum memberikan respons. Manik hitamnya bisa melihat keseriusan di wajah cantik Aruna. Gadis itu benar-benar berubah setelah putus dengannya. Rasa-rasanya Dirga sedikit merindukan sisi manis Aruna yang selalu tersenyum cerah padanya. Tidak seperti sekarang, Aruna tampak kelihatan murung. “Aku akan melanjutkan studi-ku di Luar,” beritahu Dirga. Pemuda itu mengingat pesan Ryuga baik-bai
Satu hal yang Ryuga tidak ketahui adalah Dirga pergi menuju flat Claudia usai wanita itu menghubunginya sedang dalam perjalanan pulang.Kebetulan keduanya tiba dengan waktu yang hanya berbeda beberapa detik. Claudia melihat Vespa merah milik Dirga terparkir selagi dia menunggu mobil Emma pergi dari halaman flat yang disewa Claudia.Wanita itu masih melambaikan tangannya ke arah mobil yang membawa Emma di dalamnya. Bibir cherry-nya mengulas senyum. ‘Semoga ini awal yang baik,’ batinnya berbisik.“Mbak,” tegur suara berat familier yang sudah lama tidak Claudia dengar, kini sosoknya muncul di hadapan Claudia.Memastikan mobil Emma sudah tidak terlihat, Claudia baru menolehkan wajah pada pemilik suara berat tersebut. Kepala Claudia mendongkak lebih tinggi. Dahi wanita itu mengerut samar.“Hampir tiga minggu tidak bertemu, kok kamu makin nambah tinggi aja, Dirga?” Itu pertanyaan pertama yang dilayangkan Claudia. Sebenarnya tangan Claudia gatal ingin mengacak-acak poni rambut Dirga. Namun,
‘Besok … besok ….’Permintaan Dirga beberapa saat lalu mau tidak mau terngiang-ngiang dalam kepala Claudia. Wanita itu memikirkannya sambil menunggu lulur di badannya setengah kering di kamar mandi.Hari ini jadwalnya untuk luluran. Claudia baru saja membersihkan diri kemudian mengoleskan lulur ke seluruh tubuhnya usai lima belas menit yang lalu Dirga pergi dari kediamannya.“Pertama-tama aku harus bicara dulu dengan Aruna,” gumam Claudia sambil mengambil ponsel yang diletakkan di dekat wastafel. Dia tidak bermaksud menghubungi Aruna saat ini. Claudia bermaksud memutar musik agar kegiatan mandinya lebih relaks.Namun, begitu layar ponselnya menyala, sudah ada notifikasi tiga pesan dan lima panggilan dari Ryuga. Cepat-cepat Claudia segera membuka pesan dari pria itu.[Ryuga: Kamu di dalam, Claudia?][Ryuga: Aku di depan flatmu.][Ryuga: Kenapa tidak menjawab panggilanku? Jangan membuatku khawatir, Claudia.]Membaca pesan yang dikirimkan Ryuga membuat Claudia menggigit bibir bawah bagia
Ryuga menyadari jika pengendalian dirinya tehadap Claudia tidak sebaik sebelumnya. Semenjak kembali bersama, satu detik pun dia merasa tidak ingin berjauhan dengan Claudia. Entah itu kabar baik atau justru kabar buruk. Untungnya karena merasa sedang tidak enak badan, Ryuga membiarkan Claudia luluran di kamar mandi dengan tenang. Sementara Ryuga sudah duduk di sofa dengan pakaian yang diberikan Claudia. Kebetulan ... pas. Manik hitamnya menatap tote bag hitam yang ikut basah yang dibawanya dari luar. Pria itu menggumam, "Aku rasa isinya aman." Toh selain mengenakan Tote bag, terdapat kemasan box di dalamnya.Lantas Ryuga meraih ponsel dengan rencana menghubungi seseorang. Dia mulai mencari posisi duduk yang nyaman. Kepalanya tertoleh ke arah pintu kamar mandi.Sudut bibir tipis Ryuga terangkat, menyeringai. "Ada apa menelepon, Ryuga?" Suara dari si pemilik telepon bertanya di tempatnya berada.Mulut Ryuga terbuka, hendak menjawab Namun, tertahankan karena sosok lawan bicaranya l
“–Akan tetapi, tolong antarkan aku pergi ke tempat lapangan lari. Aku ingin jalan-jalan pagi.” Riel memukul stir yang dikemudikannya lalu memutar mobilnya ke arah tempat lapangan lari. Bisa-bisanya dia menuruti permintaan Lilia, dan parahnya membiarkan wanita yang tengah mengandung anaknya itu keluyuran sendirian. Sesaat, hatinya dilanda perasaan bersalah. Riel menyadari bahwa semakin hari, setiap minggu, dan beberapa bulan ke belakang sikapnya sangat acuh pada istrinya itu. “Ayo, angkatlah,” gumamnya pelan. Dia memutuskan menghubungi Lilia. Teleponnya aktif. Namun, tidak diangkat. Pikiran Riel terpecah. Sebelum Lilia turun dari mobil, dia sempat menatap Riel seolah ingin mengatakan sesuatu. “Katakan saja.” Berulah saat itu, Lilia mengutarakan pikirannya. Wanita itu mencengkram seatbelt yang sudah terlepas. “Aku serius dengan ucapanku tadi. Ayo berpisah setelah anak ini lahir.” Riel tidak memberikan respons. Manik hitamnya menyorot tajam, mencari kebenaran dibalik pernyataan Li
Ketegangan pagi itu tidak hanya terjadi pada sepasang ayah dan anak, melainkan juga terjadi pada sepasang suami istri di kediaman keluarga Waluyo.“Tidak bisakah kamu membatalkan agar tidak jadi pergi, Yel?”Istri mana yang tidak marah apabila suaminya baru saja pulang beberapa jam, harus kembali pergi meninggalkannya seorang diri … ditambah dengan keadaan hamil besar.Lilia memperhatikan baik-baik Riel yang sudah siap dengan pakaian berkudanya. Ya, Riel akan pergi berkuda bersama rekan-rekan bisnisnya.“Membatalkannya?” ulang Riel lantas menggelengkan kepala. “Itu tidak mungkin. Aku sudah merencanakannya lama dengan teman-temanku.”Setelah Riel kembali untuk menggantikan sang ayah memimpin perusahaan, dia mulai memiliki kesibukan-kesibukan di luar pekerjaan utama sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk menemani Lilia sehingga berujung … mengabaikannya tanpa sadar.“Bagaimana dengan aku, Yel?” tanya Lilia dengan pandangan yang meredup. Perlahan, dia menundukkan pandangan dan mengus
“Daddy!” Sebuah protesan dilayangkan Aruna tepat saat dia diinterograsi Ryuga di ruang tamu bersama Pras. Ya, suara lain itu milik Ryuga. Bukan milik hantu penunggu rumah ataupun kucing jadi-jadian. “Semua yang Daddy tuduhkan pada Kak Pras salah besar,” ucapnya dengan tegas. Aruna sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun, ekspresi Ryuga menunjukkan jika dirinya tidak percaya. Kedua alis Ryuga berkedut samar. “Oh, kamu membelanya, Aruna?” Mata besar Aruna memicing menatap ke arah Daddy-nya. Besok-besok, Aruna harus memberikan saran pada Aji untuk memasang CCTV di dalam rumah agar kejadian seperti ini bisa terekam oleh bukti. “Bukan begitu, Daddy …,” geleng Aruna dengan suara yang putus asa. Aruna frustasi. Mencoba menghilangkan ketakutannya, dia berucap, “Mommy mana? Cuma Mommy yang bisa bersikap netral dan tidak kekanakan seperti Daddy.” Aruna tidak peduli lagi jika kemarahan Ryuga bertambah dua kali lipat. Saat Ryuga mengeluarkan tanduk tak kasat mata di kepalanya, Arun
Selang beberapa menit di kamar mandi, Aruna baru ke luar dengan wajah yang sudah tampak lebih segar. ‘Nggak perlu panik, Na. Itu cuma Kak Pras ‘kan? Bukan Kak Sam aktor terkenal?’ batinnya mencoba menenangkan diri. Tidak dipungkiri jika debar itu hadir dalam dadanya saat melihat Pras bersama Aland tadi. Wajahnya dibiarkan setengah basah. Tidak ada poni yang menghiasi dahi Aruna. Rambutnya terurai, sedikit berantakan. Namun, justru itu daya pikat alaminya. Mata besar Aruna celingukan melihat ke arah ruang tamu yang sudah tidak ada siapa-siapa. “Ke mana perginya beruang kembar itu?” Satu alis Aruna naik, keheranan. Yang Aruna maksud dengan beruang kembar itu Pras dan Aland. Rasa-rasanya julukan beruang kembar sudah cocok untuk keduanya. Detik setelah gumaman itu mengudara, knop pintu dibuka dari luar. Satu sosok beruang yang Aruna cari muncul. Dia melangkah masuk dan mengambil asbak kecil yang ada di atas meja. Belum sempat Aruna bertanya, suara berat pemuda di hadapannya lebih du
Ternyata Ryuga benar. Dia sama sekali tidak salah mendengar. “Mas Ryuga?” ulang Ryuga lalu menusukkan ujung lidahnya di salah satu pipi. Dia mengurungkan niat–sebenarnya Ryuga hanya sekadar menggoda Claudia. Mendapati Ryuga yang merangkak mendekatinya, Claudia buru-buru meraih selimut dengan susah payah untuk menutupi tubuhnya yang polos. Setengah dari wajahnya sudah hampir tertutupi selimut, hanya saja Ryuga berhasil menariknya turun sebatas leher. “Ulangi, Claudia,” pintanya dengan suara yang rendah. Claudia menaikkan pandangan, menatap Ryuga, sebab tangan suaminya itu mengangkat dagunya. Seluruh wajah Claudia memanas. Bibir cherry-nya perlahan disentuh Ryuga dengan cara yang sensual. “Baiklah, jika memang Nyonya Daksa ini tidak mau bicara, aku menganggapmu tidak ingin melanjutkan– “Ja-hat!” Mendengar Claudia merutuk, sudut bibir Ryuga tertarik ke atas. Demi apapun, Claudia tampak menggemaskan. Apalagi Claudia yang menghindari kontak mata dengan manik hitamnya. “A–aku masih b
Warning: Mature content! Bagi yg kurang nyaman untuk baca, bisa skip bab ini okayyyy. Thank u … di atas ranjang.Namun, bukan berarti kehadiran calon anaknya yang sebentar lagi akan lahir tidak diinginkan oleh Ryuga. Dia sudah sangat menantikannya.“Lebih turun sedikit lagi, Claudia,” pinta Ryuga berbisik pelan di telinga istrinya itu dengan suaranya yang dalam. Tangannya membelai sisi pinggang atas Claudia yang terasa lembut.Pada kehamilan Claudia yang sudah menginjak tujuh bulan, Claudia tampak lebih berisi di beberapa bagian tubuh, salah satunya di bagian dada. Tangan Ryuga sudah bergeser pada bagian itu. Menekan lalu menggoda cherry di dada Claudia menggunakan dua jarinya.Satu lenguhan pelan mengudara. “Engh~”Dia
Mas RyugaMungkin sudah ratusan kali–oke, bagi Claudia itu berlebihan, rasanya sudah puluhan kali dia merapalkannya baik dalam hati maupun isi pikirannya. Bibirnya terlalu kelu untuk memanggil Ryuga demikian.Lidahnya terlalu kaku. Sisi dalam diri Claudia berbisik, ‘Semua akan terbiasa. Jadi, dicoba dulu, Clauuuu!’“Ryuga dan Aland belum pulang, Clau?”Celetukkan itu membuat Claudia mengerjapkan mata lantas menatap Sang Ayah yang sudah tampil rapi di hadapannya. “Ha? O–oh, belum, Yah. Sepertinya sebentar lagi,” jawab Claudia menduga-duga.Dia mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang kini menunjukkan baru pukul tujuh pagi. Sekitar satu setengah jam lalu, Aji mengatakan jika Ryuga dan Aland ke luar untuk lari pagi.Baru Claudia ketahui setelah menikah jika Ryuga akan pergi berolahraga minimal satu kali dalam seminggu. Claudia menolehkan wajahnya lagi ke arah Aji. “Ayah sudah harus pergi sekarang?”Aji menganggukkan kepalanya. “Rasanya ada yang kurang kalau belum Ayah pastikan s
Pras mengantarkan Aruna pulang sesuai jam yang sudah ditetapkan Aji. Tidak ada keanehan. Sepanjang makan malam pun, Aruna bahkan tak segan memamerkan manik-manik yang dibelikan Pras di Pasar Sabtu. Namun, sekitar hampir jam setengah sembilan malam, gadis itu mulai terbatuk-batuk dan kesulitan bernapas. Asma Aruna … kambuh. Dan di saat-saat seperti itu, kekhawatiran Ryuga datang dua kali lipat. Pria itu cekatan memastikan kebutuhan Aruna terpenuhi. Claudia tidak diperbolehkan membantu, hanya menemani Aruna yang berbaring di ranjang tidur. Lagi-lagi Claudia dibuat terpesona. Dia beberapa kali kedapatan menggigit bibir bawahnya, menginginkan sesuatu dari suaminya itu. Akan tetapi, dengan cepat Claudia menepis jauh-jauh pemikirannya. ‘Ish, mikir apa, sih, kamu, Clau?!’ “Mom, tidur dengan Aruna, ya, malam ini?” pinta gadis itu sambil memeluk lengan Claudia. Hal itu membuat fokus Claudia teralihkan. Dia tidak langsung mengiakan. Malah melemparkan pandangan pada Ryuga yang ternyata sudah
Ryuga menjeda ucapannya, dia belum sepenuhnya selesai. “Coba saja kalau kamu berani, Al.”Suaranya yang terdengar tegas dengan manik hitam yang menyorot tajam membuat Aland perlahan menarik kembali kepalanya ke dalam dan menutup pintu rapat-rapat setelah memberikan cengiran khasnya.‘Ya mana berani kalau sama Om Ryuga.’ Aland berani menghadapi masalah lain di luar sana, tapi jika menyangkut kakak iparnya, Aland rasanya sudah menyerah duluan.Pemuda itu meneguk ludahnya dalam-dalam. “Om Ryuga kapan nggak kelihatan seremnya, sih, Mbak?” keluhnya sambil berjalan mendekati Claudia. Jari telunjuk Aland mengambang, menunjuk ke arah perut besar kakak perempuannya. “Curiga … anaknya bakal mirip Om Ryuga banget kalau sudah dewasa.”Claudia mengelus perutnya dengan sayang. Bibir cherry-nya tersenyum mendengar Ryuga dalam keadaan marah pun masih peduli padanya. “Kok mesti dicurigai segala, Al? Wajar kalau mirip Ryuga, ‘kan memang Daddy-nya.”Mendaratkan bokongnya kembali di ranjang tidur, Aland