Lidia Apaa? Mas Yusuf melamarku lagi? Sungguh nekad sekali laki-laki ini. Tepatnya, tidak tahu malu. "Apa kamu bilang? Dasar laki-laki nggak tau malu!" teriak Bapak. Tuh kan! "Sudah kere begini ingin ngelamar anakku? Mau kamu kasih makan apa nanti anakku? Utangmu saja menumpuk di mana-mana," ketus Ibu. Mas Yusuf menoleh padaku. Tatapannya penuh harap. Sebenarnya aku kasian padanya. Tapi aku tak mungkin menerima lamarannya. Bukan karena sekarang Mas Yusuf sudah tidak punya apa-apa lagi. Tapi, memang sudah tidak ada cinta lagi di hati ini untuknya. "Lidia ..., Apa kamu bersedia menerima lamaranku?" Ya Tuhan. Mas Yusuf begitu memelas. Apa yang harus aku katakan untuk menolaknya. Kenapa aku jadi lemah seperti ini? "Lidia, Mas berjanji akan menjagamu dan mencintaimu selamanya." Mas Yusuf terus mencoba merayuku. "Hei! Apa kamu lupa ketika mengembalikan Lidia ke rumah ini? Kamu bilang bahwa anakku nggak becus jadi istri? Kamu kembalikan dia karena sakit," teriak ibu. Sontak wajah M
Lidia Aku terduduk di kursi taman villa yang tidak terlalu ramai. Namun jelas terlihat beberapa orang yang menyaksikan sikap Andre yang menjadi pusat perhatian. Sepertinya aku harus siap-siap mengadakan jumpa fans lagi. Jika video yang tadi viral, setidaknya aku bisa menjelaskan pada media juga produserku. Sepeninggal Andre, aku segera menghampiri Brian yang sejak tadi nampak sibuk mondar mandir di sekitar lokasi taman. "Bri, Andre mengancamku. Sepertinya kejadian tadi akan viral dan akan menjatuhkan karierku." "Tenang aja. Team kita sudah menanganinya. Aku sudah memantau gelagat Andre sejak tadi. Aku pastikan video tadi tidak akan tersebar." Penjelasan Brian membuatku lebih tenang. Asistenku ini memang bisa diandalkan. "Tapi ... Ada video yang viral tentangmu sejak beberapa jam yang lalu. Kamu harus lihat ini!" Brian membuka ponselnya. Apaa? Video viral tentangku? Ya Tuhan. Semoga saja bukan yang aneh-aneh. Aku beranjak menuju kursi rias yang terletak di bawah tenda, tak jauh
Bab 38. Siapa yang Tertembak?Aku mengikuti Kak Fahri masuk ke dalam rumah besar dengan desain sederhana itu. Aku membelalak ketika melihat siapa saja yang ada di ruangan keluarga yang begitu luas. Mengapa mereka semua ada disini? "Lidia, sini Sayang!" Mama Anne menghampiri lalu mencium kedua pipiku. Wanita ini selalu bersikap seperti ini. Melebihi ibuku sendiri. Ibu dan Bapak nampak sudah duduk di sofa empuk yang panjang berposisi menyerupai huruf L yang berada di sebelah kanan ruangan ini. "Ini rumah Mama juga?" "Bukan, ini rumah peninggalan almarhum neneknya Fahri." Aku mengangguk-angguk melihat sekeliling ruangan dengan banyak hiasan dinding bertuliskan kaligrafi. Rumah ini terasa sangat damai, padahal tidak semewah rumahku apalagi rumah Mama Anne. Aku menghampiri Bapak dan Ibu lalu mencium tangan mereka. Kemudian ikut duduk disamping Ibu. Aku tersentak seseorang mengamatiku dari ujung ruangan. Andre menatap nyalang padaku. Laki-laki itu duduk di sebuah kursi santai. Wal
Aku mendengar suara keributan di dalam rumah besar itu. "Mang Karta, itu seperti ada ribut-ribut dalam rumah." Tukang kebun Mas Fahri itu terdiam sejenak. Seolah-olah berusaha mencari suara keributan yang kumaksud. Sejak sore tadi aku memilih untuk berada di kebun ini bersama Mang Karta. Pria berumur sekitar lima puluhan itu banyak sekali bercerita dan memberi wejangan padaku. Ternyata di usiaku yang sudah tak muda ini, masih sedikit sekali kebaikan yang aku lakukan. Ya Allah, masih adakah kesempatanku untuk berbuat baik pada orang lain? "Mas Yusuf, seperti ada orang yang berteriak-teriak. Apa sebaiknya kita ke dalam saja?" ajak laki-laki setengah tua itu dengan wajah panik. "Ayo, Mang!" Spontan aku berlari ketika mendengar suara teriakan seorang wanita dari dalam. Mang Karta mengikutiku. Kami masuk dari pintu belakang. "Diam semua!" Jangan ada yang bergerak! Astaga!! Andre menodongkan pistolnya ke arah Lidia. Ya Allah. Lindungilah Lidia. Wanita itu tampak sangat pucat. Tubu
Lidia Suasana pemakaman sudah sepi. Aku masih menemani Kak Fahri yang berjongkok di depan gundukan tanah merah. Laki-laki itu nampak terdiam setelah selesai membacakan doa-doa untuk almarhum mantan suamiku. "Mas Yusuf, begitu besar cintamu pada Lidia. Hingga kau mengorbankan nyawamu sendiri. Aku berjanji akan menjaga Lidia semampuku. Akan mencintainya seumur hidupku." Dadaku berdebar mendengar ucapan demi ucapan dari Kak Fahri. Sejak kemarin dia mengatakan hal itu. Tapi tidak langsung padaku. Dasar cowok gengsian. Laki-laki itu tetap tertunduk menatap kayu bertuliskan nama Mas Yusuf. "Kak, yuk pulang! Kita ditunggu Mama di mobil." Dengan hati-hati aku mengajak laki-laki berbaju koko putih itu untuk pulang. Tanpa menjawab Kak Fahri berdiri dan langsung melangkah pergi. Mulai deh. Aku ditinggal-tinggal. Dengan malas aku mengikuti langkah lebarnya. "Kaaak ...!! Tungguin kek !!" teriakku yang tertinggal cukup jauh. Dia berhenti. Namun tak menoleh padaku. Malah sibuk buka-buka po
Lidia "Assalamualaikum istriku yang cantk." Dadaku berdebar saat mendapatkan tatapan yang begitu lekat dari Kak Fahri. "Waalaikumsalam. Apaan sih, Kak? Kok liatinnya gitu?" Aku yang baru saja selesai berpakaian, sontak membuang pandangan ke arah jendela kamar. "Ssst, jangan membuang muka kalau lagi dipandang suami." Kak Fahri mendekat dan meraih daguku. Saat ini kedua netra kami bertemu. Kami saling menatap dalam diam. Seakan tak ingin berpaling, bagai magnit tatapan kami terkunci satu sama lain. Entah siapa yang memulai untuk saling mendekat, tiba-tiba saja tubuh kami sudah tak lagi berjarak. Napas suamiku memburu. Wajah tampannya begitu menghipnotis jiwaku. Aroma maskulinnya seakan melumpuhkan seluruh syaraf ditubuhku. Kak Fahri memajukan wajahnya hingga wajah kami nyaris menempel. Kupejamkan mata karena tak sanggup menahan malu membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Ehm ..., nggak jadi. Aku tunggu di luar. Jangan lama-lama!" Aku tersentak mendengar suara bisikan K
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den