Aku mendengar suara keributan di dalam rumah besar itu. "Mang Karta, itu seperti ada ribut-ribut dalam rumah." Tukang kebun Mas Fahri itu terdiam sejenak. Seolah-olah berusaha mencari suara keributan yang kumaksud. Sejak sore tadi aku memilih untuk berada di kebun ini bersama Mang Karta. Pria berumur sekitar lima puluhan itu banyak sekali bercerita dan memberi wejangan padaku. Ternyata di usiaku yang sudah tak muda ini, masih sedikit sekali kebaikan yang aku lakukan. Ya Allah, masih adakah kesempatanku untuk berbuat baik pada orang lain? "Mas Yusuf, seperti ada orang yang berteriak-teriak. Apa sebaiknya kita ke dalam saja?" ajak laki-laki setengah tua itu dengan wajah panik. "Ayo, Mang!" Spontan aku berlari ketika mendengar suara teriakan seorang wanita dari dalam. Mang Karta mengikutiku. Kami masuk dari pintu belakang. "Diam semua!" Jangan ada yang bergerak! Astaga!! Andre menodongkan pistolnya ke arah Lidia. Ya Allah. Lindungilah Lidia. Wanita itu tampak sangat pucat. Tubu
Lidia Suasana pemakaman sudah sepi. Aku masih menemani Kak Fahri yang berjongkok di depan gundukan tanah merah. Laki-laki itu nampak terdiam setelah selesai membacakan doa-doa untuk almarhum mantan suamiku. "Mas Yusuf, begitu besar cintamu pada Lidia. Hingga kau mengorbankan nyawamu sendiri. Aku berjanji akan menjaga Lidia semampuku. Akan mencintainya seumur hidupku." Dadaku berdebar mendengar ucapan demi ucapan dari Kak Fahri. Sejak kemarin dia mengatakan hal itu. Tapi tidak langsung padaku. Dasar cowok gengsian. Laki-laki itu tetap tertunduk menatap kayu bertuliskan nama Mas Yusuf. "Kak, yuk pulang! Kita ditunggu Mama di mobil." Dengan hati-hati aku mengajak laki-laki berbaju koko putih itu untuk pulang. Tanpa menjawab Kak Fahri berdiri dan langsung melangkah pergi. Mulai deh. Aku ditinggal-tinggal. Dengan malas aku mengikuti langkah lebarnya. "Kaaak ...!! Tungguin kek !!" teriakku yang tertinggal cukup jauh. Dia berhenti. Namun tak menoleh padaku. Malah sibuk buka-buka po
Lidia "Assalamualaikum istriku yang cantk." Dadaku berdebar saat mendapatkan tatapan yang begitu lekat dari Kak Fahri. "Waalaikumsalam. Apaan sih, Kak? Kok liatinnya gitu?" Aku yang baru saja selesai berpakaian, sontak membuang pandangan ke arah jendela kamar. "Ssst, jangan membuang muka kalau lagi dipandang suami." Kak Fahri mendekat dan meraih daguku. Saat ini kedua netra kami bertemu. Kami saling menatap dalam diam. Seakan tak ingin berpaling, bagai magnit tatapan kami terkunci satu sama lain. Entah siapa yang memulai untuk saling mendekat, tiba-tiba saja tubuh kami sudah tak lagi berjarak. Napas suamiku memburu. Wajah tampannya begitu menghipnotis jiwaku. Aroma maskulinnya seakan melumpuhkan seluruh syaraf ditubuhku. Kak Fahri memajukan wajahnya hingga wajah kami nyaris menempel. Kupejamkan mata karena tak sanggup menahan malu membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Ehm ..., nggak jadi. Aku tunggu di luar. Jangan lama-lama!" Aku tersentak mendengar suara bisikan K
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den
Aku marapatkan telingaku ke pintu. Tubuhku bergetar hebat saat mengetahui suara siapa saja yang berada di dalam. Dadaku bergemuruh dan sesak. Seakan ada batu besar yang menghimpit. Benarkah apa yang aku dengar ini? Atau hanya mimpi? Atau mungkin saja saat ini mereka berdua sedang prank aku. Sepertinya firasatku sejak kemarin memang tidak salah. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. "Tidak semudah itu, Naila. Aku tak mau menyakiti perasaan Lidia. Dia sedang program hamil. Aku tak mau dia berpikir yang berat-berat." Kak Fahri ternyata masih memikirkan perasaanku, makamya dia tak mau terus terang. Lalu siapa Ayah dari anak yang kemarin dibawa Naila? Apakah ... "Tapi Upstad, Ibra sebentar lagi akan sekolah. Dia butuh akte dan nama seorang Ayah. Apa kata orang tuaku jika mengetahui bahwa kita hanya menikah siri?" "Apaaaa? Kalian menikah siri?" jeritku bergetar. Tak tahan akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Kak Fahri dan Naila sedang duduk
Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen
POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang