Shully langsung melambaikan tangan, "Nggak perlu segan, Pak Billy. Kiara agak sedikit mual, tapi dokter sudah memasang infus untuknya."Billy hanya menangkap kata mual dan akhirnya pandangannya kembali tertuju pada Kiara. Kiara mencengkeram kuat kasur dan tak berani menatapnya. Ekspresi Billy tetap dingin."Iya, terima kasih. Aku akan membawa Kiara ke rumah sakit, kamu bisa lanjut ke kelas."Shully pun merasa tidak ada alasan untuk tinggal lebih lama. Setelah mendengar kata-katanya, dia mengangguk dan pergi.Begitu Shully pergi, ruang UKS menjadi sunyi. Hanya terdengar suara tirai yang tertiup angin.Keadaan Kiara sangat buruk, kepalanya tertunduk tanpa sekalipun diangkat.Billy bertanya, "Sejak kapan kamu mulai mual?"Kiara tahu sudah waktunya menghadapinya. Dengan mata terpejam dan suara yang bergetar, dia menjawab, "Dua hari lalu."Billy masih bertanya dengan dingin, "Masih ada gejala lain?""Aku ... belum datang bulan."Suaranya nyaris tak terdengar."Ke rumah sakit saja dulu, kit
"Yakin?" tanya Billy.Dokter menjawab dengan penuh keyakinan, "Iya, yakin."Kiara yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya pada Billy.Namun, setelah mendengar hasil tersebut, wajahnya tetap tenang, tanpa menunjukkan emosi apapun. Bahkan tanpa ragu, dia bertanya pada dokter dengan datar, "Dia perlu dirawat di rumah sakit?""Nggak perlu, radang lambungnya nggak parah. Cukup dengan obat dan pola makan yang teratur saja."Billy tetap tenang dan menjawab, "Baiklah.Tak lama setelah itu, dokter pergi. Kiara tak menyangka hasilnya akan seperti ini.Ternyata dirinya tidak hamil.Billy berjalan mendekatinya dan berkata, "Dokter bilang hanya radang lambung."Mendengar itu, Kiara merasa seluruh tenaganya hilang. Namun, di dalam hatinya, ada rasa kecewa yang begitu besar.Dia masih belum berhasil hamil ...Setelah beberapa saat, dia berbicara lagi, "Maaf, aku kira ... ternyata hanya salah paham."Suara tangis bayi terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin mengacaukan pikirannya
Ketika akhirnya Kiara membuka pintu mobil dan turun, tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya, "Kiara."Mendengar suara itu, Kiara langsung berbalik ke arah sumber suara. Terlihat Tedy berdiri sekitar lima meter di belakangnya. Begitu melihatnya, Kiara merasa seperti tertiup angin yang begitu kuat hingga membuatnya terpaku di tempat, menatap pria itu tanpa bergerak.Tedy yang juga melihat Kiara segera berjalan cepat ke arahnya. Dengan alis sedikit berkerut, dia awalnya tidak memperhatikan mobil apa yang baru saja diduduki Kiara. Namun, begitu mendekat, dia menyadari itu adalah mobil Billy."Pak Billy?"Tedy berdiri di samping mobil dan memanggil ke arah dalam. Billy menurunkan kaca jendela mobil, menatap Tedy yang berjalan mendekat.Melihat Billy, wajah Tedy langsung tersenyum ramah dan berkata, "Ternyata benar Pak Billy, aku pikir salah lihat tadi."Billy membalas senyumannya, seperti memerhatikan seseorang yang lebih muda darinya, "Baru pulang dari kantor?"Tedy tersenyum lebar da
Setelah Billy pergi, Tedy mendekati Kiara. Tangannya berusaha menyentuh wajah Kiara, tetapi Kiara terus menghindar. Akhirnya, Tedy memegang bahunya dengan kedua tangan dan menahannya erat-erat."Kiara!" panggil Tedy.Kiara merasa lemas, seakan seluruh energinya telah habis.Sementara itu, mobil Billy sudah melaju jauh. Namun, saat mobil berhenti di lampu merah, matanya secara reflek mengarah ke kaca spion, melihat pemandangan Tedy yang memeluk Kiara.Tedy hanya fokus pada keadaan Kiara, dia berkata, "Ayo, kita balik ke asrama."Dia menggenggam tangan Kiara dan mengajaknya pergi, tetapi Kiara berkata pelan, "Tedy, aku lapar."Mendengar itu, Tedy langsung mengangguk, "Iya, kita makan dulu."Akhirnya, mereka pergi ke restoran kecil yang sering mereka datangi. Di sana, Tedy sibuk melayani Kiara, mencuci mangkuk dan mengambil alat makan untuknya dengan penuh perhatian.Kiara hanya duduk diam memperhatikannya.Biasanya, saat melihat Tedy melakukan hal seperti ini, dirinya akan tersenyum baha
Tubuh Kiara basah kuyup oleh keringat saat dia bangkit dari ranjang. Dia mengambil ponselnya dan memeriksa panggilan yang masuk. Ada telepon dari Shully, temannya, bahkan beberapa teman yang dia kenal dari Tedy. Namun, perhatian Kiara tertuju pada sebuah pesan dari Shully, "Kiara, Tedy dalam masalah."Melihat pesan itu, tangan Kiara gemetar. Dia segera menelepon Shully, begitu telepon diangkat, Shully langsung berkata, "Kiara! Akhirnya kamu angkat telepon juga, Tedy lagi di kantor polisi sekarang!"Mendengar kata kantor polisi, Kiara bertanya panik, "Kenapa dia bisa ada di kantor polisi?""Dia ... dia berkelahi di bar tadi malam, katanya orang yang dia pukul ... terluka parah.""Astaga, dia baru saja masuk Grup Tandean, apa dia sudah gila? Bisa-bisanya membuat kasus seperti ini! Kita semua nggak bisa menemuinya sekarang!"Kiara mencoba menenangkan diri meski pikirannya kacau. Dia hanya menjawab, "Iya, aku tahu."Dia menutup telepon itu, tetapi otaknya benar-benar kosong. Apa yang harus
Kiara berpikir selama Billy mau membantunya kali ini, dia bersedia melakukan apa saja, bahkan menjadi budak sekalipun.Dengan penuh permohonan, Kiara berkata, "Bisakah kamu membantunya agar dia nggak masuk penjara? Agar dia nggak mendapat catatan kriminal, ini menyangkut masa depannya, Kak Billy."Billy memandang wajah Kiara, menatap ekspresinya yang penuh kecemasan, seolah-olah dunianya sudah runtuh.Dia memutar-mutar pemantik api di tangannya, memainkannya beberapa kali sebelum berbicara, "Kamu tahu nggak, masalah seperti ini nggak mudah diselesaikan. Apalagi, dia baru saja masuk ke Grup Tandean."Nada suaranya dingin dan wajahnya tidak menunjukkan emosi.Mendengar ini, hati Kiara dipenuhi firasat buruk.Dia menjawab dengan suara lirih, "Aku ... aku tahu."Dia terdiam sejenak, tak berani berkata apa-apa lagi.Billy melanjutkan, "Anak muda memang suka menghancurkan masa depannya sendiri, ya?"Wajah Kiara semakin pucat, bibir bergetar dan berkata lagi, "Kak Billy, tolong bantu Tedy. Ka
Billy sama sekali tidak mengungkit masalah ini lagi.Akhirnya, Kiara pun merasa lega. Dia berpikir, yasudahlah, tidak perlu bertanya lagi. Anggap saja tidak tahu apa-apa. Lagipula, dirinya juga tak akan bisa membalas kebaikannya."Kak Billy, mulai sekarang, apapun yang kamu minta, aku akan bersedia melakukannya."Ujar Kiara dengan tulus. Bulu matanya yang tebal dan hitam menunduk ke bawah, menciptakan bayangan gelap di kelopak matanya yang sedikit membiru.Namun, Billy tidak menanggapinya. Dia hanya berkata, "Kurasa kamu juga nggak ada niat untuk masuk kelas hari ini. Sebaiknya kamu ke rumah sakit untuk diinfus, sekalian temani kakakmu."Kiara tetap berkata, "Terima kasih, Kak Billy."Mobil itu melaju meninggalkan gerbang kampus menuju rumah sakit. Setibanya di sana, Kiara langsung diantar utnuk menjalani infus. Kebetulan rumah sakit itu adalah tempat kakaknya dirawat. Saat mendengar Kiara sedang sakit, Martha langsung menelepon dan mengatakan ingin segera datang. Namun, Billy mencegah
Billy menarik tangannya dari selimut Kiara dengan santai, berdiri tanpa memperlihatkan ekspresi yang aneh.Martha tersenyum dan berkata, "Aku takut terjadi sesuatu pada Kiara, jadi aku nggak tenang dan datang untuk melihatnya.Billy tidak menyembunyikan apapun dari Martha. Dia menjelaskan, "Ada sedikit masalah yang terjadi pada Tedy, tapi baru saja selesai diurus."Lalu, Billy menambahkan lagi, "Kebetulan kamu datang, coba tenangkan dia."Tentu saja Martha tahu siapa Tedy. Dia berjalan masuk dan langsung menuju sisi ranjang. Saat dia sampai di sana, Billy segera menjauh dari ranjang, menjaga jarak dengan Kiara.Martha duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Kiara dan bertanya, "Ada apa? Ayo ceritakan padaku."Wajah Martha terlihat penuh perhatian dan kelembutan. Namun, Kiara justru terdiam sesaat. Setelah beberapa saat, dia baru menjawab dengan pelan, "Tedy dalam masalah. Dia berkelahi di bar, untungnya Kak Billy yang membantu menyelesaikannya."Kiara khawatir kakaknya akan marah,
Pelayan menjawab sambil tersenyum, "Sudah pulang, lagi ganti baju di lantai atas."Mendengar itu, Billy mengangguk. Saat hendak berjalan menuju tangga, pandangannya tertuju pada sesuatu di meja dekat sofa. Langkahnya terhenti, lalu membungkuk dan mengambil kotak obat yang ada di sana.Pelayan itu teringat bahwa dia lupa memasukkan barang milik Kiara kembali ke tasnya. Dengan tergesa-gesa, dia berkata, "Pak Billy, sepertinya itu barang milik Bu Kiara, aku yang keluarkan dari tasnya."Tatapan Billy yang awalnya tenang kini berubah tegang. "Punya Kiara?""I ... iya, punya Bu Kiara."Raut wajah Billy menjadi dingin, "Dia di atas?"Pelayan merasa suasana berubah menjadi tidak nyaman, "Iya ... di kamar atas."Tanpa membuang waktu, Billy berjalan cepat menuju lantai atas.Kiara baru saja selesai mengganti pakaian di kamar. Dia sedang berdiri di depan meja rias untuk mengambil anting kecilnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kiara langsung menoleh ke arah pintu.Dengan panik, dia berdiri dan me
Kiara menarik tangannya perlahan dari genggaman Billy, "Aku lupa tadi."Billy juga menarik kembali tangannya, "Yasudah, pergilah ke kelas.""Iya, Kak Billy," jawab Kiara dengan lembut, lalu membuka pintu mobil dengan hati-hati kali ini, memastikan tangannya yang terluka tidak terbentur lagi.Setelah memastikan Kiara masuk ke gerbang kampus, mobil Billy pun melaju pergi.Namun, Kiara masih merasakan kehangatan yang tertinggal di pergelangan tangannya, seperti ada jejak yang tak bisa dihilangkan, meski dirinya sudah berusaha mengabaikannya.Siang harinya, Kiara dan Shully memutuskan untuk membolos kelas yang tidak terlalu penting. Mereka berjalan-jalan di luar kampus. Setelah beberapa waktu, Shully bertanya, "Kiara, kamu tinggal di mana sekarang?"Kiara sedang memegang gaun yang menarik perhatiannya. Mendengar pertanyaan itu, dia menjawab cepat, "Ah, aku tinggal di rumah."Shully mengangguk, "Kupikir kamu tinggal di asrama beberapa hari ini."Kiara tersenyum lemah dan menjawab, "Nggak, a
Setelah lukanya selesai dibalut, pelayan tidak membiarkan Kiara tetap berada di dapur dan mengusirnya ke meja makan. Kiara baru duduk dan melihat Billy sudah ada di sana.Saat itu, langit di luar masih gelap, waktu baru menunjukkan pukul enam pagi.Keduanya diam, tak saling bicara.Billy meletakkan koran di tangannya, lalu bertanya, "Lukanya dalam?"Pertanyaannya terdengar seperti basa-basi saja.Kiara menggigit bibirnya dan menggeleng, "Nggak."Matanya melihat ke bawah, bulu matanya memantulkan cahaya lembut dari lampu, bergetar seperti dilapisi kilauan halus.Mendengar jawabannya, Billy hanya menggumam pelan sebagai tanggapan dan tidak bertanya lebih jauh, kembali membaca korannya.Tak lama kemudian, pelayan membawa hidangan pertama ke meja. Ruang tamu sunyi, pelayan itu segera kembali dapur setelah meletakkan makanannya.Di dapur, pelayan sempat berpikir, kenapa kedua orang ini bangun begitu pagi? Mereka terlihat seperti tidak tidur semalaman.Namun, pelayan itu tak bisa memastikan
Kiara merasa agak tidak nyaman ketika dicium oleh Billy selama beberapa detik, matanya basah, bibirnya terus bergumam, "Kak Billy, kenapa kita sudah begitu sering, tapi tetap nggak berhasil?"Kiara mulai meragukan dirinya sendiri, apakah dirinya mandul, mengingat sudah sekian lama dan begitu sering, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan.Dia terisak dan berkata lagi, "Aku tahu kamu nggak tertarik padaku, tapi hanya dengan segera hamil, kita bisa terbebas dan kamu bisa bersamanya bersama kakak tanpa bertengkar lagi. Aku nggak mau menunggu lagi, tolong Kak Billy."Kata tolong yang dia ucapkan justru seperti menambah bensin pada api yang sudah menyala."Kiara, kamu nggak tahu bahwa kata tolong nggak boleh diucapkan dalam situasi seperti ini?" Billy berhenti mencium bibirnya, menatapnya dengan tatapan tajam.Kiara terdiam sejenak, tidak langsung menjawab kata-kata itu, wajahnya terlihat agak ragu.Dia juga tidak tahu kenapa dirinya mengatakan kata-kata itu, tapi dia benar-benar tidak punya
Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu ruang kerja, Billy pun menoleh ke arah pintu. Pintu terbuka dan sosok bayangan dengan gaun tidur putih melangkah masuk.Melihat Kiara datang, tangan Billy yang sedang memijat pelipis langsung terhenti.Kiara berdiri di depannya tanpa bergerak."Kiara?" tanya Billy sambil mengangkat alisnya."Kak Billy, kamu belum tidur? Aku sudah menunggumu sejak tadi."Tatapan Billy mulai menjadi lebih dalam dan serius, dia terus menatap gadis yang berdiri di depannya.Sebenarnya, dirinya sama sekali tidak punya niat seperti itu malam ini. Namun, dia tak menyangka Kiara akan datang dan mendorong pintu ruang kerjanya. Tatapannya yang tajam terus memandang tubuh kecilnya, sementara suaranya terdengar datar, "Aku sudah mau tidur."Tangan Kiara perlahan meremas gaun tidurnya, "Kalau begitu, aku ... ""Balik ke kamarmu saja."Ujar Billy memotongnya dengan tegas, wajahnya terlihat tanpa ekspresi.Kiara mengangkat kepalanya sedikit, menatapnya dengan bingung, tidak mema
Billy mengambil sendok dari mangkuk sup dan mencicipi sedikit.Kiara mengangkat matanya, sedikit berharap dan bertanya, "Bagaimana rasanya?"Rasa sup itu segar dan manis, dengan aroma khas dari bengkoang.Namun, Billy hanya memberikan komentar singkat, "Lumayan."Mendengar jawabannya, Kiara tidak tahu apakah itu sekedar basa-basi atau sungguhan. Dia sedikit kecewa dan hanya menjawab pelan, "Oh."Billy menyadari perubahan nada suaranya, tetapi berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Kenapa?"Kiara menggeleng dan menjawab, "Nggak ada." Kemudian duduk di kursinya.Pelayan yang sedang menghidangkan makanan berkata pada Kiara, "Pak Billy sangat jarang makan malam di rumah. Ini adalah pertama kalinya setelah setengah tahun ini."Kiara terkejut dan menatap pria di depannya dengan heran.Billy meletakkan sendoknya dan menjelaskan, "Aku sibuk dengan pekerjaan dan jamuan biasanya. Tapi karena ini hari pertama kamu tinggal di sini, aku rasa sebaiknya menemanimu makan malam."Kiara merasa sedikit t
Sebenarnya, Billy tidak ingin membuat Kiara merasa canggung. Jadi, dia hanya menjawab, "Yasudah, anggap saja ini rumahmu sendiri. Aku akan usahakan pulang lebih awal malam ini."Kiara mengangguk lagi, tetapi di tengah anggukannya, kepalanya tiba-tiba berhenti.Entah mengapa, kalimat itu membuatnya sedikit berpikir berlebihan. Tangannya yang memegang alat makan tanpa sadar membeku.Malam harinya, setelah Kiara pulang, Billy belum juga kembali. Salah satu pelayan keluar untuk menyambutnya, "Bu Kiara."Kiara berhenti di depan pelayan itu dan bertanya, "Kamu sedang sibuk di dapur?"Pelayan itu sedikit terkejut mendengar pertanyaannya, tetapi segera menjawab, "Aku belum siapkan makan malam, kamu mau menunggu sebentar?"Mendengar itu, Kiara segera meluruskan, "Oh, bukan itu maksudku. Aku hanya mau membantu di dapur, kebetulan aku juga nggak ada urusan."Pelayan itu menyadari bahwa Kiara tampaknya masih merasa canggung berada di rumah ini. Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk, "Baiklah, k
Setelah mendengar langkah kaki dari lantai bawah, Kiara yang bersembunyi di balik pintu langsung terdiam.Pak Billy? Kak Billy sudah pulang?Tangannya yang memegang pintu semakin erat, tapi entah kenapa, rasa takut di hatinya perlahan mereda. Dia keluar dari kamar gelap yang asing itu.Saat itu, Billy baru saja memasuki aula utama. Seorang pembantu sedang berbicara dengannya. Setelah beberapa saat, pandangan Billy langsung tertuju pada Kiara yang muncul dari kamar di lantai atas.Billy menghentikan langkahnya.Kiara juga berdiri di lantai atas, menatapnya dari kejauhan.Billy berjalan mendekatinya. Ketika sampai di depannya, dia berhenti dan berkata, "Kalau ada yang dibutuhkan, katakan saja."Kalimat itu menunjukkan bahwa Billy ingin Kiara merasa nyaman di rumah ini. Namun, Kiara malah merasa canggung dan tidak tenang.Billy melanjutkan lagi, "Kalau ada syarat yang mau kamu ajukan, katakan saja. Aku akan memberikan apapun semampuku."Setelah berpikir sejenak, Kiara menjawab, "Kak Billy
Di sini, Kiara merasa seperti orang luar yang tidak punya hak untuk terlibat dalam percakapan mereka. Dia bisa merasakan hubungan rumit antara Billy dan Martha. Akhirnya, dia mengangguk pelan dan berbalik keluar dari ruangan.Begitu dia pergi, kamar itu kembali sunyi dan dingin seperti sebelumnya.Kemudian, Billy memandang Alice dan Benedict dengan dingin dan berkata, "Aku perlu bicara berdua dengan Martha."Benedict dan Alice juga tidak berani ikut campur dengan urusan mereka. Keduanya mengangguk pelan dan meninggalkan ruangan.Setelah mereka pergi, Billy menatap Martha yang terus menangis. Wajahnya sangat muram dan dengan nada dingin dia berkata, "Karena ini yang kamu mau, aku akan melakukannya dengan baik."...Sementara itu, Kiara kembali ke ruangannya. Dia duduk di ranjang tanpa bergerak, merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.Namun, belum setengah jam berlalu, seseorang masuk ke kamarnya. Itu adal