Billy menarik tangannya dari selimut Kiara dengan santai, berdiri tanpa memperlihatkan ekspresi yang aneh.Martha tersenyum dan berkata, "Aku takut terjadi sesuatu pada Kiara, jadi aku nggak tenang dan datang untuk melihatnya.Billy tidak menyembunyikan apapun dari Martha. Dia menjelaskan, "Ada sedikit masalah yang terjadi pada Tedy, tapi baru saja selesai diurus."Lalu, Billy menambahkan lagi, "Kebetulan kamu datang, coba tenangkan dia."Tentu saja Martha tahu siapa Tedy. Dia berjalan masuk dan langsung menuju sisi ranjang. Saat dia sampai di sana, Billy segera menjauh dari ranjang, menjaga jarak dengan Kiara.Martha duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Kiara dan bertanya, "Ada apa? Ayo ceritakan padaku."Wajah Martha terlihat penuh perhatian dan kelembutan. Namun, Kiara justru terdiam sesaat. Setelah beberapa saat, dia baru menjawab dengan pelan, "Tedy dalam masalah. Dia berkelahi di bar, untungnya Kak Billy yang membantu menyelesaikannya."Kiara khawatir kakaknya akan marah,
Billy berpura-pura marah sambil menatap Martha, "Nggak boleh keras kepala." Akhirnya, Martha menyerah dan berkata, "Iya iya, aku nggak bisa melawanmu."Billy menerima selimut dari perawat dan menyelimutkan tubuh Martha, seolah khawatir dia masuk angin.Martha bercanda dengan manja, "Jangan begitu khawatir, aku hanya di kamar Kiara, bukan di tempat lain."Namun, Billy menjawab serius, "Sudahlah, balik ke kamar dulu."Kiara yang berbaring di ranjang hanya diam dan menyaksikannya.Setelah memastikan Martha terselimuti dengan baik, Billy berkata pada Kiara, "Aku antar kakakmu balik dulu. Kalau ada apa-apa, bilang saja ke sopir."Kiara menjawab pelan, "Iya, terima kasih Kak Billy."Setelah itu, Billy memapah Martha keluar dari ruangan. Mereka berjalan jauh dan Kiara hanya bisa melihat dari kejauhan. Dia tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi sempat melihat Billy tersenyum.Billy jarang sekali tersenyum dan Kiara sadar bahwa senyumannya biasanya hanya untuk kakaknya. Hal itu
Billy tidak tahu apa alasan Kiara ingin menemuinya. Setelah beberapa detik diam, Kiara kembali berkata, "Aku bisa datang sendiri."Billy terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Kukirimkan alamatnya padamu."Kiara yang semula merasa tegang akhirnya sedikit lega. Dengan suara lembut, dia menjawab, "Iya."Setelah itu, Billy langsung menutup telepon. Tak lama kemudian, sekitar satu menit, Kiara menerima pesan berisi sebuah alamat, Komplek Bukit Lestari.Melihat alamat itu, Kiara menggenggam erat ponselnya, bibirnya pun terkatup rapat.Dia memutuskan naik taksi menuju lokasi yang disebutkan. Begitu sampai, dia melihat kawasan yang begitu luas. Kiara tidak tahu seberapa besar tempat itu, tetapi dia menyadari bahwa untuk memasuki area tersebut, pemeriksaannya sangat ketat. Bahkan dia sempat melihat danau serta hamparan rumput hijau di dalam.Barulah dia paham kenapa banyak orang mengatakan kakaknya menikah dengan orang yang tepat. Keluarga Tandean memang jauh lebih terpandang daripada Kelu
Kiara kembali mendekatkan diri, bibirnya menyentuh bibir Billy dengan sangat pelan, nyaris tak terasa. Billy hanya diam, menunduk menatapnya tanpa berkata apa-apa.Jantung Kiara berdetak sangat cepat, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Dia perlahan berjinjit, tangannya melingkar di leher Billy dan bibirnya bersentuhan lebih dalam.Namun, Billy tetap tidak bergerak dan membiarkannya. Saat Kiara merasa canggung dan tidak tahu harus melakukan apa, terdengar suara rendah Billy yang bertanya, "Kamu mencoba menggodaku?"Kiara merasa udara di sekitarnya menjadi begitu tipis. Kedekatan mereka membuat napasnya terputus-putus.Bibirnya bahkan bergetar."Bukan ... aku hanya mau berterima kasih."Tatapan Billy menajam dan melanjutkan, "Kamu merasa aku nggak mau membantu Tedy?"Perkataan itu membuat Kiara seolah kehabisan napas. Bukan itu yang dia maksud, tetapi rasa gelisah di hatinya membuatnya ingin memastikan segalanya dengan caranya sendiri.Billy melanjutkan, "Menurutmu, apa yang aka
Jadi, perhatian Billy padanya semata-mata karena cinta pria itu pada kakaknya. Mungkin ini yang dimaksud dengan istilah mencintai orangnya sekaligus hal-hal di sekitarnya. Kiara menjawab, "Iya, aku mengerti, kak ... "Namun, panggilan itu tak kunjung terlontar dari bibirnya.Billy sempat mengernyitkan alisnya sejenak, tetapi dia tak mengatakan apa-apa, seakan menerima panggilannya. Mengenai tindakan Kiara barusan, dia hanya menganggapnya sebagai sikap anak kecil yang belum dewasa.Akhirnya, Kiara tidak pergi menemui Tedy. Sebagai gantinya, dia menelepon orang tua Tedy.Kiara berpikir, meskipun tidak peduli dengan diri sendiri, seharusnya Tedy memikirkan kedua orang tuanya. Apa dia benar-benar tega menyia-nyiakan usaha dan kasih sayang yang diberikan mereka selama bertahun-tahun? Keesokan harinya, setelah orang tua Tedy datang, Tedy pun akhirnya keluar dari kantor polisi.Hari itu, Kiara tidak pergi ke kantor polisi. Dia tetap berada di kampus tanpa bertanya sedikit pun kondisi Tedy.
"Jadi, apa yang harus dilakukan sekarang?"Dokter menghela napas, tampak penuh kekhawatiran. Setelah beberapa saat, dokter berkata dengan serius, "Kita hanya bisa mengambil risiko dengan menggunakan darah dari kerabat dekat. Bukankah Bu Martha punya seorang adik tiri? Meskipun sumsum tulangnya nggak cocok, tapi golongan darahnya sama dan bisa dicoba untuk membantu sementara."Billy mengernyitkan alis."Apa ada risikonya?""Kita hanya bisa mencoba dulu."Raut wajah Billy menjadi semakin dingin.Pada saat bersamaan, Benedict dan Alice tiba di rumah sakit. Alice menangis tanpa henti. Tampaknya, mereka sudah mendengar pembicaraan antara dokter dan Billy tadi. Begitu tiba, Alice langsung memegang erat tangan dokter dan berkata, "Dok, aku sudah memanggilnya, dia masih di perjalanan. Begitu dia sampai, langsung transfusi darah saja."Benedict juga menambahkan, "Benar, dia sedang dalam perjalanan ke sini."Billy bertanya, "Kalian sudah bertanya pada Kiara?"Mendengar pertanyaan itu, Alice lang
Mendengar ucapannya, Kiara terdiam cukup lama, akhirnya mengangguk pelan.Melihat anggukannya, Billy tetap mengerutkan alis. Setelah beberapa saat, dia berkata pelan, "Kalau begitu, pergilah."Kiara belum sempat mengalihkan pandangannya, tubuhnya sudah ditarik menuju ruang pemeriksaan.Di depan pintu UGD, Alice terus menangis, tak mampu menahan emosinya. Benedict berusaha menenangkannya, menyuruhnya agar tidak terlalu cemas.Billy tentu berharap Martha bisa selamat, tapi dia juga bukan orang yang tega. Dia tidak ingin keselamatan Martha harus dilakukan dengan mengorbankan kesehatan orang lain. Itulah sebabnya, dia berkali-kali menyuruh Kiara untuk berpikir matang.Namun, sepertinya hanya dirinya yang memikirkan hal ini. Orang tuanya, termasuk Benedict, ayah kandungnya juga tidak mempertimbangkan hal tersebut.Seketika, entah kenapa, dirinya merasa situasi ini sangat kejam. Meski demikian, dia tetap berharap Martha bisa segera melewati masa kritis.Billy berdiri diam di sana, memejamkan
Martha menjawab, "Sudah baikan, kupikir nggak bisa bertemu denganmu lagi."Billy mengernyit, tangannya membelai kepala Martha, "Jangan khawatir, nggak akan terjadi apa-apa, mengerti?"Martha memercayainya dan mengangguk pelan.Billy juga merasa lega. Meskipun masih ada rasa takut yang tersisa di hatinya. Tangannya tetap membelai kepala Martha.Tiba-tiba, Billy mengingatkan Benedict, "Kiara ada di belakang."Benedict baru tersadar dan langsung menoleh ke arah Kiara.Kiara masih terbaring di ranjang dorong, menatap mereka dari kejauhan. Saat itu, barulah Benedict teringat akan keberadaan Kiara. Dia berjalan mendekatinya dengan perhatian, meskipun terlihat jelas perhatian itu tidak sebanding dengan kekhawatirannya pada Martha.Billy hanya menyaksikan semua itu dari kejauhan, tatapan matanya tampak tajam dan dingin.Martha menatap Billy dan bertanya, "Billy, Kiara yang mendonor darah untukku?"Billy berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan Kiara. Dia hanya menjawab, "Iya, situasinya daru
Pelayan menjawab sambil tersenyum, "Sudah pulang, lagi ganti baju di lantai atas."Mendengar itu, Billy mengangguk. Saat hendak berjalan menuju tangga, pandangannya tertuju pada sesuatu di meja dekat sofa. Langkahnya terhenti, lalu membungkuk dan mengambil kotak obat yang ada di sana.Pelayan itu teringat bahwa dia lupa memasukkan barang milik Kiara kembali ke tasnya. Dengan tergesa-gesa, dia berkata, "Pak Billy, sepertinya itu barang milik Bu Kiara, aku yang keluarkan dari tasnya."Tatapan Billy yang awalnya tenang kini berubah tegang. "Punya Kiara?""I ... iya, punya Bu Kiara."Raut wajah Billy menjadi dingin, "Dia di atas?"Pelayan merasa suasana berubah menjadi tidak nyaman, "Iya ... di kamar atas."Tanpa membuang waktu, Billy berjalan cepat menuju lantai atas.Kiara baru saja selesai mengganti pakaian di kamar. Dia sedang berdiri di depan meja rias untuk mengambil anting kecilnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kiara langsung menoleh ke arah pintu.Dengan panik, dia berdiri dan me
Kiara menarik tangannya perlahan dari genggaman Billy, "Aku lupa tadi."Billy juga menarik kembali tangannya, "Yasudah, pergilah ke kelas.""Iya, Kak Billy," jawab Kiara dengan lembut, lalu membuka pintu mobil dengan hati-hati kali ini, memastikan tangannya yang terluka tidak terbentur lagi.Setelah memastikan Kiara masuk ke gerbang kampus, mobil Billy pun melaju pergi.Namun, Kiara masih merasakan kehangatan yang tertinggal di pergelangan tangannya, seperti ada jejak yang tak bisa dihilangkan, meski dirinya sudah berusaha mengabaikannya.Siang harinya, Kiara dan Shully memutuskan untuk membolos kelas yang tidak terlalu penting. Mereka berjalan-jalan di luar kampus. Setelah beberapa waktu, Shully bertanya, "Kiara, kamu tinggal di mana sekarang?"Kiara sedang memegang gaun yang menarik perhatiannya. Mendengar pertanyaan itu, dia menjawab cepat, "Ah, aku tinggal di rumah."Shully mengangguk, "Kupikir kamu tinggal di asrama beberapa hari ini."Kiara tersenyum lemah dan menjawab, "Nggak, a
Setelah lukanya selesai dibalut, pelayan tidak membiarkan Kiara tetap berada di dapur dan mengusirnya ke meja makan. Kiara baru duduk dan melihat Billy sudah ada di sana.Saat itu, langit di luar masih gelap, waktu baru menunjukkan pukul enam pagi.Keduanya diam, tak saling bicara.Billy meletakkan koran di tangannya, lalu bertanya, "Lukanya dalam?"Pertanyaannya terdengar seperti basa-basi saja.Kiara menggigit bibirnya dan menggeleng, "Nggak."Matanya melihat ke bawah, bulu matanya memantulkan cahaya lembut dari lampu, bergetar seperti dilapisi kilauan halus.Mendengar jawabannya, Billy hanya menggumam pelan sebagai tanggapan dan tidak bertanya lebih jauh, kembali membaca korannya.Tak lama kemudian, pelayan membawa hidangan pertama ke meja. Ruang tamu sunyi, pelayan itu segera kembali dapur setelah meletakkan makanannya.Di dapur, pelayan sempat berpikir, kenapa kedua orang ini bangun begitu pagi? Mereka terlihat seperti tidak tidur semalaman.Namun, pelayan itu tak bisa memastikan
Kiara merasa agak tidak nyaman ketika dicium oleh Billy selama beberapa detik, matanya basah, bibirnya terus bergumam, "Kak Billy, kenapa kita sudah begitu sering, tapi tetap nggak berhasil?"Kiara mulai meragukan dirinya sendiri, apakah dirinya mandul, mengingat sudah sekian lama dan begitu sering, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan.Dia terisak dan berkata lagi, "Aku tahu kamu nggak tertarik padaku, tapi hanya dengan segera hamil, kita bisa terbebas dan kamu bisa bersamanya bersama kakak tanpa bertengkar lagi. Aku nggak mau menunggu lagi, tolong Kak Billy."Kata tolong yang dia ucapkan justru seperti menambah bensin pada api yang sudah menyala."Kiara, kamu nggak tahu bahwa kata tolong nggak boleh diucapkan dalam situasi seperti ini?" Billy berhenti mencium bibirnya, menatapnya dengan tatapan tajam.Kiara terdiam sejenak, tidak langsung menjawab kata-kata itu, wajahnya terlihat agak ragu.Dia juga tidak tahu kenapa dirinya mengatakan kata-kata itu, tapi dia benar-benar tidak punya
Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu ruang kerja, Billy pun menoleh ke arah pintu. Pintu terbuka dan sosok bayangan dengan gaun tidur putih melangkah masuk.Melihat Kiara datang, tangan Billy yang sedang memijat pelipis langsung terhenti.Kiara berdiri di depannya tanpa bergerak."Kiara?" tanya Billy sambil mengangkat alisnya."Kak Billy, kamu belum tidur? Aku sudah menunggumu sejak tadi."Tatapan Billy mulai menjadi lebih dalam dan serius, dia terus menatap gadis yang berdiri di depannya.Sebenarnya, dirinya sama sekali tidak punya niat seperti itu malam ini. Namun, dia tak menyangka Kiara akan datang dan mendorong pintu ruang kerjanya. Tatapannya yang tajam terus memandang tubuh kecilnya, sementara suaranya terdengar datar, "Aku sudah mau tidur."Tangan Kiara perlahan meremas gaun tidurnya, "Kalau begitu, aku ... ""Balik ke kamarmu saja."Ujar Billy memotongnya dengan tegas, wajahnya terlihat tanpa ekspresi.Kiara mengangkat kepalanya sedikit, menatapnya dengan bingung, tidak mema
Billy mengambil sendok dari mangkuk sup dan mencicipi sedikit.Kiara mengangkat matanya, sedikit berharap dan bertanya, "Bagaimana rasanya?"Rasa sup itu segar dan manis, dengan aroma khas dari bengkoang.Namun, Billy hanya memberikan komentar singkat, "Lumayan."Mendengar jawabannya, Kiara tidak tahu apakah itu sekedar basa-basi atau sungguhan. Dia sedikit kecewa dan hanya menjawab pelan, "Oh."Billy menyadari perubahan nada suaranya, tetapi berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Kenapa?"Kiara menggeleng dan menjawab, "Nggak ada." Kemudian duduk di kursinya.Pelayan yang sedang menghidangkan makanan berkata pada Kiara, "Pak Billy sangat jarang makan malam di rumah. Ini adalah pertama kalinya setelah setengah tahun ini."Kiara terkejut dan menatap pria di depannya dengan heran.Billy meletakkan sendoknya dan menjelaskan, "Aku sibuk dengan pekerjaan dan jamuan biasanya. Tapi karena ini hari pertama kamu tinggal di sini, aku rasa sebaiknya menemanimu makan malam."Kiara merasa sedikit t
Sebenarnya, Billy tidak ingin membuat Kiara merasa canggung. Jadi, dia hanya menjawab, "Yasudah, anggap saja ini rumahmu sendiri. Aku akan usahakan pulang lebih awal malam ini."Kiara mengangguk lagi, tetapi di tengah anggukannya, kepalanya tiba-tiba berhenti.Entah mengapa, kalimat itu membuatnya sedikit berpikir berlebihan. Tangannya yang memegang alat makan tanpa sadar membeku.Malam harinya, setelah Kiara pulang, Billy belum juga kembali. Salah satu pelayan keluar untuk menyambutnya, "Bu Kiara."Kiara berhenti di depan pelayan itu dan bertanya, "Kamu sedang sibuk di dapur?"Pelayan itu sedikit terkejut mendengar pertanyaannya, tetapi segera menjawab, "Aku belum siapkan makan malam, kamu mau menunggu sebentar?"Mendengar itu, Kiara segera meluruskan, "Oh, bukan itu maksudku. Aku hanya mau membantu di dapur, kebetulan aku juga nggak ada urusan."Pelayan itu menyadari bahwa Kiara tampaknya masih merasa canggung berada di rumah ini. Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk, "Baiklah, k
Setelah mendengar langkah kaki dari lantai bawah, Kiara yang bersembunyi di balik pintu langsung terdiam.Pak Billy? Kak Billy sudah pulang?Tangannya yang memegang pintu semakin erat, tapi entah kenapa, rasa takut di hatinya perlahan mereda. Dia keluar dari kamar gelap yang asing itu.Saat itu, Billy baru saja memasuki aula utama. Seorang pembantu sedang berbicara dengannya. Setelah beberapa saat, pandangan Billy langsung tertuju pada Kiara yang muncul dari kamar di lantai atas.Billy menghentikan langkahnya.Kiara juga berdiri di lantai atas, menatapnya dari kejauhan.Billy berjalan mendekatinya. Ketika sampai di depannya, dia berhenti dan berkata, "Kalau ada yang dibutuhkan, katakan saja."Kalimat itu menunjukkan bahwa Billy ingin Kiara merasa nyaman di rumah ini. Namun, Kiara malah merasa canggung dan tidak tenang.Billy melanjutkan lagi, "Kalau ada syarat yang mau kamu ajukan, katakan saja. Aku akan memberikan apapun semampuku."Setelah berpikir sejenak, Kiara menjawab, "Kak Billy
Di sini, Kiara merasa seperti orang luar yang tidak punya hak untuk terlibat dalam percakapan mereka. Dia bisa merasakan hubungan rumit antara Billy dan Martha. Akhirnya, dia mengangguk pelan dan berbalik keluar dari ruangan.Begitu dia pergi, kamar itu kembali sunyi dan dingin seperti sebelumnya.Kemudian, Billy memandang Alice dan Benedict dengan dingin dan berkata, "Aku perlu bicara berdua dengan Martha."Benedict dan Alice juga tidak berani ikut campur dengan urusan mereka. Keduanya mengangguk pelan dan meninggalkan ruangan.Setelah mereka pergi, Billy menatap Martha yang terus menangis. Wajahnya sangat muram dan dengan nada dingin dia berkata, "Karena ini yang kamu mau, aku akan melakukannya dengan baik."...Sementara itu, Kiara kembali ke ruangannya. Dia duduk di ranjang tanpa bergerak, merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.Namun, belum setengah jam berlalu, seseorang masuk ke kamarnya. Itu adal