Pagi-pagi sekali Maira sudah berada di dapur. Sedangkan Daffa, bayi itu masih tertidur pulas di kamar mereka. Beberapa karyawan catering Bu Ratih telah datang sejak habis subuh. Mereka mulai menyiapkan bahan-bahan untuk menu catering hari itu. "Mbak Maira, rencananya setelah menikah tinggal di mana? Tetap di sini apa ikut suami? Di sini ibu ada usaha, calon mertua Mbak juga ada usaha, ya? Aku dengar-dengar, calon mertua, Mbak, punya butik yang besar dan terkenal. Terus, calon suami Mbak seorang dokter. Wah … pasti repot banget, ya, Mbak?" celoteh Tini–salah satu karyawan Bu Ratih. Saat itu Maira memang berada di sampingnya untuk membantu mengupas bawang.Maira tersenyum simpul, dan menoleh pada gadis muda itu. "Aku ngikut suami aja, Tin. Tapi sebisa mungkin aku bakalan sering-sering kesini buat nengokin Bapak sama Ibu." jawab Maira sambil meletakkan bawang yang sudah dikupas ke dalam panci kecil."Mbak Maira beruntung banget, ya. Dapat calon suami orang kaya, ganteng, pekerjaan juga
"Mana bisa begitu?" Maira geleng-geleng, ia tidak habis pikir dengan cara berpikir orang-orang di hadapannya itu. "Bahkan satu rupiah pun Bapak sama Ibu tidak ada kontribusi apa-apa pada anak saya. Dan sekarang, dengan mudahnya Bapak mau membawa kasus ini ke jalur hukum?" Maira berdecak. "Luar biasa." Pak Mahendra menarik miring sudut bibirnya. "Kamu lupa siapa kami? Kami bisa melakukan apapun yang kami inginkan, termasuk mengambil cucu kami darimu! Itu hal yang mudah bagi kami, Maira," ucapnya pongah. Ingin sekali Maira segera mengusir manusia tidak punya hati itu. Setengah dari dirinya telah merasakan kepanikan. Namun sekuat mungkin ia menepisnya untuk tetap bertahan di bawah ancaman Pak Mahendra. "Itu tidak akan pernah terjadi!" Tegas Maira. "Lebih baik sekarang Bapak dan Ibu lekas keluar dari rumah saya." Menunjuk pintu keluar."Sombong sekali kamu sekarang, ya? Sudah berani mengusir kami? Kamu lupa darimana asal rumah ini di dapatkan? Kalau bukan bantuan dari saya, rumah ini j
Maira menghentikan langkah kakinya, dengan tatapan menuju sang ibu. Keningnya berkerut dalam.Bu Ratih berjalan mendekat. "Mobil yang biasa dipakai antar catering, tadi dibawa sopirnya. Baru kembali sekitar jam sebelas, Mai." jelas Bu Ratih dengan raut wajah panik. Wanita itu melongokkan kepala untuk melihat Daffa di dalam gendongan.Maira terhenyak, "apa pesan taksi aja ya, Bu? Ini Mas Rendi juga lagi susah dihubungi," kata maira sambil menggeser-geser layar ponselnya. "Nggak usah pesan taksi, Mai. Ke rumah sakit sama Ibu saja." tiba-tiba Bu Sofia muncul dari balik pintu. Pintu itu memang tidak tertutup sejak tadi, sehingga siapapun bisa langsung masuk ke dalam. "Kenapa Ibu masuk kemari?" Maira berkata ketus. Bagaimanapun ia masih enggan mengizinkan mantan mertuanya itu melihat anaknya. "I–ibu, hanya khawatir sama cucu Ibu. Apa Ibu salah, kalau Ibu masuk ke kamar ini?" balas Bu Sofia menahan rasa sedih. Ia berusaha melongok untuk melihat bayi dalam gendongan itu, namun Maira terus
"Tenangkan dirimu dulu, Mai. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan." Pak Mahendra menoleh ke belakang. Ada gurat penyesalan dalam rautnya. Maira bisa melihat itu. Akan tetapi, perasaan kesalnya lebih mendominasi. "Biar aku turun di sini saja, permisi." kata maira sambil berusaha untuk keluar. Ia tidak mau terjebak lebih lama lagi. Ia harus segera keluar dari mobil itu dan pergi mencari bantuan. Setidaknya ia bisa berteriak meminta pertolongan jika Alfin berbuat nekat."Jangan, Mai. Tetap di dalam. Biar saya yang keluar temui Alfin." tegas Pak Mahendra. "Untuk apa, Pak? Untuk apa? Anda mau mengelabuhi saya lagi, iya?" bantah Maira menatap tajam mantan mertuanya. Dadanya bergemuruh hebat. Ia dekap erat bayinya. "Tenang, Mai. Tenang dulu. Ini diluar dugaan kami, kami tidak tahu Alfin ada di sini juga. Jangan berpikiran buruk dulu," kata Bu Sofia menggeleng keras. Ia turut memegangi lengan Maira yang hendak memaksa keluar dari mobil."Kalian tunggu di dalam! Biar Papa yang keluar!" Bu S
"Heemmp …." Maira berusaha menggerak-gerakkan kepalanya agar bisa lepas. Selain rasa takut, ia juga merasa sulit untuk bernapas."Jangan gerak terus, kasihan bayinya, Mbak, nanti bisa kebangun." Orang itu kembali bersuara, detik berikutnya maira tersadar dengan keberadaan Daffa di dalam dekapannya. Bayi itu ikut terguncang seiring gerakan kepalanya yang terus menggeleng. Berangsur-angsur Maira berhenti memberontak. Saat itu, tangan besar yang membekap mulutnya juga ikut mengendur.Maira harus menghabiskan waktu bermenit-menit untuk berjongkok di balik pot besar dengan mulut dibekap. Ia baru bisa bernapas lega, saat orang itu berkata. "Sudah aman, mari keluar!" Sebelum berdiri maira sempat menoleh ke belakang, wangi parfum lelaki itu menyeruak menusuk hidungnya. Seorang laki-laki asing berdiri lebih dulu. Berpindah ke depan Maira, lalu menjulurkan tangannya di depan Maira. "Mari saya bantu."Maira mengerjap berkali-kali, otaknya masih sulit untuk menelaah semua yang baru saja terjadi.
Maira membulatkan mata, lalu menoleh. Ragu-ragu ia menjawab. "Orang itu—" Maira menunduk, suaranya nyaris tenggelam. "Mantan suami kamu?" tebak Rendi, tak melepaskan Maira dari pandangannya."Mas tahu dari mana?" Maira kembali mengangkat kepalanya, untuk melihat wajah tampan di sampingnya."Nebak saja." Rendi terkekeh, namun tetap mengawasi perubahan ekspresi wajah Maira. Perempuan itu menjadi murung."Maaf, ya, gara-gara Mas nggak bisa nganterin kamu ke rumah sakit, kamu jadi dikejar-kejar sama orang itu." Rendi merasa bersalah, seharusnya ia lebih siaga menjaga calon istri dan anaknya. "Nggak apa-apa, Mas. Aku tahu Mas pasti sibuk. Harusnya aku yang lebih hati-hati," balas Maira, mengulas senyum di bibirnya. Berusaha mengerti dengan kesibukan calon suaminya."Pagi banget Salsa datang ke rumah. Minta antar ke butik, kebetulan Mama udah berangkat, jadilah dia minta antar, Mas." Rendi mulai menjelaskan sambil menghidupkan mesin mobilnya.Maira mengerutkan kening. "Salsa itu, kan—" uc
Setelah memastikan Maira dan bayinya sampai di rumah dengan selamat. Rendi segera kembali membawa mobilnya ke butik karena Salsa yang terus menerornya. Gadis itu menolak dengan berbagai alasan ketika ia mengusulkan untuk naik taksi saja. Rendi memang merasa kesal namun ia juga tidak tega membiarkan adiknya begitu saja. Terlepas dari bagaimana kejamnya mulut Tante Riana padanya, Rendi akan tetap mengakui Salsa sebagai adik keponakannya. "Kenapa nggak suruh jemput calon suamimu aja, sih, Sa? Mas capek kalau harus bolak-balik begini." Rendi langsung meluapkan rasa kesalnya pada Salsa ketika tiba di butik. Tanpa menemui mamanya terlebih dahulu ia kembali masuk ke mobil."Harus berapa kali sih, aku bilang. Mas Alfin itu sibuk! Maklum lah, dia pewaris tunggal perusahaan papanya. Pasti banyak yang dikerjakan. Bedalah sama Mas, jadi dokter masih bisa kesana kemari, lagian siapa suruh Mas ninggalin aku tadi." cibir Salsa tanpa rasa bersalah. Dengan bangganya ia menyuarakan bahwa Alfin adalah
"Tapi, Pa!" Alfin menyanggah, menghentikan kalimat papanya. "Kenapa Papa tidak pernah memberikan Alfin kesempatan untuk bicara? Alfin berhak menentukan pilihan Alfin sendiri, Pa!" Suara Alfin meninggi seiring dengan gemuruh di dadanya. Ia merasa kesal sebab sang Papa selalu memaksakan kehendak padanya."Pilihan yang seperti apa? Kamu mau kembali sama Maira?" Alfin mengangguk karena memang opsi itu yang ada di dalam kepalanya. Sayangnya detik berikutnya Pak Mahendra kembali menunjukkan ketegasannya. "Papa tidak setuju, mau ditaruh mana muka Papa kalau pernikahan kamu batal lagi?" Lagi-lagi Alfin hanya bisa pasrah, harga diri keluarganya jauh lebih tinggi diatas segalanya."Aku setuju, Om. Aku juga nggak mau menanggung malu kalau sampai pernikahan ini batal," sahut Salsa. Gadis itu sudah tidak menangis, ia mengerling Alfin yang tampak melebarkan matanya.Alfin berdecih, menatap Salsa dengan tatapan meremehkan. Dalam pandangan Alfin, Salsa tidak lebih dari seorang wanita murahan.Pak Ma
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter