"Dokter Rendi! Tunggu, Dok." Alfin berusaha mengejar langkah Rendi hingga pintu mobil dokter itu tertutup. Ia tidak menyerah, menjajari mobil yang mulai melaju sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil berharap dokter muda itu mau mendengarnya barang sebentar saja. Alfin hampir tersungkur saat mobil tetap melaju tanpa menghiraukan teriakannya. "Sialan!" Alfin membanting kantong plastik yang tadi dipegangnya. Sedetik kemudian, ia kembali memungutnya karena tersadar barang-barang dalam kantong itu milik anaknya. "Mau ngasih nafkah buat anak sendiri aja, harus ngemis belas kasih kayak gini." Alfin mengeratkan giginya hingga timbul bunyi gemerutuk. "Kalau bukan ide dari Papa, nggak bakal aku mau merendahkan harga diri kayak gini, huh!" Alfin terus menggerutu hingga ia kembali ke mobilnya. Malam itu Alfin membulatkan tekadnya untuk tetap memberikan bentuk nafkah pertama untuk anaknya. Alfin telah melewati perdebatan yang panjang dengan calon istrinya ketika akan membelikan susu untuk anaknya.
4 hari kemudian ….Satu hari sebelum hari pernikahan Maira dengan Rendi akan dilangsungkan. Hari itu beberapa saudara jauh Pak Cahyo dan Bu Ratih sudah banyak yang berkumpul di rumah Pak Cahyo. Maira sendiri sudah mulai dilarang kemana-mana untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.Pak Cahyo sendiri sudah meminta izin mengambil cuti dari pekerjaannya, demi memantau sendiri bagaimana dekorasi untuk pengantin itu dipasang di ruang tamunya yang cukup luas. "Mas, ini pakai bunga asli semua?" tanya Pak Cahyo pada salah satu ahli dekor yang tengah memegang satu keranjang bunga mawar putih baru petik untuk dipasang di dekor. Ia mengikuti gerak tukang itu naik ke atas dekor dengan tinggi sekitar setengah meter dari lantai."Iya, Pak, bunga asli semua," jawabnya sambil tangannya sibuk merangkai bunga mawar yang disatukan dengan bunga peony berwarna merah jambu, hingga membentuk sekumpulan bunga yang indah. Kemudian laki-laki itu juga melilitkan sulur dedaunan untuk menambah kesan hidup
Menjelang pagi, Maira baru saja selesai dengan ritual mandinya. Tepat saat itu seorang perias pengantin masuk ke kamarnya bersama dua orang asistennya yang menarik sebuah koper besar berisi peralatan make up."Langsung aja, ya, Mbak. Mbak bisa duduk di sini," ujar perias senior sambil menyeret satu kursi di depan meja rias. Waktu mereka memang sangat mepet, tidak lebih dari dua jam, pengantin perempuan harus sudah siap. Salah seorang asisten sigap menuntun Maira untuk duduk di kursi itu, dan langsung memasang kip make up untuk menutup tubuh bagian depan Maira. Maira menurut dan turut memperhatikan aktivitas mereka lewat pantulan kaca cermin.Satu asisten lagi mulai mengeluarkan isi koper yang berupa kotak-kotak besar berisi perlengkapan make up. Lalu memasang ring light tepat di depan kaca rias Maira. Sementara itu, Perias senior mulai membersihkan wajah Maira dengan cairan khusus lalu menepuk-nepukkan pelembab ke wajahnya yang sudah terlihat segar. "Buat sederhana aja ya, Mbak. Ngga
Alfin mundur selangkah demi selangkah dengan pandangan lurus ke arah pelaminan. Senyuman kedua mempelai layaknya sebuah ejekan yang memuakkan baginya. Laki-laki dengan setelan jas berwarna navy itu mengepalkan kuat kedua tangannya, aura penuh dendam menguar dari sorot matanya yang tajam. Tidak lama setelah itu, ia segera keluar dari kerumunan para tamu dan berbalik menuju mobilnya.***"Lama banget, sih? Ini bayinya rewel terus dari tadi, untung aja dia mau diem setelah dikasih susu," omel Salsa ketika Alfin baru saja membuka pintu mobil mereka. Gadis itu terus menggerutu,vvvvv namun tetap memegang botol susu yang tengah diminum bayi dalam pangkuannya.Tidak ingin menghiraukan omelan Salsa, mata Alfin justru terfokus pada sesosok bayi mungil dalam pangkuan calon istrinya itu. Tangannya terulur, kemudian mengelus pelan puncak kepala bayi itu dengan senyum mengembang. "Makasih, ya, udah mau bantuin aku. Aku janji bakal nurutin semua keinginan kamu, kalau kamu mau menerima anak ini untu
Maira yang sedang dilanda kecemasan luar biasa atas menghilangnya Daffa, tersentak oleh ucapan Rendi yang dirasa semakin menambah beban di hatinya. Ia menoleh cepat pada Rendi yang tengah mengemudikan mobil yang mereka tumpangi. "Mas ngomong apa, sih?" Maira cepat-cepat membuang napas ketika sadar suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya. Sempat ia melirik ke arah laki-laki yang baru saja sah menjadi suaminya itu. Laki-laki itu tersenyum kecil, membuat Maira merasa bersalah.Buru-buru Maira kembali membuka suara. "Maaf … aku nggak bermaksud—" ucapan Maira terpotong saat Rendi tiba-tiba menoleh. "Nggak apa-apa, Mas bisa maklum …." Rasa bersalah lebih besar bercokol di hati Rendi. Ia merasa tidak becus menjaga Daffa. Baru beberapa jam ia resmi menjadi suami Maira dan disaat bersamaan anaknya menghilang dibawa orang. Ini seperti sebuah pukulan telak bagi Rendi."Nggak seharusnya Mas bicara seperti itu. Daffa dibawa lari papanya, bukan salah Mas Rendi, tapi memang dia saja yang tid
"Gimana aku mau percaya kamu bisa merawat anakku? Nenangin bayi nangis aja nggak becus!" hardik Alfin dengan tatapan tajam seperti belati yang siap menusuk. Laki-laki arogan itu merebut bayinya dari tangan Salsa yang terdiam membisu. Ia mencoba mengayunkan tubuh bayi kecil itu pelan-pelan. Salsa melirik tajam lalu memiringkan sudut bibirnya, nyatanya lelaki itu juga tidak bisa menenangkan bayinya. "Kayak udah paling jago aja! Sendirinya juga nggak bisa, kan, nenangin anak sendiri," cibir Salsa lalu berdecih. Membuat mimik muka sangat menyebalkan di hadapan Alfin. "Diam!" bentak Alfin dengan suara yang ditahan-tahan. Khawatir bayinya akan semakin menangis jika mendengar ia berbicara keras."Hei! Harusnya kamu sadar diri, Mas! Nenangin bayi nangis aja nggak bisa, sok-sokkan mau ngerawat, pake acara ngerebut pula." Salsa berdiri di depan Alfin dan mengacungkan telunjuknya ke muka Alfin. "Lebih baik balikin aja, bikin repot tau nggak!" Gadis itu menyilangkan tangan di dada. Alfin mend
Siang menjelang sore, mereka baru mendapatkan petunjuk dari semua rekaman CCTV yang telah berhasil dikumpulkan dari berbagai tempat. Mobil yang dikendarai Alfin terdeteksi masuk ke sebuah apartemen yang jaraknya lumayan jauh dari tempat mereka. Rendi sangat bersyukur ketika orang-orang kepercayaannya dapat diandalkan. Hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja, mereka sudah dapat mengumpulkan semua rekaman CCTV itu.Saat itu juga, Maira langsung meminta untuk segera menyusul kemana perginya mobil Alfin. Hingga akhirnya mereka kini sudah berada dalam perjalanan menuju apartemen itu.Sebuah perdebatan kecil mewarnai hari pertama mereka menjadi sepasang suami istri siang itu."Kita mampir makan dulu, ya. Kesehatan kita juga harus dijaga," ujar Rendi, menoleh Maira sebentar lalu kembali fokus dengan kemudinya.Namun, Maira menggeleng tegas. "Nggak, Mas. Gimana aku bisa enak-enak makan? Sedangkan anakku aja nggak tahu gimana keadaannya saat ini. Mas pikir aku bisa setenang itu menikmati mak
Alfin memasang air muka waspada ketika tiba-tiba bel apartemennya berbunyi. Begitu pula dengan Salsa yang ikutan panik. Gadis itu mendekati tubuh Alfin dan bersembunyi di belakang tubuh laki-laki itu."Aduh, Mas. Jangan-jangan mereka udah lapor polisi, bagaimana ini? Aku nggak mau ikut-ikutan kalau sampai dipenjara," rengek Salsa sambil meremas kemeja bagian belakang Alfin."Udah-udah, nggak usah ngomong macem-macem, bawa Daffa ke kamar. Kunci dari dalam. Jangan keluar kalau aku belum panggil kamu." Alfin memberikan instruksi. Lelaki itu memutar tubuh dan menyerahkan Daffa pada Salsa. "T–tapi, Mas … aku takut," kata Salsa sambil menerima tubuh Daffa yang Alfin sodorkan padanya."Kamu tenang aja! Ada aku, Sa. Aku yang akan maju. Udah cepetan bawa Daffa ke kamar. Jangan lupa kunci dari dalam. Cepetan!" perintah Alfin saat bel apartemennya kembali berbunyi. Ia sedikit mendorong tubuh Salsa untuk segera masuk ke kamar. Setelah memastikan Salsa masuk dan telah mengunci kamar dari dalam. A
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter